Anda di halaman 1dari 11

Produksi Biogas dari Peternakan Sapi Perah di Indonesia : Tantangan untuk

Keberlanjutan
Jatmiko Wahyudi, Tb. Benito Achmad Kurnani, Joy Clancy

Abstrak: Biogas memainkan peran penting dalam mendukung dan memastikan sektor peternakan sapi perah
tetap berkelanjutan. Teknologi biogas tidak hanya sebagai metode untuk membuang limbah peternakan sapi
perah tetapi juga menguntungkan secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Teknologi biogas telah
diperkenalkan sejak tahun 1970-an dan banyak program biogas yang telah diimplementasikan di Indonesia.
Namun, dibandingkan dengan negara lain seperti China dan India, penyebaran teknologi biogas di
Indonesia berjalan cukup lambat. Ada beberapa faktor seperti keuangan, kebijakan dan persepsi orang yang
menghambat penggunaan biogas berkenaan dengan peningkatan pabrik biogas dipasang di Indonesia.
Selain itu, banyak instalasi biogas yang tidak berfungsi karena pemeliharaan yang tidak memadai yang
menyebabkan pengguna berhenti untuk mengoperasikan pabrik biogas dan mempengaruhi pengguna
potensial untuk menolak mengadopsi teknologi. Jurnal ini memberikan ikhtisar tentang kesinambungan
produksi biogas yang terdiri dari lima dimensi keberlanjutan: teknis, ekonomi, sosial, lingkungan dan
keberlanjutan organisasi / kelembagaan. Memahami keberlanjutan biogas membantu para pemangku
kepentingan untuk menyadari bahwa dalam rangka mempromosikan teknologi biogas banyak sektor harus
dikembangkan dan banyak institusi harus terlibat dan bekerja sama. Keberlanjutan biogas akan menentukan
keberhasilan penyebaran biogas khususnya dalam peternakan sapi perah di masa depan.

Kata kunci: biogas, peternakan sapi perah, keberlanjutan


http://dx.doi.org/10.14710/ijred.4.3.219-226

1. Pendahuluan

Sektor peternakan sapi perah di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang baik,


ditunjukkan oleh peningkatan populasi sapi perah dengan pertumbuhan rata - rata 10,74%
selama periode 2008-2012 (BPS, 2014). Mayoritas peternakan sapir perah berukuran skala
kecil yang memiliki rata-rata tiga hingga lima ekor sapi per kandang dan dimiliki oleh
perorangan petani (IFC, 2011). Indonesia, sebuah negara dengan 248,8 juta penduduk dan
pertumbuhan penduduk 1,37% pada tahun 2013, masih impor 70% dari permintaan susu
massal (BPS 2014; Bahri 2008). Oleh karena itu, Indonesia adalah pasar yang besar dan
menarik untuk bisnis susu dan ada banyak peluang di masa depan untuk mengembangkan
sektor peternakan sapi perah di negara ini. Karena itu pemerintah Indonesia sangat kuat
mendukung pengembangan industri susu dan memiliki target untuk mencapai swasembada
produksi susu di tahun 2020 (Herawati & Priyanto 2013).
Namun keinginan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan peternakan sapi
perah menghadapi banyak hambatan. Salah satu masalah dalam peternakan sapi perah
terkait untuk pengelolaan limbah. Limbah dari ekskresi sapi perah menjadi masalah besar
karena kuantitas dan kualitas feses dan urine yang diproduksi (The Japan Institute Energi
2008). Sebuah studi tentang pengelolaan sampah di peternakan sapi perah skala kecil di
Jawa Barat, Indonesia menunjukkan bahwa petani membuang sebagian besar feses dan urin
dari peternakan sapi perah ke sungai (Tabel 1). Pencernaan anaerobic memiliki potensi
manajemen limbah dalam peternakan sapi perah dengan produk sampingan yang
bermanfaat dan menyediakan energi berkelanjutan yang ramah lingkungan. Biogas
diproduksi melalui pencernaan anaerobic yang merupakan proses untuk pengobatan bahan
organik seperti pupuk kandang di tidak adanya oksigen (Wilkinson 2011). China dan India
adalah negara-negara terkemuka dalam produksi biogas domestik di dunia. Pada tahun
2010, Cina dan India menanam sekitar 40 juta dan 4,5 juta tanaman biogas domestik (SNV
2011).

