Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Psikologi Perkembangan

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Perkembangan II

Dibuat oleh:

Audy Pradhana
11180700000133
3D

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
Sejarah Psikologi Perkembangan

Pada mulanya, jauh sebelum dilakukannya studi ilmiah terhadap perkembangan anak,
perhatian, dan penyelidikan yang mendalam tentang anak-anak sedikit sekali dilakukan.
Bahkan buku-buku khusus tentang perkembangan jiwa anak-anak belum ada. Sehingga seluk
beluk kehidupan anak sangat bergantung pada keyakinan tradisional yang bersumber dari
spekulasi para filosof, teolog anak dan latar belakang perkembangannya serta pengaruh
faktor keturunan dan lingkungan terhadap hidup kejiwaan anak.
Salah seorang filosof tersebut adalah Plato (427-346 SM). Dimana ia telah banyak
mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kehidupan anak. Menurutnya, perbedaan-
perbedaan individual mempunyai dasar genetis yang berupa potensi individu yang ditentukan
oleh faktor keturunan. Yang berarti bahwa sejak lahir anak telah memiliki bakat atau
kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengasuhan dan pendidikan. Dan juga
menurut pandangannya, terlihat jelas bahwa anak merupakan miniatur orang dewasa. Yang
berarti bahwa semua keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang tampil di kemudian
hari setelah dewasa merupakan bawaan sejak lahir. Karena, pendidikan hanyalah upaya untuk
menarik potensi itu keluar, namun tidak menambahkan sesuatu yang baru. Jadi, anggapan
bahwa anak merupakan miniatur orang dewasa, mengandung arti bahwa anak berbeda
secara kuantitatif dengan orang dewasa dan bukan secara kualitatif.
Namun pada akhir abad ke-17, seorang filosof inggris terkenal, John Locke (1632-
1704) mengemukakan hal yang berbeda atau mungkin bisa dibilang berbanding terbalik
dengan apa yang dikemukakan oleh Plato. Ia mengemukakan bahwa pengalaman dan
pendidikan merupakan hal yang paling menentukan dalam perkembangan anak. Yang jika
diibaratkan, anak itu seperti secarik kertas kosong, yang dimana bentuk dan corak kertas
tersebut nantinya sangat ditentukan oleh pengalaman, lingkungan, ataupun pendidikan. Yang
dikenal dengan istilah “tabula rasa” (blank state). Oleh karena itu, peran orang tua,
lingkungan, pendidikan, dan pengalaman sangat penting terhadap perkembangan anak
tersebut. Karena pada dasarnya anak tersebut masih bersih dan peka terhadap rangsangan.
Selain itu, John Locke sendiri tidak mengakui adanya bawaan sejak lahir, namun ia setuju
dengan anggapan bahwa anak-anak hanya berbeda dengan orang dewasa secara kuantitatif.
Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, pandangan-pandangan John Locke tersebut
ditentang oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filosof Perancis abad ke-18, yang
berpandangan bahwa anak berbeda secara kualitatif dengan orang dewasa. Ia menolak
pandangan bahwa bayi adalah makhluk pasif, yang perkembangannya ditentukan oleh
pengalaman. Ia juga menolak anggapan bahwa anak merupakan orang dewasa yang tidak
lengkap dan memperoleh pengetahuan melalui cara berpikir orang dewasa. Sebaliknya, ia
beranggapan bahwa sejak lahir anak adalah makhluk aktif, dan suka bereksplorasi.
Dalam bukunya Emile ou I’education yang diterbitkan tahun 1762. Rousseau menolak
pandangan bahwa anak memiliki bawaaan yang buruk. Sebaliknya Rousseau menegaskan
bahwa, segala-galanya adalah baik sebagaimana keluar dari tangan Sang Pencipta, segala-
galanya memburuk dalam tangan manusia. Ungkapan tersebut mengandung pengertian
bahwa anak ketika dilahirkan sudah membawa segi-segi moral, yakni hal yang baik dan buruk,
