Anda di halaman 1dari 7

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

PENGEMBANGAN METODA ANALISIS RESIDU


AFLATOKSIN B1 DALAM HATI AYAM SECARA
ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
(Method Development of Aflatoxin B1 Residue in Liver Chicken
by Enzyme Linked Immunosorbent Assay (Elisa))
SRI RACHMAWATI

Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30, Bogor 16114

ABSTRACT

Aflatoxin B1 (AFB1) is a toxic compound as a secondary metabolite of Aspergillus flavus growth on the
media of corn and feed, because of bad storage and handling. Feed that contaminated by high AFB1 could
leave some residue in their animal product such as liver. The aim of experimental is to develop a method of
analysis residue AFB1 in liver by direct competitive ELISA. Result indicated that the mixer of methanol and
phosphate buffer saline (1 : 1) is a good reagent to extract AFB1 from liver samples. Limit detection of
analyses is 0.19 + 0.03 ppb, quite good precision with RSD (relative standard deviation) value of 12.3% in
repeatable testing. The antibody used gave a specific respond to AFB1. ELISA method developed was quite
accurate which the recovery results in the average of 100.8%. The method was applied for analyses the liver
samples collected from nine traditional markets and super markets around Bogor area. It was found that 11
out of 45 liver samples contain AFB1 residue in the range of 0.2 – 0.7 ppb.
Key Words: Method, Analysis, Aflatoxin, ELISA

ABSTRAK

Aflatoksin B1 (AFB1) adalah senyawa racun yang merupakan metabolit sekunder dari Aspergillus flavus
yang tumbuh pada media seperti jagung dan pakan, pada kondisi penyimpanan dan penanganan yang kurang
baik terhadap bahan-bahan tersebut. Pakan yang tercemar AFB1 cukup tinggi dapat menyebabkan
terdeteksinya residu AFB1 pada produk ternak seperti organ hati. Penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan metoda analisis residu AFB1 pada sampel organ hati ayam secara ELISA kompetitif
langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pereaksi yang baik digunakan untuk mengekstrak sampel hati
adalah campuran methanol dan fosfat buffer salin (MeOH: PBS = 1 : 1). Hasil uji limit deteksi yang diperoleh
adalah 0,19 + 0,03 ppb dengan presisi yang cukup baik, dimana uji keterulangan memberikan nilai relatif
standar deviasi (RSD) 12,3%. Hasil uji spesifisitas menunjukkan bahwa respon antibodi spesifik terhadap
AFB1, Metoda ELISA untuk analisis residu AFB1 pada hati ayam cukup akurat dengan nilai perolehan
kembali (recovery) adalah rata-rata 100,8%. Uji ELISA yang dikembangkan diaplikasikan untuk analisis
residu AFB1 dalam hati ayam yang dikumpulkan dari 9 pasar tradisional dan swalayan didaerah Bogor.
Ternyata bahwa dari 11 dari 45 sampel hati yang dianalisis (24,4%) terdeteksi adanya residu AFB1 dengan
kadar 0,2 – 0,7 ppb.
Kata Kunci: Metoda, Analisis, Aflatoksin, ELISA

PENDAHULUAN Residu aflatoksin pada produk ternak dapat


terdeteksi, karena ternaknya mengkonsumsi
Isu keamanan pangan semakin banyak pakan yang mengandung aflatoksin dengan
dibicarakan di masyarakat, dengan adanya kadar cukup tinggi.
tuntutan jaminan keselamatan konsumen. Aflatoksin merupakan senyawa racun yang
Pangan yang merupakan produk ternak merupakan metabolit sekunder dari Aspergillus
diantaranya hati ayam, kemungkinan dapat flavus yang dapat tumbuh pada media seperti
mengandung residu toksin, seperti aflatoksin. jagung dan pakan, dan berkembang pada

