Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat.
Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran
napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Umumnya, penyebab dari infeksi saluran
napas adalah berbagai mikroorganisme, namun yang terbanyak yakni oleh karena
infeksi virus dan bakteri (Depkes, 2005)
Data di Indonesia, menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2003 dari
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran
napas bagian bawah menempati urutan ke 2 sebagai penyebab kematian tertinggi di
masyarakat. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001, infeksi juga merupakan
penyakit paru utama, yang mana 11,6% dari 58% kasus rawat jalan di rumah sakit
tersebut termasuk infeksi paru non tuberkulosis. Begitu juga di Di RSUP H. Adam
Malik Medan , terdapat 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi
nontuberkulosis (PDPI, 2003).
Data WHO yang dikumpulkan dari 88 negara di lima benua dengan jumlah penduduk
1.200 juta menunjukkan angka kematian karena infeksi saluran nafas pada tahun
1972 adalah sebesar 666 ribu. Pneumonia oleh virus atau bakteri menempati 75%
dari angka kematian tersebut. Hadiarto (1990) menemukan 50% kuman
Streptococcus Viridans, kemudian Streptococcus Pneumoniae (14,6% - 20%) yang
diisolasi dari bahan sputum dan sikatan bronkhus, sedangkan dari Gram Negatif
didapatkan Klepsiella Pneumonial, Pseudomonas dan E. Coli. Wibowo. S (1991)
melaporkan bahwa dari hasil kultur aspirat Transtrakheal 40 penderita Bronkhiektase
terinfeksi di RS. Persahabatan didapatkan Streptococcus Viridans predominan dan
diikuti oleh Pseodomonas Sp, Enterobachteriaceae dan dari kuman anaerob
Bacterioides Sp, menonjol.

Penanganan infeksi sebenarnya tidak terlalu sulit bila kuman penyababnya serta obat
untuk mengatasinya sudah diketahui dengan pasti. Memastikan kuman penyebab ini
yang jauh lebih sulit, lebih-lebih lagi untuk menentukan penyebab infeksi saluran
nafas bagian bawah. Umumnya sebagai bahan pemeriksaan diambil dahak yang

1
dibatukkan penderita karena bahan ini mudah didapat. Infeksi saluran nafas sampai
dewasa ini masih menduduki peringkat utama penyakit infeksi karena paling sering
menyebabkan kematian. Di Amerika Serikat negara yang tergolong paling maju
masih terdapat sekitar 50 ribu kematian setiap tahun akibat pneumonia.
B. Tujuan Praktikum
1. Untuk mengetahui cara pengambilan sample usap hidung dan tenggorok
2. Untuk mengetahui jenis streptococcus α dan β

C. Manfaat Praktikum
1. Dapat memahami cara pengambilan sample usap hidung dan tenggorok
2. Dapat memahami apa saja jenis-jenis streptococcus α dan β

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Famili Streptococcaceae
Bakteri tersusun berderet seperti rantai, berbentuk bulat atau bulat telur, kadang
menyerupai batang. Pada pertumbuhan tua atau kuman yang mati sifat gram positifnya
akan hilang dan menjadi gram negatif. Streptokokus terdiri dari kokus yang berdiameter
0,5-1 μm. Dalam bentuk rantai yang khas, kokus agak memanjang pada arah sumbu
rantai. Streptokokus patogen jika ditanam dalam perbenihan cair atau padat yang cocok
sering membentuk rantai panjang yang terdiri dari 8 buah kokus atau lebih. Streptokokus
yang dapat menimbulkan infeksi pada manusia adalah streptokokus dengan gram positif,
tetapi varietas tertentu yang diasingkan dari tinja manusia dan jaringan binatang ada
yang negatif gram. Streptokokus tidak membentuk spora, kecuali beberapa strain yang
hidupnya saprofitik. Geraknya negatif. Strain yang virulen membuat selubung yang
mengandung hyaluronic acid dan M type specific protein.
Pada perbenihan biasa, pertumbuhannya kurang subur jika ke dalamnya tidak
ditambahkan darah atau serum. Kuman ini tumbuh baik pada pH 7,4-7,6, suhu optimum
untuk pertumbuhan 37oC, pertumbuhannya cepat berkurang pada 40oC. Umumnya
streptokokus bersifat anaerob fakultatif, hanya beberapa jenis yang bersifat anaerob
obligat. Pada umumnya tekanan O2 harus dikurangi, kecuali untuk enterokokus.
Streptococcus hemolyticus meragi glukosa dengan membentuk asam laktat yang
dapat
menghambat pertumbuhannya. Tumbuhnya akan subur bila diberi glukosa berlebih dan
diberikan bahan yang dapat menetralkan asam laktat yang terbentuk. Streptococcus
pyogenes mudah tumbuh dalam semua enriched media. Untuk isolasi primer harus
dipakai media yang mengandung darah lengkap, serum atau transudat misalnya cairan
asites atau pleura. Penambahan glukosa dalam konsentrasi 0,5% meningkatkan
pertumbuhannya tetapi menyebabkan penurunan daya lisisnya terhadap sel darah merah.
Dalam lempeng agar darah yang dieram pada 370C setelah 18-24 jam akan membentuk
koloni kecil ke abu-abuan dan agak opalesen, bentuknya bulat, pinggir rata, pada
permukaan media, koloni tampak sebagai setitik cairan. Streptokokus membentuk 2
macam koloni, mucoid dan glossy. Yang dahulu