Tabel 1. Penanganan limbah sapi perah di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat,
Indonesia

Jenis Limbah (%)


Penanganan Feses Urin Limbah pakan Konsentrat
Dibuang ke sungai 30 95 18.8 7.5
Dijadikan kompos skala besar 42.5 2.5 40 8.8
Dijadikan kompos skala kecil 7.5 1.3 8.8 1.3
Dijadikan pupuk organik 10 1.3 3.8 0
Dijual 8.8 0 0 0
Dibakar 1.3 0 0 0
Tidak tersisa 0 0 21.3 82.5
Total 100 100 100 100

Penyebaran biogas diyakini memiliki kontribusi untuk pembangunan berkelanjutan


khususnya pada tujuan pembangunan millennium (MDGs) tetapi sejauh mana biogas
memiliki korelasi dengan berkelanjutan pengembangan tidak cukup jelas (Gosens et al.
2013). Tujuan dari jurnal ini adalah untuk memberikan gambaran tentang keberlangsungan
produksi biogas khususnya pada produk susu sapi perah di Indonesia dengan
mengidentifikasi dan menjelaskan indikator keberlanjutan. Keberlangsungan operasi
biogas dan program tanaman dari negara lain perlu disediakan untuk membandingkan
dengan yang ada di Indonesia. Jurnal ini disusun sebagai berikut: Bagian satu, memberikan
pentingnya studi sebagai pengantar. Bagian dua, menyajikan ikhtisar teknologi biogas
termasuk sifat biogas, faktor yang mempengaruhi kinerja pencernaan anaerobik, dan bio
digester. Bagian tiga, mengulas lima dimensi keberlanjutan termasuk indikator; dan bagian
4 berisi kesimpulan dari jurnal ini.

2. Kajian tentang Teknologi Biogas


Di bagian ini, kami hanya mengulas tentang teknologi yang memiliki korelasi erat dengan
keberlanjutan. Untuk misalnya, jenis tanaman biogas yang biasa digunakan oleh peternak
sapi perah perlu ditinjau karena sudah dekat korelasi dengan keberlanjutan ekonomi.
Karena itu, tidak ada diskusi mendalam tentang proses bio-kimia
dan konversi sampah organik menjadi biogas.

2.1 Sifat Biogas


Biogas terutama terdiri dari metana, gas yang mudah terbakar, dan karbon
dioksida (Tabel 2). Berdasarkan pada kandungan bahan tahan api seperti karbon
dioksida, nilai kalori dari biogas (dihasilkan dari kotoran) lebih rendah dari metana
murni yang sekitar 4800-6700 kCal /m3 dan 8900 kCal /m3 (Widodo &
Hendriadi 2005). Kandungan energi biogas lebih tinggi dari energy isi biomassa
tradisional seperti kayu bakar, arang dan kotoran sapi (Lam & Heegde,2011).
Kandungan energi biogas lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil
tetapi biogas lebih bersih dan lebih berkelanjutan. Berdasarkan karakteristiknya,
biogas adalah bahan bakar pengganti fosil yang sangat baik dan bahan bakar
biomassa untuk pembangkit listrik, memasak dan memanaskan (Massé et al. 2011).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pencernaan Aerobik


