Anda di halaman 1dari 95

MODUL MATERI

KELEMBAGAAN KPK
UNTUK UMUM
A. PENDAHULUAN
Tindak pidana korupsi telah merusak
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perbuatan kotor yang
dilakukan para penyelenggara negara dan
pejabat negara itu bahkan lebih besar;
yakni terampasnya hak-hak rakyat dan
masyarakat luas, hak menikmati
pembangunan, hak hidup layak karena
mereka dililit kemiskinan, hak mendapat
pendidikan yang ideal, dan bahkan hak-
hak dasar hidup lainnya yang mestinya
didapatkan siapa pun. Tapi karena korupsi yang makin merajalela, semua itu nyata di depan
mata kita. Dan mirisnya, kondisi itu terjadi di negeri kita tercinta: Indonesia.
Maka, gerakan antikorupsi yang selama ini telah bergelora di negeri ini, harus terus membara.
Kebersamaan semangat, kesamaan kesadaran dan tujuan seluruh elemen bangsa untuk
memerangi tindak pidana korupsi harus bukan saja dijaga melainkan terus kita tingkatkan agar
negeri ini bebas dari tindak pidana korupsi.
Yakinlah perjuangan kita memerangi tindak pidana korupsi—meski sulit—akan berujung pada
kemenangan. Kita tak boleh berhenti karena korupsi bukanlah budaya di negeri ini. Hanya
persoalan waktu, inilah yang tengah kita hadapi.
Dengan berbagai upaya yang intens, kontinu, dan keluhuran semangat membangun Indonesia
terbebas dari korupsi, perjuangan seluruh elemen bangsa akan berujung pada negeri kita yang
bersih dari tindak pidana korupsi. Di sisi lain potensi dan peluang para penyelenggara negara
dan pejabat negara untuk melakukan penyelewengan, harus terus ditekan. Jangan sampai
motivasi korupsi berkembang dan menjalar lebih luas.
Kita harus memutus mata rantai tindak pidana korupsi saat ini dan detik ini juga. Sebagai
musuh bersama, tindak pidana korupsi harus kita hadapi bersama. Kebersamaan inilah yang
akan membuatnya tak berkembang dan bahkan mati. Yakinlah.
Namun, tentu saja, untuk sampai ke arah sana kita semua mesti memahami secara utuh
bagaimana tindak pidana korupsi itu berlangsung. Pemahaman itulah yang membuat kita
mengenal lebih dalam bagaimana upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang mesti kita
lakukan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekali lagi, menyadari betul bahwa sebagai institusi yang
diberi kewenangan memberantas tindak korupsi di negeri ini tak akan mampu berjalan sendiri.
Terlebih ke depan, kita lebih mengedepankan upaya pencegahan di samping penindakan yang
selama ini dilakukan. KPK butuh dukungan seluruh elemen bangsa untuk sama-sama
menuntaskan bangsa ini dari cengkeraman tindakan busuk para koruptor.
Sebagai bagian komprehensif membangun semangat bersama itulah, KPK mengembangkan
modul pembelajaran berupa buku pengantar pendidikan antikorupsi. Buku pengantar
pembelajaran disajikan dalam konsep buku serial mulai dari buku Pengantar Kelembagaan
Antikorupsi, Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, Pengantar Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara, Pengantar Gratifikasi, dan Pengantar Pengaduan Masyarakat terkait
Tindak Pidana Korupsi.
Adanya pemahaman bersama yang utuh terhadap tindak pidana korupsi dan upaya
pemberantasannya, tentu diharapkan membuat langkah kita dalam memberantas korupsi akan
makin ringan. Dukungan semua pihak, karena hakikatnya siapa pun bisa beraksi mencegah
korupsi, membuat jalan membangun Indonesia yang terbebas dari tindak pidana korupsi
semakin lapang.
Dengan membaca sekaligus mengikuti pembelajaran mengenai “Kelembagaan KPK”,
diharapkan peserta didik mampu memahami secara utuh latar belakang dan mengapa perlunya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan
pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan
lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari kekuasaan manapun. KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas
pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan Undang-
Undang menyebutkan peran KPK sebagai triger mechanism, yang berarti mendorong atau
sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada
sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK adalah berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab
kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden,
DPR, dan BPK KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua
merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK
tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur
masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat
kolektif kolegial.
Pimpinan KPK membawahi empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan,
Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing
bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang
dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik
Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.
Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan
KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai dengan
kompetensi yang diperlukan.
Menjadi lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang berintegritas, efektif, dan efisien!
Keterkaitan antar materi pembelajaran dalam modul ini dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Sejarah
Pemberantas
an Korupsi di
10. Komisi Indonesia
Antikorupsi, 2. Sejarah
Mengatasi Terbentuknya
Persoalan KPK
Global

9. Lembaga
3. VISI dan
Antikorupsi
MISI KPK
Internasional

Kelembagaan
KPK

4. Tugas,
8. Alasan KPK Pokok dan
harus tetap Fungsi dan
ada Kewenangan
KPK

7. Perbedaan
KPK dengan 5. Struktur
Penegak Organisasi
Hukum yang KPK
lain
6. Pedoman
KPK
B. HASIL BELAJAR (LEARNING OUTCOMES)
Tujuan pembelajaran ini adalah agar peserta didik aktif mencegah dirinya dan lingkungannya
dari perbuatan korupsi, dengan rincian sebagai berikut :
Peserta didik mampu :
1. Memahami sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang sudah ada sebelum Belanda
menjajah Indonesia keberadaannya telah merajalela di semua sendi kehidupan Negeri ini.
2. Memahami keberadaan KPK seakan memunculkan gairah baru pemberantasan Korupsi di
Indonesia yang independen, Bebas dari intervensi dan disegani.
3. Memahami Visi, Misi dan Dasar Hukum pendirian KPK.
4. Memahami Tugas, Pokok dan Fungsi dan Kewenangan KPK tidak hanya menangkap
Koruptor.
5. Memahami Struktur Organisasi dan Kiprah KPK yang efektif.
6. Memahami Pedoman KPK berdasarkan 5 Asas.
7. Menyebutkan perbedaan KPK dengan Penegak Hukum yang lain.
8. Memahami alasan KPK harus tetap ada.
9. Mengetahui lembaga antikorupsi internasional.
10. Memahami Komisi Antikorupsi mengatasi persoalan global.
C. KEGIATAN BELAJAR
Kegiatan Belajar 1 SEJARAH PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Sumber : Google

1. Berapa panjang sejarah (pemberantasan) korupsi di negeri ini? Selama KPK berdiri? Sejak
era reformasi? Atau ketika negeri ini merdeka?
Ternyata jawabannya bukan itu. (Pemberantasan) korupsi di Indonesia memiliki sejarah yang
jauh lebih panjang dari usia republik ini. Saking panjangnya, bisa dikatakan bahwa usia
(pemberantasan) korupsi, ternyata sama tuanya dengan sejarah bangsa Indonesia sendiri.
“Korupsi di Indonesia sudah ada sebelum Belanda menjajah Indonesia,” demikian
diungkapkan Benedict Anderson (1972) dalam tulisannya berjudul “The Ideal of Power in
Javanese Culture.”
Bukan hanya Anderson. Sejarawan Ong Hok Ham juga menegaskan mengenai panjangnya
usia (pemberantasan) korupsi di Indonesia. Dalam buku berjudul “Politik, Korupsi, dan
Budaya,” dia menyebut, bahwa korupsi telah merasuk dan menjadi kenyataan hidup bangsa
Indonesia. Korupsi, ungkapnya, sudah menjadi budaya bangsa Indonesia jauh sebelum
Indonesia merdeka.
Sementara, sejarawan Hendaru Tri Hanggoro, menyatakan, jejak korupsi di Tanah Air juga
dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. “Saat itu jumlah pajak desa yang
harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat
yang masih buta huruf,” katanya.
Praktik penggelembungan tersebut, menurut Supratikno Raharjo dalam buku “Peradaban
Jawa,” dilakukan kelompok petugas pajak yang disebut mangilala drwya haji. Praktik kotor
tersebut, sebagaimana dipaparkan Supratikno, diulas dalam prasasti awal abad ke-9 pada
tahun 741 Caka atau 819 Masehi.
Polah para mangilala drwya haji itu, juga disinggung Ong Hok Ham. Melalui bukunya, “Dari
Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong,” dia mengupas tuntas mengenai banyaknya petani yang
sering menjadi sasaran penyelewengan para mangilala drwya haji.
Masuknya Kolonial Belanda, justru seperti pupuk yang menyuburkan perilaku korupsi di
negeri ini. Hal itu bisa dimengerti, karena semangat Belanda datang ke Indonesia adalah
untuk menjajah atau merampas hak bangsa lain. Artinya, ketika datang, Belanda sudah
membawa setumpuk persoalan integritas dan moral.
Dalam praktiknya, 3,5 abad menjajah Indonesia, Belanda berhasil mempertahankan budaya
feodal di kerajaan-kerajaan yang sudah ada, demi kepentingan kekuasaannya. Padahal
seperti diketahui, budaya feodal sangat kondusif bagi berkembangnya praktik korupsi dalam
internal kerajaan. Dalam hal ini, Belanda bukan hanya membiarkan hubungan berat sebelah
dan tidak adil antara penguasa feodal kerajaan dan rakyat pribumi, namun juga
memanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonominya.
Kolonial Belanda juga mempertahankan sistem upeti. Jika sebelumnya upeti diserahkan
kepada raja penakluk, maka pada era tersebut, upeti berganti diserahkan kepada Belanda.
Penduduk pun tetap menderita, ibarat keluar dari mulut harimau pindah ke mulut buaya.

2. Paska Kemerdekaan: Tergantung Komitmen Politik


Selepas dari belenggu penjajahan, tidak membuat Indonesia bebas dari korupsi. Warisan
yang diberikan sejak era kerajaan hingga penjajahan, tak pelak membuat korupsi seperti
sudah membudaya. Hal itu tercermin dari perilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang
terjerat ke dalam kasus korupsi.
Begitupun, pemerintah bukan tidak berupaya melakukan pemberantasan korupsi. Sejak
Orde Lama, bahkan pemerintah beberapa kali membentuk badan antikorupsi. Sayangnya,
tak sedikit di antara badan tersebut yang mengalami kegagalan di tengah jalan. Kurangnya
“political will/ komitmen politik dari pemerintah, adalah salah satu penyebab, mengapa
berbagai badan antikorupsi tersebut selalu layu sebelum berkembang. Apa saja upaya
tersebut?
Pada 1957, Pemerintahan membentuk Badan Pemberantasan Korupsi yang bernama
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN). PARAN yang dibentuk berdasarkan UU
Keadaan Bahaya tersebut, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang
anggota. Keduanya adalah, Profesor M Yamin dan Roeslan Abdulgani. PARAN bertugas
menjaga transparansi pejabat kala itu, dengan mengisi formulir Daftar Kekayaan Pejabat
Negara (DKPN).
Di luar itu, Penguasa Militer Angkatan Darat mengeluarkan beberapa peraturan yang
berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Peraturan tersebut adalah:
• Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Terdapat dua rumusan korupsi menurut peraturan tersebut.
Yaitu, setiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga, baik untuk kepentingan
sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang
langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian.
Selain itu, juga setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang
menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan
atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak
langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
• Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang Pembentukan Badan
yang Berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang
dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan
(perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi). Badan yang dimaksud adalah
Pemilik Harta Benda (PHB). Peraturan Penguasaan Militer Nomor
PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari
kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan
penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lain, sambil menunggu
putusan Pengadilan Tinggi.
Pada 1958, Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution
mengeluarkan Peraturan Antikorupsi Nomor Prt/Peperpu/013/58. Dan, kelima,
Penguasa Militer Angkatan Laut juga mengeluarkan Peperpu Kastaf AL tanggal 17 April
1958 Nomor Prt/Z/1 /I/7.
Begitupun, sejarah perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia, bisa dikatakan
dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. Pada intinya, Perpu tersebut mengatur tata cara pencegahan dan
pemberantasan korupsi, namun tetap masih mengacu kepada pembedaan antara
kejahatan dan pelanggaran, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali digalakkan. Melalui Kepres tersebut, Pemerintah melahirkan lembaga
yang kemudian dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Lembaga tersebut dipimpin A.H.
Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab dan dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo.
Tugasnya, meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lain yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi. Nyatanya, Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Meski Operasi Budhi berhasil menyelamatkan keuangan negara sekitar Rp.
11 miliar hanya dalam waktu tiga bulan, namun ternyata kegiatannya dihentikan.
Alasannya, karena dianggap mengganggu prestise Presiden. Sangat disayangkan, karena
jumlah uang yang diselamatkan sangat signifikan.
Pemerintah kemudian membentuk kembali Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi
(KOTRAR), yang langsung diketuai Presiden Soekarno. Namun, lagi-lagi upaya
pemberantasan korupsi mengalami kegagalan. Sejarah mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Pada 1967, Pemerintah membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai
oleh Jaksa Agung berdasarkan Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967 dan UU No 24
Tahun 1960. Karena mendapatkan banyak protes dari masyarakat, terutama mahasiswa
dan dianggap tidak serius memberantas korupsi, akhirnya TPK dibubarkan.
Pada 1970, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1970
tentang Komite Empat. Komite tersebut beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap
bersih dan berwibawa, seperti Profesor Johannes, IJ Kasimo, Mr. Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto. Tugas utama adalah, membersihkan antara lain Departemen Agama,
Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Tidak seperti harapan semula,
komite ini pun hanya menjadi “macan ompong.” Pasalnya, hasil temuan tentang dugaan
korupsi di Pertamina, ternyata tidak direspons pemerintah.
Masih pada tahun yang sama, Pemerintah juga mengeluarkan Keppres Nomor 52 Tahun
1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI.
Selain itu, untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, Presiden Soeharto
juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Perpu tahun 1960.
UU itu sendiri seolah menjadi “angin segar” bagi pemberantasan korupsi. Sebab, di
dalamnya ditetapkan bahwa korupsi sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan tidak
lagi merupakan salah satu jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam KUHP. Selain itu,
pembaruan yang terdapat dalam UU tersebut adalah, ditetapkannya kerugian keuangan
negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi.
Pada 1971, Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1977. Melalui Inpres
tersebut, Presiden membentuk Tim Operasi Ketertiban (Opstib). Koordinator tim tersebut
adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Sedangkan bertindak sebagai
pelaksana operasional adalah Pangkopkamtib.
Pada 1980, untuk memperkuat produk legislasi yang berkaitan dengan pemberantasan
korupsi, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang
Tindak Pidana Suap. Eksistensi UU tersebut adalah, memperkuat kejahatan jabatan
(delik jabatan) sebagaimana dimuat dalam KUHP.
Pada 1999, lahir UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari KKN serta UU Nomor 31 Tahun 1999.
Yang membedakan dengan UU Nomor 3 Tahun 1971 adalah ancaman sanksi pidana.
Jika pada UU Nomor 3 Tahun 1971 hanya mengenal sanksi pidana maksimal penjara
seumur hidup bagi pelaku korupsi dalam semua jenisnya, maka di dalam UU yang baru
tersebut, ancaman pidana maksimal bagi tindakan korupsi ditingkatkan menjadi
hukuman mati.
Pada 2000, Pemerintah membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun di
tengah semangat yang menggebu-gebu untuk memberantas korupsi, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Alhasil, semangat yang
semula meninggi kembali menurun.
Pada 2001, lahir Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sekaligus sebagai ganti dan
pelengkap UU Nomor 31 tahun 1999. Dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut,
lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di antara materi baru yang disisipkan
dalam UU tersebut, adalah terkait dengan gratifikasi. Sebagai tindak lanjut, pada 27
Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan lahirnya KPK, pemberantasan korupsi di Indonesia pun mengalami babak baru.
Sepanjang sejarah pemberantasan korupsi, KPK merupakan lembaga antikorupsi yang
cukup ditakuti para koruptor. Tak sedikit KPK menjerat pejabat tinggi negara, mulai
menteri hingga besan seorang Presiden.

3. Sejarah Pemberantasan Korupsi


a. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Kerjaan sampai dengan Kemerdekaan
1 2 3

Jaman Kerajaan Jaman Penjajahan Belanda Jaman Penjajahan Jepang

b. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Lama - Orde Baru – Reformasi


4 5 6

Era Orde Lama Era Orde Baru Era Reformasi

c. Pemberantasan Korupsi Pasca Kemerdekaan


1967 1970 1977 1980
Dibentuk Tim Dibentuk Dibentuk Tim Diterbitkan UU
Pemberantasan Komite Empat Operasi No. 11 /1980
Korupsi (TPK) (Prof. Johannes, Ketertiban tentang
IJ Kasimo, Mr. (Opstib) Tindak Pidana
Wilopo, dan A. Suap
Tjokroaminoto)
1999 2000 2001
Diterbitkan UU No 28/ Dibentuk Tim Diterbitkan UU No.
1999 tentang Gabungan 20/ 2001 sebagai
Penyelenggaraan Pemberantasan landasan lahirnya
Negara yang Bersih dan Tindak Pidana Korupsi Komisi
Bebas dari KKN (TGPTPK) Pemberantasan
Korupsi (KPK).
TES FORMATIF
1. Di Indonesia, sejarah korupsi dan pemberantasannya sudah terjadi sejak lama. Sebutkan
periodesasinya disertai contoh masing-masing masa!
2. Meski mengalami penindasan dan penderitaan akibat upeti, masyarakat di zaman kerajaan
hampir tak pernah melakukan kontrol sosial. Mengapa?
3. Apa saja yang dilakukan Pemerintahan, sejak Indonesia merdeka dalam dalam
pemberantasan korupsi?
Kegiatan Belajar 2 SEJARAH TERBENTUKNYA KPK : “SEMANGAT BARU,
HARAPAN BARU”

Sumber : Google

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Runtuhnya Rezim Orde Baru


Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai dengan tuntutan
demokratisasi disegala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadikan perubahan di Indonesia berlangsung dengan
akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk
berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus bergulir
melalui agenda reformasi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru (ORBA) di bawah
kepemimpinan Soeharto antara lain sebagai berikut :
1. Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi yang melanda Asia, yang dimulai di Thailand menghantam Indonesia. Akibat
krisis ini organisasi perbankan kita menjadi berantakan yang sampai sekarang belum dapat
di konsolidasi kembali. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika tetap di dalam tingkat yang amat
rendah, sehingga harga-harga keperluan umum, terutama sembako, dalam hitungan rupiah
tetap tinggi. Krisis yang melanda Indonesia juga disebabkan karena praktek (Kolusi, Korupsi,
Nepotisme) KKN.
KKN adalah istilah yang paling populer yang disuarakan oleh kaum reformis untuk segera
diberantas. Kolusi diantara penguasa pada masa ORBA dengan para pengusaha hanya
menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan rakyat hanya menerima akibat buruk dari
praktek tersebut. Demikian juga, korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara telah
menguras sumber ekonomi negara sehingga uang yang seharusnya digunakan untuk
kemakmuran rakyat tidak sampai kepada sasarannya. Adapun nepotisme adalah praktek
penguasa yang lebih mementingkan anggota keluarga atau golongan untuk memperoleh
jabatan serta kesempatan-kesempatan dalam dunia usaha. Penderitaan rakyat akibat krisis
ekonomi dibaca dengan baik oleh kelompok intelektual terutama mahasiswa.
Dampak yang ditimbulkan dari krisis ekonomi adalah pada ketersediaan cadangan devisa.
Setelah mengalami beberapa kegagalan untuk
melakukan stabilisasi nilai tukar, maka cadangan
devisa negara merosot dari sekitar 20 milyar dollar
AS pada pertengahan 1997 menjadi sekitar 14
milyar pada pertengahan 1998. Hal ini juga
merupakan dampak dari memburuknya neraca
modal Indonesia terhadap penurunan arus modal
masuk secara drastis maupun melonjaknya arus
modal keluar.
Sumber : Google

2. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998


Untuk dapat mencermati pergerakan mahasiswa dapat
dibedakan menjadi empat periode. Periodisasi ini dibuat
dengan mendasarkan pada momen-momen penting
dalam gerakan mahasiswa tahun 1998 yaitu : tanggal
Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998, Insiden berdarah
Universitas Trisakti 12 Mei dan mundurnya Presiden
Soeharto tanggal 21 Mei 1998.
Sumber : Google

