Anda di halaman 1dari 58

Laporan Kasus

Hipertiroidisme dan Bronkitis Akut

Diajukan sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik


di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD DR. H. Rabain Muara Enim

Disusun oleh:
Ricky Pratama Wijaya, S.Ked 04084821921126
Mitha Novita, S.Ked 04084821921091
Dita Marisca, S.Ked 04084821921131

Pembimbing
dr. Della Fitricana, Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR. H. RABAIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus

Judul

Hipertiroidisme dan Bronkitis Akut

Oleh:
Ricky Pratama Wijaya, S.Ked 04084821921126
Mitha Novita, S.Ked 04084821921091
Dita Marisca, S.Ked 04084821921131

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUD
Dr. H. Rabain, Periode 8 April- 3 Mei 2019.

Palembang, 2019
Pembimbing

dr. Della Fitricana, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul ―Hipertiroidisme dan Bronkitis Akut‖. Laporan kasus ini
merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang.

Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Della


Fitricana,Sp.PD selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta
kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.

Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini
dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.

Palembang, Maret 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II STATUS PASIEN ........................................................................... 3
2.1. Identifikasi Pasien .................................................................... 3
2.2. Anamnesis ............................................................................... 3
2.3. Pemeriksaan Fisik .................................................................... 4
2.4. Daftar Masalah ......................................................................... 6
2.5. Pemeriksaan Penunjang ........................................................... 7
2.6. Diagnosis Sementara ................................................................ 8
2.7. Diagnosis Banding ................................................................... 8
2.8. Tatalaksana ............................................................................... 8
2.9. Prognosis .................................................................................. 9
2.10. Rencana Pemeriksaan................................................................ 9
2.11. Follow Up ................................................................................. 9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 15
3.1 Hipertioidisme .............................................................................. 15
3.1.1 Definisi ............................................................................. 15
3.1.2 Etiologi ............................................................................... 15
3.1.3 Epidemiologi ..................................................................... 16
3.1.4 Anatomi Kelenjar Tiroid ................................................... 17
3.1.5 Fisiologi Kelenjar Tiroid ................................................... 20
3.1.6 Patofisiologi Hipertiroid ................................................... 24
3.1.7 Manifestasi Klinis ............................................................. 30
3.1.8 Tatalaksana ....................................................................... 32
3.1.9 Prognosis ............................................................................ 34
3.2 Bronkitis Akut .............................................................................. 35
3.2.1 Defisini .............................................................................. 35
3.2.2 Etiologi ............................................................................... 35
3.2.3 Patogenesis ......................................................................... 36
3.2.4 Gejala Klinis ....................................................................... 39
3.2.5 Diagnosis ............................................................................ 42
3.2.6 Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 42
3.2.7 Diferensial Diagnosis ......................................................... 44
3.2.8 Tatalaksana ......................................................................... 45
3.2.9 Pronosis .............................................................................. 50
BAB IV ANALISIS KASUS ….... .................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 53

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi


berlebihan dari hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan
pula peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi
tiroksin (T4) di jaringan perifer.(1) Hipertiroidisme dapat timbul spontan atau akibat
asupan hormon tiroid yang berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan
yang paling sering dijumpai yaitu penyakit Graves dan goiter nodular toksik. Pada
penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal, dan keduanya mungkin tak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan.

Graves disease (GD) bertahan sebagai etiologi hipertiroidisme yang paling


sering ditemukan dan menyebabkan sekitar 60-80% dari semua kasus tirotoksikosis
di seluruh dunia. Ini juga lebih sering ditemukan pada wanita dengan rasio wanita-
pria 8: 1 dan tampaknya bermanifestasi dalam dekade ketiga dan keempat
kehidupan.(2) Data dari Whickham survey pada pemeriksaan penyaring kesehatan
dengan Free Thyroxine Index (FT4) menunjukkan prevalensi hipertiroid pada
masyarakat sebanyak 2%. Prevalensi hipertiroid berdasarkan umur dengan angka
kejadian lebih kurang 10 per 100.000 wanita dibawah umur 40 tahun dan 19 per
100.000 wanita yang berusia di atas 60 tahun. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika
terdapat pada wanita sebesar (1 ,9%) dan pria (0,9%). Di Eropa ditemukan bahwa
prevalensi hipertiroid adalah berkisar (1-2%). Di negara lnggris kasus hipertiroid
terdapat pada 0.8 per 1000 wanita pertahun.(3) Di Republik Indonesia, prevalensi
hipertiroidisme mencapai 6,9% (data terbaru Riset Kesehatan Dasar Indonesia yang
dilakukan pada 2007 dengan tingkat batas TSH <0,55 mIU / L). (2)