Perbedaan komposisi dan hasil biogas beberapa derajat tergantung pada
banyak faktor. Beberapa factor berhubungan dengan manajemen dalam
pencernaan aerobik seperti jenis substrat, pH dan persiapan substrat sementara
faktor lainnya yang berhubungan dengan kualitas konstruksi dan desain reaktor
(digester) seperti waktu retensi hidrolik (HRT) dan sesak gas. Namun, faktor
terkait konstruksi dan desain reaktor tidak menjadi perhatian utama karena
konstruksi dan desain digester untuk mencerna substrat dari peternakan sapi
perah dan sumber-sumber lain relatif sama.
Dalam sistem produksi peternakan sapi perah, teknologi biogas dapat
digunakan baik untuk mencerna pupuk kandang atau pupuk kandang dengan
bahan organik lain yang tersedia di peternakan sapi perah (El-Mashad & Zhang
2010). Studi literatur menunjukkan bahwa kotoran sapi perah dan rumput
pengganti (Zheng et al. 2015), cangkang biji coklat (Rico et al. 2014), limbah
kapas gin dan fraksi organic sampah kota (Macias-Corral et al. 2008) dan
limbah makanan (El-Mashad & Zhang 2010) meningkatkan hasil biogas.
Kehadiran inhibitor seperti oksigen dan material beracun memberikan
dampak negatif yang signifikan pada produksi biogas (Clemens et al. 2006;
Frac & Ziemiñski 2012). Oksigen memulai dekomposisi alternative yang tidak
menghasilkan gas yang mudah terbakar. Penggunaan deterjen untuk
membersihkan kandang dan obat-obatan untuk sapi harus dikelola dengan
benar. Bahan beracun, misalnya deterjen, akan menghambat metabolisme dan
pertumbuhan mikroorganisme yang dihasilkan dari berkurangnya produksi
biogas.
2.3 Jenis-jenis biogas
Umumnya, ada tiga jenis material yang digunakan untuk membuat digester
biogas di Indonesia: balon, serat kaca, dan beton (kubah tetap). Manfaat dan
kerugian masing-masing jenis digester ditunjukkan pada Tabel 2.
Beton (kubah tetap) Serat Kaca Balon
Biaya awal rendah dan umur Quality control dapat
panjang yang berguna,tidak dilakukan secara Biaya rendah, kemudahan
ada bagian yang bergerak permanen langsung di transportasi, konstruksi
atau berkarat, desain dasar lokasi, ruang udara ketat, tidak rumit, suhu digester
Keuntungan
yang ringkas, hemat ruang efek isolasi yang baik; tidak terlalu tingi,
dan terisolasi dengan baik; ringan dan mudah pembersihan mudah,
ringan dan mudah diangkut; diangkut; periode periode konstruksi pendek.
periode konstruksi pendek. konstruksi pendek.

Seringnya masalah dengan


gangguan pencernaan; Rentang hidup yang relatif
fluktuasi tekanan gas sangat Tingginya biaya bahan singkat, rentan terhadap
Kerugian
bergantung pada volume gas baku dan fluktuasi harga kerusakan, lapangan kerja
yang disimpan; periode yang tercipta sedikit
konstruksi yang panjang.

3. Pemilihan Indikator Keberlanjutan


Bagian ini mengulas tentang dimensi keberlanjutan produksi biogas khususnya
dalam peternakan sapi perah. Keberlanjutan jangka dalam jurnal ini mengacu pada definisi
pembangunan berkelanjutan dalam Laporan Brundtland. Keberlanjutan didefinisikan
sebagai “perkembangan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri” (Ilskog,
2008). Organisasi internasional seperti United Nation (United Nations 2007) menyarankan
indikator daftar keberlanjutan. Namun dalam beberapa kasus, indikatornya adalah sangat
umum dan tidak relevan untuk kasus lokal. Karena itu dalam tulisan ini kami mencoba
mengidentifikasi indikator itu berasal dari lima dimensi keberlanjutan yang diusulkan oleh
Ilskog (Ilskog 2008). Dimensi keberlanjutan terdiri dari teknis, ekonomi, sosial / etika,
kelestarian lingkungan dan kelembagaan.

3.1 Keberlanjutan Teknis


Keberlanjutan teknis mengacu pada keberlanjutan materi dan layanan
dukungan yang memastikan operasi tanaman biogas berjalan dengan baik dan tidak
menghadapi masalah yang berarti.