• Periode pertama adalah periode sebelum 1 Maret 1998. Pada awal periode itu, isu yang
ditampilkan belumlah menyangkut substansi reformasi melainkan sebatas pada kondisi
aktual saat itu seperti: kelaparan di Irian Jaya, kebakaran hutan di Kalimantan dan
Sumatera, menuntut pemerintah untuk menurunkan harga-harga barang, dan menindak
penimbun sembilan bahan pokok (sembako). Contohnya adalah aksi 150 mahasiswa Institut
Pertanian Bogor (IPB) yang melakukan mimbar bebas di kampus Baranangsiang pada hari
Rabu, 3 Desember 1997 dengan poster-poster yang dipajang bertuliskan: Berantas Korupsi
dan Kolusi, Tindak Tegas Mega Koruptor di BI, Tindak Tegas Pembakaran Hutan, Tindak
Tegas Aborsi Sampai ke Akar-akarnya. Pada hari Senin 12 Januari 1998 sebanyak 24 orang
mahasiswa IPB Bogor mendatangi balaikota Bogor dengan mempermasalahkan
merebakknya gambar-gambar porno yang terpasang disejumlah bioskop dan maraknya
praktik prostitusi di beberapa tempat di wilayah Bogor. Aksi-aksi demo tersebut bersifat lokal
sporadis dan belum memiliki dampak berantai kepada mahasiswa-mahasiswa lainnya, baik
yang dari satu perguruan tinggi ataupun ke perguruan tinggi lainnya. Di samping jumlah
partisipan yang cenderung terdiri atas sebagian kecil mahasiswa dari satu perguruan tinggi,
aksi-aksi ini belum memiliki sebuah kerangka dan agenda aksi yang terjadwal.
• Periode kedua adalah 12 Maret 1998-12 Mei 1998. Setelah sempat reda selama hampir
satu minggu, mahasiswa kembali melakukan demonstrasi. Isi-isu yang dimunculkan pada
periode ini berkenaan dengan kredibelnya kabinet Pembangunan VII karena dinilai sarat
dengan nepotisme dan koncoisme. Periode ini juga ditandai dengan kejenuhan mahasiswa
dalam melakukan aksi di dalam kampus. Keinginan mahasiswa untuk berdemonstrasi di luar
kampus sudah tentu memicu bentrokan dengan aparat keamanan. Salah satu demonstrasi
mahasiswa terbesar pada periode ini terjadi di kampus Universitas Sumatera Utara (USU)
Medan yang menyebabkan diliburkannya kampus dari kegiatan akademik sejak 29 April
hingga 7 Mei 1998. Aksi ini sempat disebut sebagai aksi yang paling beringas yang
melibatkan aksi saling melempar batu antara mahasiswa dan aparat, penembakan gas air
mata, pembakaran 2 motor aparat keamanan dan lain sebagainya. Dalam periode ini isu-isu
lain yang muncul adalah mengenai dialog yang diprakarsai oleh ABRI dan peristiwa
penculikan para aktivis. Sebagaian besar mahasiswa dari perguruan tinggi yang telah mapan
seperti UGM, UI, IKIP Bandung, IAIN, dan Unpad tidak hadir dalam dialog tersebut.
• Periode ketiga, periode ini ditandai dengan terjadinya peristiwa insiden Trisakti tanggal 12
Mei 1998, dimana ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan
kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak
awal Orde Baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda
krisis sejak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke
Gedung DPR/MPR di Slipi mereka dihadang oleh aparat kepolisian yang mengharuskan
mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa
Trisakti. Penembakan itu berlangsung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa
Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya
baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit
karena terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei
1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan
melakukan pengerusakan di daerah Grogol dan terus
menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka
kecewa dengan tindakan aparat yang menembak
Sumber : Google mati mahasiswa.
• Periode keempat, Soeharto akhirnya menyerah pada tuntutan rakyat yang menghendaki dia
tidak menjadi Presiden lagi, namun tampaknya tak semudah itu reformasi dimenangkan oleh
rakyat Indonesia karena ia meninggalkan kursi KePresidenan dengan menyerahkan secara
sepihak tampuk kedaulatan rakyat begitu saja kepada Habibie. Ini mengundang perdebatan
hukum dan penolakan dari masyarakat. Bahkan dengan tegas sebagian besar mahasiswa
menyatakan bahwa Habibie bukan Presiden Indonesia. Mereka tetap bertahan di gedung
DPR/MPR sampai akhirnya diserbu oleh tentara dan semua mahasiswa digusur dan
diungsikan ke kampus-kampus terdekat. Paling banyak yang menampung mahasiswa pada
saat evakuasi tersebut adalah kampus Atmajaya Jakarta yang terletak di Semanggi. Pada
bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk
menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan
dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini
dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan
pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

3. Krisis Politik yang Terjadi di Indonesia


Kekerasan politik yang berdimensi rasial sesungguhnya bukanlah hal yang baru di dalam
sejarah politik di Tanah Air kita, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan.
Kejadian-kejadian yang dilaporkan secara luas akhir-akhir ini berkaitan dengan aksi
kerusuhan sebelum, selama, dan sesudah jatuhnya rezim Orde Baru sebenarnya telah
dikhawatirkan oleh banyak pihak akan muncul. Meskipun demikian, tak pernah dibayangkan
bahwa kekerasan politik yang berwarna rasial itu akan berlangsung sedemikian mengerikan,
khususnya terjadi pembunuhan serta perkosaan terhadap warga etnis Tionghoa. Tak pelak
lagi, kekerasan politik rasial merupakan salah satu persoalan yang senantiasa menyatu pada
kehidupan politik selama ia tidak diselesaikan secara terbuka, proporsional, dan rasional.
ORBA yang dibentuk menyusul tumbangnya rezim Orde Lama dibawah Soekarno, secara
formal menyatakan ingin melakukan koreksi total terhadap penyimpangan-penyimpangan
konstitusional, termasuk dalam masalah hubungan antara kelompok mayoritas dan
minoritas. Dalam perkembangannya selama 32 tahun, ORBA ternyata masih melakukan
kesalahan-kesalahan yang sama dan bahkan dalam kaitan dengan masalah rasial terjadi
yang lebih besar.

4. Faktor Sosial
a. Meningkatnya Angka Kemiskinan
Kenaikan angka penduduk miskin yang melonjak dengan pesat disebabkan oleh
beberapa hal :
 Menurunnya pendapatan riil penduduk diperkirakan untuk periode 1997-1998
terjadi penurunan pendapatan riil rata-rata sebesar 10-14% dalam nilai konstan.
 Naiknya jumlah pengangguran, terutana di kota-kota besar menyebabkan munculnya
kelompok-kelompok miskin dengan perkiraan sekitar 15 juta orang pada tahun
1998.
 Kenaikan inflasi, terutama untuk kelompok pangan yang jauh lebih tinggi dari tingkat
inflasinya sendiri. Diperkirakan untuk harga beras telah meningkat hampir 200%. Hal
ini menyebabkan turunnya daya beli masyarakat desa maupun kota dan mendorong
mereka dalam kelompok hidup miskin.

b. Kelompok Rawan Pangan


Melihat lebih dalam lagi ke dalam distribusi kemiskinan yang digolongkan sebagai
keluaraga pra sejahtra dan sejahtra meningkat menjadi hampir 17,5 juta. Kelompok
masyarakat rawan pangan yang naik secara drastis ini disebabkan oleh kombinasi
antara krisis ekonomi yang menurunkan daya beli dan faktor alam yang tidak
menguntungkan. Hasil estimasi secara konservatif yang dilakukan oleh World Food
Program yang dilakukan di 35 wilayah DATI II di 15 provinsi menunjukan bahwa 7,5 juta
orang dari sekitar 19,5 juta populasi di wilayah tersebut akan mengalami masalah rawan
pangan.Kemiskinan absolut sangat erat kaitannya dengan maslah rawan pangan dan
kekurangan gizi. Masalah rawan pangan sebagian besar menimpa wanita dan anak-
anak.
c. Meledaknya Angka Pengangguran
Tingkat pengangguran diperkirakan mencapai 15 juta orang atau sekitar 16,5% dari
angkatan kerja pada pertengahan 1998. Angka ini jelas lebih rendah dari angka
sebelumnya. Hal ini diperburuk lagi mengingat masalah sebenarnya terletak pada semi
pengangguran yang jauh lebih besar dari angka pengangguran dan merupakan indikasi
kearah kelompok penduduk miskin. Hal ini terutama terjadi di perkotaan, dimana
sebagaian besar pengangguran biasanya tetap melakukan pekerjaan tetapi dengan
beban kerja yang sangat ringan dan upah yang minim. Pada tahun 1996 diperkirakan
sekitar 37% dari pekerja sebenarnya berada dalam kondisi semi pengangguran dan
angka ini diperkirakan lebih besar lagi pada situasi krisis seperti ini.
d. Menurunnya Murid Sekolah
Konsekuensi dari menurunnya pendapatan riil adalah menurunnya tingkat pendaftaran
sekolah. Hal ini terutama desebabkan oleh tekanan kepada anak untuk membantu
mencari nafkah terutama bagi keluarga miskin. Pada tahun 1998/1999 diperkirakan
menjadi kenaikan murid putus sekolah dari sekitar 2,6% menjadi 5,7% untuk murid SD
atau kenaikan sebesar 119,2%. Sedangkan untuk murid SMP naik 5,1% menjadi 13,3%
atau kenaikan sebesar 125%. Secara absolut diperkirakan sekitar 17,5 juta murid usia
sekolah akan putus sekolah untuk mencari penghasilan serta 400 ribu murid sekolah
tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Bahkan jika dilakukan
penghapusan uang sekolah, kenaikan murid usia sekolah diperkirakan akan tidak
meningkat drastis karena semakin tingginya biaya-biaya kesempatan (opportunity cost)
di lapangan kerja.
e. Mutu Kesehatan
Di bidang kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah telah menyebabkan kenaikan
drastis harga obat-obatan, vaksin, kontrasepsi. Survei kecil yang dilakukan di Jakarta dan
Jawa Barat menunjukkan kenaikan harga obat rata-rata hampir tiga kali lipat.
Sedemikian parahnya masalah kelangkaan obat sehingga beberapa pusat kesehatan
tutup. Lebih parah lagi, menurunnya tingkat pendapatan riil menyebabkan daya beli
kelompok penduduk miskin untuk mendapatkan fasilitas kesehatan berkurang. Kondisi
yang sama terjadi pada golongan wanita, terutama wanita hamil yang akan mempertinggi
resiko kematian bayi akibat buruknya sarana kesehatan. Berita-berita di surat kabar
menyatakan bahwa bertambah banyak jumlah pasien yang memilih keluar dari rumah
sakit karena kurang dan mahalnya obat-obatan.

Keadaan Bangsa Indonesia Pada Era Reformasi


Era reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada saat Presiden
Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan
ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia
terhadap pemerintahan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran
yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. B. J. Habibie yang
menjadi Wakil Presiden dan sebelumya menjabat sebagai Mentri Riset dan Teknologi,
menggantikannya sebagai Presiden baru. Jatuhnya pilihan kepada B. J. Habibie merupakan
suatu hal yang kontroversial. Habibie sesungguhya mewarisi suatu pemerintahan yang
mengalami kerusakan total serta bersifat multidimensioal baik dalam segi moniter, ekonomi,
sosial, politik, dan juga mental (Amin Rais, 1998: 29).
Proyek kebanggaan Habibie, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) masalnya, sering
menjadi sasaran kritik karena diduga telah menyalahgunakan anggaran negara (Hikam,
Muhamad, 1999: 71). Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah tragedi Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan
mahasiswapun meluas hampir di seluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam
maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pada
tanggal 21 Mei 1998 tepatnya pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya
dan kemudian mengucapkan terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, banyak mengalami
perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam bidang ekonomi,
politik, maupun sosial. Hal ini dapat dilihat dari munculnya era reformasi yang mengalami
perubahan-perubahan seperti berikut ini:
1. Dalam Bidang Ekonomi
Dalam perdebatan-perdebatan mengenai ekonomi, sering diperdebatkan apakah ekonomi
menjadi prasyarat keamanan ataukah sebaliknya keamanan menjadi prasyarat hidupnya
ekonomi. Apabila ekonomi rusak dan keluarga-keluarga dalam masyarakat tidak mungkin
memenuhi kebutuhanya, pelanggaran-pelanggaran hukum amat sukar dicegah. Tetapi, kalau
keadaan umum tidak aman kegiatan-kegiatan ekonomi pasti terganggu, bahkan mungkin
buat sementara terhenti. Keamanan umum di Indonesia dalam satu tahun sesudah Soeharto
mengundurkan diri sebagai Presiden mengalami banyak gangguan, sedangkan ekonomi
umum belum mampu bangkit kembali dari pukulan berat oleh krisis moneter.
Nilai rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa bulan sesudah pergantian tahun 1998
sampai 1999 relatif stabil tetapi pada tingkat yang tinggi antara Rp. 7.000 dan Rp. 8.000
sehingga belum dapat membantu ibi-ibu rumah tangga dari kelas rendah yang penghasilan
kerjanya dalam rupiah belum cukup untuk mengejar harga sembako yang tetap tinggi.
Karena keadaan ekonomi yang demikian, jumlah anak jalanan dan preman tidak berkurang,
tetapi malah bertambah. Para petani pangan juga banyak yang mengeluh karena tingginya
harga pupuk dan karena saingan harga beras dari luar negeri yang dapat masuk ke
Indonesia dengan bebas pajak atau dengan pajak yang rendah.

2. Dalam Bidang Politik


Suasana politik sesudah berhentinya Presiden Soeharto penuh dengan kejadian-kejadian
yang menimbulkan frustasi dikalangan Pemerintah, ABRI, partai-partai politik dan
masyarakat umum.
Di antara kejadian-kejadian itu dapat disebut beberapa yang membawakan disintegrasi
politik berkepanjangan, misalnya naiknya Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto,
pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan, timbulnya partai-partai politik baru, tawaran
kepada rakyat Timor-Timur untuk mendapatkan otonomi luas atau kemerdekaan, gerakan di
Irian Jaya dan Aceh untuk mendirikan negara merdeka baru lepas dari Republik Indonesia;
Rencana Pemilu 1999 dan pencalonan Preseden. Disamping itu, hampir setiap hari orang
Jakarta dan kota besar lainnya dapat membaca di surat kabar, majalah atau tabloid tentang
politik pemerintahan Soeharto yang merugikan negara dan rakyat karena bertentangan
dengan sistem demokrasi.
3. Dalam Bidang Sosial
Sejak Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei
1998 sampai satu tahun kemudian keadaan sosial di indonesia selalu diganggu oleh
berbagai peristiwa yang meresahkan masyarakat banyak. Jumlah kemiskinan yang setahun
lalu mencuat samapi 100 juta belum menunjukkan gejala menurun. Jumlah penganggur
sebagai korban PHK tidak kurang dari tujuh juta, dengan kebanyakan di antara mereka
bermukim di kota-kota besar.
Banyaknya jumlah penduduk miskin dan korban PHK, banyak keluarga terpaksa mengurangi
makan sehari-hari atau memilih maknan yang berkualitas gizi rendah, juga buat anak-anak di
bawah umur sepuluh tahun yang sedang sangat membutuhkan masukan gizi yang cukup
sebagai landasan kesehatan badan mereka. Dikhawatirkan, kalau kekurangan gizi
berlangsung lebih lama generasi anak-anak dikemudian hari akan menjadi generasi anak-
anak yang lemah. Kekurangan gizi yang berkepanjangan tidak hanya memiliki pengaruh
negatif terhadap perkembangan tubuh anak, akan tetapi juga intelegensi atau daya pikir
mereka.
Selain itu, gejala sosial yang menarik perhatian adalah di bidang keamanan dan ketertiban
umum. Tahun 1999, kepolisian RI secara organisatoris dan operasional dipisahkan dari
angkatan-angkatan bersenjata. Istialah ABRI tidak lagi berlaku dan diganti dengan TNI yang
meliputi angkatan darat, laut dan udara. Di samping itu, kepolisian RI berdiri sendiri
meskipun secara administratif tetap di bawah pimpinan Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru dan Lahirnya Reformasi


Di balik kesuksesan pembangunan di depan, Orde Baru menyimpan beberapa kelemahan.
Selama masa pemerintahan Soeharto, praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) tumbuh subur.
Praktik korupsi menggurita hingga kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun
1998. Rasa ketidakadilan mencuat ketika kroni-kroni Soeharto yang diduga bermasalah
menduduki jabatan menteri Kabinet Pembangunan VII. Kasus-kasus korupsi tidak pernah
mendapat penyelesaian hukum secara adil.
Pembangunan Indonesia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga menyebabkan
ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Bahkan, antara pusat dan daerah terjadi kesenjangan
pembangunan karena sebagian besar kekayaan daerah disedot ke pusat. Akhirnya, muncul rasa
tidak puas di berbagai daerah, seperti di Aceh dan Papua. Di luar Jawa terjadi kecemburuan
sosial antara penduduk lokal dengan pendatang (transmigran) yang memperoleh tunjangan
pemerintah. Penghasilan yang tidak merata semakin memperparah kesenjangan sosial.
Pemerintah mengedepankan pendekatan keamanan dalam bidang sosial dan politik.
Pemerintah melarang kritik dan demonstrasi. Oposisi diharamkan rezim Orde Baru. Kebebasan
pers dibatasi dan diwarnai pemberedelan Koran maupun majalah. Untuk menjaga keamanan
atau mengatasi kelompok separatis, pemerintah memakai kekerasan bersenjata. Misalnya,
program Penembakan Misterius (Petrus) atau Daerah Operasi Militer (DOM). Kelemahan
tersebut mencapai puncak pada tahun 1997-1998.
Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Krisis moneter dan keuangan yang
semula terjadi di Thailand pada bulan Juli 1997 merembet ke Indonesia. Hal ini diperburuk
dengan kemarau terburuk dalam lima puluh tahun terakhir. Dari beberapa negara Asia,
Indonesia mengalami krisis paling parah. Solusi yang disarankan IMF justru memperparah krisis.
IMF memerintahkan penutupan enam belas bank swasta nasional pada 1 November 1997. Hal
ini memicu kebangkrutan bank dan negara.
Krisis ekonomi mengakibatkan rakyat menderita. Pengangguran melimpah dan harga kebutuhan
pokok melambung. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai daerah. Daya beli
masyarakat menurun. Bahkan, hingga bulan Januari 1998 rupiah menembus angka Rp
17.000,00 per dolar AS. Masyarakat menukarkan rupiah dengan dolar. Pemerintah
mengeluarkan “Gerakan Cinta Rupiah”, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Krisis
moneter tersebut telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Krisis ini ditandai adanya
keterpurukan di segala bidang kehidupan bangsa. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
semakin menurun. Pemerintah kurang peka dalam menyelesaikan krisis dan kesulitan hidup
rakyat. Kabinet Pembangunan VII yang disusun Soeharto ternyata sebagian besar diisi oleh kroni
dan tidak berdasarkan keahliannya. Kondisi itulah yang melatarbelakangi munculnya gerakan
reformasi.
Munculnya gerakan reformasi dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi
bangsa Indonesia. Semula gerakan ini hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus di berbagai
daerah. Akan tetapi, para mahasiswa harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak
mendapatkan jalan keluar. Gerakan reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda antara lain
suksesi kepemimpinan nasional, amandemen UUD 1945, pemberantasan KKN, penghapusan
dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, dan pelaksanaan otonomi daerah. Agenda utama
gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan Presiden. Berikut ini kronologi
beberapa peristiwa penting selama gerakan reformasi yang memuncak pada tahun 1998.

1. Demonstrasi Mahasiswa
Desakan atas pelaksanaan reformasi dalam kehidupan nasional dilakukan mahasiswa dan
kelompok proreformasi. Pada tanggal 7 Mei 1998 terjadi demonstrasi mahasiswa di
Universitas Jayabaya, Jakarta. Demonstrasi ini berakhir bentrok dengan aparat dan
mengakibatkan 52 mahasiswa terluka. Sehari kemudian pada tanggal 8 Mei 1998
demonstrasi mahasiswa terjadi di Yogyakarta (UGM dan sekitarnya). Demonstrasi ini juga
berakhir bentrok dengan aparat dan menewaskan seorang mahasiswa bernama Mozes
Gatotkaca. Dalam kondisi ini, Presiden Soeharto berangkat ke Mesir tanggal 9 Mei 1998
untuk menghadiri sidang G 15.

2. Peristiwa Trisakti
Tuntutan agar Presiden Soeharto mundur semakin kencang disuarakan mahasiswa di
berbagai tempat. Tidak jarang hal ini mengakibatkan bentrokan dengan aparat keamanan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta tewas tertembak
peluru aparat keamanan saat demonstrasi menuntu Soeharto mundur. Mereka adalah Elang
Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Peristiwa Trisakti
mengundang simpati tokoh reformasi dan mahasiswa Indonesia.

3. Kerusuhan Mei 1998


Penembakan aparat di Universitas Trisakti itu menyulut demonstrasi yang lebih besar. Pada
tanggal 13 Mei 1998 terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo.
Kondisi ini memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir. Sementara
itu, mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para
demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.

4. Pendudukan Gedung MPR/DPR


Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung MPR/DPR sebagai pusat gerakan yang relative
aman. Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung rakyat. Bahkan, mereka menduduki atap
gedung tersebut. Mereka berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap
yang tegas. Akhirnya, tanggal 18 Mei 1998 ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto
turun dari jabatannya sebagai Presiden. Pernyataan Harmoko itu kemudian dibantah oleh
Pangjab Jenderal TNI Wiranto dan mengatakannya sebagai pendapat pribadi.
Untuk mengatasi keadaan, Presiden Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat
seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei
1998. Akan tetapi, upaya ini tidak mendapat sambutan rakyat.

5. Pembatalan Apel Kebangkitan Nasional


Momentum hari Kebangkitan Naisonal 20 Mei 1998 rencananya digunakan tokoh reformasi
Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas. Akan tetapi, beliau
membatalkan rencana apel dan doa bersama karena 80.000 tentara bersiaga di kawasan
tersebut. Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat
berdemonstrasi. Ketua MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri
pada hari Jumat tanggal 22 Mei 1998 atau MPR/DPR akan terpaksa memilih Presiden baru.
Bersamaan dengan itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri.