benar dan salah, yang dapat berkembang secara alami dengan baik. Jika kemudian terdapat
penyimpangan-penyimpangan dan keburukan-keburukan, hal itu karena pengaruh
lingkungan dan pendidikan.
Pandangan Rousseau ini dikenal dengan istilah “noble savage” dan digolongkan
sebagai pandangan yang beraliran “nativisme”. Dan pandangan John Locke yang lebih
mementingkan faktor pengalaman dan faktor lingkungan dikenal dengan aliran “empirisme”
atau “environmentalisme” dan merupakan titik awal timbulnya “teori belajar” (learning
theory) di kemudian hari. Kedua pandangan yang berlawanan ini, kemudian menjadi objek
pembahasan dari banyak tokoh Psikologi Perkembangan. Oleh sebab itu, John Locke dan
Rousseau disebut sebagai pelopor pertama dalam psikologi anak.
Gambaran tentang masa anak-anak dan ciri-ciri perkembangan psikologis yang
dikemukakan oleh Plato, Locke, dan Rousseau, pada dasarnya bersifat spekulatif. Karena tidak
menunjukkan bukti atas dasar observasi pada anak-anak sebagai penunjang teorinya.
Penelitian yang lebih terarah baru dimulai pada abad ke-18, walaupun ditinjau dari segi ilmiah
dan sistematika dapat dikatakan belum memuaskan.
Dalam periode ini, sumber penting untuk mempelajari anak adalah catatan-catatan
harian mengenai perkembangan dan tingkah laku anak. Seperti yang dilakukan oleh ahli
pendidikan Swiss, Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827) yang pada tahun 1774 menerbitkan
catatan-catatan harian yang dilakukan terhadap anaknya sendiri (berusia 3,5 tahun). Sama
halnya dengan Dietrich Tiederman, seorang tabib berkebangsaan Jerman, juga melakukan hal
yang sama. Pada tahun 1787 Tiederman memperkenalkan hasil penelitian berdasarkan
catatan harian terhadap perkembangan anaknya sendiri (berusia 2,5 tahun) yang meliputi
perkembangan sensoris, motoris, bahasa, dan intelek anak.
Perhatian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan anak
melalui observasi langsung baru dimulai pada abad ke-19 yang dilakukan oleh Charles Darwin
dan Wilhelm Wundt. Keduanya mempunyai pengaruh yang cukup lumayan, dimana Darwin
yang dikenal dengan teori evolusinya terhadap manusia serta hewan, dan Wundt yang dikenal
karena membangun laboratorium psikologi pertama di Liepzig tahun 1879. Menurut Wundt,
eksperimen memiliki arti penting bagi psikologi. Ia memberi dasar ilmiah kepada psikologi
eksperimental, dan dengan teliti ia merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
sebuah eksperimen.
Pandangan Darwin dan Wundt inilah yang mempengaruhi sarjana berkebangsaan
Amerika, yang juga merupakan seorang murid Wundt di Liepzig yaitu G. Stainley Hall. Ia
mengambil pandangan tentang adanya rekapitulasi dalam perkembangan manusia dari teori
Darwin. Menurutnya, perkembangan individu mencerminkan perkembangan spesies, yang
berarti bahwa adanya pengulangan (rekapitulasi) dari perkembangan spesies melalui
beberapa tingkatan evolusi, yang jika diperluas baik perkembangan kebudayaan maupun
biologis pada manusia merupakan pengulangan dari evolusi kultural dari manusia itu sendiri.
Sehingga pentahapan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak ke
arah kematangan adalah pengulangan secara filogenetis dari sejarah perkembangan manusia.
Setelah itu, karena pengalamannya di Liepzig, maka ia juga berusaha mengetahui
struktur pikiran anak-anak (pengaruh Wundt) bersama muridnya Clark. Ia melakukan
sejumlah penelitian tentang permainan anak dan isi pikiran anak di Universitas
Massachusetts. Ia juga mengumpulkan data-data tentang perkembangan anak-anak, remaja,
orang tua, dan guru dengan sampel yang cukup besar. Penelitian ini dilakukan secara
sistematis dan metodologik, sehingga hasil yang diperoleh dianggap sebagai permulaan studi
sistematik dan ilmiah terhadap anak-anak, khususnya di Amerika.