3.1.1 Ketersediaan bahan baku


Secara umum, pupuk kandang dan air diperlukan sebagai bahan
baku untuk mengoperasikan pabrik biogas terutama dalam produk susu
pertanian. Oleh karena itu, jumlah kotoran yang tersedia dan air harus cukup
untuk memberi makan dan mencocokkan ukuran digester. Kotoran,
campuran feses dan urin, dari sapi perah memiliki potensi sebagai bahan
baku biogas berdasarkan kuantitas dan zat penyusunnya seperti padatan
yang mudah menguap. (Moody et al.2011).
Jumlah sapi perah di daerah tertentu bisa digunakan untuk
memprediksi potensi kotoran yang dihasilkan dan teknologi biogas yang
akan dikembangkan. Sekitar 98% dari populasi sapi perah di Indonesia
terkonsentrasi di Pulau Jawa, pulau terpadat di Indonesia, menyebar masuk
Provinsi Jawa Timur 50,45%, Jawa Tengah 25,23% dan Jawa Barat 22,23%
(BPS 2014). Anehnya, sekitar 57% populasi sapi perah hanya berada di lima
kabupaten sebagai berikut: Malang dan Pasuruan di Jawa Timur, Boyolali
dan Semarang di Jawa Tengah dan Bandung / Bandung Barat di Jawa Barat
(IFC 2011).
Bahan baku penting kedua untuk menjalankan instalasi biogas
adalah air. Ketersediaan air memainkan dua peran penting untuk
memastikan pencernaan anaerobik berjalan dengan baik. Pertama, tahap
pencernaan anaerobic yaitu hidrolisis membutuhkan air untuk mengurai zat
organik yang rumit seperti polisakarida, protein dan lipid menjadi lebih
kecil unit seperti monosakarida, asam amino dan asam lemak. Kedua, air
harus ditambahkan ke pupuk kandang untuk mencegah kotoran terlalu
kental dengan mempertahankan total padatan (TS) isi pengenceran dari 7
hingga 10 persen.
Secara umum, penurunan rasio penjumlahan air akan mengurangi
produksi biogas (Putri, Saputro, & Budiyono 2012). Bahkan, kekurangan
air dapat menyebabkan tanaman penghasil biogas berhenti tumbuh
(Mwakaje 2008). Namun, satu keuntungan mengembangkan biogas dalam
peternakan sapi perah adalah konsumsi air yang tinggi untuk minum dan
membersihkan sapi dan kandang. Petani dapat menggunakan air sisa
pembersihan sebagai bahan baku biogas. Pembersihan sangat penting dalam
kegiatan peternakan sapi perah untuk mencegah kontaminasi susu dan
untuk mengurangi risiko penyakit sapi seperti mastitis.

3.1.2 Dukungan ketersediaan layanan


Salah satu masalah mengenai keberlanjutan biogas di Indonesia
adalah program biogas dari pemerintah tidak mencakup perkembangan
industri pendukung (SNV 2011). Sektor bisnis yang memasok biogas, suku
cadang, peralatan, tukang batu diperlukan untuk mendukung keberlanjutan
biogas. Di negara berkembang, sekitar 50% tanaman biogas tidak berfungsi
karena kurangnya pemeliharaan dan perbaikan fasilitas yang ada (Bond &
Templeton 2011). An (1997) menyatakan bahwa salah satu faktor utama
yang menyebabkan rendahnya penerimaan pengganda beton (kubah tetap)
bahwa kesulitan dalam memperoleh suku cadang untuk penggantian.
Sebagian besar peternak sapi perah tradisional di Indonesia tinggal
di daerah pedesaan dan kesulitan menemukan akses fasilitas perbaikan dan
toko-toko yang menjual suku cadang di mana umumnya berlokasi di kota-
kota. Tanpa fasilitas perbaikan atau toko suku cadang di dekatnya, tentunya
akan memakan waktu dan meningkatkan biaya. Oleh karena itu, masa depan
teknologi biogas bergantung pada pengembangan layanan dan jaringan
yang memadai (Bhattacharyya 2012).

3.2 Keberlanjutan Ekonomi


Keberlanjutan ekonomi dalam makalah ini lebih focus pada sudut pandang
ekonomi makro daripada mikroekonomi sudut pandang (analisis keuangan).
Makroekonomi mempertimbangkan eksternalitas karena proyek eksekusi dan
memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada analisis keuangan (misalnya nilai
bersih, periode pembayaran kembali sederhana, internal tingkat pengembalian)
(Chakrabarty et al. 2013). Namun, deskripsi singkat tentang analisis investasi
keuangan biogas di Indonesia ditunjukkan untuk memahami alasan mengapa
dukungan keuangan diperlukan.

3.2.1 Dukungan Finansial


Karena biaya konstruksi biogas tidak terjangkau peternak sapi perah
tradisional, kurangnya dana menjadi utama alasan bagi pengguna biogas
potensial untuk menolak adopsi biogas (Listyawati, Meidiana, &
Anggraeni 2014). Tanpa mempertimbangkan minat investasi, maka
periode pembayaran kembali investasi biogas sederhana di Indonesia
Indonesia adalah 4-6 tahun (Widodoet al. 2009; Rosyidi dkk. 2014) atau
bahkan investasi tidak dapat dipenuhi kelayakan ekonomi (Budiarto et al.
2013). Tanpa dukungan keuangan, sulit untuk peternak sapi perah
tradisional untuk membiayai pabrik mereka sendiri. Tidak mengherankan,
mayoritas biogas instalasi di Indonesia sebagian atau sepenuhnya didanai
oleh pemerintah Indonesia atau organisasi lain semacam bank, perusahaan
susu dan koperasi. Sun et al. (2014) mengungkapkan jumlah biogas
domestic digester di Cina meningkat secara dramatis karena program
subsidi,
Pemerintah Indonesia, baik nasional maupun lokal, umumnya
memberikan dukungan finansial dalam dua cara, hibah (langsung dan tidak
langsung) dan pinjaman. Pemerintah (terutama pemerintah daerah)
memberikan hibah langsung (tanpa organisasi perantara) ke petani untuk
membangun pabrik biogas. Pemerintah juga memberikan hibah tidak
langsung melalui beberapa organisasi seperti Hivos untuk menjalankan
program biogas termasuk konstruksi biogas dan pelatihan.
Sejak tahun 2000, pemerintah Indonesia telah meluncurkan
pinjaman bunga rendah yang disebut pinjaman untuk ketahan pangan dan
keamanan energi melalui beberapa bank nasional dan petani dapat
menggunakan pinjaman untuk membangun biogas. Namun, itu tidak
mudah bagi petani untuk mengakses pinjaman karena kurangnya promosi,
prosedur rumit, dan terbatasnya kepemilikan kolateral (Sayaka & Rivai
2011).