6. Pengunduran Diri Presiden Soeharto


Pada dini hari tanggal 21 Mei 1998 Amien Rais
selaku Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah
menyatakan, “Selamat tinggal pemerintahan lama
dan selamat datang pemerintahan baru”. Ini beliau
lakukan setelah mendengar kepastian dari Yuzril
Ihza Mahendra. Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB
Presiden Soeharto membacakan pernyataan
pengunduran dirinya. Sumber : Google
Itulah beberapa peristiwa penting menyangkut
gerakan reformasi tahun 1998. Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden yang
telah dipegang selama 32 tahun. Beliau kemudian digantikan B.J. Habibie. Sejak saat itu
Indonesia memasuki era reformasi.

Perkembangan Politik Pada Masa Reformasi


Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi
mengupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta
merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie
merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis.
Selain itu pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka
umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat,
baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Namun khusus
demonstrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demonstrasi hendaknya
mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demonstrasi
tersebut.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara
bertahap yaitu 75 orang menjadi 38 orang. Langkah ini yang ditempuh adalah ABRI semula
terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun
mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi
Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum. Reformasi
hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tindakan yang
dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapat sambutan baik dari
berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada
tatanan hukum yang didambakan oleh masyarakat.
Presiden Habibie mencabut lima paket Undang-Undang tentang politik. Sebagai gantinya DPR
berhasil menetapkan tiga Undang-Undang politik baru. Ketiga Undang-Undang itu disahkan pada
tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga Undang-Undang itu
antara lain Undang-Undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD.
Munculnya Undang-Undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya
kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya Undang-Undang politik itu partai-partai politik
bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada
masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti
pemilihan umum tahun 1999. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik
diberlakukan cukup ketat. Setelah perhitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak
di antaranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai
Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional.
Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR segera
melaksanakan sidang. Sidnag Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21
Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi ketua MPR dan Akbar
Tanjung menjadi ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung
jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara
menolah, 322 menerima, 9 absen dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban
itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri mejadi Presiden Republik Indonesia. Hal ini
mengakibatkan munculnya tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR
yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza MAhendra.
Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu,
tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahman Wahid dan Megawati
Soekarnopoutri. Dari hasil pemilihan Presiden yang dilaksanakan secara voting, Abdurrahman
Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999
dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekaroputri dan Hamzah
Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri.
Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden
Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak
sampai pada akhir masa jabatannya. Beliau menduduki jabatan sampai tahun 2001
dikarenakan munculnya ketidakpercayaan parlemen padanya. DPR/MPR kemudian memilih dan
mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz
sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004.
Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah
pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai
Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.

Kondisi Sosial Masyarakat Sejak Reformasi


Sejak krisis moneter yang melanda pada pertengahan tahun 1997, perusahaan-perusahaan
swasta mengalami kerugian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan
memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya. Keadaan seperti ini
menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami kerugian yang
cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk
menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang
mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK.
Para pekerja yang diberhentikan itu menambah jumlah pengangguran, sehingga jumlah
pengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Pegangguran dalam jumlah yang sangat
besar ini akan menimbulkan terjadinya masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Dampak
susulan dari pengangguran adalah makin maraknya tindakan-tindakan criminal yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat.
Langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut adalah pemerintah dengan serius
menangani masalah pengangguran dengan membuka lapangan kerja baru yang dapat
menampung para penganggur tersebut. Langkah berikutnya, pemerintah berusaha menarik
kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga dapat membuka
lapangan kerja baru untuk menampung para penganggur tersebut.

Kondisi Ekonomi Masyarat Indonesia


Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mulai
mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat
makin menurun. Pengangguran juga semakin luas.
Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk memperbaiki perekonomian
Indonesia diantaranya :
a. Merekapitulasi perbankan
b. Merekonstruksi perekonomian Indonesia
c. Melikuidasi beberapa bank bermasalah
d. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp 10.000,-
e. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, pemerintah juga memperhatikan
harga produk pertanian Indonesia, karena selama masa pemerintahan Orde Baru maupun sejak
krisis 1997 tidak pernah berpihak kepada petani. Apabila pendapatan petani meningkat, maka
permintaan pertanian terhadap barang non pertanian juga meningkat. Dengan ditetapkannya
harga produk pertanian akan member semangat bangkitnya para pengusaha untuk
mengembangkan kegiatan perusahaannya.
Pihak pemerintah telah berusaha ntuk membawa Indonesia keluar dari krisis. Tetapi tidak
mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu untuk mengatasi krisis,
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia, memerlukan
penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas.

Faktor Pendorong Terjadinya Reformasi

Faktor politik
•Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam kehidupan pemerintahan.
•Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan nepotisme dan kronisme
serta merajalelanya korupsi.
•Kekuasaan Orba di bawah Soeharto otoriter tertutup.
•Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
•Mahasiswa menginginkan perubahan.

Faktor ekonomi
•Adanya krisis mata uang rupiah.
•Naiknya harga barang-barang kebutuhan masyarakat.
•Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.

Faktor sosial masyarakat


•Adanya kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang melumpuhkan perekonomian rakyat.

Faktor hukum
•Belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga negara.

Seakan tak kenal menyerah, begitulah bangsa ini dalam menghadapi rasuah. Berkali-kali badan
antikorupsi yang dibentuk mengalami kegagalan, tidak lantas menjadikan putus harapan. Mulai
PARAN hingga Operasi Budhi, dari KOTRAR sampai Opstib. Semua gugur, namun semangat tak
lantas kendur.
Harapan yang memang tak pernah mati itu pun akhirnya berkobar kembali, ketika lembaga
antikorupsi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, 29 Desember 2003. Di
tengah cengkeraman korupsi yang semakin kuat, KPK muncul membawa semangat baru yang
belum pernah dirasakan sebelumnya. Melalui KPK, publik berharap banyak bahwa
pemberantasan korupsi tidak hanya sebatas impian. Dengan adanya KPK, bangsa ini yakin
bahwa pada saatnya, korupsi akan benar-benar terberangus dari Bumi Pertiwi.
Proses pembentukan KPK sendiri, diawali TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan
yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Mengacu pada TAP MPR tersebut, DPR
dan pemerintah kemudian membuat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Saat pembahasan RUU itulah, muncul gagasan dari sebagian anggota DPR. Seperti terungkap
dalam buku “Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan”, mereka mengusulkan untuk menambah
bab tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tapi usulan itu ditolak. Argumentasinya ketika itu, karena tidak logis menambah bab dalam RUU.
Penambahan hanya bisa dilakukan atas satu pasal atau ayat. Dalam buku tersebut, Ketua KPK
periode pertama Taufiequrachman Ruki, mengatakan, penambahan bab juga belum dikaji
secara juridis maupun semantik.
DPR, akhirnya memang menolak usulan penambahan bab tersebut. Alasannya, untuk
membangun sebuah lembaga atau komisi yang diberi kewenangan besar, tidak bisa dirancang
dengan pemikiran sesaat. Harus dilakukan pengkajian yang benar dengan segala aspeknya.
Meski menolak usulan penambahan bab, namun DPR setuju soal pembentukan KPK. Karena itu,
kemudian disepakati bahwa amanat pembentukan KPK akan dimuat dalam aturan peralihan UU
No. 31 Tahun 1999. Akhirnya, berdasarkan Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, secara resmi KPK pun dibentuk. Sesuai amanat UU, lembaga baru
tersebut dibentuk satu tahun setelah UU tersebut disahkan.
Dalam UU disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas
tindak pidana korupsi. Sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, KPK memang diberi
amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan
Kelahiran KPK mewarnai babak baru pemberantasan korupsi di Tanah Air. Karena berbeda
dengan berbagai badan antikorupsi yang ada sebelumnya, KPK merupakan lembaga yang
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, termasuk pemerintah.
Selayaknya lembaga antikorupsi di berbagai negara, kemunculan KPK memang menjadi
tumpuan. Bahkan tidak sedikit yang berharap, bahwa KPK bisa menjadi seperti ICAC di Hong
Kong atau CPIB di Singapura, yang berhasil membawa kedua negara tersebut ke dalam
perubahan besar.
Hal itu, tentu bukan harapan kosong. Dalam perjalanannya, kiprah luar biasa yang diperlihatkan
KPK, justru menguatkan harapan tersebut.
Di tengah rintangan yang tidak kecil, KPK terus menunjukkan kinerja terbaiknya. Di bidang
penindakan, misalnya, KPK berhasil menyeret satu per satu pejabat penting negeri ini ke meja
hijau. Tidak hanya menteri, duta besar, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR/DPRD, atau
pimpinan partai politik. Bahkan, KPK pun berhasil “mengantar” besan seorang Presiden ke
dalam penjara.
Sementara di bidang pencegahan yang sifatnya jangka panjang, banyak hal juga dilakukan.
Antara lain KPK tak henti berinovasi dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Mulai dari
pendekatan budaya, sosial, hingga pendidikan, semua dilakukan.
Berbagai gebrakan tersebut, semakin meningkatkan kepercayaan publik terhadap KPK.
Akibatnya, ekspektasi kian tinggi dan dukungan terhadap KPK juga semakin menguat. Dalam
konteks tersebut, ketika KPK menghadapi berbagai tantangan, publik meyakini bahwa itu adalah
bagian dari proses yang memang harus dilalui, terlebih dalam usia yang masih tergolong muda.
Membandingkan dengan ICAC, awalnya mereka juga menghadapi tantangan yang sangat hebat.
Setidaknya ICAC membutuhkan waktu lebih dari 30 tahun untuk mengubah Hong Kong yang
awalnya merupakan negara paling korup di kawasan Asia Pasifik menjadi salah satu negara yang
tergolong bersih.
Kondisi demikian, persis seperti diungkapkan Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi. Menurutnya,
dalam sebuah gerakan pemberantasan korupsi, satu dasawarsa tentu waktu yang singkat.
Karena keberhasilan pemberantasan korupsi hitungannya bukan satu atau sepuluh tahun, tapi
hitungan generasi.
Dengan begitu, memang tak ada alasan untuk bersikap pesimistis terhadap pemberantasan
korupsi. Apalagi KPK saat ini, sangat berbeda dibandingkan dengan badan antikorupsi yang
sebelumnya pernah dibentuk pemerintah. Sebagaimana lembaga antikorupsi di seluruh dunia,
KPK bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun. Selain itu, dalam mengemban misinya, KPK juga dibekali dengan
kewenangan yang tidak dimiliki oleh badan antikorupsi yang pernah ada.
Yang tak kalah penting, tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak, pembentukan KPK bukanlah
ditujukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada
sebelumnya. Sebut saja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung. Sebaliknya,
sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU tersebut, KPK berperan sebagai triger
mechanism. Artinya, KPK berperan sebagai pendorong atau stimulus agar upaya pemberantasan
korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Dengan demikian, jika dalam perkembangannya, baik Polri maupun Kejagung menunjukkan
kinerja pemberantasan korupsi yang meningkat, hal itu bukan merupakan “ancaman” bagi KPK.
Sebaliknya, hal itu justru merupakan salah satu indikator bahwa peran triger mechanism yang
diamanatkan UU tadi, sudah berjalan dengan baik.
TES FORMATIF
1. Jika Anda dipercaya menjadi Ketua KPK, bagaimana strategi pemberantasan korupsi yang
Anda buat?
2. Menurut Anda, bagaimana TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bisa menjadi pemberi semangat pemberantasan
korupsi di Indonesia?
3. Apa yang dimaksud fungsi triger mechanism yang dimiliki KPK?
Kegiatan Belajar 3 VISI DAN MISI KPK SERTA DASAR HUKUM PENDIRIAN KPK

Sumber : Google

VISI dan MISI KPK


A. DASAR HUKUM PENDIRIAN KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan
pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan
lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari kekuasaan manapun.

KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga
yang ada sebelumnya. Penjelasan Undang-Undang menyebutkan peran KPK sebagai triger
mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi
oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK yang adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab
kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden,
DPR, dan BPK KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua
merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK
tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur
masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat
kolektif kolegial.
Pimpinan KPK membawahi empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan,
Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing
bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang
dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik
Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.
Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan
KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai dengan
kompetensi yang diperlukan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi :

B. TUGAS DAN WEWENANG KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pengertian
“kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif,
legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan
situasi ataupun dengan alasan apapun.
Pengaturan mengenai dasar hukum dan kewenangan KPK sebagai Lembaga Negara dapat
dilihat pada beberapa peraturan PerUndang-Undangan berikut ini:
TES FORMATIF
1. Jelaskan secara singkat visi KPK!
2. Jelaskan secara singkat misi KPK!
3. Jelaskan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi!
Kegiatan Belajar 4 TUGAS, POKOK DAN FUNGSI DAN KEWENANGAN KPK
TIDAK HANYA MENANGKAP KORUPTOR

AKTIVITAS KPK DALAM PENINDAKAN DAN PENCEGAHAN


Ketika KPK meluncurkan film antikorupsi KPK, bisa jadi banyak publik bertanya-tanya. “Lho,
apakah KPK sudah berubah fungsi? Sejak kapan KPK berkecimpung di dunia seni?”
Pertanyaan semacam itu memang wajar. Sebab, selama ini yang sering terpublikasikan oleh
media massa adalah peran represif KPK dalam bidang penindakan. Misalnya saja, ketika KPK
menangkap seorang gubernur atau bupati, saat KPK menjebloskan seorang menteri atau besan
Presiden ke dalam jeruji besi, dan sebagainya. Seperti itulah yang terekspos.
Fenomena semacam itu, tak lepas dari media massa, yang memandang bahwa peran represif
KPK terlihat seksi dan punya “nilai jual” tinggi. Faktanya, berbagai kiprah KPK terkait
penindakan, apalagi jika yang ditangkap adalah pejabat tinggi, hampir selalu menarik minat
masyarakat.
Tetapi karena itu pula, maka peran lain KPK di bidang pencegahan menjadi kurang
tersampaikan ke masyarakat. Padahal, menurut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, tugas,
fungsi, dan kewenangan KPK memang tidak terbatas pada penindakan saja, namun juga
pencegahan. Contohnya terkait film KPK itu tadi. Termasuk di antaranya, saat KPK
menyelenggarakan lomba puisi antikorupsi, arisan antikorupsi, zona antikorupsi, menerbitkan
buku cerita bergambar antikorupsi, dan sebagainya.
Secara lengkap, tugas KPK diatur dalam Pasal 6. Di dalamnya menyebutkan, bahwa tugas KPK
adalah:

No Tugas KPK Kewenangan KPK


1 Melakukan Koordinasi • Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi
• Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
• Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi terkait;
• Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi; dan
• Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan
tindak pidana korupsi.
Dalam bidang penindakan, KPK melaksanakan tugas
koordinasi, terutama terhadap penanganan perkara tindak
pidana korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Bentuk
kegiatan yang dilakukan sesuai ketentuan Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002, yakni:
• Menetapkan sistem pelaporan penanganan perkara dari
Kepolisian dan Kejaksaan ke KPK,
• Meminta/mendapatkan informasi ke/dari Kepolisian dan
Kejaksaan tentang telah dilaksanakannya Penyidik perkara
tindak pidana korupsi dengan media informasi berupa
penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP) ke/dari Kepolisian dan Kejaksaan,
• Meminta/mendapatkan informasi ke/dari Kepolisian dan
Kejaksaan tentang perkembangan penanganan perkara yang
telah dilakukan Penyidikan (misal: perkembangan
pelaksanaan penyidikan, pelimpahan berkas perkara ke
Penuntut Umum, pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan,
No Tugas KPK Kewenangan KPK
dan dihentikannya penyidikan/SP3).
• Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan secara
berkala dengan instansi yang berwenang dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal ini
Kepolisian, Kejaksaan dan instansi pengawas.
2 Melakukan Supervisi • Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
• Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-
larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
• Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang
sesungguhnya;
• Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi;
• Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
• Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit
dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
3 Melakukan penyelidikan, Kriteria korupsi yang bisa ditangani KPK:
penyidikan, dan • Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara,
penuntutan dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara Negara;
• Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dan/atau
• Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp1 miliar.
Melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
KPK berwenang:
• Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
• Memerintahkan kepada instansi terkait melarang seseorang
keluar negeri;
• Minta keterangan kepada bank/lembaga keuangan tentang
keadaan keuangan tersangka/terdakwa;
• Memerintahkan bank/lembaga keuangan untuk blokir
rekening yang diduga milik tersangka, terdakwa atau pihak
lain yang terkait;
• Memerintahkan kepada pimpinan/atasan tersangka untuk
berhenti dari jabatannya;
• Meminta data kekayaan dan data pajak tersangka/terdakwa
kapada instansi terkait;
• Menghentikan sementara transaksi keuangan, perdagangan
dan perjanjian lainnya/pencabutan izin, lisensi, serta
konsensi;
• Meminta bantuan interpol atau instansi penegak hukum
negara lain untuk mencari, menangkap, dan menyita barang
bukti di luar negeri;
• Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan,
penggeladahan, dan penyitaan dalam perkara TPK yang
sedang ditangani
4 Melakukan pencegahan • Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
tindak pidana korupsi harta kekayaan penyelenggara Negara;
• Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
• Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada
setiap jenjang pendidikan;
No Tugas KPK Kewenangan KPK
• Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
• Melaksanakan kampanye antikorupsi kepada masyarakat
umum;
• Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
5 Melakukan monitoring • Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
• Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
• Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan
Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak
diindahkan.

1. Koordinasi
Dalam menjalankan tugas koordinasi, KPK berkoordinasi dengan instansi yang terkait
dengan tugas pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi. Antara lain:
Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal (Itjen), dan Badan Pengawas Daerah
(Bawasda).
Dalam melaksanakan tugas koordinasi itu, KPK berwenang:
• Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
• Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi terkait;
• Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
• Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Dalam bidang penindakan, KPK melaksanakan tugas koordinasi, terutama terhadap
penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Bentuk
kegiatan yang dilakukan sesuai ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002, yakni:
• Menetapkan sistem pelaporan penanganan perkara dari Kepolisian dan Kejaksaan ke
KPK,
• Meminta/mendapatkan informasi ke/dari Kepolisian dan Kejaksaan tentang telah
dilaksanakannya Penyidik perkara tindak pidana korupsi dengan media informasi berupa
penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke/dari Kepolisian
dan Kejaksaan,
• Meminta/mendapatkan informasi ke/dari Kepolisian dan Kejaksaan tentang
perkembangan penanganan perkara yang telah dilakukan Penyidikan (misal :
perkembangan pelaksanaan penyidikan, pelimpahan berkas perkara ke Penuntut Umum,
pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan, dan dihentikannya penyidikan/SP3).
• Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan secara berkala dengan instansi yang
berwenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal ini Kepolisian,
Kejaksaan dan instansi pengawas.
Kegiatan koordinasi juga dilaksanakan dalam rangka tindak lanjut atas penerusan
laporan pengaduan masyarakat yang diterima oleh KPK kepada Instansi terkait. Untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan-kegiatan koordinasi tersebut, akan
dilakukan pengembangan sistem dan mekanisme koordinasi yang akan dilaksanakan
KPK bersama dengan institusi penegak hukum lain sebagai acuan bersama dalam
pelaksanaan teknis kegiatan koordinasi pemberantasan tindak korupsi.

2. Supervisi
Sementara dalam melakukan supervisi, KPK melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang di bidang
pemberantasan tindak pidana korupsi serta instansi yang melaksanakan pelayanan publik.
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas supervisi tersebut, KPK dapat mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan
oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Pengambilalihan tersebut diperbolehkan, dengan alasan
sebagai berikut:
• Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
• Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
• Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana
korupsi yang sesungguhnya;
• Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
• Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; atau
• Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan
tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pelaksanaan kegiatan supervisi selama ini dilakukan dengan dua cara, yaitu supervisi secara
umum dan secara khusus.
Supervisi secara umum dilakukan terhadap penanganan kasus/perkara tindak pidana
korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Supervisi umum tersebut dilakukan bersamaan
dengan pelaksanaan koordinasi dengan jajaran Kepolisian dan Kejaksaan yang dilakukan
per wilayah provinsi. Pada saat itulah supervisi secara umum bisa diberikan terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul, baik teknis maupun non teknis yang dihadapi
oleh jajaran Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan perkara di wilayahnya.
Supervisi secara khusus bisa dilakukan, baik atas permintaan dari Kejaksaan/ Kepolisian
maupun atas inisiatif KPK, terkait penanganan perkara-perkara yang sedang ditangani oleh
Kepolisian dan Kejaksaan. Supervisi khusus ini dilakukan, jika Pimpinan KPK memiliki
pertimbangan bahwa perkara tersebut perlu mendapat supervisi secara khusus. Salah satu
contoh supervisi khusus, ketika Mabes Polri sedang melakukan penyidikan terhadap dugaan
tindak pidana korupsi berupa L/C fiktif BNI.

3. Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan


Di samping melakukan tugas Koordinasi dan Supervisi (Korsup) terhadap penanganan
perkara dugaan tindak pidana korupsi dengan Kepolisian dan Kejaksaan, KPK juga
melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri.
Tetapi, tidak semua tindak pidana korupsi bisa ditangani KPK. Berdasarkan Pasal 11 UU
Nomor 30 Tahun 2002, kriteria korupsi yang bisa ditangani KPK adalah:
• Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara Negara;
• Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
• Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp1 miliar.
Jika terdapat tindak pidana korupsi yang berada di luar kriteria tersebut, tentu saja KPK
tidak berwenang menangani. Pembatasan ini penting, agar tidak semua tindak pidana
korupsi ditangani KPK. Tujuannya, supaya KPK concern dalam menjalankan tugas dan fungsi
penyelidikan, penyidikan, penuntutan.
Peran Stakeholders (Criminal Justice System)

Selain itu, yang tak kalah penting adalah, bahwa penyidik KPK tidak dibolehkan
menghentikan penyidikan (SP3). Seperti diatur dalam Pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002,
“Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi”.
Dengan demikian, jika kasus dugaan tindak pidana korupsi sudah menjadi perkara untuk
dilakukan penyidikan, maka perkara tersebut harus berujung di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Oleh karenanya, dalam tahap penyelidikan, penyelidik KPK harus berupaya untuk
mengungkapkan adanya peristiwa pidana korupsi dengan membuktikan semua unsur
perbuatan pidananya serta menentukan tersangkanya.

Di sisi lain, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK
berwenang:
• Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
• Memerintahkan kepada instansi terkait melarang seseorang keluar negeri;
• Minta keterangan kepada bank/lembaga keuangan tentang keadaan keuangan
tersangka/terdakwa;
• Memerintahkan bank/lembaga keuangan untuk blokir rekening yang diduga milik
tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait;
• Memerintahkan kepada pimpinan/atasan tersangka untuk berhenti dari jabatannya;
• Meminta data kekayaan dan data pajak tersangka/terdakwa kapada instansi terkait;
• Menghentikan sementara transaksi keuangan, perdagangan dan perjanjian
lainnya/pencabutan izin, lisensi, serta konsensi;
• Meminta bantuan interpol atau instansi penegak hukum negara lain untuk mencari,
menangkap, dan menyita barang bukti di luar negeri;
• Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeladahan, dan penyitaan dalam perkara TPK yang
sedang ditangani.

4. Pencegahan
Analog dengan penyakit, memberantas korupsi tidak bisa dilakukan hanya melalui tindakan
kuratif (pengobatan). Tak kalah penting adalah tindakan preventif, yakni segala upaya yang
berkaitan dengan aspek pencegahan.
Meski terkesan kurang “menarik” atau kurang “atraktif”, namun sejatinya pencegahan
merupakan terapi yang cukup ampuh dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan
korupsi melalui pencegahan lebih bersifat “jangka panjang”, karena antara lain terkait
dengan penanaman nilai-nilai antikorupsi dan pembentukan karakter. Hal ini berbeda
dengan upaya penindakan, yang lebih bersifat shock therapy dan penumbuhan efek jera.
Dalam menjalankan tugas pencegahan tersebut, KPK berwenang melaksanakan langkah
atau upaya pencegahan sebagai berikut:
• Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan
penyelenggara Negara;
• Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
• Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
• Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak
pidana korupsi;
• Melaksanakan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
• Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Di antara berbagai kewenangan tersebut, pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN
memiliki peran cukup strategis. LHKPN bisa menjadi media kontrol bagi pejabat dan
penyelenggara negara, karena bisa mencerminkan berapa banyak penambahan
kekayaannya pada saat menduduki jabatan publik dalam rentang waktu tertentu.
Hal ini dimungkinkan, karena pendaftaran LHKPN dilakukan, antara lain pada saat
penyelenggara negara mulai menduduki jabatan dan pada saat berakhirnya masa jabatan
tersebut. Jika penambahan kekayaan dianggap tidak masuk akal, penyelenggara negara
tersebut layak dicurigai telah memperoleh harta secara tidak sah.
Begitu pula terkait penerimaan dan penetapan status gratifikasi. Kewenangan ini juga
memiliki peran penting dalam pencegahan, karena selama ini budaya memberi “sesuatu”
kepada penyelenggara negara dan penegak hukum masih dianggap hal yang lumrah.
Gratifikasi atau pemberian yang terkait dengan jabatan tersebut, telah merebak hampir di
semua strata.
Pada level terendah, seseorang dengan mudahnya memberi “imbalan” atau uang “terima
kasih” kepada petugas RT atau kelurahan yang telah mengurus pembuatan KTP. Sedangkan
pada level atas, hal yang sama juga diberikan terkait perizinan atau proses pengadaan
barang dan jasa (PBJ).
Tidak hanya itu, dalam berbagai kasus, gratifikasi juga dibungkus dengan kegiatan non
kedinasan. Misalnya saja, pemberian bingkisan pada saat pernikahan, hari besar
keagamaan, dan sebagainya. Tetapi apapun sampulnya, tetap saja gratifikasi sangat
berbahaya. Bermula dari gratifikasi, persaingan yang tidak sehat akan tercipta. Berawal dari
gratifikasi pula, akan terjadi suatu konflik kepentingan KPK juga menyelenggarakan
pendidikan antikorupsi di setiap jenjang pendidikan Mulai anak usia dini hingga perguruan
tinggi. Bahkan, pendidikan serupa juga diberikan kepada masyarakat umum, termasuk
kepada para pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara.
Untuk anak usia dini, KPK antara lain menerbitkan buku serial Tunas Integritas, yang terdiri
atas enam buku. Masing-masing berjudul Ungu di Mana Kamu?, Ini, Itu?, Hujan Warna-warni,
Byuur, Ya Ampun!, dan Wuush.
Buku tersebut disajikan dengan gambar yang menarik, menghibur, dan tidak menggurui.
Melalui buku tersebut, KPK berupaya menanamkan sembilan nilai integritas kepada anak-
anak usia dini. Yaitu, jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana,
berani dan adil. Setiap buku juga memiliki gaya dan ilustrasi yang berbeda-beda agar dapat
memberikan stimulasi visual bagi anak-anak.
Sementara kepada para siswa, mulai SD hingga SMA, KPK menerbitkan modul pendidikan
antikorupsi yang diinsersikan ke dalam kurikulum yang ada. Sedangkan kepada mahasiswa,
pendidikan juga diberikan ke dalam mata kuliah Pendidikan Antikorupsi. Sementara kepada
masyarakat umum, KPK memiliki Anti Corruption Learning Center (ACLC), yang merupakan
pusat pendidikan antikorupsi. ACLC fokus pada pengembangan kapasitas “corporate” di luar
KPK atau lembaga lain sesuai dengan sektor pencegahan korupsi dan isu strategis . KPK
juga melakukan program kampanye dan sosialisasi antikorupsi. Kegiatan dilaksanakan di
berbagai tempat, baik sekolah hingga pusat keramaian. Kegiatan tersebut, ditujukan untuk
menggalang kesadaran dan kesamaan persepsi tentang pemberantasan korupsi di
Indonesia. Kegiatan sosialisasi menjadi awal bagi upaya pencengahan korupsi dan
pembangunan budaya antikorupsi dan pembangunan budaya antikorupsi.
Tugas lain di bidang pencegahan adalah melakukan kerja sama bilateral atau multilateral,
baik secara nasional maupun internasional. Tugas tersebut tak kalah strategis, karena KPK
tak mungkin melakukan pemberantasan korupsi sendirian. Kerjasama tersebut terbukti
efektif untuk mempercepat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di dalam negeri, kerjasama antara lain dilakukan dengan Tentara Nasional Indonesia,
PPATK, Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pertahanan Nasional, Perusahaan Jasa
Telekomunikasi, Perbankan, Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, Badan Pengawas
Pasar Modal, beberapa perguruan tinggi, dan sebagainya. Sedangkan kerjasama
internasional dilakukan dengan berbagai lembaga antikorupsi, baik Singapura, Hong Kong,
Korea, Kuwait, Filipina, dan lain-lain.
Bahkan untuk kerjasama internasional, reputasi KPK sangat baik di mata dunia. Tidak
sedikit mereka mengirimkan tenaga penyidik untuk belajar di KPK.

5. Monitoring
Upaya pemerintah yang memfokuskan diri terhadap sektor kesehatan, layak diapresiasi.
Adanya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN), membuat masyarakat tidak lagi takut
berobat jika menderita sakit Namun, SJKN tetap harus mendapat perhatian. Terutama
terhadap potensi penyelewenangan di dalamnya. Maklum, dengan memiliki aset sekitar Rp
10 triliun, diperkirakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, akan
mengelola dana jaminan sosial mencapai Rp 38-40 triliun rupiah per tahun. Jumlah yang luar
biasa.
Dana sebesar itu, berasal dari dana iuran mandiri peserta, modal awal APBN sebesar Rp500
miliar, dan bantuan pemerintah lebih dari Rp 19 triliun. Dana itulah yang berpotensi
dinikmati orang yang tidak berkepentingan.
Terkait hal itulah, KPK melakukan kajian terhadap SJKN. Dari kajian tersebut KPK
menemukan, adanya potensi masalah dalam pelaksanaan BPJS. Antara lain, pertama,
adanya konflik kepentingan dalam penyusunan anggaran dan rangkap jabatan. Kedua,
perihal adanya potensi kecurangan (fraud) dalam pelayanan. Dan ketiga, terkait pengawasan
yang masih lemah.
Berdasarkan hasil kajian, KPK memberikan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan sistem.
Sedangkan beberapa pihak, kemudian menyusun rencana aksi perbaikan untuk
menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Kajian yang dilakukan KPK tersebut, merupakan bagian dari tugas monitoring yang
diamanahkan UU Nomor 30 tahun 2002. Pasal 14 menyebutkan, bahwa terkait tugas
monitoring, maka kewenangan yang dimiliki KPK adalah:
• Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga
negara dan pemerintah;
• Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan
perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
• Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi
mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
Sepanjang lebih dari satu dasawarsa KPK berdiri, tentu banyak kajian yang dilakukan KPK.
Di antaranya, Kajian terhadap BPJS Ketenagakerjaan. Kajian dilakukan, karena besarnya
jumlah anggaran yang dikelola. Pada tahun 2013, misalnya, PT Jamsostek yang menjadi
cikal bakal BPJS Ketenagakerjaan memiliki total aset lebih dari Rp153 triliun dengan dana
investasi hampir Rp 150 triliun dan hasil perolehan investasi mencapai Rp15 triliun. Dana
tersebut akan terus membesar, bahkan diproyeksikan akan mencapai angka fantastis, Rp2
ribu triliun pada 2030.
Di bidang ketahanan pangan, KPK melakukan kajian terhadap kebijakan subsidi beras
miskin (raskin). Dari kajian tersebut, KPK menemukan, berbagai persoalan pada kebijakan
tersebut. Antara lain, data sasaran target yang tidak valid, distribusi raskin yang diidentifikasi
fiktif, penggelapan raskin, harga tebus raskin yang lebih mahal dari yang seharusnya,
pengurangan jatah raskin dan kualitas raskin yang tidak layak konsumsi. Selain itu, juga
pemberian jatah raskin kepada masyarakat yang tidak berhak dan adanya penggelapan
uang tebus raskin.
Dari kajian, KPK juga memberikan beberapa rekomendasi perbaikan kepada pemerintah.
Pertama, pemerintah harus melakukan review terhadap kebijakan subsidi raskin secara
lebih komprehensif dengan memperhitungkan berbagai faktor untuk mencapai tujuan
program. Kedua, melakukan perbaikan kebijakan dan mekanisme perhitungan subsidi agar
lebih transparan dan akuntabel. Ketiga, memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian
dalam program subsidi raskin.
Bagaimana dengan kajian lain? Tentu masih banyak. Sebut saja, kajian sistem pada Perum
Perhutani, kajian tentang sistem perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, kajian sistem
penyelenggaraan perhubungan darat, kajian tentang penyelenggaraan ibadah haji, dan
sebagainya.
TES FORMATIF
1. Menurut UU Nomor 30 Tahun 2002, apa saja tugas, fungsi, dan kewenangan KPK?
2. Apa saja kewenangan KPK saat melaksanakan tugas koordinasi?
Kegiatan Belajar 5 STRUKTUR ORGANISASI DAN KIPRAH KPK

Menjadi tumpuan pemberantasan korupsi, tentu tidak ringan tugas KPK. Itu sebabnya, dalam
menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan, KPK
memerlukan struktur organisasi yang efektif. Selain itu, KPK juga memerlukan kepemimpinan
yang kolektif kolegial, sehingga setiap keputusan yang diambil, bisa dilakukan dengan cermat,
penuh kehati-hatian dan tanggung jawab.
Dari sanalah, Pasal 21 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
menetapkan bahwa KPK dipimpin lima orang, yang terdiri atas seorang Ketua merangkap
anggota dan empat orang Wakil Ketua merangkap anggota.
Dalam menjalankan tugas, para Pimpinan KPK tersebut membawahi empat bidang. Seperti
diatur dalam Pasal 26 ayat (2), bidang tersebut adalah:

1. Deputi Bidang Pencegahan


Mempunyai tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang
Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Deputi Bidang Pencegahan dipimpin oleh seorang
Deputi Bidang Pencegahan yang bertanggungjawab kepada Pimpinan KPK.
Deputi Bidang Pencegahan terdiri atas: Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; Direktorat Gratifikasi; Direktorat Pendidikan dan
Pelayanan Masyarakat; dan Direktorat Penelitian dan Pengembangan.
Deputi Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi:
• Perumusan kebijakan untuk sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan;
• Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran dan pemeriksaan
LHKPN;
• Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan dan penanganan
gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;
• Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendidikan antikorupsi, sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi dan kampanye antikorupsi;
• Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan
pemberantasan korupsi;
• Koordinasi dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait dan
instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik;
• Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya dilingkungan Deputi
Bidang Pencegahan.
• Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada
sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran
Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian
dan Pengembangan;
• Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pencegahan dapat membentuk
Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat
pada Deputi Bidang Pencegahan yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang
Pencegahan.

2. Deputi Bidang Penindakan


Dipimpin seorang Deputi Bidang Penindakan, dalam struktur organisasi KPK, Deputi Bidang
Penindakan membawahi Direktorat Penyelidikan; Direktorat Penyidikan; Direktorat
Penuntutan; Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi; dan Sekretariat Deputi Bidang Penindakan.
Deputi Bidang Penindakan mempunyai tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan
melaksanakan kebijakan di Bidang Penindakan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, Deputi Bidang Penindakan juga menyelenggarakan fungsi :
• Perumusan kebijakan untuk sub bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta
Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain;
• Pelaksanaan penyelidikan dugaan TPK dan bekerjasama dalam kegiatan penyelidikan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;
• Pelaksanaan penyidikan perkara TPK dan bekerjasama dalam kegiatan penyidikan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;
• Pelaksanaan penuntutan, pengajuan upaya hukum, pelaksanaan penetapan hakim &
putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan hukum lainnya dalam penanganan perkara
TPK sesuai peraturan perUndang-Undangan yang berlaku;
• Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain
yang melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara TPK;
• Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan, pembinaan sumberdaya dan dukungan
operasional di lingkungan Deputi Bidang Penindakan;
• Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada
bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi
penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain; dan
• Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.
3. Deputi Bidang Informasi dan Data
Dalam struktur organisasi KPK, Deputi Bidang Informasi dan Data terdiri atas: Direktorat
Pengolahan Informasi dan Data; Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan
Instansi; dan Direktorat Monitoring.
Deputi tersebut dipimpin langsung oleh Deputi Informasi dan Data serta bertanggungjawab
atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK.
Adapun tugas Deputi Bidang Informasi dan Data adalah menyiapkan rumusan kebijakan dan
melaksanakan kebijakan pada Bidang Informasi dan Data. Sedangkan fungsi yang harus
diselenggarakan adalah:
• Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengolahan Informasi dan Data,
• Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan Monitor;
• Pemberian dukungan sistem, teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan KPK;
• Pelaksanaan pembinaan jaringan kerja antar komisi dan instansi dalam pemberantasan
korupsi yang dilakukan oleh KPK;
• Pengumpulan dan analisis informasi untuk kepentingan pemberantasan tindak pidana
korupsi, kepentingan manajerial maupun dalam rangka deteksi kemungkinan adanya
indikasi tindak pidana korupsi dan kerawanan korupsi serta potensi masalah penyebab
korupsi;
• Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di lingkungan Deputi
Bidang Informasi dan Data;
• Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada
bidang Pengolahan Informasi dan Data, Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan
Instansi dan Monitor; dan
• Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Informasi dan Data dapat
membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas
Direktorat pada Deputi Bidang Informasi dan Data yang ditetapkan dengan Keputusan
Deputi Bidang Informasi dan Data.

4. Deputi Bidang Pengawasan Intermal dan Dumas


Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat terdiri atas: Direktorat
Pengawasan Internal; dan Direktorat Pengaduan Masyarakat.
Deputi yang dipimpin Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat,
tersebut, mempunyai tugas menyiapkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di bidang
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Salin itu, Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
menyelenggarakan fungsi :
• Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat;
• Pelaksanaan pengawasan internal terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan dan
kebijakan yang ditetapkan Pimpinan;
• Penerimaan dan penanganan laporan/ pengaduan dari masyarakat tentang dugaan
tindak pidana korupsi yang disampaikan kepada KPK, baik secara langsung maupun
tidak langsung;
• Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di lingkungan Deputi
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat;
• Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan
• kerja pada bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat; dan
• Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal
dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Pengawasan
Internal dan Pengaduan Masyarakat.

5. Sekretariat Jenderal
Selain empat deputi tersebut, organiasi KPK juga memiliki Sekretariat Jenderal, yang terdiri
atas: Biro Perencanaan dan Keuangan; Biro Umum; dan Biro Sumber Daya Manusia.
Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyiapkan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan
administrasi, sumber daya, pelayanan umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan
masyarakat dan pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK;
Dipimpin Sekretaris Jenderal (Sekjen), Sekretariat Jenderal KPK menyelenggarakan fungsi:
• Perumusan kebijakan pada sub bidang administrasi, sumber daya, pelayanan umum,
keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat dan pembelaan hukum kepada
segenap unit organisasi KPK;
• Pelaksanaan perencanaan jangka menengah dan pendek, pembinaan dan pengelolaan
perbendaharaan, pengelolaan dana hibah/ donor serta penyusunan laporan keuangan
dan kinerja KPK;
• Pelaksanaan pemberian dukungan logistik, urusan internal, pengelolaan aset,
pengadaan, pelelangan barang sitaan/ rampasan, serta pengelolaan dan pengamanan
gedung bagi pelaksanaan tugas KPK;
• Pelaksanaan pengelolaan sumber daya manusia melalui pengorganisasian fungsi-fungsi
manajemen sumber daya manusia yang berbasis kompetensi dan kinerja;
• Pelaksanaan perancangan peraturan, litigasi, pemberian pendapat dan informasi hukum
dan bantuan hukum;
• Pelaksanaan pembinaan hubungan dengan masyarakat, pengkomunikasian kebijakan
dan hasil pelaksanaan pemberantasan korupsi kepada masyarakat, penyelenggaraan
keprotokoleran KPK serta pembinaan ketatausahaan KPK;
• Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada
bidang Sekretariat Jenderal; dan
• Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Sekretariat Jenderal dapat membentuk Kelompok
Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Biro atau lintas Biro yang ditetapkan dengan
Keputusan Sekretaris Jenderal.
TES FORMATIF
1. Guna mendukung tugas pemberantasan korupsi, berapa bidang yang di bawahi Pimpinan
KPK? Sebutkan!
2. Apa tugas dan fungsi Bidang Pencegahan?
3. Sebutkan tugas dan fungsi Deputi Bidang Penindakan!
4. Apa tugas Sekretaris Jenderal?
Kegiatan Belajar 6 PEDOMAN KPK BERDASARKAN 5 (LIMA) ASAS

Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi Pembentukan Komisi Pemberantasan


Korupsi ini dimaksudkan agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat ditangani secara
profesional, intensif dan berkesinambungan. Sehingga apa yang menjadi tujuan KPK dapat
tercapai, yakni untuk meningkatkan daya guna dan daya hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Hal tersebut didasari pemikiran bahwa penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana
korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan
karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas. Maka diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui
suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari
kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya
diharapkan optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan”
Untuk mencapai tujuan tersebut, komisi ini diberikan kewenangan yang luar biasa besarnya
dalam upaya memberantas korupsi yang dapat terlihat dari penjelasan umum UU KPK:
• Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil , makmur dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia tahun 1945,
pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sampai sekarang ini belum
dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia perlu ditingkatkan secara profesional, intesif dan berkesinambungan karena
korupsi telah merugikan keuangan negara, dan menghambat pembangunan nasional;
• Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
• Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas berdasarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah :
1. Asas Kepastian Hukum
Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perUndang-Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
Asas kepastian hukum adalah asas yang mengutamakan landasan peraturan
perundangan,kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Asas
kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa
hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHP. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum
gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti
sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

2. Asas Keterbukaan
Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan dan rahasia negara.
3. Asas Akuntabilitas
Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

4. Asas Kepentingan Umum


Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

5. Asas Proposionalitas
Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Penyelenggara Negara KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap
anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut
merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat.
Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif
kolegial
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan,
Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat
Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.
Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga
memungkinkan masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-
langkah yang dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai
yang direkrut sesuai dengan kompetensi yang diperlukan.
Banyak orang bertanya-tanya bagaimana KPK bisa menangkap tangan praktek
suap/pemerasan, atau dari mana KPK bisa mengendus korupsi ketika belum terjadi. Apakah
KPK punya ribuan kamera yang memantau seluruh pejabat di negeri ini setiap hari? Atau,
ada jutaan mikrofon yang menguping percakapan setiap proses pengadaan di seluruh
daerah?
Keberhasilan KPK dalam menangkap koruptor ternyata merupakan hasil dari peran serta
dan kepedulian masyarakat dalam melaporkan kasus korupsi. KPK sangat mengharapkan
peran serta masyarakat untuk memberikan akses informasi ataupun laporan adanya dugaan
tindak pidana korupsi (TPK) yang terjadi di sekitarnya. Informasi yang valid disertai bukti
pendukung yang kuat akan sangat membantu KPK dalam menuntaskan sebuah perkara
korupsi.
BENTUK-BENTUK KORUPSI
• Perbuatan melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan
keuangan/perekonomian negara
• Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan
keuangan/perekonomian negara
• Penggelapan dalam jabatan
• Pemerasan dalam jabatan
• Tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan
• Delik gratifikasi

TPK YANG DAPAT DITANGANI KPK


• Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
• Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
• Menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

LAYANAN PENGADUAN KPK


Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan kepada KPK melalui surat, datang langsung,
telepon, faksimile, SMS, atau KPK Whistleblower's System (KWS). Tindak lanjut penanganan
laporan tersebut sangat bergantung pada kualitas laporan yang disampaikan.