3
disebut matt, sebenarnya bentuk mucoid yang telah mengalami dehidrasi. Koloni
berbentuk mucoid dibentuk oleh kuman yang berselubung asam hialuronat. Tes katalasa
negatif untuk streptokokus, ini dapat membedakan dengan stafilokokus di mana tes
katalase positif. Juga streptococcus hemolyticus grup A sensitif pada cakram basitrasin
0,2 μg, sifat ini digunakan untuk membedakan dengan grup lainnya yang resisten
terhadap basitrasin. Hanya jenis dari lancefield grup B dan D yang koloninya
membentuk pigmen berwarna merah bata atau kuning.
Berdasarkan sifat hemolitiknya pada lempeng agar darah, kuman ini dibagi dalam:
a. Hemolisis tipe alfa, membentuk warna kehijau-hijauan dan hemolisis sebagian di
sekeliling koloninya, bila disimpan dalam peti es zona yang paling luar akan
berubah menjadi tidak berwarna.
b. Hemolisis tipe beta, membentuk zona bening di sekeliling koloninya, tak ada sel
darah merah yang masih utuh, zona tidak bertambah lebar setelah disimpan dalam
peti es.
c. Hemolisis tipe gamma, tidak menyebabkan hemolisis.
Untuk membedakan hemolisis yang jelas sehingga mudah dibeda-bedakan maka
dipergunakan darah kuda atau kelinci dan media tidak boleh mengandung
glukosa. Streptokokus yang memberikan hemolisis tipe alfa juga disebut
streptoccocus viridans. Yang memberikan hemolisis tipe beta disebut
streptococcus hemolyticus dan tipe gamma sering disebut sebagai streptoccocus
anhemolyticus.

B. Corynebacterium diphteriae
Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit
dan/atau mukosa. Bakteri ini berbentuk batang kecil, dengan gram positif, tidak berspora,
tidak bergerak, tersusun seperti pagar (palisade) atau membentuk huruf cina V, L, Y.
Bakteri ini mempunyai Granula metakhromatik Babes-Ernst yang tampak jelas dengan
pewarnaan Neisser. Terdapat 3 tipe utama C. diphtheriae, yaitu tipe gravis, intermedius,
dan mitis yang mempunyai koloni yang berbeda bila ditanam pada perbenihan yang
mengandung telurit. Ketiga tipe ini memberikan gejala klinik yang berbeda. Difteria
ditularkan melalui kontak dengan pasien atau karier dengan cara droplet. Muntahan/debu
bisa merupakan wahana penularan (vehicles of transmission). Difteria kulit, meskipun

4
jarang dibahas, memegang peran yang cukup penting secara epidemiologik. Difteria
tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata setelah Perang
Dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat penurunan
mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Faktor sosial-ekonomi, overcrowding, nutrisi
jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.

5
BAB III
METODE PENELITIAN

1. Pengambilan Sampel Usap Tenggorok dan Hidung

A. Usap Tenggorok
Alat dan Bahan :
1. Swab steril
2. Spatel lidah steril
3. Senter
4. Plat agar darah
5. BHI
Prosedur Kerja :
1. Siapkan swab steril dan spatel lidah steril, kemudian jelaskan tujuan
pengambilan sampel pada pasien.
2. Pasien diminta untuk membuka mulut selebar mungkin dan mengucapkan kata
“Aaagh..” sambil menekan lidah dengan spatel hingga uvula dan tonsil terlihat
jelas.
3. Usapkan swab steril di bagian posterior faring dan bagian antara uvula dan
tonsil.
4. Usapkan swab tersebut dengan cara digulirkan diatas permukaan agar darah
dan isolasi dengan metode “streak” menggunakan ose. Simpan di inkubator.
Swab yang telah dipakai lalu dimasukkan ke dalam BHI dan disimpan
diinkubator untuk dibiakkan.