3.2.2 Kontribusi untuk menghasilkan pendapatan


Studi di Tanzania menunjukkan bahwa pendapatan pertanian
tahunan rata-rata bagi rumah tangga yang mengadopsi biogas secara
signifikan lebih tinggi dari pendapatan untuk non-pengguna (Laramee &
Davis 2013). Pengadopsi biogas dapat menjual biogas mereka, produk
sampingan dari pabrik biogas sebagai pupuk organik untuk meningkatkan
pendapatan mereka (Nurmalina & Riesti 2010; Sharma & Nema 2013). Di
Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pemilik 18m3 instalasi biogas menyediakan
biogas untuk 5 pelanggan dan mendapatkan sekitar Rp 15.000 (US $ 1,2)
per bulan per pelanggan (rumah tangga) atau Rp 75.000 (US $ 6) per bulan
secara total (Wahyudi 2013).

3.2.3 Mengurangi biaya rumah tangga


Petani yang mengadopsi biogas juga dapat menghemat uang mereka
dengan menggunakan bubur untuk pupuk di ladang mereka sendiri dan
menggunakan biogas untuk memasak, penerangan dan listrik (Purwono,
Suyanta, & Rahbini 2013; Widyastuti, Purwanto, & Hadiyanto 2013).
Biogas adalah pilihan yang bagus untuk menggantikan LPG sebagai
sumber utama memasak di area di mana orang menginstal biogas yang
ditunjukkan oleh tingkat konsumsi LPG yang jauh lebih rendah (Bedi et
Al. 2012). Survei lain dilakukan di 157 rumah tangga yang menggunakan
biogas di 9 propinsi di Indonesia, menunjukkan hasil bahwa setelah
menggunakan biogas, pengguna biogas dapat menghemat per bulan hingga
Rp. 158.981 (US $ 12), Rp. 40.152 (US $3) dan IDR 43.615 (US $ 3.3)
masing-masing dari minyak tanah, LPG dan pembelian kayu bakar, (Hivos
2014).

3.2.4 Kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja


Adopsi biogas juga memiliki potensi untuk menciptakan lapangant
kerja di kabupaten dan di seluruh negeri (Mwakaje 2008). Chakrabarty
dkk. (2013) mengungkapkan bahwa tanaman biogas dapat membuka dua
jenis peluang kerja dan pekerjaan berbasis rumah tangga. Pengembangan
dari sektor biogas di Indonesia mendorong terciptanya pekerjaan dan
sektor bisnis biogas baru (kontraktor, tukang batu, lembaga pelatihan,
pemasok input). Di Indonesia, diperkirakan akan ada 1.000 pekerjaan yang
muncul karena aktivitas bisnis biogas (Hivos, 2014). Selain itu, dengan
menginstal biogas memungkinkan rumah tangga untuk menciptakan
peluang kerja. Rumah tangga dapat menciptakan pekerjaan produktif
seperti berkebun, memancing, dan bisnis kuliner karena biogas
memberikan kualitas yang baik energi dan menawarkan lebih banyak
waktu luang untuk anggota keluarga sehingga mereka dapat menggunakan
waktu untuk menjalankan bisnis.