783
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

kondisi penyimpanan dan penanganan yang biologi seperti urine manusia dan hewan ternak
kurang baik. Jenis aflatoksin B1 (AFB1) yang (STUBBLE et al., 1991). Limit deteksi untuk
banyak dijumpai. Dilaporkan di Indonesia analisis metode ELISA dapat membaca
bahwa bahan pakan jagung dan pakan jadinya serendah 0,1 ug/ml.
banyak terkontaminasi aflatoksin (BAHRI dan Pada makalah ini akan disajikan suatu
MARYAM, 2003; RACHMAWATI, 2005). pengembangan metoda analisis residu AFB1
Keberadaan residu AFB1 dan AFM1 juga pada hati ayam secara ELISA, akan dipelajari
dilaporkan oleh beberapa peneliti pada produk pengaruh matrik sampel hati, pelarut ektraksi
ternak seperti hati dan daging ayam, hati dan yang tepat, pengujian sensitifiti (limit deteksi),
daging sapi, telur ayam dan itik serta susu sapi repeatibitily (keterulangan), spesifisiti dan
(MARYAM et al., 1994; MARYAM 1996; akurasi.
WIDIASTUTI, 1999).
Bahaya yang ditimbulkan aflatoksin,
terutama AFB1 yang paling toksik, yaitu dapat MATERI DAN METODE
menyebabkan toksisitas akut, kronik,
karsinogenik, menimbulkan mutasi genetik Pengujian pengaruh matrik sampel hati
(mutagenik), teratogenik kecenderungan
menimbulkan penyimpangan pembentukan Dilakukan dengan mempersiapkan kalibrasi
fisik janin dalam uterus, kanker hati pada standard (0,12 – 30 ppb AFB1) dalam ekstrak
manusia. Kejadian penyakit akibat aflatoksin hati yang tidak mengandung AFB1 dan metanol
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti 60%, diuji secara ELISA konpetitif langsung
umur, jenis kelamin, status pangan dan atau dengan menggunakan pereaksi antigen dan
dapat terjadi bersama-sama dengan agen konjugat yang diperoleh Balitvet dari kegiatan
penyebab lain seperti virus hepatitis atau infeksi penelitian sebelumnya. Tahapan uji ELISA,
parasit (GROOPMAN et al., 1988). disajikan pada lampiran 1. Pengukuran ELISA
Pentingnya suatu teknik deteksi yang tepat reader dilakukan pada panjang gelombang 450
dan akurat diperlukan untuk mengetahui tingkat nm. Selanjutnya kalibrasi standard yaitu plot
kontaminasi, selain itu hasil analisis yang antara % Inhibisi versus konsentrasi AFB1
akurat membantu upaya pengendalian masalah yang diperoleh, dibandingkan untuk keduanya
berkaitan dengan aflatoksin, mencegah dan dievaluasi.
terjadinya keracunan aflatoksin, dapat pula
sebagai masukan bagi penentu kebijakan atau Penentuan jenis pelarut yang tepat untuk
penyusunan regulasi. Teknik deteksi aflatoksin ekstraksi sampel hati
metoda standard berdasarkan Applied of
Analytical Chemistry (AOAC, 1984) adalah Dibuat ekstrak hati ayam dengan
menggunakan kromatografi lapis tipis (Thin penimbangan dan penambahan pelarut yang
Layer Chromatography – TLC) atau bervariasi seperti berikut: a) 20 gram hati ayam
kromatografi cair kinerja tinggi (High ditimbang, diekstraksi dengan 80 ml campuran
Performance Liquid Chromatography – metanol/PBS (Posfat Buffer Saline) = 1 : 1; b)
HPLC). Metode Enzyme Linked Imunnosorbent 20 g hati ayam diekstrak dengan 20 ml metanol,
Assay (ELISA) sudah banyak dikembangkan diambil 5 ml supernatan ditambah 5 ml PBS; c)
dan digunakan karena dinilai cukup cepat, 10 gram hati ayam diekstraksi 20 ml metanol,
sensitif dan relatif murah. Cepat karena ektraksi 5 ml supernatan diencerkan sampai 10 ml
sampel lebih sederhana, tidak melalui tahap dengan PBS. Selanjutnya kurva standard AFB1
pemurnian,dan dapat setiap kali pemeriksaan (0,12 – 30 ppb) di uji dalam ekstrak yang
dapat menganalisa sekaligus banyak sampel. disiapkan diatas.
Relatif murah, karena sedikit diperlukan jumlah
sampel dan reagent serta alat yang lebih
sederhana dan murah dibandingkan dengan Pengujian sensitifitas (limit deteksi) dan
HPLC. Metode ELISA sudah diterapkan untuk keterulangan (presisi)
analisis AFB1 pada kacang tanah (KAWA
MURA et al., 1988), jagung dan pakan ternak Sensitifiti dari alat pembaca ELISA reader
(TRUCKSESS et al., 1989) dan sampel-sampel ditetapkan pada nilai inhibisi 10 – 15% dari