KPK WHISTLEBLOWER'S SYSTEM (KWS)


Selain melalui melalui surat, datang langsung, telepon, faksimile, dan SMS, masyarakat juga
bisa menyampaikan laporan dugaan TPK secara online, yakni melalui KPK Whistleblower's
System (KWS).
Melalui fasilitas ini, kerahasiaan pelapor dijamin dari kemungkinan terungkapnya identitas
kepada publik. Selain itu, melalui fasilitas ini pelapor juga dapat secara aktif berperan serta
memantau perkembangan laporan yang disampaikan dengan membuka kotak komunikasi
rahasia tanpa perlu merasa khawatir identitasnya akan diketahui orang lain.
Caranya cukup dengan mengunjungi website KPK: www.kpk.go.id, lalu pilih menu "KPK
Whistleblower's System", atau langsung mengaksesnya melalui: http://kws.kpk.go.id.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan laporan ke KPK, yakni meliputi
persyaratan dan kelengkapan atas pelaporan tersebut. Sebab, laporan yang lengkap akan
mempermudah KPK dalam memproses tindak lanjutnya.
FORMAT LAPORAN/PENGADUAN YANG BAIK
• Pengaduan disampaikan secara tertulis
• Dilengkapi identitas pelapor yang terdiri atas: nama, alamat lengkap, pekerjaan, nomor
telepon, fotokopi KTP, dll
• Kronologi dugaan tindak pidana korupsi
• Dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan yang sesuai
• Nilai kerugian dan jenis korupsinya: merugikan keuangan negara/ penyuapan/ pemerasan/
penggelapan
• Sumber informasi untuk pendalaman
• Informasi jika kasus tersebut sudah ditangani oleh penegak hukum
• Laporan/pengaduan tidak dipublikasikan

BUKTI PERMULAAN PENDUKUNG LAPORAN


• Bukti permulaan pendukung yang perlu disampaikan antara lain:
• Bukti transfer, cek, bukti penyetoran, dan rekening koran bank
• Laporan hasil audit investigasi
• Dokumen dan/atau rekaman terkait permintaan dana
• Kontrak, berita acara pemeriksaan, dan bukti pembayaran
• Foto dokumentasi
• Surat, disposisi perintah
• Bukti kepemilikan
• Identitas sumber informasi

PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR


Jika memiliki informasi maupun bukti-bukti terjadinya korupsi, jangan ragu untuk melaporkannya
ke KPK. Kerahasiaan identitas pelapor dijamin selama pelapor tidak mempublikasikan sendiri
perihal laporan tersebut.
Jika perlindungan kerahasiaan tersebut masih dirasa kurang, KPK juga dapat memberikan
pengamanan fisik sesuai dengan permintaan pelapor.
(sumber: http://kpk.go.id/id/halaman-utama/9-uncategorised?start=20)
TES FORMATIF
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Asas “Kepastian Hukum”!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Asas “Keterbukaan”!
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Asas “Akuntabilitas”!
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Asas “Kepentingan Umum”!
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Asas “Proposionalitas”!
Kegiatan Belajar 7 PERBEDAAN KPK DENGAN PENEGAK HUKUM YANG LAIN

PERBEDAAN KEWENANGAN KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


(KPK)
Penegakan Hukum pada prinsipnya dilakukan oleh Sub-sub Sistem dalam Peradilan Pidana
(Criminal Justice System), yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga
Pemasyarakatan. Dalam perkembangan penegakan hukum di Indonesia muncul yang disebut
dengan KPK, yang memiliki fungsi yang kurang lebih sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan,
akan tetapi memiliki kewenangan yang berbeda.
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kepolisian c.q.
Pejabat Polisi Negara RI bertindak sebagai Penyelidik dan Penyidik Perkara Pidana (vide Pasal 4
jo. Pasal 6 KUHAP).
Jadi, Polisi berwenang untuk menjadi Penyelidik dan Penyidik untuk setiap tindak pidana.

Sedangkan kewenangan Kejaksaan adalah untuk melakukan Penuntutan berdasarkan hasil


Penyidikan Polisi, akan tetapi untuk beberapa tindak pidana tertentu, Kejaksaan berwenang
untuk melakukan penyidikan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan).
Berdasarkan Pasal 30 UU Kejaksaan, Kejaksaaan berwenang untuk melakukan Penyidikan
terhadap Tindak Pidana Tertentu berdasarkan UU Kejaksaan, yaitu :
1. Kewenangan yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, terkait dengan tindak pidana yang menyangkut Hak Asasi Manusia;
2. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Penjelasan Umum UU Kejaksaan
selanjutnya menjelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak
pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-Undang yang
memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kewenangannnya diberikan oleh UU KPK.
Berdasarkan pasal 6 UU KPK, bertugas untuk melakukan Penyelidikan, Penyidikan, dan
Penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan KPK untuk menangani perkara
korupsi diatur di dalam Pasal 11 UU KPK,
yang selanjutnya membatasi bahwa kewenangan KPK melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan
Penuntutan tindak pidana korupsi dengan ketentuan:
a. Melibatkan Aparat Penegak Hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Jadi tidak semua tindak pidana yang diduga merugikan negara atau berindikasi korupsi dapat
ditangani oleh KPK.
Mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pejabat polisi
negara RI adalah bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana (lihat pasal 4 jo.
pasal 6 KUHAP). Jadi, polisi berwenang untuk menjadi penyelidik dan penyidik untuk setiap
tindak pidana.
• Adapun kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan disebutkan dalam UU No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Berdasarkan pasal 30
UU Kejaksaan, kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan Undang-Undang. Kewenangan kejaksaan ini contohnya kewenangan
yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Penjelasan Umum UU Kejaksaan selanjutnya menjelaskan
bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu
dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-Undang yang memberikan
kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan
untuk melakukan penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik
diatur dalam UU.
• Sedangkan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kewenangannya diberikan oleh UU
KPK. Berdasarkan pasal 6 UU KPK, bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal 11 UU KPK selanjutnya membatasi bahwa
kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dibatasi pada tindak
pidana korupsi yang :
1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Kategori perkara sebagaimana disebutkan di atas juga dipertegas dalam Penjelasan Umum UU
KPK. Jadi, tidak semua perkara korupsi menjadi kewenangan KPK, tapi terbatas pada perkara-
perkara korupsi yang memenuhi syarat-syarat di atas.
Perlu dijelaskan terlebih dahulu perbedaan penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan Pasal 1
angka 5 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Sedangkan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal
1 angka 2 KUHAP).
Penyelidikan dilakukan untuk mencari unsur tindak pidana dari sebuah peristiwa, sedangkan
penyidikan adalah tahap setelah penyelidikan karena peristiwa tersebut sudah ditemukan unsur
pidananya dan sedang mencari tersangkanya.
Saat ini tersangka kasus korupsi pengadaan simulator tersebut sudah ditetapkan, walaupun
berbeda versi, baik oleh Polri maupun oleh KPK. Oleh karena itu, kasus ini sudah masuk dalam
tahap penyidikan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik
semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perUndang-Undangan lainnya.
Kewenangan penyidik Polri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Di sisi lain, kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi diatur dalam Pasal 6 huruf c UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), bahwa
KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
Dengan demikian, baik Polri maupun KPK, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Polri serta
Pasal 6 huruf c UU KPK, keduanya memang memiliki kewenangan untuk menyidik tindak pidana
korupsi.

Namun, KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi
walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU KPK). Akan
tetapi, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan yang diatur dalam Pasal
9 UU KPK:
Pasal 9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi
yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak
pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selain kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi, ada hal lain yang menjadi
kewenangan KPK yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU KPK dan Pasal 50 UU KPK:

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi


Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Mengutip artikel Polri Nyatakan Siap Dukung KPK, Polri menyatakan sudah menangkap dan
menahan para tersangka kasus korupsi pengadaan driving simulator tersebut. Akan tetapi, bila
melihat kembali Pasal 50 UU KPK, asalkan KPK juga sudah memulai penyidikan kasus korupsi,
maka Kepolisian atau Kejaksaan seharusnya patuh pada Undang-Undang.
Seperti disebutkan dalam artikel KPK Klaim Lebih Dulu Tangani Kasus Simulator, Ketua KPK
Abraham Samad menyatakan bahwa KPK sudah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan
termasuk menetapkan tersangka pada 27 Juli 2012, sedangkan Polri baru menetapkan
tersangka pada 1 Agustus 2012.
Dalam artikel lain, (Polri Serahkan ke KPK Jika Diperintahkan Pengadilan) disebutkan bahwa
Pihak kepolisian melalui Kabareskrim Komjen Pol. Sutarman mengatakan polisi baru akan
menyerahkan kasus ini ke KPK jika ada perintah pengadilan. Pendapat berbeda dilontarkan oleh
ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana dalam artikel UU KPK Lebih “Kuat”
Ketimbang UU Polri. Menurutnya, Pasal 50 ayat (3) dan (4) UU KPK bisa dikatakan sebagai
fungsi supervisi yang melekat di lembaga KPK. Sedangkan di dalam UU Polri, tak ada satu pasal
pun yang menyebutkan mengenai kewenangan supervisi itu. Dengan begitu, ia berharap, Polri
dapat segera memberikan perkara itu kepada KPK.
Sebenarnya ada batasan terhadap kewenangan penyidikan dalam Pasal 14 huruf m Perkapolri
No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri
14/2011) yang menyatakan Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum
sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang menangani perkara yang
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Berdasarkan uraian dan analisis di atas, kami tidak bisa menentukan siapa yang lebih pantas
untuk melakukan penyidikan karena keduanya (baik KPK maupun Polri) memang memiliki
kewenangan untuk menyidik. Tapi jika melihat dari segi etik, dalam penanganan perkara
memang sebaiknya objektivitas penyidik harus dijaga, yakni dengan menghindari adanya konflik
kepentingan.
PERBEDAAN TUGAS KEWENANGAN
No. KEPOLISIAN KEJAKSAAN KPK
1 UU No. 8 Tahun 1981 UU No. 16 Tahun 2004 tentang UU No. 30 Tahun 2002 tentang
tentang Hukum Acara Kejaksaan Republik Indonesia Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Pidana Korupsi
2 Penyidik adalah : • Melakukan Penuntutan • Melibatkan aparat penegak
• Pejabat Polisi Negara • Melaksanakan penetapan hakim hukum, penyelenggara negara,
Republik Indonesia dan putusan pengadilan yang dan orang lain yang ada kaitannya
• Pejabat Pegawai telah memperoleh kekuatan dengan tindak pidana korupsi
Negeri Sipil tertentu hukum tetap yang dilakukan oleh aparat
yang diberi wewenang • Melakukan penyidikan terhadap penegak hukum atau
khusus oleh Undang- tindak pidana tertentu penyelenggara negara;
Undang berdasarkan Undang-Undang • Mendapat perhatian yang
• Melengkapi berkas perkara meresahkan masyarakat;
tertentu dan untuk itu dapat dan/atau
melakukan pemeriksanaan • Menyangkut kerugian negara
tambahan sebelum dilimpahkan paling sedikit Rp
ke pengadilan yang dalam 1.000.000.000,00 (satu milyar
pelaksanaannya dikoordinasikan rupiah)
dengan penyidik
TES FORMATIF
1. Jelaskan Kewenangan Kepolisian!
2. Jelaskan Kewenangan Kejaksaan!
3. Jelaskan Kewenangan Komisi Pemberantas Korupsi!
Kegiatan Belajar 8 ALASAN KPK HARUS TETAP ADA

Memaknai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga ad hoc dapat menyesatkan
dan perlu diluruskan. Hal ini penting agar tujuan mulia dibentuknya KPK sebagai lembaga
negara yang independen, kuat, dan permanen tidak tercederai dengan pemahaman yang keliru
dan menyalahartikan istilah ad hoc sebagai suatu yang bersifat sementara.
Arti ad hoc bukanlah sementara, melainkan untuk tujuan khusus/tertentu. Ini sesuai dengan arti
ad hoc menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) dan Wikipedia dimana ad hoc
adalah sebuah istilah dari bahasa Latin yang populer dipakai dalam bidang keorganisasian atau
penelitian. Istilah ini memiliki arti "dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja"
atau sesuatu yang "diimprovisasi". Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk memberantas korupsi
yang sudah akut di negeri ini.
Jika yang dimaksud suatu yang bersifat sementara, maka istilah yang benar dalam bahasa
Latinnya adalah ad interim bukan ad hoc. Hal ini dapat dilihat dalam Black's Law Dictionary, ad
hoc artinya: formed for a particular purpose (Latin). Sedang ad interim artinya: in the meantime,
temporarily (Latin). Jadi, istilah ad hoc saat ini sering disalahartikan dan bergeser jauh dari
makna yang sebenarnya.
Memaknai KPK sebagai lembaga permanen sangatlah penting karena KPK berdasarkan sejarah
pembentukannya memang bukan lembaga yang dibentuk untuk sementara waktu (ad interim),
melainkan sesuai dengan semangat penciptaannya KPK disiapkan sebagai lembaga negara
yang permanen, kuat dan independen (bebas dari pengaruh kekuasaan manapun) dengan
tujuan khusus (ad hoc dalam pengertian yang benar), yaitu membebaskan Indonesia dari
korupsi. Hal ini senada dengan pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie yang menyatakan KPK adalah
lembaga permanen karena KPK dibentuk dengan Undang-Undang bukan Inpres (www.jimly.com).
Perlu digarisbawahi bahwa istilah lembaga ad hoc tidak ada dalam hukum tata negara.
Apabila kita baca secara seksama UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) tidak ada satu pasal pun dalam UU tersebut yang menyatakan KPK
adalah lembaga ad hoc, demikian juga dalam penjelasan dan pertimbangannya. Lalu bagaimana
bisa dikatakan KPK lembaga ad hoc? Harus diakui secara jujur dan adil bahwa sejak
didirikannya pada tahun 2003 KPK telah banyak membawa perubahan yang sangat besar dalam
sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika masa sebelum adanya KPK banyak kasus
korupsi yang tak tersentuh hukum, khususnya yang melibatkan para penguasa, namun sejak
KPK berdiri sudah banyak kasus-kasus besar yang ditangani dan dijatuhi hukuman. Dalam kurun
waktu 2004 sd Mei 2012, KPK telah berhasil membawa para koruptor kelas kakap ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan semuanya diputus bersalah (100% conviction
Rate). Mereka adalah 50 anggota DPR, 6 Menteri/Pejabat Setingkat Menteri, 8 Gubernur, 1
Gubernur Bank Indonesia, 5 Wakil Gubernur, 29 Walikota dan Bupati, 7 Komisioner Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial dan Pimpinan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan
Usaha). 4 Hakim, 3 Jaksa di Kejaksaan Agung, 4 Duta Besar dan 4 Konsulat Jenderal (termasuk
Mantan Kapolri), Jaksa senior, Penyidik KPK, seratus lebih pejabat pemerintah eselon I &II
(Direktur Umum, Sekretaris Jenderal, Deputi, Direktur, dll), 85 CEO, pemimpin perusahaan milik
negara (BUMN) dan pihak swasta yang terlibat dalam korupsi. Data ini akan terus bertambah
seiring banyaknya kasus korupsi yang saat ini sedang ditangani/disidangkan di Pengadilan
Tipikor baik di Jakarta maupun di daerah.
Apabila kita perhatikan beberapa lembaga sejenis KPK yang pernah dibentuk di Indonesia,
seperti Operasi Militer di tahun 1957, Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Operasi Tertib
(Opstib) pada tahun 1977, Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak pada tahun
1987, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan
Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) tahun 2005. Semuanya tidak efektif
dan tidak mampu menghadapi derasnya arus korupsi di tanah air tercinta ini yang sudah
merajalela. Inilah salah satu alasan mengapa dibentuk KPK sebagai lembaga antikorupsi yang
kuat, permanen dan punya taring dalam memberantas korupsi.
Alasan lain KPK lembaga permanen adalah tidak ada satu pun instansi Kementerian/Lembaga
yang memiliki kewenangan pencegahan tindak pidana korupsi dalam artian memiliki mandat
khusus seperti menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang
pendidikan, melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan
penyelenggara negara (LHKPN), menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi dan
melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum. KPK juga berwenang meminta
laporan instansi terkait pencegahan korupsi. Dalam penjelasan UU KPK secara tegas disebutkan
bahwa KPK sebagai triger mechanism, yaitu berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan
institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh KPK.
Dalam tugas monitor korupsi, KPK juga melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah. Selain itu, KPK dibiayai oleh APBN dan
dimungkinkan untuk membuka kantor perwakilan di daerah provinsi. Korupsi bukanlah
kejahatan biasa melainkan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka cara
menanganinya juga diperlukan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary), tidak konvensional.
Masalah korupsi tidak mungkin diselesaikan dalam waktu yang singkat, terlebih ketika masih
ada kekuasaan. Bagaimanapun juga kekuasaan potensial terjadi korupsi (power tends to
corrupt), maka selama itu pula lembaga KPK harus ada.
Selain itu, melihat perkembangan tindak pidana korupsi di berbagai negara di dunia yang
cenderung sudah menjadi kejahatan internasional (transnational crime), maka PBB
mengeluarkan konvensi antikorupsi (UNCAC) dan Indonesia telah meratifikasi konvensi ini pada
tahun 2006. Artinya Indonesia sangat mendukung pemberantasan korupsi di dunia dan saat ini
Indonesia aktif dalam berbagai forum Internasional pemberantasan korupsi seperti IAACA, G20,
APEC, dan ASEAN. Oleh karena itu, Indonesia memang memerlukan lembaga permanen yang
khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi, sebagaimana halnya di kebanyakan negara-
negara di dunia yang telah membentuk lembaga khusus antikorupsi yang bersifat permanen.
Seperti Hongkong (ICAC), Singapura (CPIB), Malaysia (MACC), Thailand (NACC), Nigeria (EFCC)
dan lain-lain. Apabila penanganan tindak pidanan korupsi (penindakan) hanya diserahkan
sepenuhnya kepada aparat penegak hukum lain, dapat dibayangkan kesulitan dan beban kerja
yang harus mereka hadapai, sedangkan mereka sudah terlalu banyak disibukkan oleh
penanganan perkara tindak pidana umum yang demikian banyak dan terus meningkat dari
tahun ke tahun.
KPK adalah milik bangsa Indonesia, bukan orang per orang atau golongan. Oleh karenanya
memperkuat KPK agar tetap profesional dan independen adalah tanggungjawab kita bersama
agar KPK tetap dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan mampu menjawab
harapan publik untuk mempercepat mencapai tujuan nasional. Kita perlu melihat keberhasilan
negara lain dalam memberantas korupsi melalui lembaga antikorupsi yang didukung penuh oleh
pemerintah dan parlemennya, bahkan memasukkannya dalam konstitusi (Undang-Undang
Dasar), seperti Singapura (CPIB) yang dibentuk tahun 1952, KPK Malaysia (MACC) yang dibentuk
tahun 1967, KPK Hongkong (ICAC) yang dibentuk tahun 1974, dan KPK Argentina (1999). Kalau
tidak, berarti kita rela menyerahkan masa depan bangsa ini kepada koruptor. (sumber :
http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/290-kpk-lembaga-permanen).
Lembaga pemberantasan korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap ada dan
menjadi alat pertahanan negara paling depan dalam melawan tindak pidana korupsi. Dengan
demikian, anggaran belanja negara yang dialokasikan untuk pemberantasan tindak pidana
korupsi pun harus selalu ada.
Hal tersebut diungkapkan mantan komisioner di Independent Commission Against Corruption
(ICAC) atau lembaga semacam KPK di Hongkong, Bertrand Despeville, dalam jumpa pers di
Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (5/7/2012). Bertrand hadir di KPK dalam rangka
lawatannya ke Indonesia untuk bertemu dengan lembaga penegak hukum dan pegiat
antikorupsi. Hadir pula dalam jumpa pers tersebut Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dan
Zulkarnain.
Menurut Bertrand, pemberantasan korupsi dalam suatu negara membutuhkan waktu lama. Di
Hongkong, katanya, paling tidak dibutuhkan 20-25 tahun untuk menciptakan masyarakat yang
tidak toleran terhadap korupsi. "Tidak lagi pasrah, tidak bisa menoleransi adanya korupsi dalam
kehidupan kita," ujar Betrand.
Bahkan, lanjutnya, meskipun sudah sampai pada tahap demikian, pemberantasan korupsi tidak
boleh mengendur. Hal itu dikarenakan masalah korupsi masih mungkin datang kembali. Selama
ini Betrand tidak pernah mendengar ada negara yang membubarkan lembaga antikorupsinya
meskipun masyarakat negara tersebut sudah intoleran terhadap korupsi.
Hal sebaliknya, seolah terjadi di Indonesia. Betrand mendengar kalau KPK disebut sebagai
lembaga ad hoc atau temporer. "Harus disadari lembaga seperti KPK ini harus tetap hadir
karena merupakan pertahanan paling depan dalam melawan korupsi," ujarnya.
Betrand juga sempat menyinggung hubungan KPK dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang
seolah tidak baik. Menurutnya, suatu hal yang wajar jika DPR seolah balas dendam terhadap
KPK sebab KPK melakukan penindakan terhadap para anggota dewan yang terlibat korupsi.
"Sayangnya saat ini KPK sedang mengalami masalah dari parlemen, tidak mengherankan
karena KPK terpaksa melakukan penindakan anggota parlemen sehingga tidak mengherankan
jika lembaga ini melakukan balas dendam ke KPK," tutur Betrand yang pernah datang ke
Indonesia pada 2000-2001 untuk membantu penyusunan Undang-Undang yang kemudian
menjadi cikal bakal kelahiran KPK.
Terkait dengan pembangunan gedung baru KPK yang tidak disetujui DPR sejak 2008, Betrand
mengatakan gedung yang ditempati KPK saat ini jelas tidak memadai. Karenanya, ucap
Bertrand, KPK membutuhkan gedung yang lebih representatif. "Bagi saya bukan masalah
apakah itu gedung baru atau sewa, tapi gedung yang saat ini ada tidak memadai bagi 750
pegawai," ucapnya.
(sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/19474380/kpk.harus.tetap.ada)