3.3 Keberlanjutan Sosial


3.3.1 Kontribusi terhadap kesehatan manusia
Ekskresi sapi perah mengandung bahan berbahaya seperti bakteri
patogen dan menyebabkan masalah sanitasi dan kesehatan manusia (Avery
et al. 2014; Prasetyo & Herawati 2011). Limbah dapat mengotori air tanah
dan sungai dan menciptakan masalah pada manusia kesehatan karena
sebagian besar orang di Indonesia menggunakan air untuk minum dan
mencuci. Karena air dan bau polusi, kegiatan peternakan sapi perah sering
meningkat keluhan dari tetangga mereka karena sebagian besar peternakan
sapi perah di Indonesia terletak di padat daerah penduduk.
Memanfaatkan biogas dapat meningkatkan kesehatan manusia dan
sanitasi (Chand et al. 2012; Massé et al. 2011). Pencernaan anaerobik bisa
mengurangi beragam patogen yang terkandung di dalam kotoran ternak
yang dapat menyebabkan penyakit (Avery et al. 2014) dan menawarkan
pengurangan bau yang signifikan zat (Al Seadi et al. 2008). Memasak
dengan menggunakan biogas dapat mengurangi polusi udara yang dapat
menyebabkan mata infeksi dan masalah pernafasan karena kayu bakar atau
biomassa lainnya.
3.3.2 Kontribusi untuk mempromosikan kesetaraan jender
Istilah ‘‘gender” tidak hanya mengacu pada perbedaan aspek
biologi, tetapi lebih menekankan pada peran social dilakukan oleh wanita
dan pria (Clancy & Roehr 2003) Dalam sudut pandang gender, memperluas
akses energy melalui intervensi teknologi memiliki koneksi dengan
meringankan beban wanita, meningkatkan waktu luang, meningkatkan
kesehatan, pendidikan, akses ke informasi dan keterlibatan masyarakat
(Oparaocha & Dutta 2011).
Di rumah tangga peternak sapi perah tradisional, wanita
memiliki tanggung jawab dalam kegiatan memasak termasuk
membersihkan peralatan dan menyediakan bahan bakar untuk memasak
sementara laki-laki memiliki tanggung jawab untuk mengelola pertanian
termasuk mengoperasikan instalasi biogas. Literatur mengungkapkan
instalasi-instalasi biogas di rumah tangga wanita memiliki lebih banyak
kelebihan dibandingkan pria dan memberikan peluang yang lebih baik
untuk kesetaraan jender di Indonesia terutama di daerah pedesaan (Kabir
dkk. 2013; Surendra dkk. 2014)
Di daerah di mana orang menggunakan kayu bakar untuk memasak,
menggunakan energi bersih seperti biogas mengurangi risiko wanita dan
anak yang terpapar polusi asap dalam ruangan dan mencegah mereka dari
kemungkinan mendapatkan pernapasan penyakit (Ding et al. 2014). Biogas
mengurangi intensitas jumlah tenaga kerja wanita untuk membersihkan
peralatan dan mengumpulkan bahan bakar kayu sehingga menawarkan
lebih banyak waktu luang dan wanita bisa gunakan waktu untuk kegiatan
pendidikan dan partisipasi dalam kegiatan publik (Lam & Heegde 2011;
Ding et al. 2014). Salah satu perhatian saat menggunakan LPG di Indonesia
adalah sering terjadi kecelakaan pada penggunaan LPG yang dilaporkan
oleh media massa, menyebabkan banyak orang merasa tidak aman
menggunakan LPG (Budya & Arofat 2011). Dibandingkan dengan LPG,
biogas jauh lebih aman untuk wanita yang bekerja di dapur karena
sifat dan sistem keamanannya.