784
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

kalibrasi standar AFB1 (0,12 – 30 ppb), yang Gambar 1, dapat diamati pengaruh matrik
disiapkan dalam ekstrak hati dengan pelarut sampel hati dibandingkan dengan standar
yang diperoleh pada uji sebelumnya. Pengujian dalam metanol 60%. Terlihat bahwa kurva
dilakukan sebanyak 6 kali dan dilakukan pada kalibrasi standard AFB1 dalam ektrak hati
waktu yang berbeda untuk melihat juga ayam masih belum mendekati kurva kalibrasi
keterulangan yang dapat menunjukkan presisi. standar dalam metanol sebagai acuan, walaupun
Limit deteksi adalah rata2 konsentrasi IC 15. ada titik yang bersinggungan dalam kurva.
Pada konsentrasi AFB1 rendah, efek matrik
sangat terlihat dengan kurva yang berjauhan.
Pengujian spesifikasi dan akurasi Pengaruh matrik dapat dihilangkan atau
diminimumkan dengan cara a). melakukan
Uji spesifikasi dilakukan dengan mengukur pengenceran sampel sebelum dianalisa, tetapi
respon dari jenis aflatoksin yang lain (AFB2, perlu dipertimbangkan sensitifiti dari
AFG1 dan AFG2 ) pada uji ELISA, sedangkan penetapan, b). menggunakan kombinasi pelarut
pengujian akurasi dilakukan dengan ekstrak, c). penambahan deterjen atau protein
mempersiapkan ”spike sample” yaitu sampel pada pelarut. Pada percobaan ini efek matrik
hati yang ditambahkan standar AFB1 dicoba dengan menggunakan kombinasi
konsentrasi tertentu (10, 20 dan 40 ppb), pelarut untuk ekstraksi, yaitu metanol dan PBS.
selanjutnya diekstrak dengan pelarut yang tepat Metanol merupakan pelarut organik yang baik,
dan diuji secara ELISA. Dihitung AFB1 yang sehingga hampir seluruh matrik termasuk
diperoleh kembali dan persen perolehan senyawa yang diuji terlarut dalam metanol.
kembali (recovery) dapat diketahui. PBS dapat mengendapkan sebagian protein dan
lemak yang terkandung dalam hati, yang dapat
Analisis sampel hati mengurangi efek matrik (STANKER and BEIER,
1995).
Metoda uji yang dikembangkan Hasil percobaan dengan menggunakan
diaplikasikan untuk analisis sampel hati ayam pelarut campuran metanol dan PBS dengan
(45 sampel) yang dikumpulkan dari 9 pasar berbagai teknik pengerjaan dan jumlah sampel,
tradisional dan swalayan didaerah Bogor. dimana kedalam supernatannya ditambahkan
standar AFB1 konsentrasi 0,12 – 30 ppb,
didapat kurva kalibrasi seperti Gambar 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ternyata bahwa penggunaan pelarut campuran
metanol dan PBS = 1:1 yang ditambahkan
Pengaruh matrik sampel hati dan penentuan kedalam 20 g hati ayam, merupakan cara yang
pelarut terbaik. Mengekstrak dulu senyawa uji dalam
metanol 100%, kemudian baru pengenceran
ELISA untuk analisis AFB1 pada pakan, dengan PBS, masih memperlihatkan efek
jagung dan kacang tanah sudah dikembangkan matrik yang lebih besar dimana kurva bergeser
dan diaplikasikan di lapangan (RACHMAWATI, kesebelah kanan.
2005). Dengan menggunakan pereaksi
immunokimia antigen dan konjugat yang
diproduksi Balai Penelitian Veteriner tersebut Sensitifitas dan presisi
pengembangan metoda ELISA dilakukan
terhadap sampel produk ternak (hati ayam). Sensitifitas dari suatu penetapan atau
Jenis sampel pada pengujian atau analisis analisis dapat ditunjukan dengan nilai dari limit
senyawa tertentu dapat mempengaruhi hasil deteksi, seberapa sensitif alat dapat
yang diperoleh, disebabkan oleh adanya matrik memberikan respon pada konsentrasi terendah
dalam sampel. Pereaksi yang digunakan untuk dari analit yang ditetapkan. Pada uji secara
mengekstrak AFB1 yang terkandung dalam ELISA, limit deteksi ditetapkan pada
sampel biasanya adalah metanol, dan pada konsentasi yang memberikan nilai Inhibisi
metoda ELISA dengan antigen dan konjugat 15% (IC15), dari pengukuran seri standar
yang dipergunakan Balitvet, pelarut dalam matrik sampel yang tidak mengandung
pengekstrak sampel adalah metanol 60%. Pada AFB1. Dari 6 kali pengukuran maka dapat