1
Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan keluhan yang sulit
dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa
penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps.(1) Gejala
dan tanda hipertiroid pada orang dewasa tidak spesifik, sebagian orang hanya
mengalami penurunan berat badan dan peningkatan reaksi iritabilitas tanpa
mengalami pembesaran kelenjar tiroid, tachicardi, tremor ataupun exopthalmus.(1)

Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormon


tiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne dan New Castle sangat
membantu diagnosis hipertiroid . Penegakan diagnosis yang pasti adalah dengan
pemeriksaan kadar hormon tiroid dalam darah. Serum yang diperiksa yakni kadar
tiroksin bebas (FT4), TSH, dan TRH yang akan memastikan keadaan dan lokalisasi
masalah di tingkat susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid.(1)

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Yulina
Usia : 60 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dsn. 1 gunung Megang Dalam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
MRS : 8 April 2019

2.2 Anamnesis
(Autoanamnesis dan alloanamnesis 8 April 2019)

2.2.1 Keluhan Utama :


Keluhan badan semakin merasa lemas sejak 1 hari SMRS

2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit :


±2 bulan SMRS os mengeluh badan terasa lemas, napsu makan menurun (+),
demam (-). Os juga merasa telapak tangan dan badan OS banyak berkeringat.
± 2 minggu SMRS Os merasa badan semakin mudah lemas. Os merasa sesak
ketika melakukan aktifitas seperti melakukan pekerjaan rumah. Napsu makan
menurun (+) diikuti dengan penurunan berat badan yang ditandai dengan mengukur
berat badan. Dada berdebar-debar (+) nyeri dada (-) nyeri ulu hati (-) Os mudah
merasa gelisah (+) Tangan sering gemetar (+), telapak tangan dan badan sering
berkeringat (+). Os mudah merasa kepanasan. Batuk (+) berdahak. Dahak berwarna
putih.

3
±1 hari SMRS badan Os terasa sangat lemas, napsu makan menurun, mual (+)
muntah (-). Tangan gemetar (+) telapak tangan berkeringat (+) badan sering
berkeringat (+) Os mudah gelisah (+) dada berdebar(+) tangan gemetar(+) Os masih
mengeluhkan sesak ketika melakukan aktivitas seperti melakukan pekerjaan rumah.
Os sering gelisah, dan Os merasa sulit menelan. Batuk dikit-dikit (+) berdahak. Os
kemudian datang berobat ke poli klinik penyakit dalam RSUD Dr. H. Rabain dan
ditemukan pembesaran pada kelenjar tiroid Os. Os kemudian dirawat inap.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi (+)
DM (-)
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan yang sama dirasakan pada keluarga disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik (18 Maret 2019) :


Keadaan Umum
Os tampak sakit ringan
Sensorium: Compos Mentis
Tekanan Darah: 150/70 mmHg
Nadi: 100x/menit
Respiratory Rate: 32x/menit
SpO2: 98%
Temperatur: 36,5oC

Keadaan Spesifik
Kepala :Normocephali, warna rambut beruban, rambut licin, tidak
mudah dicabut, alopesia (-), nyeri tekan supra dan infra orbita
(-), deformitas tulang kepala (-)

4
Mata :Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (+/+), refleks cahaya (+/+), mata cekung (+/+), edema
palpebra (-/-) eksoftalmus (+/+)
Hidung :Deviasi septum nasal (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut :Bibir pucat (-), bibir kering (-), chelitis angularis (-), lidah
kering (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-)
Telinga :MAE lapang, MT intak, sekret (-)
Leher :JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid
(+) strauma difusa.
Thoraks :Barrel chest (-), venektasi (-), dan spider naevi (-),

Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris paru kanan sama dengan paru kiri,
retraksi interkostal (-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri , nyeri tekan (-).
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, rhonki (+/+) basah halus di apeks kiri
dan basal kanan paru, wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis terlihat di ICS VI linea aksilaris anterior.
Palpasi : Iktus kordis teraba terlihat di ICS VI linea aksilaris anterior.
Perkusi : Batas jantung atas ICS 2 linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan linea parasternalis dektra
Batas jantung kiri ICS VI linea Aksilaris anterior
Auskultasi : Bunyi jantung 1&2 (+) normal, murmur (-) sistolik, gallop (-)

5
Abdomen
Inspeksi : Datar, striae (-), venektasi (-), caput meduase (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien sulit
dinilai, ballotement (-).
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Ekstremitas Superior : Deformitas (-), pitting edema (-), pucat (-), ikterik (-), sianosis
(-), akral hangat (+), CRT < 2 detik, pembesaran KGB aksilla
(-), palmar pucat (-), clubbing finger (-) tremor halus pada
kedua tangan (+)

Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), pitting edema (-), pucat (-), ikterik (-), sianosis
(-), akral hangat (+), CRT < 2 detik, palmar pucat (-), clubbing
finger (-)