3.3 Keberlanjutan Lingkungan


Dari segi lingkungan, biogas berkontribusi pada pengurangan emisi GHG
dengan mengganti pembawa energi kotor, mengganti pupuk kimia dan mengubah
pengelolaan limbah (Clemens et al. 2006). Biogas adalah sebuah sumber energi
terbarukan untuk menggantikan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan
biomassa. Pergantian minyak tanah, kayu bakar dan kotoran sapi dengan biogas
sebagai bahan bakar memasak mengurangi emisi gas rumah kaca (Pathak et al.
2009). Bubur mengandung nutrisi seperti nitrogen, fosfor, dan mineral lainnya
sehingga bisa menggantikan dan mengurangi penggunaan pupuk kimia (Marañón
et Al. 2011). Emisi gas rumah kaca karena bahan bakar fosil pembakaran untuk
sintesis kimia nitrogen pupuk adalah sekitar 1% dari total GHG antropogenik emisi
(Scialabba & Muller-Lindenlauf 2010). Secara global, sektor susu berkontribusi
4% dari total emisi GHG antropogenik global (FAO 2010). Metana (CH4) dan
nitrous oxide (N2O) adalah GHG yang paling banyak dipancarkan dari peternakan
sapi perah karena mereka persentase dan potensi pemanasan global (GWP). Lebih
50% dari total emisi GRK dari sektor peternakan disumbangkan oleh CH4 dan
diikuti oleh N2O yang berkontribusi antara 30-40% dari total emisi (FAO 2010).
Metana dan nitrous oxide masing-masing memiliki GWP 25 dan 298 kali lebih
tinggi dari CO2.
Emisi CH4 dari limbah kotoran terutama dihasilkan selama penyimpanan
pupuk kandang. Amon dkk. (2006) mempelajari pengurangan emisi gas rumah kaca
dalam lima perlakukan berbeda (tidak ada pengobatan; pemisahan bubur;
pencernaan aerobik; bubur aerasi dan jerami penutup) dari kotoran sapi perah. Studi
ini mengungkapkan bahwa pencernaan aerobik adalah cara terbaik untuk
mengurangi Emisi GRK dibandingkan dengan opsi lain. Pencernaan aerobik
menyediakan serta mengontrol emisi CH4 selama penyimpanan dan membakar
CH4; itu akan diubah menjadi CO2 yang memiliki GWP yang lebih sedikit
dibandingkan dengan CH4.
Emisi N2O langsung terjadi karena aktivitas mikroorganisme memanfaatkan
nitrogen dalam kotoran melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi, sementara emisi
N2O dari kotoran tidak langsung terjadi dari pencucian, limpasan dan volatilisasi
nitrogen (Cornejo & Wilkie, 2010). AD mengurangi kandungan karbon dan bahan
kering dari pupuk kandang yang mengurangi emisi NH3 setelah aplikasi bubur
sebagai pupuk dan mencegah mikroorganisme membentuk N2O selama
penyimpanan pupuk (Amonet al. 2006; Schnürer & Jarvis 2010).

3.5 Kelembagaan Institusional


3.5.1 Partisipasi pemangku kepentingan
Stakeholder didefinisikan sebagai aktor atau institusi yang melibatkan dan
mendukung pengembangan biogas yang tersebar di Indonesia tingkat nasional,
provinsi dan lokal. Dukungan bisa diberikan dalam bentuk kebijakan, finansial dan
teknis mendukung dan setiap aktor / institusi dapat bermain dalam satu atau
berbagai peran. Perkembangan biogas yang sangat tinggi dipengaruhi oleh
kebijakan nasional, tetapi kemampuan aktor local juga menentukan keberlanjutan
pengembangan biogas (Fallde & Eklund 2014). Institusi pemerintah adalah aktor
utama untuk mengembangkan energi terbarukan termasuk biogas di Indonesia.
Banyak lembaga pemerintahan di tingkat nasional tingkat terlibat dalam sektor
energi terbarukan, sedangkan Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan di
bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), adalah aktor utama
untuk pengembangan energi di Indonesia.
Sejak pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi pada
2004, pemerintah daerah memainkan peran sangat berperan penting dalam
menerapkan kebijakan dalam semua sektor. Menurut undang-undang energi
Indonesia nomor 30, tahun 2007, bersama dengan lembaga vertikal (nasional dan
tingkat provinsi), pemerintah daerah memiliki peran dalam sektor energi termasuk
perencanaan dan kebijakan pelaksanaan. Faktor politik (misalnya kompleks
korupsi, desentralisasi, kurangnya koordinasi) telah menjadi kendala utama energi
terbarukan dukungan di Indonesia karena banyak secara horizontal dan institusi
vertikal melibatkan dan bermain dalam peran yang berbeda di sektor ini (Marquardt
2014).
Baik non-pemerintah nasional maupun internasional organisasi (NGO)
berkontribusi terutama dalam bidang teknis dan aspek pengembangan kapasitas
pengembangan biogas. LSM lokal seperti LPTP dan SLI (Indonesian Land Care)
bersama dengan organisasi internasional menjalankan program biogas di banyak
wilayah di Indonesia. Hivos dengan bantuan dari SNV, organisasi nirlaba Belanda,
telah membangun lebih banyak dari 11.000 unit digester biogas skala kecil di
Sembilan provinsi di Indonesia selama periode 2009-2013 (Hivos, 2014).
Nestle, perusahaan susu, bersama dengan mitranya berkontribusi di sektor
biogas dengan memberikan pinjaman tanpa minat untuk membangun biogas dan
menyebarluaskan teknologi di bidang pengadaan susu di Jawa Timur (SNV 2011;
Bedi dkk. 2012). Alamsyah & Hermawati, (2011) mengungkapkan bahwa beberapa
stakeholder yaitu PLN (Perusahaan listrik nasional Indonesia), akademisi dan
koperasi susu memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengembangkan
biogas di desa Haurngombong, Jawa Barat. PLN menyediakan bantuan teknologi
untuk mengubah biogas menjadi listrik, akademisi berkontribusi dalam hal teknis
bantuan dan pengembangan pengetahuan, dan koperasi susu berkontribusi dalam
bantuan pendanaan.