785
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

100
90
80
70

% Inhibitin
60
50
40
30
20
10
0
0.1 1 10 100
Aflatoxin B1 (ng/mL)
60% MeOH
ekstrak hati dlm MeOH 60%

Gambar 1. Respon AFB1 dalam pelarut metanol 60% dan ektrak hati dalam metanol

100
90
80
70
% Inhibitin

60
50
40
30 60% MeOH
20 gr+MeOH/PBS
20
20 gr MeOH, encerkan PBS
10 10 gr MeOH, encerkan PBS
0
0.1 1 10 100
Aflatoxin B1 (ng/mL)

Gambar 2. Kurva kalibrasi standar AFB1 dalam berbagai pelarut ekstraksi dan jumlah sampel

dihitung dan didapat konsentrasi IC 15 seperti memberikan keterulangan, presisi yang baik
pada Tabel 1. Limit deteksi yang diperoleh dengan nilai RSD = 12,3%. PATEY et al.,
adalah 0,19 + 0,03 ppb. (1992), melaporkan bahwa sebagai petunjuk
Presisi yaitu kedekatan beberapa hasil ketepatan analisa, nilai koefisien variasi
pengujian (seberapa dekat pengamatan yang sebaiknya dalam kisaran 5 – 15%.
satu dengan yang lainnya). Presisi dapat
Spesifikasi dan akurasi
dievaluasi dari pengujian keterulangan,
pengujian sampel/standar yang sama, dengan Spesifikasi antibodi aflatoksin dapat
peralatan yang sama, pada laboratorium yang diketahui dari pengujian reaksi silang dengan
sama, diulang pada waktu berbeda. Pada uji jenis aflatoksin lain yang mempunyai struktur
ELISA repetabilitas dapat ditentukan dengan yang hampir menyerupai AFB1 yaitu AFB2,
menghitung konsentrasi yang memberikan nilai AFG1 dan AFG2. Persentase reaksi silang dapat
inhibisi 50% (IC50, titik paling akurat) pada diketahui dengan menghitung IC50 dari
kalibrasi standar. Hasil perhitungan IC50 dari pengukuran seri standar (0,12 – 30 ppb) dalam
pengukuran 6 kali seri standar AFB1 yang matrik sampel hati dari masing-masing jenis
dipersiapkan dalam matrik hati yang tidak aflatoksin dibandingkan terhadap AFB1, dimana
mengandung AFB1 disajikan pada Tabel 1. respon AFB1 100%, seperti pada Tabel 2.
Ternyata bahwa metoda yang dikembangkan Ternyata bahwa antibodi memberikan respon

786
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

Tabel 1. Sensitifitas (limit deteksi) dan presisi pada uji AFB1 sampel hati secara ELISA, yang ditunjukkan
dengan nilai IC15 dan IC50

Kalibrasi 1 2 3 4 5 6 Rata-rata Std RSD


IC15 (ppb) 0,19 0,22 0,19 0,15 0,16 0,23 0,19 0,03
Limit deteksi = 0,19 ± 0,03 ppb
IC50 (ppb) 2,17 2,22 2,15 1,84 2,23 1,61 2,03 0,25 12,3%