Gambar 1. Pengambilan spesimen melalui tenggorokan

6
B. Usap Hidung
Alat dan Bahan :
1. Swab steril
2. Senter
3 Plat agar darah
4. BHI
Prosedur Kerja :
1. Siapkan swab steril dan senter, kemudian jelaskan tujuan pengambilan sampel
pada pasien.
2. Pasien diminta untuk mengangkat sedikit kepalanya sehingga cavum nasi
interna lebih terlihat jelas.
3. Minta pasien untuk menahan nafas sebentar, lalu usapkan swab steril tersebut
di daerah nasofaring .
4. Usapkan swab tersebut dengan cara digulirkan diatas permukaan agar darah
dan isolasi dengan metode “streak” menggunakan ose. Simpan di inkubator.
Swab yang telah dipakai lalu dimasukkan ke dalam BHI dan disimpan
diinkubator untuk dibiakkan.

Gambar 2. Pengambilan spesimen melalui nasal

7
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Sampel Usap Tenggorok (UT)

Nama Pasien : Abiyyu Ghiyats Mahardika

Usia : 19 tahun

Tanggal Pengambilan Spesimen : 10 Februari 2017

Tanggal Pengamatan Spesimen : 13 Februari 2017

Pada usap tenggorok didapatkan hasil sebagai berikut :

Koloni 1 :

- Jumlah bakteri : 105


- Diameter : 0,1 mm
- Sifat Koloni : Bulat kasar tidak menjalar
- Warna bakteri : bening
- Hemolisis : Hemolisis beta
- Bentuk : Bulat tidak teratur
2. Sampel Usap Hidung (UH)

Nama Pasien : Abiyyu Ghiyats Mahardika

Usia : 19 tahun

Tanggal Pengambilan Spesimen : 10 Februari 2017

Tanggal Pengamatan Spesimen : 13 Februari 2017

Pada usap hidung didapatkan hasil sebagai berikut :

- Jumlah bakteri : 80
- Diameter : 0,1 mm
- Sifat Koloni : Bulat kasar tidak menjalar
- Warna bakteri : bening
- Hemolisis : hemolysis beta

8
- Bentuk : Bulat

Gambar 3. Usap Hidung dan Tenggorok

9
Percobaan pada bakteri streptococcus
Keterangan:
1. Kiri atas : S. pyogenes
2. Kanan atas : S. β non A
3. Kiri bawah : S. pneumoni
4. Kanan bawah : S. viridans

B. Pembahasan
S. hemolyticus α :
Diameter zona hambat:

 S. viridans: 28 mm
 S. pneumonia: 0 mm

Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa bakteri streptoccocus viridans dan
streptoccocus pneumoniae yang diisolasi pada sediaan plat agar darah yang telah
diberi antibiotik opthokin akan memberikan hasil hemolisis tipe alfa/hemolisis
sebagian. Terdapat warna hijau di daerah pengamatan pada sediaan agar darah. Pada
streptoccocus pneumoniae terdapat zona hambat (sensitif) sedangkan pada
streptoccocus viridans tidak mengalami zona hambat (resisten). Namun, pada

10
percobaan kali ini, streptococcus pneumonia bersifat resisten dan streptococcus
viridans bersifat sensitive. Diduga hal itu terjadi karena human error dan butuh
ketelitian yang lebih baik lagi di waktu yang akan dating.

S. hemolyticus β :

Diameter zona hambat:

 S. pyogenes: 28 mm
 S. hemolyticus β non grup A: 16 mm

Bakteri Streptococcus pyogenes dan Streptococcus non grup A yang diberikan


antibiotik basitrasin jika dibiakkan pada sediaan plat agar darah akan mengalami
hemolisis beta/hemolisis sempurna. Terjadi zona hambat pada kedua sediaan. Pada
dasarnya seharusnya Streptococcus pyogenes memang terdapat zona hambat, namun
tidak halnya dengan Streptococcus non grup A. Pada percobaan kali ini, keduanya
mempunyai zona hambat, namun pada streptococcus non grup A zona hambat
cenderung lebih kecil. Maka dari itu untuk identifikasi bakteri ini dibutuhkan
percobaan lebih lanjut.

11

Anda mungkin juga menyukai