3.5.2 Peningkatan Kapasitas


Program peningkatan kapasitas bertujuan untuk mengembangkan kapasitas
organisasi dan institusi yang ada dan untuk memfasilitasi pembentukan organisasi
dan institusi untuk keberlangsungan sektor biogas (Hivos, 2014a). Mengalokasikan
pendanaan yang memadai untuk kapasitas Program pembangunan adalah salah satu
kunci keberhasilan pemerintah Cina untuk mempromosikan diseminasi biogas (Sun
et al. 2014).
Sebagian besar program biogas di Indonesia yang dijalankan di bawah
pemerintahan dan non pemerintah program organisasi hanya fokus pada
pengenalan biogas sebagai energi alternatif dengan membangun instalasi biogas
tanpa mempertimbangkan kapasitas bangunan pengguna dan tukang sebelum
menginstal biogas digester. Keberhasilan implementasi umumnya adalah diukur
terutama dari jumlah biogas yang dipasang sementara pemantauan dan evaluasi
efektivitas dan kelangsungan operasi biogas tidak diperhatikan.
Pengembangan kapasitas dan bantuan masyarakat dalam hal mentransfer
pengetahuan memberikan dampak positif dalam operasi biogas berkelanjutan,
khususnya di daerah pedesaan (Rosyidia dkk. 2014; Herdiawan, Kurnami, & Astuti
2014). Fungsi normal tanaman biogas bergantung 30% pada kualitas konstruksi,
tetapi 70% pada manajemen pasca instalasi (SNV 2011). Pelatihan bertujuan untuk
mencegah kesalahan desain dan menghasilkan kinerja konstruksi yang rendah pada
digester biogas. Sementara itu, pelatihan untuk pengguna biogas di mana umumnya
tinggal di daerah pedesaan untuk memastikan pengguna bisa mengoperasikan dan
mengelola pabrik biogas dengan baik.
Meskipun aplikasi teknologi biogas di Indonesia Indonesia menghadapi
beberapa kendala teknis seperti kerusakan fungsi reaktor, desain yang tidak ramah
pengguna dan penanganan manual (Widodo et al. 2009), sebenarnya aspek
kelembagaan adalah penghalang utama penerapan biogas untuk berkembang biak
di Indonesia. Kebanyakan hambatan teknis dapat diatasi dengan penguatan
kapasitas pelaku yang terlibat dalam sektor teknis.

4. Kesimpulan
Indonesia memiliki potensi melimpah untuk mengembangkan biogas teknologi
dalam peternakan sapi perah dan potensi akan diprediksi meningkat sejak perkembangan
produk susu Sektor pertanian di Indonesia juga menunjukkan tren yang bagus. Namun,
perkembangan biogas di Indonesia tidak tidak mempertimbangkan banyak indikator
keberlanjutan (mis. mendukung ketersediaan layanan, peningkatan kapasitas, faktor
politik) menghasilkan perkembangan yang lebih lambat dibandingkan dengan beberapa
negara Asia.
Sekitar 67% penduduk miskin di Indonesia tinggal di pedesaan daerah dan memiliki
pekerjaan di sektor pertanian termasuk sektor peternakan (Swastika 2011). Teknologi
biogas tidak hanya memiliki potensi untuk mengatasi yang dampak limbah negatif ternak
tetapi juga untuk mengurangi kemiskinan dengan mendukung pertanian termasuk sektor
peternakan, menyediakan energi bersih, meningkatkan kesehatan manusia. Keberhasilan
diseminasi biogas di Indonesia akan memberi kontribusi signifikan terhadap
pengembangan daerah pedesaan di mana sebagian besar peternakan sapi perah berada.

Anda mungkin juga menyukai