Anda di halaman 1dari 4

A. H. M.

Rasyidi
1. Biografi H. M. Rasyidi
Sekilas tentang H. M. Rasyidi, beliau lahir di Kotagede, Yogyakarta
pada tanggal 20 Mei 1915 dan wafat pada tanggal 30 Januari 2001.
Beliau adalah menteri agama Indonesia pada Kabinet Syahrir I dan
Kabinet Syahrir II. Beliau merupakan Guru di Islamitische Middlebaare
School (Pesantren Luhur), Surakarta dan Guru Besar di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, serta Direktur Kantor Rabitah Alam Islami,
Jakarta. H. M. Rasyidi merupakan lulusan lembaga pendidikan tinggi
Islam di Mesir kemudian melanjutkan pendidikannya di Paris, ia
mendapat pengalaman mengajar di Kanada.
Beliau adalah intelektual Indonesia yang paling banyak memperoleh
tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan ramuan intelektual dari
gudang orientalisme. Dia yang paling berpengaruh dalam usaha
mengirim lulusan sarjana IAIN atau yang lainnya ke Montreal sehingga
banyak yang berterimakasih kepada beliau. Dan apa yang telah
dirintisnya kemudian diteruskan dalam skala yang lebih besar oleh
Munawir Sjadzah.1
2. Pemikiran Kalam H. M. Rasyidi
Secara garis besar pemikiran kalam Rasyidi adalah sebagai berikut:
a. Tentang perdebatan ilmu kalam dan teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakn
pengertian ilmu kalam dengan teologi, menurut Rasyidi ada kesan
bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu
kalam kristen. Orang barat memakai istilah teologi untuk
menunjukkan tauhid atau ilmu kalam karena mereka tidak memiliki
istilah lain, teologi terdiri dari dua kata yaitu, teo (theos) artinya
Tuhan, dan logos artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu tentang
ketuhanan. Adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah

1
Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islami, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 61.
ketuhanan Nabi Isa, sebagai salah satu dari tri tunggal atau trinitas.
Namun, kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama
Kristen yang diluar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi
dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b. Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Salah satu tema-tema ilmu kalam yang di kritik oleh Rasyidi
adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi
dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk
itu, Rasyidi berpendapat menonjolkan perbedaan pendapat antara
Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan oleh Harun
Nasution akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak
ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan
menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk,
sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran
manusia bersifat absolut-universal, berarti meremehkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Bagi mu’tazilah akal akal hanya bisa mengetahui tiga
persoalan yaitu mengenai Tuhan, mengetahui baik buruk dan
kewajiban mengetahui baik buruk tersebut.
Menurut H. M. Rasyidi dalam filsafat agama, hingga sekarang
yang berlaku dalam Islam ialah bahwa Tuhan telah memberi akal
kepada manusia sehingga dengan akal itu manusia dapat memikirkan
hal-hal yang ada di sekitarnya dengan alam kehidupannya dan
akhirnya ia dapat mengetahui dengan akalnya tentang adanya Tuhan
dan sifat-sifat Tuhan, kemudian Tuhan menambah suatu hal baru
yaitu menurunkan wahyu kepada beberapa beberapa orang yang
diangkat-Nya sebagai utusan-Nya yaitu para Nabi.
Rasyidi kemudian menegaskan, pada saat ini di Barat sudah
dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk.
Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi
terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat barat.2 Rasyidi mengakui
bahwa persoalan yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad
yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada
pula yang sudah tidak relevan pada waktu sekarang. Rasyidi
menguraikan, yang masih dirasakan oleh umat Islam pada umumnya
adalah kebenaran Syiah.
c. Hakikat Iman
Konsep iman merupakan konsep dasar dalam kajian teologi
Islam dan iman kepada Allah wajib dan dasar utama dalam aqidah
Islam. Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi
iman yang diberikan oleh Nurcholis Majid, yakni “percaya dan
menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dan sikap apresiasif kepada
Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini
disebut takwa. Takwa diperkuat dengan komunikasi yang terus-
menerus dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan
kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan
keadaan bersatunya manusia dengan Tuhan”.3
Menanggapi pernyataan tersebut, Rasyidi mengatakan bahwa
iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan,
tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan
manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Perlu
dijelaskan bahwa bersatunya seseorang dengan Tuhan bukan
merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang
dari sejita orang. Jadi, yang lebih penting dari aspek penyatuan itu
adalah kepercayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.
Beliau menolak paham Cak Nur yang menganggap akal itu
mutlak dalam bidang-bidang kehidupan dunia. Hal ini beliau
bandingkan dengan kemutlakan fikiran pada filsafat Yunani yang

2
3
H. M. Rasyidi, Koreksi terhadap DR. Nurcholis Majid tentang Sekularisasi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), hlm. 61.
dimulai dari Socrates. Bahwa yang perlu adalah iman bukan fikiran
sebagai semboyan pada zaman pertengahan. “Credo Ut Intelligam”
yang artinya aku percaya agar aku dapat mengerti, bukan aku
mengerti, maka aku percaya.4
d. Perbuatan Manusia
Menurut H. M. Rasyidi, manusia mempunyai hak dan
kebebasan dalam kehidupan. Dalam zaman yang tidak menentu
seperti sekarang ini, banyak orang kebingungan karena pelaksanaan
hukuman tidak sesuai dengan yang semestinya. Seperti ada orang
yang sudah jelas bersalah menurut hukum, tetapi berdasarkan
pertimbangan tertentu mereka dibebaskan dari tuntutan.
Berdasarkan informasi dan pedoman dari Al-Qur’an bahwa manusia
itu bebas untuk memilih kepercayaan sesuai keyakinannya karena
tidak ada paksaan untu memeluk suatu agama.5

4
H. M. Rasyidi. Sekularisme Dalam Persoalan Lagi, Suatu koreksi atas tulisan Drs.
Nurcholis Majid tentang Sekulerisasi, (Jakarta: Yayasan Bangkit, 1972), hlm. 3.
5
H. M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Islam Studi Club Indonesia,
1967), hlm. 105-106.

Anda mungkin juga menyukai