Dianggap belum maksimal menggunakan wewenangnya


Dukungan terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi semakin deras mengalir. Kali ini
dukungan muncul dari Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional di Majelis Permusyawaratan Rakyat
Patrialis Akbar dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudi Satrio.
Mayoritas masyarakat masih mendukung KPK, kata Patrialis dalam dialog publik bertema KPK,
Antara Ada dan Tiada di restoran Mario's Place, Jakarta, Sabtu lalu. Diskusi yang digelar oleh
Ramako FM dan harian Media Indonesia ini juga menghadirkan pembicara Rudi Satrio dan
Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Muhammad Yasin.
Patrialis menjelaskan permohonan uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
Nomor 30 Tahun 2002 kepada Mahkamah Konstitusi hanya keinginan segelintir orang. Di sisi
lain, KPK masih didukung oleh khalayak, sehingga lembaga itu harus dipertahankan untuk
memberantas korupsi di Indonesia. Selama korupsi ada, KPK harus tetap ada.
Gerakan melawan serangan balik koruptor belakangan ini marak menjelang putusan Mahkamah
Konstitusi atas permohonan uji materi terpidana perkara korupsi di Komisi Pemilihan Umum,
Mulyana W. Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, serta terpidana perkara korupsi dalam
proyek Pelabuhan Tual, Maluku, bekas Sekretaris Direktur Jenderal Hubungan Laut Departemen
Perhubungan Tarcisius Walla.
Mereka antara lain mempersoalkan kewenangan KPK menyadap pembicaraan telepon
tersangka korupsi dan keberadaan KPK. Gerakan antiserangan balik koruptor disokong oleh
sejumlah tokoh dan akademisi yang tergabung dalam Forum Experts Meeting. Para tokoh ini
menemui sejumlah lembaga, seperti KPK dan partai politik, untuk meminta dukungan dalam
melawan koruptor.
Menurut Muhammad Yasin, posisi KPK sudah sah dan legal, yakni sebagai lembaga independen
yang memberantas korupsi tanpa pilih-pilih. Ia mengeluhkan upaya-upaya sistematis untuk
menghilangkan KPK. Kalau kami kalah, reputasi KPK bisa jatuh, ujar meratifikasi konvensi.
Adapun Rudi Satrio berpendapat posisi KPK dalam mengusut kasus-kasus korupsi tergolong
biasa-biasa saja. Ia menganggap penyadapan dan pengintaian terhadap para tersangka adalah
aktivitas wajar penegak hukum. Justru KPK belum memaksimalkan fasilitas dan wewenang yang
mereka miliki, katanya.
Di tengah kisruh Polri dan KPK yang tidak jelas, entah kapan berkesudahan juntrungnya,
terdapat ketidakadilan atas perlakukan publik terhadap dua institusi hukum itu. Publik pada
intinya lebih dominan menaruh dukungan dan simpati kepada KPK saja. Terlebih setelah Mabes
Polri melakukan penangkapan secara “diam-diam” terhadap salah satu komisioner KPK,
Bambang Widjojanto (BW) karena diduga “menyuruh atau mengarahkan” saksi untuk
memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah
Konstitusi pada 2010.
Pasca penangkapan BW, tampaknya makin saja menguatkan dukungan publik hanya terhadap
KPK semata. Sementara di sisi lain, institusi Bhayangkara itu terkesan dipandang sebelah mata.
Ada apa sesungguhnya dengan Polri? Kenapa lebih banyak orang yang mendukung KPK
dibandingkan Polri? Apakah institusi ini sudah demikian mengalami defisit kepercayaan, dan
sebaliknya hanya KPK menjadi satu-satunya institusi hukum yang dapat dipercaya? Apakah kita
tidak membutuhkannya lagi untuk menjaga ketertiban, keamanan dan memberi pengayoman
terhadap masyarakat? Ataukah banyak juga orang yang mendukung (#save KPK) hanya karena
persoalan eforia pemberantasan korupsi saja?
Sejumlah pertanyaan-pertanyaan ini mestinya ditanyakan kepada diri kita, dan selanjutnya perlu
disikapi secara jernih, dengan menggunakan akal sehat, agar kita tidak gampang menyerang
secara membabi buta. Tidak boleh ada keberpihakan kepada dua institusi hukum itu, karena
sejatinya kita tetap masih butuh keduanya. KPK perlu diamankan, dan jangan lupa untuk
memperkuat pula Korps Bhayangkara.
Kenapa KPK?
Dalam menyikapi pemberitaan terakhir, berkali-kali mencoba melawan arus, sama sekali
menutup mulut untuk memberi dukungan terhadap dua institusi hukum yang saling bertikai itu.
Pun kemudian, saya berpikir hingga merenunginya berkali-kali. Apa yang terjadi dengan “hati”
publik, ada puluhan hingga ratusan orang turun ke jalan berteriak, begitu lantang hanya untuk
mengamankan KPK, tidak untuk Polri? Mengapa (harus membela) KPK?
Tak lama kemudian terlintas di benak saya, mungkin ini fenomena psikologis yang mengena
pada pepatah: “siapa yang pernah membuang hajat di tengah jalan, lantas ketahuan, maka
orang tersebutlah yang akan tertuduh sebagai pelakunya.” Itulah pepatah, rasanya pantas
dialamatkan untuk Polri yang terlanjur ketahuan boroknya, yang tidak hanya terjadi di organisasi
sentralnya, pun buruk citranya di daerah sudah menjadi rahasia umum, sering
menyalahgunakan jabatannya, dan pada akhirnya mencederai hak-hak publik itu sendiri.
Mulai dari persoalan kecil hingga kasus-kasus besar sebetulnya telah “menggerogotinya.” Dan
mau tidak mau akhirnya terstigmatisasi sebagai lembaga; tidak lagi mengayomi masyarakat,
tetapi malah terkesan hanya membinasakannya.
Simak saja dalam sebuah contoh kecil, saat anda ditindak sebagai pelanggar lalu lintas, tak
kurang pihak Polisinya, ogah menyelesaikannya ditempat dengan lembaran rupiah. Belum lagi
kasus yang seringkali menimpa rakyat kecil; kasus-kasus pencurian, penganiayaan,
pengeroyokan, aksi geng motor, tiap kali diadukan/dilaporkan ke instansi yang berwajib atas
nama Kepolisian, tak urung Polisinya mau turun lapangan, kalau tidak mendapat untung
“bayaran amplop” sebelum bekerja.
Itu baru kasus kecil yang sudah terinjeksi dipemahaman masyarakat luas, kalau Polisi tidak
dapat diharapkan, agar efektif dalam penegakan hukum. Dalam kasus-kasus besar, beberapa
perizinan di daerah juga menjadi “lahan basah” Kepolisian sering mendapat untung. Bahkan
sampai kasus “gelap” pun menjadi lahan bisnis mereka. Ada lagi, dalam setiap menangani
perkara, kadang kasus dibarter dengan pasal-pasal yang setidaknya dapat menguntungkan
tersangka, asal tersangka siap membayar oknum polisi bersangkutan. Termasuk sampai pada
kasus yang benar-benar merusak sendiri citra kepolisian dalam upaya penindakan kasus
korupsi, kadang kasus tersebut diendapkan, karena tersangka telah “bermain” dengan pihak
penyidiknya.
Kalau sudah demikian jadinya, jangan salahkan rakyat, ketika lebih membela KPK dari pada
Polri. Sekian tindak-tanduk di institusi bersangkutan amat pantas menjadi ukuran kalau tidak
pernah “serius” dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Sementara KPK meski hanya konsentrasi dalam perkara tindak pidana korupsi, publik begitu
percaya dengan keseriusan KPK dalam menjalankan kinerjanya. Ini tidak terlepas dari
“keberanian” KPK menangkap, menahan, dan menjaring koruptor kelas kakap, bahkan sampai
yang memegang kekuasaan pun tak lepas dari “radar” lembaga anti rasuah itu.
Itulah penyebabnya, kendatipun komisiener KPK ada yang terkena kasus pidana dan dapat
merusak nama baik institusi pula, publik jauh lebih memaklumi kesalahan-kesalahan tersebut,
jika dibandingkan dengan dominannya kesalahan pada institusi Polri.
Berbenah Diri
Oleh karena itu, apa yang terjadi di institusi Polri, takala publik jauh lebih percaya pada KPK, lalu
seolah “menganaktirikan” peran Polri. Kejadian tersebut mesti menjadi bahan renungan
bersama baginya untuk kembali introspeksi diri.
Bagaimana mungkin publik akan menaruh kepercayaan, membentengi, dan melindungi Polri,
kalau institusinya tidak pernah memiliki tekad bulat, bersungguh-sungguh menjalankan
tugas/kewenangannya, mengayomi masyarakat, dan transparan dalam setiap penanganan
kasus-kasus yang telah dipercayakan kepadanya. Sejumlah kesalahan-kesalahan yang sering
diperbuat oleh “oknum” Kepolisian, sepantasnya seluruh pemangku jabatan dalam institusi ini,
agar kembali berbenah, koreksi diri hingga pada mengintrospeksi atas sejumlah kesalahannya
yang berakibat pada citra buruk institusinya.
Jikalau Polri berhasil “membersihkan” institusinya, menegakkan etika dan moralitas
keanggotaan, tidak lagi memalak pelanggar lalu lintas; tetapi memilih menyelesaikannya secara
hukum di pengadilan, tidak perlu menunggu bayaran dari masyarakat agar menjalankan
keamanan dan ketertiban, hingga berani menerapkan transparansi anggaran di lingkungannya.
Maka tak perlu institusi terhormat ini “mengemis” ke masyarakat luas, agar kiranya mendapat
juga perlindungan dari serangan yang dapat melemahkannya.
Harus diakui bersama, kita tetap membutuhkan peran besar Polri. Janganlah karena eforia
pemberantasan korupsi, lalu kita melupakan peran dan andilnya di segala lini, sebab juga
banyak berperan untuk melayani kepentingan umum.
Memang institusi Polri banyak salahnya, tetapi bukan berarti KPK terdapat komisiener yang
melakukan “pelanggaran hukum” lalu dengan serta merta memberi “imunitas” kepada KPK, dan
akhirnya memutihkan pelanggaran hukumnya. Bahwa yang namanya institusi hukum, semuanya
harus diperlakukan sama, kalau bersalah silahkan ditindak, kalau benar mari kita dukung. Save
KPK, Perkuat Korps Bhayangkara.
TES FORMATIF
1. Menurut Muhammad Yasin, posisi KPK sudah sah dan legal, apa maksud dari pendapat
Muhammad Yasin tersebut?
2. PBB mengeluarkan konvensi antikorupsi (UNCAC) dan Indonesia telah meratifikasi konvensi
ini pada tahun 2006, coba anda jelaskan secara singkat!
Kegiatan Belajar 9 LEMBAGA ANTIKORUPSI INTERNASIONAL

Upaya Pemberatasan Korupsi


1. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
a. Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang
independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di beberapa negara
didirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini pertama kali didirikan oleh
Parlemen Swedia dengan nama Justitie ombudsmannen pada tahun 1809. Peran
lembaga ombudsman yang kemudian berkembang pula di negara lain antara lain
menyediakan sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan
oleh Lembaga Pemerintah dan pegawainya.
b. Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah dan masyarakat serta
mengembangkan standar perilaku serta code of conduct bagi lembaga pemerintah
maupun lembaga hukum yang membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman adalah
mengembangkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka
untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah.
c. Di Hongkong dibentuk lembaga antikorupsi yang bernama Independent Commission
against Corruption (ICAC), di Malaysia dibentuk the Anti-Corruption Agency (ACA). Kita
sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas korupsi.
Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
d. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari
tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pengadilan
adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial (tidak memihak),
jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh hukum karena kinerja
lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena tidak mampu
(unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini berarti pengetahuan serta ketrampilan
aparat penegak hukum harus ditingkatkan.
e. Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara untuk
mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal,
semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadinya korupsi. Salah satu cara untuk
menghindari praktek suap menyuap dalam rangka pelayanan publik adalah dengan
mengumumkan secara resmi biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk
mengurus suatu hal seperti mengurus paspor, mengurus SIM, mengurus ijin usaha atau
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dsb.
f. Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah dengan
memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah
diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Dengan
demikian korupsi besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota negara atau di Jakarta.
Dengan otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak
terpusat hanya di ibukota negara saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu
kinerja dari aparat pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau
diawasi.
g. Dalam berbagai pemberitaan di media massa, ternyata korupsi juga banyak dilakukan
oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD). Alih-alih menjadi
wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota parlemen justru melakukan
berbagai macam korupsi yang ‘dibungkus’ dengan rapi. Daftar anggota DPR dan DPRD
yang terbukti melakukan korupsi menambah panjang daftar korupsi di Indonesia.
Untuk itu kita perlu berhati-hati ketika ‘mencoblos’ atau‘mencontreng’ pada saat
Pemilihan Umum. Jangan asal memilih, pilihlah wakil rakyat yang punya integritas.
Berhati-hati pula ketika DPR atau DPRD akan mengeluarkan suatu kebijakan atau
peraturan perUndang-Undangan. Salah-salah kebijakan tersebut justru digunakan bagi
kepentingan beberapa pihak bukan bagi kepentingan rakyat.

2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik


a. Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik
untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum
maupun sesudah menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat memantau tingkat
kewajaran peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada
peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika
kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya kepada
orang lain misalnya anggota keluarga.
b. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekruitan pegawai negeri dan anggota militer baru.
Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam kondisi ini. Sebuah sistem yang
transparan dan akuntabel dalam hal perekrutan pegawai negeri dan anggota militer juga
perlu dikembangkan.
c. Selain sistem perekrutan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang menitikberatkan
pada pada proses (proccess oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented) perlu
dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerja pegawai negeri,
bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diberi insentif yang sifatnya positif. Pujian dari
atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif lainnya dapat memacu kinerja pegawai
negeri.
3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
a. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk
mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah sistem harus
dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala
informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup
orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat
kebijakan dan menjalankannya secara transparan.
b. Isu mengenai public awareness atau kesadaran serta kepedulian publik terhadap
bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian yang
sangat penting dari upaya memberantas korupsi. Salah satu cara untuk meningkatkan
public awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang bahaya korupsi.
Sosialisasi serta diseminasi di ruang publik mengenai apa itu korupsi, dampak korupsi
dan bagaimana memerangi korupsi harus diintensifkan.
c. Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan
memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk
melaporkan kasus korupsi. Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana
masyarakat dapat dengan mudah dan bertanggung-jawab melaporkan kasus korupsi
yang diketahuinya. Mekanisme tersebut harus dipermudah atau disederhanakan
misalnya via telepon, surat atau telex. Dengan berkembangnya teknologi informasi,
media internet adalah salah satu mekanisme yang murah dan mudah untuk melaporkan
kasus-kasus korupsi.
d. Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak informasi yang
diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi. Media yang
bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen. Selain berfungsi sebagai
alat kampanye mengenai bahaya korupsi, media memiliki fungsi yang efektif untuk
melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik.
e. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat lokal atau internasional juga
memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Mereka adalah
bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang keberadaannya tidak dapat diremehkan
begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti-Korupsi banyak
bermunculan. Sama seperti pers yang bebas, LSM memiliki fungsi untuk melakukan
pengawasan atas perilaku pejabat publik.

4. Monitoring dan Evaluasi


Ada satu hal penting lagi yang harus dilakukan dalam rangka mensukseskan pemberantasan
korupsi, yakni melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi, sulit
mengetahui capaian yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi,
dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan yang gagal.
Untuk strategi atau program yang sukses, sebaiknya dilanjutkan. Untuk yang gagal, harus
dicari penyebabnya. Pengalaman negara-negara lain yang sukses maupun yang gagal dapat
dijadikan bahan pertimbangan ketika memilih cara, strategi, upaya maupun program
pemberantasan korupsi di negara kita.
5. Kerjasama Internasional
Hal lain yang perlu dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan kerjasama
internasional atau kerjasama baik dengan negara lain maupun dengan International NGOs.
Sebagai contoh saja, di tingkat internasional, Transparency Internasional (TI) misalnya
membuat program National Integrity Systems. OECD membuat program the Ethics
Infrastructure dan World Bank membuat program A Framework for Integrity.

6. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application);


7. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment);
8. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/
mass media).

GERAKAN ORGANISASI INTERNASIONAL


1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)
Setiap 5 (lima) tahun, secara regular Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)
menyelenggarakan Kongres tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap
Penjahat atau sering disebut United Nation Congress on Prevention on Crime and Treatment
of Offenders. Pada kesempatan pertama, Kongres ini diadakan di Geneva pada tahun 1955.
Sampai saat ini kongres PBB ini telah terselenggara 12 kali. Kongres yang ke-12 diadakandi
Salvador pada bulan April 2010.
Dalam Kongres PBB ke-10 yang diadakan di Vienna (Austria) pada tahun 2000, isu
mengenai Korupsi menjadi topik pembahasan yang utama. Dalam introduksi di bawah tema
International Cooperation in Combating Transnational Crime: New Challenges in the Twenty-
first Century dinyatakan bahwa tema korupsi telah lama menjadi prioritas pembahasan.
Dalam resolusi 54/128 of 17 December 1999, di bawah judul “Action against Corruption”,
Majelis Umum PBB menegaskan perlunya pengembangan strategi global melawan korupsi
dan mengundang negara-negara anggota PBB untuk melakukan review terhadap seluruh
kebijakan serta peraturan perUndang-Undangan domestik masing-masing negara untuk
mencegah dan melakukan kontrol terhadap korupsi.

2. Bank Dunia (World Bank)


Setelah tahun 1997, tingkat korupsi menjadi salah satu pertimbangan atau prakondisi dari
bank dunia (baik World Bank maupun IMF) memberikan pinjaman untuk negara-negara
berkembang. Untuk keperluan ini, World Bank Institute mengembangkan Anti-Corruption
Core, Program yang bertujuan untuk menanamkan awareness mengenai korupsi dan
pelibatan masyarakat sipil untuk pemberantasan korupsi, termasuk menyediakan sarana
bagi negara-negara berkembang untuk mengembangkan rencana aksi nasional untuk
memberantas korupsi.
3. OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development)
Setelah ditemuinya kegagalan dalam kesepakatan pada konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) pada sekitar tahun 1970-an, OECD, didukung oleh PBB mengambil langkah
baru untuk memerangi korupsi di tingkat internasional. Sebuah badan pekerja atau working
group on Bribery in International Business Transaction didirikan pada tahun 1989. Pada
awalnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan OECD hanya melakukan perbandingan atau me-
review konsep, hukum dan aturan di berbagai negara dalam berbagai bidang tidak hanya
hukum pidana, tetapi juga masalah perdata, keuangan dan perdagangan serta hukum
administrasi.
Pada tahun 1997, Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business
Transaction disetujui. Tujuan dikeluarkannya instrumen ini adalah untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana suap dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi ini
menghimbau negara-negara untuk mengembangkan aturan hukum, termasuk hukuman
(pidana) bagi para pelaku serta kerjasama internasional untuk mencegah tindak pidana suap
dalam bidang ini.

4. Masyarakat Uni Eropa


Di negara-negara Uni Eropa, gerakan pemberantasan korupsi secara internasional dimulai
pada sekitar tahun 1996. Tahun 1997, the Council of Europe Program against Corruption
menerima kesepakatan politik untuk memberantas korupsi dengan menjadikan isu ini
sebagai agenda prioritas. Pemberantasan ini dilakukan dengan pendekatan serta pengertian
bahwa: karena korupsi mempunyai banyak wajah dan merupakan masalah yang kompleks
dan rumit, maka pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi-disiplin;
monitoring yang efektif, dilakukan dengan kesungguhan dan komprehensif serta diperlukan
adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum.
Pada tahun 1997, komisi menteri-menteri negara-negara Eropa mengadopsi 20 Guiding
Principles untuk memberantas korupsi, dengan mengidentifikasi area-area yang rawan
korupsi dan meningkatkan cara-cara efektif dan strategi pemberantasannya. Pada tahun
1998 dibentuk GRECO atau the Group of States against Corruption yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas negara anggota memberantas korupsi. Selanjutnya negara-negara
Uni Eropa mengadopsi the Criminal Law Convention on Corruption, the Civil Law Convention
on Corruption dan Model Code of Conduct for Public Officials.

GERAKAN LEMBAGA SWADAYA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL NGOs)


1. Transparency International
Transparency International (TI) adalah sebuah organisasi internasional non-pemerintah yang
memantau dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian mengenai korupsi yang dilakukan
oleh korporasi dan korupsi politik di tingkat internasional. Setiap tahunnya TI menerbitkan
Indeks Persepsi Korupsi serta daftar perbandingan korupsi di negara-negara di seluruh
dunia. TI berkantor pusat di Berlin, Jerman, didirikan pada sekitar bulan Mei 1993 melalui
inisiatif Peter Eigen, seorang mantan direktur regional Bank Dunia (World Bank).
Pada tahun 1995, TI mengembangkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception
Index). CPI membuat peringkat tentang prevalensi korupsi di berbagai negara, berdasarkan
survei yang dilakukan terhadap pelaku bisnis dan opini masyarakat yang diterbitkan setiap
tahun dan dilakukan hampir di 200 negara di dunia. CPI disusun dengan memberi nilai atau
score pada negara-negara mengenai tingkat korupsi dengan range nilai antara 1-10.

2. TIRI
TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen internasional non-
pemerintah yang memiliki head-office di London, United Kingdom dan memiliki kantor
perwakilan di beberapa negara termasuk Jakarta. TIRI didirikan dengan keyakinan bahwa
dengan integritas, kesempatan besar untuk perbaikan dalam pembangunan berkelanjutan
dan merata di seluruh dunia akan dapat tercapai. Misi dari TIRI adalah memberikan
kontribusi terhadap pembangunan yang adil dan berkelanjutan dengan mendukung
pengembangan integritas di seluruh dunia. TIRI berperan sebagai katalis dan inkubator
untuk inovasi baru dan pengembangan jaringan.
Organisasi ini bekerja dengan pemerintah, kalangan bisnis, akademisi dan masyarakat sipil,
melakukan sharing keahlian dan wawasan untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan praktis yang diperlukan untuk mengatasi korupsi dan mempromosikan
integritas. TIRI memfokuskan perhatiannya pada pencarian hubungan sebab akibat antara
kemiskinan dan tata pemerintahan yang buruk. Salah satu program yang dilakukan TIRI
adalah dengan membuat jejaring dengan universitas untuk mengembangkan kurikulum
Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Antikorupsi di perguruan tinggi.

INSTRUMEN INTERNASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI


1. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
Salah satu instrumen internasional yang sangat penting dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan korupsi adalah United Nations Convention against Corruption yang telah
ditandatangani oleh lebih dari 140 negara. Penandatanganan pertama kali dilakukan di
konvensi internasional yang diselenggarakan di Mérida, Yucatán, Mexico, pada tanggal 31
Oktober 2003.
Tindak pidana korupsi dapat diberantas melalui Badan Peradilan. Namun menurut konvensi
ini, salah satu hal yang terpenting dan utama adalah masalah pencegahan korupsi. Bab yang
terpenting dalam konvensi didedikasikan untuk pencegahan korupsi dengan
mempertimbangkan sektor publik maupun sektor privat (swasta). Salah satunya dengan
mengembangkan model kebijakan preventif seperti :
• pembentukan badan anti-korupsi;
• peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye untuk pemilu dan partai politik;
• promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan publik;
• rekrutmen atau penerimaan pelayan publik (pegawai negeri) dilakukan berdasarkan
prestasi;
• adanya kode etik yang ditujukan bagi pelayan publik (pegawai negeri) dan mereka harus
tunduk pada kode etik tsb;
• transparansi dan akuntabilitas keuangan publik;
• penerapan tindakan indisipliner dan pidana bagi pegawai negeri yang korup;
• dibuatnya persyaratan-persyaratan khusus terutama pada sektor publik yang sangat
rawan seperti badan peradilan dan sektor pengadaan publik;
• promosi dan pemberlakuan standar pelayanan publik;
• untuk pencegahan korupsi yang efektif, perlu upaya dan keikutsertaan dari seluruh
komponen masyarakat;
• seruan kepada negara-negara untuk secara aktif mempromosikan keterlibatan
organisasi non-pemerintah (LSM/NGOs) yang berbasis masyarakat, serta unsur-unsur
lain dari civil society;
• peningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) terhadap korupsi termasuk
dampak buruk korupsi serta hal-hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang
mengetahui telah terjadi TP korupsi.

2. Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business Transaction


Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business Transaction adalah
sebuah konvensi internasional yang dipelopori oleh OECD. Konvensi Anti Suap ini
menetapkan standar-standar hukum yang mengikat (legally binding) negara-negara peserta
untuk mengkriminalisasi pejabat publik asing yang menerima suap (bribe) dalam transaksi
bisnis internasional. Konvensi ini juga memberikan standar-standar atau langkah-langkah
yang terkait yang harus dijalankan oleh negara perserta sehingga isi konvensi akan
dijalankan oleh negara-negara peserta secara efektif.
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business Transaction adalah
konvensi internasional pertama dan satu-satunya instrumen antikorupsi yang memfokuskan
diri pada sisi ‘supply’ dari tindak pidana suap. Ada 34 negara anggota OECD dan empat
negara non-anggota yakni Argentina, Brasil, Bulgaria dan Afrika Selatan yang telah
meratifikasi dan mengadopsi konvensi internasional ini.

PENCEGAHAN KORUPSI : BELAJAR DARI NEGARA LAIN


India adalah salah satu negara demokratis yang dapat dianggap cukup sukses memerangi
korupsi. Meskipun korupsi masih cukup banyak ditemui, dari daftar peringkat negara-negara
yang disurvey oleh Transparency Internasional (TI), India menempati ranking lebih baik daripada
Indonesia. Pada tahun 2005, dari survey yang dilakukan oleh TI, 62% rakyat India percaya
bahwa korupsi benar-benar ada dan bahkan terasa dan dialami sendiri oleh masyarakat yang di-
survey. Di India, Polisi menduduki ranking pertama untuk lembaga yang terkorup diikuti oleh
Pengadilan dan Lembaga Pertanahan. Dari survey TI, pada tahun 2007, India menempati
peringkat 72 (sama kedudukannya dengan China dan Brazil). Pada tahun yang sama, negara
tetangga India seperti Srilangka menempati peringkat 94, Pakistan peringkat 138 dan
Bangladesh peringkat 162. Pada tahun 2007 tersebut, Indonesia menempati nomor 143
bersama-sama dengan Gambia, Rusia dan Togo dari 180 negara yang di-survey. Peringkat yang
cukup buruk jika dibandingkan dengan India yang sama-sama negara berkembang.
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau
badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas
korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib
serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan
menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
2. Directorate on Corruption and Economic Crime (DCEC) Bostwana
DCEC didirikan pada bulan Agustus 1994, ketika korupsi dan UU Tindak Pidana Ekonomi
Tahun 1994 diberlakukan. Direktur DCEC ditunjuk oleh Presiden. Mandat DCEC adalah
untuk memerangi korupsi dan kejahatan ekonomi serta pencucian uang. The DCEC
bekerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kepolisian Botswana, Bea
Cukai dan Latihan, Departemen Imigrasi, Departemen Ombudsman dan Satwa Liar dan juga
organisasi-organisasi internasional seperti Interpol.
3. Anti-Corruption Bureau (ACB) Brunai Darussalam
Pada tanggal 1 Januari 1982, Pemerintah Mulia Sultan dan Yang Di Pertuan Brunei
Darussalam telah diberlakukan Keadaan Darurat (Pencegahan Korupsi) Undang-Undang,
yang kemudian pada tahun 1984 dikenal sebagai Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
4. The Malaysian Anti-Corruption Commisssion (MACC)
Mulai beroperasi secara resmi pada 1 Januari 2009 menggantikan Badan Anti-Korupsi (ACA)
Malaysia. Ini didirikan oleh Undang-Undang yaitu Anti-Korupsi Malaysia Komisi Undang-
Undang 2008.
5. The Commission Against Corruption (CCAC) Macau
Komisi Antikorupsi, yang didirikan di Wilayah Administratif Khusus Makau setelah reunifikasi
ke Cina pada tahun 1999.
6. The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapore
The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) dari Singapura didirikan pada tahun 1952.
Ini adalah sebuah badan independen yang menyelidiki dan bertujuan untuk mencegah
korupsi di sektor publik dan swasta di Singapura.
7. The Anti Corruption Commission (ACC) Bangaldesh
The Anti Corruption Commission (ACC) Bangaldesh dibentuk berdasarkan undan undang
pada 23 Februari 2004 yang mulai berlaku pada tanggal 09 Mei 2004. Memilik kantor resmi
pada tanggal 21 November 2004.
8. Kenya Anti-Corruption Authority (KACA) Kenya
Kenya telah memiliki Undang-Undang anti-korupsi semenjak tahun 1956. Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi (Pasal 65) telah dilakukan sejak bulan Agustus 1956 sampai Mei
2003. Akhirnya terbentuk lah Kenya Anti-Korupsi Authority (KACA)
9. The National Accountability Bureau (NAB) Pakistan
The National Accountability Bureau (NAB) Pakistan didirikan pada tahun 1999. NAB akan
mengambil langkah-langkah yang efektif untuk deteksi, investigasi dan penuntutan kasus-
kasus yang melibatkan korupsi.
10. The Independent Commission Against Corruption (ICAC) Australia
The Independent Commission Against Corruption (ICAC) adalah sebuah organisasi sektor
publik Australia yang memiliki yurisdiksi di Negara Bagian New South Wales (NSW). Fungsi
utama ICAC adalah untuk menyelidiki dan mencegah korupsi. Misinya adalah untuk
membangun dan mempertahankan integritas sektor public.
11. Anti-Corruption Commission (ACC) Sierra Leone
Pada tanggal 3 Februari 2000 Sierra Leone Pemerintah mengesahkan UU Anti-Korupsi. Ini
membuka jalan bagi pendirian Komisi Antikorupsi yang muncul terbentuk pada 1 Januari
2001. ACC bertugas untuk melawan korupsi yang semakin meningkat di Sierra Leone.
12. Oficina Anticorrupción (OA) Argentina
Kantor Antikorupsi (OA) telah dibuat oleh Undang-Undang Nomor 25233 (1999/10/12),
dalam rangka untuk mengembangkan dan mengkoordinir program-program untuk
memerangi korupsi dan, bersamaan dengan Kantor Administrasi Investigasi, latihan
kekuatan dan kekuasaan ditetapkan dalam Pasal 26, 45 dan 50 Undang-Undang Nomor
24946.
13. The Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong
KPKnya Hongkong bernama The Independent Commission Against Corruption atau
singkatannya ICAC berdiri pada tanggal 15 Februari 1974 yang diprakarsai oleh Gubernur
Hongkong saat itu Murray MacLehose. Tujuan utama didirikan lembaga ini adalah untuk
membersihkan wabah korupsi yang merajalela diberbagai departemen pemerintahan di HK.
Gerakan anti koruspi ini melalui penegakan hukum, pencegahan dan community education.
Lembaga ini dipimpin oleh sebuah komisi.
Setelah HK dikembalikan ke Pemerintah China pada tahun 1997, lembaga ini diserahkan ke
konsulat Negara China (perwakilan China) di Hongkong. Sejak awal pendiriannya Lembaga
ini bersifat independen dan hanya bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan tertinggi
di Hongkong. (Persis seperti KPK).
TES FORMATIF
1. Sebutkan Upaya Pemberatasan Korupsi!
2. Sebutkan gerakan organisasi International!
3. Sebutkan gerakan lembaga swadaya internasional!
Kegiatan Belajar 10 KOMISI ANTIKORUPSI, MENGATASI PERSOALAN GLOBAL

GLOBALISASI MASALAH KORUPSI


Korupsi adalah masalah global dan kompleks. Bukan hanya Indonesia yang menghadapi
persoalan tersebut, namun hampir di seluruh penjuru dunia.
Selain itu, karena dampaknya yang luar biasa, tak heran, korupsi pun sudah dikategorikan
sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Hampir semua negara yang memiliki
persoalan korupsi, harus pula menghadapi ancaman kemiskinan. Lihat saja negara-negara di
Afrika yang sangat rentan korupsi, tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sangat
memprihatinkan.
Bermula dari sana, banyak negara kemudian membentuk komisi independen atau komisi
antikorupsi (KAK) yang mempunyai wewenang pemberantasan korupsi. Disebut independen,
karena KAK bukan berada pada struktur pemerintahan dan tidak pula bertanggung jawab
kepada pemerintah.
Jika Indonesia memilih KPK, negara lain pun sama. Di beberapa negara, keberadaan KAK
tersebut terbukti efektif dalam memberantas korupsi. Pengalaman dari Corrupt Practices
Investigation Bureau (CPIB) di Singapura, Independent Commission Against Corruption (ICAC)
Hongkong, Independent Commission Against Corruption (ICAC) New South Wales dan Directorate
on Corruption and Economic Crime (DCEC) di Boswana menggambarkan efektivitas dari KAK
dalam menerapkan kebijakan antikorupsi.
Kesuksesan KAK tersebut lebih disebabkan oleh dukungan politik yang kuat dan kepemimpinan
yang baik. Dilengkapinya komisi ini dengan fungsi monitoring dan pencegahan semakin
memperbesar peluang keberhasilan sebuah KAK.
Berdasarkan studi UNODC, mendirikan lembaga baru seperti KAK akan memberikan
“keuntungan” lebih banyak dalam memberantas korupsi dibandingkan hanya mengandalkan
lembaga penegak hukum yang telah ada seperti kepolisian dan kejaksaan, yang umumnya telah
terjangkiti penyakit “korup”. Menggunakan komisi yang baru diharapkan memberikan
“semangat” pemberantasan korupsi yang baru pula.
Keunggulan Kelemahan

• Dapat terus mengingatkan/menekan pemerintah • Beban biaya tambahan bagi negara


untuk secara serius melakukan upaya
pemberantasan korupsi

• Menghasilkan lembaga dengan tingkat keahlian • Akan terjadi persaingan antara lembaga
yang khusus penegak hukum yang telah ada, sehingga
akan menyulitkan dalam berkoordinasi

• Sebagai lembaga baru dapat membangun sistem • Dapat berakibat restrukturisasi terhadap
baru yang terbebas dari pengaruh korupsi lembaga lain yang telah ada

• Dapat dijadikan contoh bagi lembaga lain,


terutama institusi penegak hukum, sehingga
menjadi “triger mechanism” bagi lembaga penegak
hukum yang telah ada

• Mempunyai kredibilitas yang lebih besar

• Dapat dilengkapi dengan sistem perlindungan


keamanan yang lebih baik dalam menjalankan
fungsinya

• KAK dapat melakukan recruitment secara obyektif


untuk mendapatkan sumber daya manusia dengan
kualitas dan integritas yang lebih baik

• Dapat mendesain sendiri muatan pendidikan dan


pelatihan yang cocok dengan lingkungan yang
dinamis

• Lebih jelas dalam menilai perkembangannya,


tingkat kegagalan dan kesuksesannya

Tabel tersebut menggambarkan keunggulan dan kelemahan dipilihnya lembaga antikorupsi


dalam suatu negara. Dari tabel tersebut terlihat, lebih banyak “keuntungan” yang didapatkan
dari pembentukan KAK dibandingkan memanfaatkan kinerja lembaga penegak hukum yang
sudah ada.
Kebutuhan untuk membentuk lembaga khusus pemberantasan korupsi semakin diperkuat
dengan adanya UNCAC (United Nations Convention Against Corruption). Pasal 6, dan 36 dari
UNCAC mewajibkan negara yang meratifikasinya untuk mempersiapkan badan (baik yang sudah
terbentuk maupun belum) yang mempunyai wewenang untuk menangani dua ruang lingkup
yakni: lembaga yang bertanggung jawab untuk pencegahan korupsi dan lembaga yang
bertanggung jawab untuk memberantas korupsi melalui penegakan hukum.
Pada dasarnya UNCAC tidak mewajibkan setiap negara yang meratifikasi untuk membentuk
sebuah lembaga yang benar-benar baru. UNCAC mewajibkan negara yang meratifikasi untuk
menetapkan secara jelas kewenangan pencegahan dan pemberantasan korupsi pada suatu
lembaga tertentu.
Jika prasyarat dan komitmen untuk mendirikan suatu KAK sudah lengkap, setiap negara patut
mempertimbangkan hal-hal yang dapat memicu kegagalan dan mendorong keberhasilan suatu
KAK. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh U4, Mei 2005 hal 12, “Measuring ‘success’
in five African Anti-Corruption Commission,” kegagalan dan keberhasilan lembaga antikorupsi
disebabkan oleh hal berikut:

Faktor yang mendorong keberhasilan Faktor yang pemicu kegagalan

1. Adanya dukungan politik 1. Tidak adanya komitmen politik

2. Lembaga antikorupsi berada dalam strategy 2. Kontra produktif terhadap pertumbuhan


antikorupsi yang komprehensif dan mendapat ekonomi
support yang efektif dan komplementer dari
lembaga publik

3. Ekonomi yang stabil dan program pembangunan 3. Secara umum pemerintah gagal dalam
selalu fokus pada pengurangan kesempatan membangun institusi di negaranya
korupsi. Sebagai contoh : Mengelola program
privatisasi secara berhati-hati

4. Ditunjang oleh sumber keuangan yang baik dan 4. Penerapan hukum terhadap korupsi yang
staf terlatih kurang mendorong, tidak efektif, dan
ambigu

5. Memiliki visi dan misi yang jelas. Visi dan misi ini 5. Tidak fokus, banyak tekanan, tidak ada
ditunjang pula oleh perencanaan bisnis, prioritas dan tidak punya struktur
pengelolaan anggaran dan pengukuran kinerja organisasi yang memadai
yang baik

6. Punya kerangka hukum yang kuat termasuk ”rule 6. Lembaga pemberantas korupsi dianggap
of law”nya dan dibekali oleh kekuatan hukum yang gagal ketika terlihat sebagai organisasi
kuat yang dapat menunjang kegiatan penindakan yang tidak efisien dan efektif yang tidak
dan pencegahan sesuai dengan harapan banyak pihak

7. Bekerja secara independen dan bebas dari 7. Rendahnya kepercayaan publik


pengaruh segala kepentingan

8. Semua staf dan pimpinan memiliki standar


integritas yang tinggi

9. Melibatkan masyarakat dan memperhatikan


persepsi masyarakat yang berkembang

Kajian mengenai keberhasilan dan kegagalan lembaga sejenis ”KPK” sebaiknya ditinjau dari dua
sudut pandang. Pertama, kondisi ekternal, antara lain dukungan pemerintah (landasan hukum
dan finansial), harapan masyarakat, dan kerjasama luar negeri. Kedua, kondisi internal, yaitu
dukungan staf yang profesional dan berintegritas, struktur organisasi dan sistem manajemen
yang baik.
Berdasarkan pengalaman di beberapa negara di Afrika, kegagalan komisi antikorupsi diawali
oleh tidak terpenuhinya harapan berbagai pihak dengan hasil kinerja komisi tersebut. Tidak
terpenuhinya harapan tersebut bukan semata-mata disebabkan oleh rendahnya kinerja, namun
juga disebabkan oleh terlalu besarnya harapan yang dibebankan ke pundak komisi. Sementara
komisi sendiri masih merupakan organisasi muda yang baru membangun.
Kegagalan KPK dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Sumber: Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Kedeputian Pencegahan KPK, 2006

Faktor Penyebab Keberhasilan KAK


Banyak hal khusus yang membedakan KAK dengan lembaga penegak hukum lain. Di antaranya
independensi dan kewenangan yang dimilikinya.
Independensi dan kewenangan ini dianggap sebagai faktor terpenting, di samping faktor-faktor
lainnya yang menentukan keberhasilan dan kegagalan sebuah KAK;
a. Independensi
Inti daripada independensi bagi KAK adalah kemampuan KAK untuk berperilaku objektif
dalam merumuskan kebijakannya sendiri tanpa dipengaruhi kepentingan “luar”.
Kepentingan luar ini umumnya dipersepsikan sebagai kepentingan politis penguasa.
Independensi tidak selalu dapat diraih dengan hanya mengandalkan kerangka hukum yang
menetapkan bahwa KAK dibentuk oleh Undang-Undang
khusus yang memberikan “fasilitas” independensi dengan baik. Banyak kasus di beberapa
negara yang KAKnya tetap sukses dan independen walaupun tetap harus bertanggung jawab
terhadap Presiden atau kepala pemerintahan, seperti yang terjadi di Singapura dan
Hongkong.
Berdasarkan studi UNDP (Institutional Arrangement to Combat Corruption: A Comparative
Study, UNDP, 2005, hal 5), independensi KAK lebih banyak dinilai oleh
• Tersedianya mekanisme yang transparan untuk menilai kinerja KAK yang bersangkutan,
sehingga dapat menjaga agar fungsinya tidak bias.
• Pemilihan pimpinan KAK menggunakan prosedur yang demokratis, transparan dan
objektif.
• Pimpinan KAK yang terpilih dikenal sebagai orang dengan integritas yang baik dan telah
teruji. Seluruh KAK yang telah teruji independensinya terbukti mampu memberikan hasil
yang amat baik dalam pemberantasan korupsi di negaranya.

b. Wewenang
Pada dasarnya wewenang dari KAK mencakup kombinasi dari fungsi investigasi, penuntutan,
pendidikan masyarakat, pencegahan dan
koordinasi. Namun kebanyakan KAK melakukan strategi pemberantasan korupsi melalui
pencegahan, investigasi dan pendidikan masyarakat (Hongkong, New South Wales, Thailand
dan Indonesia).
Fungsi Investigasi merupakan pusat kegiatan dari KAK. Investigasi dapat dilakukan
berdasarkan masuknya pengaduan masyarakat, keputusan
objektif KAK maupun berdasarkan permintaan institusi tertentu, seperti yang terjadi di New
South Wales dimana parlemen dapat meminta KAK untuk melakukan investigasi khusus.
Hongkong merupakan salah satu KAK yang terbilang cukup responsif dalam menangani
pengaduan masyarakat. ICAC Hongkong mendirikan perwakilannya di daerah untuk sebaik
mungkin merespon pengaduan masyarakat. Hal penting yang diperlukan KAK untuk
mendapatkan pengaduan masyarakat dari sumber yang jelas adalah dengan menyediakan
mekanisme perlindungan saksi dan whistle blower yang baik.
Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu hal penting dalam tiap strategi antikorupsi.
Untuk itu peningkatan kepedulian masyarakat terhadap isyu korupsi terus dilakukan melalui
fungsi pendidikan masyarakat yang dimiliki oleh KAK.
Pendidikan masyarakat umumnya dilakukan melalui program-program yang menarik dengan
menggunakan bebagai media yang tersedia seperti penyebaran buku, leaflet, poster, stiker,
talk show, seminar, berbagai program di televisi dan radio, hingga memasukkan kurikulum
antikorupsi di sekolah-sekolah. Dengan banyaknya sosialisasi dan pendidikan masyarakat
ini, diharapkan semakin menciptakan transparansi di berbagai bidang yang merupakan
salah satu tolak ukur keberhasilan KAK.
Fungsi pencegahan yang umumnya dilakukan oleh KAK adalah mengkaji sistem dan
prosedur dari institusi pemerintahan dan publik sehingga dapat mendeteksi loopholes yang
mengarah pada kemungkinan terjadinya korupsi. Hasil kajian tersebut dapat digunakan
sebagai alat untuk mendesak pimpinan institusi terkait untuk segera membenahi sistem,
sekaligus memfasilitasi fungsi investigasi dari KAK itu sendiri. Koordinasi yang solid antara
fungsi pencegahan dan operation (penindakan) di ICAC Hongkong merupakan salah satu
kunci pokok keberhasilan KAK tersebut.
Hal penting yang dibutuhkan fungsi pencegahan KAK untuk mengkaji suatu sistem adalah
dimilikinya kemampuan untuk meneliti isu-isu yang terkait dengan korupsi. Kapabilitas
penelitian yang andal dari suatu KAK terbukti berdampak positif bagi pengembangan KAK itu
sendiri. Dengan kemampuan penelitian yang baik dalam mengumpulkan opini publik,
mendefinisikan tren korupsi dan isu lainnya, diharapkan tiap KAK dapat merumuskan
strategi yang tepat dalam usaha pemberantasan korupsi di negaranya. Banyak pihak
menganggap pentingnya kapasitas penelitian ini, diantaranya European Union yang
merekomendasikan Latvia dan Lithuania untuk memperbaiki kemampuan penelitian KAK di
kedua negara tersebut. Selain ICAC Hongkong, KAK yang dianggap mempunyai kapabilitas
penelitian yang baik adalah ICAC New South Wales.

Karakteristik KAK di Berbagai Negara


Tiap negara mempunyai latar belakang pembentukan komisi antikorupsi yang berbeda.
Perbedaan latar belakang ini menentukan karakteristik dari terbentuknya KAK di tiap negara.
Meskipun berdasarkan data dari tahun yang berbeda, namun dapat diambil kesimpulan bahwa
untuk negara-negara dengan Indeks korupsi yang bagus seperti Hongkong dan Singapura,
ternyata mempunyai KAK dengan ciri-ciri khusus. Di antaranya:
• Telah lama terbentuk.
• Proporsi pegawai untuk departemen investigasi terbesar dibandingkan departemen yang
lain.
• Mempunyai sumber dana yang mencukupi.
• Rata-rata jumlah laporan yang masuk relatif lebih banyak.
• Mempunyai wewenang yang lebih besar, misal Bisa melakukan penuntutan sendiri.

Secara ringkas, berikut karakteristik KAK di beberapa negara:


• CPIB Singapura
CPIB Singapura disebut sebagai model investigatif dikarenakan karakteristiknya yang unik.
Keunikannya terlihat dari ukurannya yang relatif kecil, menekankan pada fungsi investigatif
dan arah pemberantasan disesuaikan dengan kebijakan besar pemerintah.
Pada tahun 2000 jumlah pegawai CPIB hanya sebanyak 80 orang, bandingkan dengan
jumlah pegawai ICAC Hongkong yang mencapai sekitar 1200 orang pada tahun yang sama.
Penekanan pada fungsi investigatif mengharuskan CPIB harus mampu menyelesaikan kasus
korupsi yang ditangani dengan hukuman yang dapat memberikan deterrent effect. Hal ini
dapat dibuktikan oleh CPIB, dimana dalam semua kasus yang ditangani mempunyai tingkat
pembuktian yang tinggi. Dari tiap kasus korupsi yang terbukti mampu menghasilkan denda
hingga $ S1 00.000 dan kurungan penjara hingga 5 tahun. Selain dikenai denda terdakwa
yang terbukti bersalah juga harus mengembalikan seluruh uang hasil korupsinya.
Arah pemberantasan korupsi di CPIB ditekankan untuk meyakinkan investor akan iklim
bisnis yang bebas suap dan beretika di Singapura. Untuk itu seluruh putusan dalam sidang
korupsi adalah putusan yang kredibel dan berpihak pada kegiatan pembangunan Singapura.
• ICAC Hongkong
ICAC Hongkong disebut model universal karena dianggap sebagai model KAK yang ideal bagi
pemberantasan korupsi. Ideal disini dalam arti mempunyai kerangka hukum yang kuat,
mendapatkan support keuangan yang cukup besar, jumlah tenaga ahli yang mencukupi dan
yang terpenting konsistensi dukungan pemerintah yang terus-menerus selama lebih dari 30
tahun.
ICAC Hongkong didirikan dengan wewenang yang besar dalam penindakan dan pencegahan.
Wewenang yang besar seperti melakukan penyelidikan terhadap rekening bank, mengaudit
harta kepemilikan dan yang terpenting dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan
untuk mencegah tersangka melarikan diri dari proses penuntutan.
Investasi modal dari pemerintah Hongkong untuk ICAC relatif besar, untuk tahun 2001
sebesar US $ 90 juta, yang sebagian besar digunakan untuk membayar pegawainya yang
berjumlah 1200 orang. Investasi sumberdaya manusia dilakukan dengan sangat baik oleh
ICAC Hongkong, sehingga SDM ICAC tercukupi baik dari jumlah dan keahlian.
ICAC Hongkong mengkontrol korupsi di Hongkong melalui 3 departemen fungsional yakni
investigasi, pencegahan dan hubungan masyarakat. Departemen terbesar adalah
departemen operasional (investigasi). 75 persen anggaran ICAC dialokasikan untuk
departemen operasional termasuk menggaji staf yang berkualitas di departemen ini.
Departemen pencegahan menginvestasikan sebagian besar dananya untuk membiayai
kegiatan studi yang berkaitan dengan korupsi, menyelenggarakan seminar untuk pebisnis
dan membantu masyarakat dan organisasi swasta dalam mengidentifikasi upaya strategis
untuk mengurangi potensi korupsi. Studi yang dilakukan ICAC Hongkong ini memberikan
informasi yang menarik mengenai tingkat dan modus korupsi yang dilakukan pegawai
pemerintahan, sehingga dapat dijadikan acuan dalam merubah hukum dan Undang-Undang
antikorupsi yang berlaku.
Departemen hubungan masyarakat menginformasikan kepada publik tentang revisi dari
Undang Undang dan peraturan yang berlaku. Departemen ini juga berperan dengan baik
dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bahaya korupsi melalui berbagai
kampanye publik yang sistematis dan terencana. Keseluruhan fungsi-fungsi dari tiap
departemen di ICAC Hongkong menjadi acuan bagi banyak KAK di seluruh dunia, meskipun
tidak ada jaminan sepenuhnya bahwa mengadopsi model ini akan sanggup menyelesaikan
masalah yang dihadapi KAK di tiap-tiap negara.
“Lesson Learned” dari KAK di Hongkong :
 Kemauan politik yang kuat dari pemerintah, dengan menyediakan
 kerangka hukum yang kuat dan sumberdaya yang memadai
 Cukup independen
 Pimpinan komisi mempunyai keleluasaan yang cukup dalam mengelola manajemen
 Mempunyai fungsi publikasi yang baik terutama dalam mempublikasikan proses
penuntutan korupsi
 Hukum yang menekankan penyelenggara negara untuk mengumumkan
 asetnya beserta sumber penghasilannya dilaksanakan dengan baik
 Melakukan pendekatan yang menyeluruh melalui tiga strategi : investigasi, pencegahan
dan pendidikan masyarakat
 Dukungan publik yang kuat
 Rule of Law
• NCCC Thailand
Sebelum tahun 1975 penanganan kasus korupsi di Thailand sepenuhnya menjadi wewenang
kepolisian dengan mengandalkan undang¬undang hukum pidana dan Undang-Undang lain
yang mengatur tentang pejabat publik. Namun kinerja kepolisian dalam menanggulangi
korupsi dianggap sebagian besar masyarakat jauh dari mencukupi. Korupsi semakin
merajalela di
Thailand, walaupun setiap pemerintahan yang berkuasa selalu berjanji untuk menangani,
namun korupsi justru semakin menjadi. Korupsi juga menjadi salah satu pemicu jatuhnya
pemerintahan di Thailand, baik itu melalui kudeta militer maupun melalui parlemen.
Keinginan untuk memecahkan masalah korupsi semakin memuncak, tepatnya pada tanggal
14 Oktober 1973 para pelajar dan mahasiswa menggelar aksi demonstrasi sambil
memaparkan fakta kepada masyarakat dan media bahwa banyak pejabat dan
penyelenggara negara yang menyalahgunakan jabatan dan tugasnya untuk keuntungan
pribadi.
Beberapa di antara mereka yang mencoba untuk menentang korupsi tidak mampu berbuat
apa-apa, bahkan tidak sedikit pula yang menderita sebagai akibat menentang korupsi. Hal
ini sebagai akibat dari tidak adanya hukum yang mengatur secara khusus mengenai korupsi
dan juga sebagai akibat dari banyak tekanan dan ancaman yang diterima aparat ketika
memberantas korupsi. Kesimpulannya adalah bahwa korupsi adalah suatu masalah besar
yang telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan seperti pembangunan nasional,
ekonomi, politik, dan terutama keamanan negara.
Kesadaran akan bahayanya korupsi pun mulai muncul dalam bentuk kebijaksanaan negara.
Konstitusi Kerajaan Thailand 1974, pasal 66 menyebutkan bahwa: “Negara harus menyusun
suatu sistem yang efisien dalam hal pelayanan publik dan pelayanan lainnya dan harus
mengambil langkah-langkah guna mencegah dan menekan semua perilaku korup”
Pada tahun 1975 Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai Penanganan Korupsi dan
mendirikan Kantor Penanganan Korupsi (Office of the Commission of Counter Corruption).
Sayangnya, OCCC tidak memiliki banyak lingkup kewewenangan untuk memberantas
korupsi. Tetapi pencegahan korupsi terus berjalan.
Pada tahun 1996 lembaga pembuat Undang-Undang terbentuk. Anggotanya adalah anggota
masyarakat yang dipilih langsung dari masing-masing propinsi. Mereka yang terpilih dibawa
ke parlemen untuk dipilih kembali, hasilnya terpilihlah 99 anggota. Anggota lembaga inilah
yang kemudian mengesahkan UU pemberantasan korupsi di tahun 1999. UU ini kemudian
menjadi landasan bagi berdirinya NCCC (National Counter Corruption Commision).
Adanya NCCC membuka lembaran baru bagi Thailand dalam penanganan kasus korupsi.
Korupsi tidak ditangani secara biasa namun lebih modern dan komprehensif oleh super body
dengan pendekatan yang “extra ordinary”. NCCC disebut super body karena diberi
keleluasaan wewenang untuk mengusut dan menuntut politisi maupun pejabat. NCCC tidak
hanya melakukan pendekatan represif melalui penuntutan namun juga punya
kewenangan untuk mengajukan pemecatan terhadap politisi dan memeriksa kekayaan
pejabat. Dalam menunjang fungsi penyelidikannya, NCCC diberi kekuasaan yang besar untuk
mendapatkan dokumen, menangkap dan menahan tertuduh atas permintaan pengadilan.
Dalam fungsi preventif, NCCC juga melakukan upaya-upaya penyadaran masyarakat, dengan
melibatkan media dan LSM melalui berbagai pendekatan. Pendekatan transparansi yang
ditempuh NCCC, terutama dalam pemeriksaan kekayaan pejabat dan politisi. Untuk
menjaring laporan, NCCC juga melakukan program perlindungan saksi dan penyadaran
masyarakat antikorupsi di tiap wilayah.
• BIANCO Madagascar
Pemerintahan Presiden Marc Ravalomanana yang mulai berkuasa pada tahun 2002, mulai
memberikan “angin segar” dalam era kepemimpinan yang baru di Madagascar.
Ravalomanana secara aktif mendukung penuh program pemberantasan korupsi di
Madagascar dengan menetapkan dekrit untuk membentuk lembaga tinggi pemberantasan
korupsi, pada September 2003. Pada bulan Januari 2004, diadakan pengumpulan pendapat
terhadap 6500 pemimpin lokal di Madagascar, yang hasilnya secara penuh mendukung
dekrit ini, sehingga pada Juli 2004, ditetapkanlah strategi nasional antikorupsi. September
2004, UU antikorupsi ditetapkan oleh parlemen, sekaligus menandai beroperasinya
Independent Anti Corruption Bureau (BIANCO) di Madagascar.
Kinerja Madagascar yang progresif dalam memberantas korupsi dan kemiskinan
mendapatkan apresiasi penuh dari Amerika Serikat. Madagascar terpilih sebagai negara
pertama dari 16 negara lainnya yang layak menerima pendanaan US Millennium Challenge
Account (MCA).
Penerimaan bantuan untuk Madagascar difokuskan untuk menekan kemiskinan dan
peningkatan kualitas hidup. Lembaga donor juga amat mendukung program pemberantasan
korupsi yang dikembangkan oleh BIANCO. Salah satu bentuk dukungan lembaga
internasional dalam hal ini World Bank adalah menyelenggarakan survey nasional untuk
mengukur tingkat korupsi Madagascar dengan menginterview 3300 rumah tangga dan 1000
pegawai pemerintah. Survey lapang telah dilaksanakan pada bulan November 2005,
sayangnya hingga saat ini publikasi hasil survei tersebut belum didapatkan.
Dalam rencana aksinya, BIANCO melakukan pendekatan sektoral. Untuk tahun 2004-2005,
BIANCO memfokuskan untuk melakukan monitoring dan pembenahan di 3 sektor, yakni
sektor yudikatif (lembaga peradilan dan kepolisian), sektor keuangan (pajak, bea cukai,
pertanahan, dan perdagangan) dan sektor sosial. Untuk rencana aksi tahun 2005-2007,
sektor yang diawasi bertambah 2 sektor yakni sektor ekonomi (pertambangan, pariwisata,
perindustrian dan UKM) dan sektor pendukung (lingkungan hidup, energi, sumberdaya air
dan kehutanan).
Memang belum banyak hasil yang dapat diraih BIANCO. Namun hingga saat ini BIANCO terus
melakukan sosialisasi kesuluruh daerah di Madagascar, dan tercatat telah 40 pegawai
pemerintah yang mulai diperiksa.
TES FORMATIF
1. Apa yang dimaksud dengan komisi antikorupsi (KAK)?
2. Mengapa berbagai negara saat ini mengutamakan pemberantasan korupsi melalui komisi
antikorupsi?
3. Apa saja keunggulan pemberantasan korupsi jika dilakukan melalui KAK?
Referensi dan Tools yang digunakan

Undang – Undang Dasar 1945


Video Grafis tentang KPK
Pengantar Kelembagaan Antikorupsi
Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi
Pengantar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
Pengantar Gratifikasi
Pengantar Pengaduan Masyarakat terkait Tindak Pidana Korupsi

Daftar Pustaka

Dokumentasi
Pembukaan Alinea Keempat, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Jo Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah ancaman sanksi pidana
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts
Corruption (UNCAC)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), Kepolisian c.q.
Pejabat Polisi Negara RI bertindak sebagai Penyelidik dan Penyidik Perkara Pidana (vide
Pasal 4 jo. Pasal 6 KUHAP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU)
Keputusan Presiden No.228 Tahun 1967 dan UU No 24 Tahun 1960
Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali
digalakkan. Melalui Kepres tersebut, Pemerintah melahirkan lembaga yang kemudian
dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”
Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1970 tentang Komite Empat
Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat
Negara/Pegawai Negeri/ABRI
Peperpu Kastaf AL tanggal 17 April 1958 No.Prt/Z/1 /I/7
Peraturan Antikorupsi Nomor Prt/Peperpu/013/58
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang Pembentukan Badan yang
Berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh
melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan
korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi)
Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi
dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk
melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lain, sambil
menunggu putusan Pengadilan Tinggi.
Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No. PER-08/XII/2008 Tanggal 30 Desember
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK

Buku
Bryan A. Garner. (2014). “Black's Law Dictionary”. Thomson West
Daryanto, Nico. (2012). Pak Harto The Untold Stories. Jakarta: Kompas Gramedia.
Erlangga: Jakarta. Notosusanto, Nugraha. 2008. Sejarah Nasional Indonesia 6, Jakarta : Balai
Pustaka
KPK. (2016). “Modul Kelembagaan KPK untuk Umum”. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan
Pelayanan Masyarakat
Muhammad A.S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan: Runtuhnya Politik Orde Baru. Penerbit
Spora Communication. (2015). “Pengantar Gratifikasi”. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan
Pelayanan Masyarakat
Spora Communication. (2015). “Pengantar Pengaduan Masyarakat terkait Tindak Pidana
Korupsi”. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Sudirman, Adi dkk. (2004). Sejarah Lengkap Indonesia.Yogyakarta: Ikapi Press.
Supratikno Raharjo. (2002). “Peradaban Jawa”. Indonesia: Komunitas Bambu
Tim Spora. (2015). “Benedict Anderson. (1972). “The Ideal of Power in Javanese Culture”.
Pengantar Kelembagaan Antikorupsi”. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat
Tim Spora. (2015). “Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, Pemberantasan Korupsi”.
Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Tim Spora. (2015). “Ong Hok Ham, “Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong”, Pengantar
Kelembagaan Antikorupsi”. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Tim Spora. (2015). “Ong Hok Ham. “Politik, Korupsi, dan Budaya”, Pengantar Kelembagaan
Antikorupsi”. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Tim Spora. (2015). “Pengantar Kelembagaan Antikorupsi”. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan
Pelayanan Masyarakat
Tim Spora. (2015). “Pengantar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara”. Jakarta:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat

Artikel dan Berita yang diakses pada bulan Agustus 2016


http://kpk.go.id/id/halaman-utama/9-uncategorised?start=20, “Perlindungan Bagi Pelapor”,
diakses pada bulan Agustus 2016
http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/290-kpk-lembaga-permanen, “KPK Lembaga
Permanen”, diakses pada bulan Agustus 2016
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/19474380/kpk.harus.tetap.ada, “KPK Harus
Tetap Ada”, diakses pada bulan Agustus 2016
http://www.antikorupsi.org/id/content/kpk-harus-tetap-ada, “KPK Harus Tetap Ada”, diakses
pada bulan Agustus 2016
http://www.negarahukum.com/hukum/kpk.html, “Mengapa Harus Membela KPK?”, diakses
pada bulan Agustus 2016
U4, “Measuring ‘success’ in five African Anti-Corruption Commission”, Mei 2005 hal 12
Studi UNDP (Institutional Arrangement to Combat Corruption: A Comparative Study), UNDP,
2005, hal 5)
Resolusi 54/128 of 17 Desember 1999, “Action against Corruption”

Anda mungkin juga menyukai