yang sensitif terhadap AFB1, dengan nilai IC50 AFB1, dengan reaksi silang yang relatif kecil
yang rendah, sedangkan responnya terhadap terhadap AFB2, AFG1 dan AFG2 yaitu masing-
jenis aflatoksin lainnya tidak sensitif masing 5,6; 13,6 dan 1,5%.
(perhatikan juga Gambar 3). Akurasi, ketepatan suatu analisis dievaluasi
dari hasil uji perolehan kembali dari”spike
Tabel 2. Persentasi reaksi silang antibodi aflatoksin sample”, yaitu sampel hati yang ditambahkan
B1 konsentrasi tertentu AFB1. Tiga konsentrasi
AFB1 dalam”spike sample” yaitu 10, 20 dan 40
Jenis aflatoksin Nilai IC50 % reaksi silang
ppb dipersiapkan, selanjutnya diuji kadar AFB1
AFB1 1,5 100 nya secara ELISA. Hasil pengukuran dan
AFB2 27,2 5,6 perhitungan seperti pada Tabel 3. Perolehan
AFG1 11,3 13,6 kembali (recovery) rata-rata 100,8%
AFG2 99,9 1,5 menunjukan metoda yang dikembangkan
memberikan akurasi yang baik. Hasil penelitian
Dapat dikatakan bahwa antibodi terdahulu rata-rata perolehan kembali analisis
secara ELISA adalah 94 – 108% (SPILMAN,
memberikan respon yang spesifik terhadap
1985).

100
90
80
70
% Inhibitin

60
50
40
30
20
10
0
0.1 1 10 100
Aflatoksin (ng/mL)
AFB1 AFB2 AFG1 AFG2

Gambar 3. Respon antibodi terhadap berbagai jenis aflatoksin

Tabel 3. Perolehan kembali (recovery)

AFB1 di+kan (ppb) AFB1 ditemukan (ppb) % Perolehan kembali (recovery) Rata-rata % recovery
10 ppb 9,8 98 100,8%
10,2 102
20 ppb 20,8 103,8
19,6 98,2
40 ppb 40,8 102,1
40,2 100,5

787
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

Tabel 4. Kadar residu AFB1 pada sampel hati ayam yang dikumpulkan dari pasar tradisional dan swalayan di
daerah Bogor

Pasar/swalayan n AFB1 negatif (TT)* AFB1 positif Kisaran kadar (ppb)


A 5 2 3 0,5 – 0,7
B 5 2 3 0,2
C 5 5 0 -
D 5 5 0 -
E 5 2 3 0,3
F 5 5 0 -
G 5 5 0 -
H 5 3 2 0,2
I 5 5 0 -
Total 45 34 11 0,2 – 0,7

TT = tidak terdeteksi; limit deteksi 0,19 ppb

Kadar residu AFB1 dalam sampel hati ayam KESIMPULAN

Metoda ELISA yang dikembangkan Dari hasil pengembangan metoda analisis


diaplikasikan untuk analisis sampel hati yang residu AFB1 yang dikembangkan dapat
dikumpulkan dari 9 tempat (pasar tradisional disimpulkan bahwa:
dan swalayan) didaerah Bogor. Ternyata dari Metoda ELISA dapat diaplikasikan untuk
45 sampel hati, sebanyak 11 sampel (24,4%) analisis residu AFB1 pada sampel hati dengan
positif mengandung residu AFB1 dalam pelarut yang baik adalah campuran metanol
kisaran 0,2 – 0,7 ppb. Data disajikan pada dan PBS = 1 : 1.
Tabel 4. Hasil studi yang dilaporkan terdahulu Sensitifiti dan presisi cukup baik dengan
dari 31 sampel hati ayam, sebanyak 14 sampel nilai limit deteksi yang diperoleh 0,1 + 0,03
positif mengandung residu AFB1 dengan kadar ppb. Uji keterulangan memberikan nilai 12,3%
rata-rata 0,01 ppb dan 30 sampel mengandung RSD (< 20%).Respon spesifik terhadap AFB1
AFM1 kadar rata-rata 12,1 ppb (MARYAM, dengan reaksi silang yang kecil terhadap AFB2,
1996). Sampel hati yang dikumpulkan dari AFG1 dan AFG2 yaitu masing-masing 5,6%,
pasar tradisionil dan swalayan didaerah Jawa 15,6% dan 1,5. Selain itu metoda juga cukup
Barat ternyata juga mengandung residu AFB1 akurat dengan persentase perolehan kembali
dan AFM1. 13 dari 21 sampel hati sapi yang rata-rata 100,8%.
dikumpulkan mengandung residu AFB1 dalam Hasil analisis sampel hati ayam diperoleh
kisaran 0,33 – 1,44 ppb (WIDIASTUTI, 1999). sebanyak 11 dari 45 sampel (24,4%) positif
Residu AFB1 pada organ hati yang terdeteksi mengandung residu AFB1 dengan kadar dalam
relatif rendah, karena dalam metabolisme kisaran 0,2 – 0,7 ppb.
tubuh ayam AFB1 berubah menjadi
metabolitnya seperti aflatoksikol dan AFM1.
DAFTAR PUSTAKA
Sebagian diekresikan an sebagian terdistribusi
di darah, hati, tembolok, dada dan paha. Pada AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. 14th Ed,
percobaan pemberian 3 ppm AFB1 pada ayam AOAC, Arlington VA. Section 26.026 –
pedaging dan petelur, residu AFB1 dan 26.031; 26.049 – 26.051.
metabolitnya yang terbentuk, terdeposit di
organ hati 10 kali lebih besar dibandingkan BAHRI, S. dan R. MARYAM. 2003. Mikotoksin
berbahaya dan pengaruhnya terhadap
jaringan tubuh yang lain (MABEE dan CHIPLEY,
kesehatan hewan dan manusia. Wartazoa
1973; BINTVIHOK et al., 2002). 14(4): 129 – 142.