Selanjutnya studi sistematis tentang perkembangan anak mengalami perkembangan
yang cukup signifikan pada awal abad ke-20. Penelitian-penelitian yang dilakukan pada zaman
ini lebih bersifat deskriptif dan lebih dititikberatkan pada ciri khas yang terdapat secara
umum, golongan-golongan umur serta masa-masa perkembangan tertentu. Seperti ciri khas
dan masa perkembangan motoriknya, pada umur tertentu sudah memperlihatkan
kemampuan motorik tertentu. Pada masa perkembangan tertentu, seorang anak pada
umumnya bisa memperlihatkan kemampuan mengucapkan kata-kata, kemampuan
mengartikan sesuatu dan perkembangan kemampuan lain yang sudah dia capai.
Namun, karena kecendrungan untuk mendeskripsikan gejala-gejala perkembangan
tersebut tanpa memberikan penjelasan-penjelasan tentang gejala itu sendiri, sehingga
dibutuhkan seperangkat teori untuk dijadikan dasar bagi observasi. Ditambah lagi,
penjelasan-penjelasan teoritis yang telah ada tersebut kurang mendapat perhatian dalam
psikologi perkembangan selama dekade awal abad ke-20.
Setelah itu, perubahan dalam studi perkembangan terjadi setelah J.B. Watson
memperkenalkan teori behaviorisme. Yang dalam teorinya menggunakan prinsip-prinsip
“Classical Conditioning” untuk menjelaskan perkembangan suatu tingkah laku. Menurutnya,
prinsip-prinsip conditioning dan prinsip-prinsip belajar diterapkan pada semua
perkembangan psikologis. Sehingga dengan adanya teori Watson ini menyebabkan timbulnya
teori-teori perkembangan. Salah satunya adalah Freud yang memberikan penjelasan tentang
psikoanalisisnya, yang menekankan pengalaman masa bayi dan anak-anak mempunyai
pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan kepribadian dan tingkah laku orang
dewasa.
Tetapi, meskipun adanya pengaruh-pengaruh yang muncul seperti Watson, Freud,
dan tokoh-tokoh lain. Penelitian di bidang Psikologi Perkembangan masih tetap bersifat
deskriptif. Dan karena hal inilah yang menyebabkan kurangnya minat terhadap Psikologi
Perkembangan dari tahun 1939-1949. Namun ternyata penurunan tersebut hanya bersifat
temporal, sebab sekitar 1950-an Psikologi Perkembangan memasuki periode baru dalam
tahap perkembangan dan pertumbuhannya, dan hal inilah yang terus berlangsung hingga
sekarang. Hal-hal yang mendorong pengaktifan kembali Psikologi Perkembangan, yaitu
terjadinya perubahan orientasi dalam riset Psikologi Perkembangan hingga bersifat
eksperimental, ditemukannya kembali hasil-hasil karya Jan Piaget. Ia adalah seorang psikolog
dari Swiss yang secara terus menerus aktif melakukan serangkaian penelitian mengenai
perkembangan kognisi pada anak, dari bayi hingga remaja, hingga akhirnya ia menyusun
suatu teori komprehensif mengenai perkembangan kognisi. Dan karena adanya minat baru
terhadap asal mula tingkah laku, yang ditandai dengan meningkatnya riset terhadap bayi.
Sehingga sampai permulaan tahun 1950-an studi mengenai tingkah laku serta kondisi-
kondisi psikis dan fungsionalitas kepribadian individu lebih terfokus pada anak, sehingga lebih
dikenal dengan Psikologi Anak. Namun, seiring berjalannya waktu, pada tahun 1960-an
“Psikologi Anak” yang hanya mencakup seluk beluk anak mulai digantikan oleh “Psikologi
Perkembangan” yang mempunyai bidang cakupan yang lebih luas.
Kemudian Wohlwill, (dalam Gunarsa, 1990) memberikan gambaran yang menarik
tentang beberapa perubahan besar yang terjadi dalam studi Psikologi Perkembangan dari
tahun 1970-an. Yaitu, membanjirnya penyelidikan oleh para ahli eksperimental, pengaruh B.F.
Skinner (1904-1990), meluasnya pengertian tentang kognitif dan perkembangan bahasa,
berbalik ke penelitian-penelitian pada bayi, dan pengaruh teori sosial-belajar.

Referensi

Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai