Arti Dan Makna Bayt Al-Qur'an Dan Museum Istiqlal
Arti Dan Makna Bayt Al-Qur'an Dan Museum Istiqlal
Arti Dan Makna Bayt Al-Qur'an Dan Museum Istiqlal
Penyelenggaraan Festival Istiqlal I dan II boleh disebut sebagai sebuah laboratorium uji coba yang sangat berhasil
dalam menampilkan karya seni budaya Indonesia yang Islami karena telah menarik masyarakat luas terutama umat
Islam untuk berbondong-bondong datang dan mengunjungi festival.
Sukses penyelenggaraan dua kali festival tersebut dapat menjadi bekal, bahwa sesungguhnya benda-benda seni
yang bernafaskan Islam dapat dihimpun dan disajikan kepada masyarakat luas dalam bentuk penyajian yang
permanen di sebuah museum agar masyarakat dapat setiap saat melihat dan mempelajarinya. Demikian juga
dengan Khazanah Al-Qur’an baik yang paling kuno maupun terbaru tetap tersimpan dan terpelihara dengan baik dan
dapat disajikan secara permanen kepada masyarakat luas.
Dalam kerangka inilah Departemen Agama (Dr. Tarmizi Taher) telah mengambil prakarsa untuk membangun Bayt Al-
Qur’an sebagai wahana untuk mempersembahkan kepada masyarakat luas berbagai macam koleksi mushaf al-
Qur’an. Gagasan ini muncul ketika Menteri Agama saat itu ditanya mengenai tempat penyimpanan mushaf Al-Qur’an
terbesar yang sedang dipamerkan di Festival Istiqlal. Spontan ia menjawab “Bayt Al-Qur’an” dan bertepatan dengan
selesainya penulisan mushaf Istiqlal. Sedangkan penentuan lokasi pendirian gedung Bayt Al-Qur’an di area Taman
Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan gagasan awal almarhumah Ibu Tien Soeharto. Bersamaan itu pula,
dibangunlah sebuah museum yang disebut Museum Istiqlal yang menyajikan beragam khazanah Islami, baik
tradisional maupun kontemporer. Dua gedung ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena
merupakan ‘dua dunia’ yang saling melengkapi.
Bangunan Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal, berdiri di atas tanah wakaf almarhumah Ibu Tien Soeharto, seluas ±
20.013 m² dengan luas bangunan 20.402 m². Sesuai dengan rencana ideal yang telah dibuat, Bayt Al-Qur’an dan
Museum Istiqlal dibangun sebagai pusat kebudayaan bertaraf internasional, yang mempresentasikan bukan saja
khazanah budaya Islam Nusantara, tetapi juga menampilkan khazanah kebudayaan Islam berbagai belahan dunia
dengan latar belakang sejarah sosial dan budayanya masing-masing.
Di samping itu, Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal juga diharapkan mampu memberikan informasi yang
komprehensif tentang berbagai dimensi kultural Islam. Oleh karena itu, Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal tidak
hanya dituntut untuk mampu menangkap berbagai informasi budaya pada level nasional, tetapi juga di tingkat
internasional.
Dasar
1. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah wahyu, yang merupakan rahmat bagi seluruh alam yang menjadi tuntunan terbaik
dan memiliki nilai sangat strategis untuk pembangunan umat manusia.
2. Sesungguhnya Al-Qur’an telah mengilhami, mendorong dan memperkaya budaya bangsa.
3. Kekayaan budaya yang bernafaskan Islam dalam berbagai bentuknya perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Tujuan
1. Menampilkan kebudayaan Indonesia yang bernafaskan Islam.
2. Menampilkan budaya Islami yang berasal dari Indonesia dan Asia Tenggara serta bangsa-bangsa lain di dunia.
3. Sebagai pusat kebudayaan Islam di Indonesia.
4. Sebagai tempat konservasi dan penelitian Mushaf Al-Qur’an, seni, budaya dan heritage keagamaan.
Mushaf Istiqlal
Mushaf ini merupakan tulisan tangan putra-putra terbaik bangsa Indonesia. Mulai ditulis pada tanggal 15 Oktober
1991. Penulisan huruf Ba pada Basmallah pada Surah Al-Fatihah adalah Presiden H.M. Soeharto (Presiden RI saat
itu) sebagai tanda dimulainya penulisan Mushaf Istiqlal dan sekaligus membuka Pameran Kebudayaan Islam tingkat
Nasional yang lebih dikenal dengan Festival Istiqlal I.
Pada tanggal 23 September 1995 bertepatan dengan Pembukaan Festival Istiqlal II, Bapak Presiden Soeharto
menandatangani prasasti tanda selesainya penulisan Mushaf Istiqlal. Mushaf ini merupakan seni asasi yang suci dan
agung karena merupakan bentuk ekspresi estetik seni Islam yang paling otentik dan original, sebagai salah satu
manifestasi sufistik atas pengejawantahan hukum Allah (al-Syari’ah) melalui jalan spiritual (al-Thariqoh) untuk
mencapai hakikat (al-Haqiqoh).
Pembuatan mushaf ini melibatkan tim khusus yang keanggotaannya terdiri dari para ahli kaligrafi, ahli seni rupa,
ulama ahli Al-Qur’an, serta budayawan. Mushaf ini juga ditashih oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an Departemen Agama RI.
Sumber inspirasi desain pada iluminasi Mushaf Al-Qur’an berasal dari 2 jenis. Pertama, bentuk floramorfis (tumbuh-
tumbuhan dan bunga) yang diabstrasikan sebagai visualisasi simbolis atas makna ayat Al-Qur’an sebagaimana
tertulis dalam surah Ibrahim ayat 24-25.
Ayat ini bermakna simbolis agar manusia selalu mengingat (dzikir) dan tunduk (taqwa) kepada Allah SWT.
Kedua, iluminasinya dari khazanah ragam hias Nusantara dari Sabang sampai Merauke yang terdapat pada
arsitektur rumah adat, tekstil, batik, perabot rumah tangga, perhiasan, tosan aji dan lain-lain. Dengan demikian
Mushaf Al-Qur’an Istiqlal dapat menjadi ungkapan baru tradisi seni suci Islam sekaligus sebagai gambaran umat
Islam Indonesia yang menyatu dan damai dalam kemajemukan suku bangsa yang demikian banyak.
Kenapa iluminasinya hanya dalam bentuk flora, bukan fauna? Karena flora lebih menggambarkan keindahan
disbanding fauna. Tujuan dari iluminasi adalah untuk memperindah karena salah satu ajaran Islam adalah
keindahan. Dengan dihias, maka orang akan suka membaca Al-Qur’an karena ada daya tariknya.
Gambar cahaya (sinar memancar) yang terdapat pada hampir setiap halaman diangkat secara simbolis dari Q.S. An-
Nur: 35 tentang cahaya Allah SWT, yang memberi sinaran (ajaran, petunjuk, dan perintah) kepada manusia sebagai
khalifah di bumi.
Begitu pula tentang pemakaian warna emas, merupakan simbol transendental (ilahiah) terhadap keagungan Allah
SWT, karena warna emas adalah satu-satunya warna paling sejati yang tidak dimiliki oleh benda lain kecuali emas
itu sendiri.
Mushaf Sundawi
Iluminasinya berasal dari ragam hias daerah Jawa Barat yang secara sosio-kultural termasuk dalam lingkup budaya
Pasundan. Jika iluminasi Mushaf Istiqlal berasal dari khazanah ragam hias yang menggambarkan corak kebudayaan
seluruh Nusantara, maka iluminasi Mushaf Sundawi diambil dari jenis tanaman khas Jawa Barat menjadi bentuk-
bentuk ornament yang khas dan berkarakter Sundawi.
Singkatnya, iluminasi Mushaf Sundawi mencerminkan ragam flora dan budaya Jawa Barat (motif Banten, Bogor,
Sukabumi, Cirebon, Ciamis dan lain-lain). Jadi pada prinsipnya ada dua jenis sumber inspirasi atau acuan desain
pada Mushaf Sundawi, yaitu:
Pertama yang referensinya berasal dari motif Islami Jawa Barat seperti mamolo masjid, motif batik, ukiran mimbar,
mihrab dan peninggalan arkeologis lainnya. Kedua adalah desain yang bersumber pada sejumlah flora tertentu khas
Jawa Barat seperti gandaria dan patrakomala.
Pemrakarsa pembuatan mushaf ini adalah H.R. Nuriana (Gubernur Jawa Barat saat itu). Dimulai pada tanggal 14
Agustus 1995 bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW 17 Rabiulawal 1416 H. H.R. Nuriana membubuhkan
“Basmallah” pada lembar awal sebagai simbol dimulainya penulisan mushaf. Penulisan selesai pada Januari 1997 (±
1 tahun 6 bulan) dengan menghabiskan 24.000 ml tinta warna, 5000 ml tinta hitam, 1500 gram prada, 1000 gram
emas murni serbuk, 750 batang kuas, 350 pensil dan 25 dus (12,5 kg) penghapus.
Tim kerja terdiri dari para ulama, ahli kaligrafi, pakar dalam estetika seni rupa Islam, desainer spesialis iluminasi,
peneliti, illuminator, ahli komputer dan fotografer serta selalu dipantau dan dikoreksi oleh pakar dari Lembaga Tashih
Al-Qur’an.
Ditinjau dari sudut pandang sejarah Islam di Jawa Barat, Mushaf Sundawi merupakan karya nyata bukti kepedulian
terhadap Al-Qur’an, yang telah berakar sejak Islam berpijak di tanah Pasundan. Ditinjau dari segi sosio-kultural,
Mushaf Sundawi merupakan karya seni Islami yang merupakan perpaduan antara teks Al-Qur’an dengan
kebudayaan Jawa Bara, sebagai perpaduan yang serasi antara dzikir dan fikir masyarakat Jawa Barat.
Mushaf Wonosobo
Mushaf Wonosobo merupakan salah satu mushaf terbesar di Nusantara, ditulis oleh dua orang santri Pondok
Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah, bernama Abdul Malik dan Hayatuddin. Pondok
Pesantren tersebut memiliki kekhususan dalam pengajaran tahfiz (hafalan) Al-Qur’an. Mushaf ini ditulis selama 14
bulan, dari tanggal 16 Oktober 1991 hingga 7 Desember 1992. Ukuran halaman 145 x 195 cm, dan ukuran teks 80 x
130 cm, ditulis dengan khat naskhi, dihiasi dengan iluminasi yang sederhana, ditulis di atas kertas karton manila
putih, sumbangan Bapak H. Harmoko, mantan Menteri Penerangan RI.
Mushaf Pusaka
Mushaf Pusaka ditulis atas prakarsa Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, dan merupakan mushaf resmi yang ditulis
pertama kali setelah kemerdekaan RI. Mushaf ini dianggap sebagai hadiah dari umat Islam Indonesia atas
kemerdekaan RI. Mushaf Pusaka ditulis oleh Prof. H. Salim Fachry, guru besar IAIN Jakarta, dimulai pada 17
Ramadhan 1367 H (23 Juni 1948), dan selesai pada 15 Maret 1950. Penulisan mushaf ini diresmikan dengan
penulisan huruh ba’ sebagai huruf pertama Basmallah oleh Bung Karno, dan diakhiri dengan huruf mim sebagai
huruf penghabisan oleh Bung Hatta. Penulisan mushaf ini di bawah kuratorial khatat (kaligrafer) K.H. Abdurrazaq
Muhilli
Jenis Al-Qur’an ini adalah “Al-Qur’an Sudut”, yaitu setiap halaman berkahir dengan ayat penuh, tidak bersambung ke
halaman berikutnya. Al-Qur’an ini berukuran halaman 75 x 100 cm, ukuran teks 50 x 80 cm, ditulis di atas kertas
karton manila putih, dengan khat Naskhi. Mushaf ini merupakan hibah dari Istana Negara pada tahun 1997, saat
pembukaan Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal, TMII.
Manuskrip Keagamaan
Naskah-naskah kuno yang berisi kajian Islam merupakan bukti perjalanan dan perkembangan intelektual Islam di
Indonesia. Naskah-naskah tersebut meliputi berbagai bidang ilmu agama seperti tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih,
sastra, bahasa, hingga sejarah. Naskah-naskah tersebut berasal dari Aceh, Banten, Jawa, Madura, Nusa Tenggara
Barat, dan lain-lain.
Arsitektur
Arsitektur Islami di Indonesia terlihat pada bangunan masjid, dari yang bersahaja hingga yang megah, semuanya
mempunyai keunikan tersendiri. Selain itu juga dapat dilihat pada bangunan lembaga pendidikan seperti pesantren
dan madrasah, juga rumah adat. Hal ini merupakan bukti dari akulturasi antara budaya lokal dengan nilai-nilai Islam.
Perpaduan antara keduanya menghasilkan karya arsitektur yang unik dan khas, dari Aceh, Jawa, Riau, Kalimantan,
Sulawesi, Lombok, hingga Maluku. Karya arsitektur itu disajikan dalam media foto, maket, miniatur maupun denah.
Benda Arkeologis
Benda-benda arkeologis Islam di Indonesia merupakan bukti yang penting bagi sejarah masuk dan berkembangnya
Islam di Indonesia. Benda-benda tersebut merupakan hasil temuan dari situs-situs penting awal mula Islam di
Indonesia. Di sini disajikan replika batu nisan dari Aceh, Mojokerto, dan Gresik. Batu nisan bernilai seni tinggi itu
tidak hanya berfungsi sebagai penanda makam, tetapi juga merupakan prasasti yang menceritakan sejarah, riwayat
kerajaan, serta masyarakat sekitar pada masa lalu.
Benda Tradisi
Benda-benda tradisi yang memiliki nilai-nilai keislaman biasanya dipakai untuk keperluan khusus yang berhubungan
dengan upacara-upacara adat, seperti perkawinan, kelahiran anak, khitanan, panen raya, dan upacara tradisional
lainnya. Terdiri atas berbagai macam media, dari ukiran kayu, keramik, tenun, tekstil, hingga senjata tradisional.
Pada umumnya dihiasi kaligrafi Arab bertuliskan kalimat syahadat, ayat kursi, basmallah, dan lain-lain.
Sumber:
Drs. H. Yasin Rahmat Ansori, (dkk), 2010, Buku Panduan Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal, Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama Republik Indonesia.