788
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

BINTVIHOK, A, S. THIENGNIN, K. DOL and S. RACHMAWATI, S. 2005. Aflatoksin pada pakan di


KUMAGAI. 2002. Residues of aflatoxins in the Indonesia: Persyaratan kadar dan peratuan per-
liver, muscle and eggs of domestic fowl. J. undang-undangannya. Wartazoa 4 (1): 26 – 35.
Vet. Med. Sci. 64 (11): 1037 – 1039.
SPILMAN, J.R. 1985. Modification of rapid screening
GROOPMEN, J.D, L.G. CAIN and T.W. KENSLER. method for aflatoxin in corn for quantitative
1988. Aflatoxin exposure in human use. JAOAC 68(3): 453 – 456.
populations measurement relationship to
cancer. Crit. Rev. Toxicol. 19(2): 113 – 145. STANKER, L.H. and R.C. BEIER. 1995. Introduction
to immunoassay for residue analysis: Concept,
KAWAMURA, A.O., S. NAGAYAMA, S. SATO, K. formats and applicaions in immunoassays for
OHTANI, I. UENO and Y. UENO. 1988. residue analysis. In: ELISA workshop. Simple
Development of aflatoxin immunoassay test for monitoring mycotoxins and pestisides
technique of peanut. Mycotoxin Res. 4: 76 – in produce. Post Harvest Technology Insitute.
87. Ho Chi Minh City, Vietnam, November 15 –
17 1999. University of Sydney. pp. 12 – 22.
MABEE, M.S. and J.R. CHIPLEY. 1973. Tissue
distribution and metabolism of aflatoxin B1- STUBBLE, F., R.D.J. GREER, O.L. SKOTWELL and
14 C in broiler chickens. Appl microbial.25(5): A.M. AIKENS. 1991. Direct competitive ELISA
763 – 769. of aflatoxins in biological material. JAOAC 74
(3): 530 – 532.
MARYAM, R. 1996. Residu aflatoksin dan
metabolitnya dalam daging dan hati ayam. TRUCKSESS, M.W., M.E. STACK, S. NESHEIM, D.L.
Pros. Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. PARK and A.E. POHLAND. 1989. Enzyme
Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 336 – Linked Imunnosorbent Assay of Aflatoxins
339. B1, B2 and G1 in corn, cotton seed, peanut,
peanut butter and poultry feed: Collaborative
MARYAM, R., S. BAHRI dan P. ZAHARI. 1994. Deteksi study. JAOAC 72(6): 957 – 961.
aflatoksin B1,M1 dan aflatoksikol dalam telur
ayam ras dengan kromatografi cair kinerja WIDIASTUTI, R. 1999. Residu aflatoksin pada daging
tinggi. Pros. Seminar Teknologi Veteriner dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan
untuk meningkatkan kesehatan hewan dan di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional
pengamanan bahan pangan asal ternak. Peternakan dan Veteriner. Bogor. 18 – 19
Cisarua – Bogor, 22 – 24 Maret 1994. hlm. Oktober 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor.
412 – 416. hlm. 609 – 614.
PATEY, A.L., M. SHARMAN and J. GILBERT. 1992.
Determination of total aflatoxin levels in
peanut butter by Enzyme Linked .
Imunnosornbent Assay: Collaborative Study. J
AOAC Int. 75 (4): 693 – 697.

789

Anda mungkin juga menyukai