2.4 Daftar Masalah


- Badan makin terasa lemas
- Tangan tremor
- Dada berdebar-debar
- Gampang gelisah
- Napsu makan turun
- Gampang berkeringat
- Sesak saat melakukan aktivitas
- Batuk sudah 2 minggu berdahak

6
2.5 Pemeriksaan penunjang
- Darah rutin

Pemeriksaan Result Nilai Rujukan


Hb 12,8g/dl M: 14-18 F:12-16 g/dl
Leukosit 4,14 x 103/mikroL 5,0-10 x 103/mikroL
Eritrosit 4,51 x 106/ mikroL M: 4,5-6,0 F:4,0-5,5 x 106/mikroL
Trombosit 125 x 103/mikroL 150-450 x 103/mikroL
Difcount 0/3/50/35/15 Basophil: 1-3%
Eosinophil: 2-3%
Neutrophil: 50-70%
Limfosit: 20-40%
Monosit: 2-8%

- Cek kadar hormone TSH, T4, T3

Pemeriksaan Result Nilai rujukan


T3 4,82 ng/ml
T4 >24,86 mikrogram/dl
TSH <0,05 mikroliterU/ml

- Rontgen thorak

7
2.6 Diagnosis Sementara
Hipertiroid dengan bronchitis akut

2.7 Diagnosis Banding


Hipertiroid dengan suspek TB
Grave disease

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Non Farmakologis
Istirahat
Diet tinggi kalori
Edukasi tentang penyakit dan pengobatan

8
2.8.2 Farmakologis
IVFD RL gtt xx/m
PTU 3x100mg
Propanolol 2x10mg
Amroksol syr 3x1C
Cefixime 2x 100mg
Neurosanbe 1 ampul (IV)

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

2.10 Rencana Pemeriksaan


- EKG
- TRAb
- Tes sputum BTA

2.11 Follow Up
11 april 2019
S Os mengeluh tangan gemetar, badan terasa lemas, jantung
berdebar-debar, dan pusing,
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/70 mmHg
Nadi 97x/m, reguler, isi cukup, tegangan kuat
Pernapasan 30 x/m
Temperatur 36,3oC
Keadaan spesifik
Kepala Normocephali, warna rambut beruban, rambut licin, tidak
mudah dicabut, alopesia (-), nyeri tekan supra dan infra orbita

9
(-), deformitas tulang kepala (-)
Mata Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa
katarak (-/-), pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), edema palpebra (-/-)
Hidung Deviasi septum nasal (-), sekret (-), epistaksis (-)
Bibir pucat (-), bibir kering (-), chelitis angularis (-), lidah
Bibir kering (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-)

Telinga MAE lapang, MT intak, sekret (-)

Leher JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid


(+), strauma difusa

Thorax
Paru-paru Barrel chest (-), venektasi (-), dan spider naevi (-),
statis dan dinamis simetris paru kanan sama dengan paru kiri,
retraksi interkostal (-/-), stem fremitus paru kiri=kanan, nyeri
tekan (-). Sonor di kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-).
Vesikuler (+/+) normal, rhonki (+/+) di apeks lobus kiri dan
basal lobus kanan, wheezing (-/-)
Jantung Iktus kordis terlihat di ICS VI linea Aksilaris anterior. Iktus
kordis teraba ICS VI linea Aksilaris anterior.
Batas jantung dalam batas normal
murmur (-) sistolik, gallop (-)
Abdomen Datar, striae (-), venektasi (-), caput meduase (-). Lemas, nyeri
tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba, ballotement
(-). Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-). Bising usus (+)
normal
Ekstremitas Ekstremitas Superior : Deformitas (-), pitting edema (-),
pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+), telapak
tangan berkeringat (+), tremor (+)
Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), pitting edema (-),
pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+),
A Hipertiroid
P IVFD RL gtt xx/m
Propranolol 2x10 mg
Ptu 2x100mg
Drip neurosanbe 1 ampul

10
12 april 2019
S Os mengeluh batuk(+) berdahak warna putih
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/60 mmHg
Nadi 84x/m, reguler, isi cukup, tegangan kuat
Pernapasan 20 x/m
Temperatur 37,1oC
Keadaan spesifik
Kepala Normocephali, warna rambut beruban, rambut licin, tidak
mudah dicabut, alopesia (-), nyeri tekan supra dan infra orbita
(-), deformitas tulang kepala (-)
Mata Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa
katarak (-/-), pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), edema palpebra (-/-)
Hidung Deviasi septum nasal (-), sekret (-), epistaksis (-)
Bibir pucat (-), bibir kering (-), chelitis angularis (-), lidah
Bibir kering (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-)

Telinga MAE lapang, MT intak, sekret (-)

Leher JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-), pembesaran


struma/tiroid (+) strauma difusa.

Thorax Barrel chest (-), venektasi (-), dan spider naevi (-),
Paru-paru statis dan dinamis simetris paru kanan sama dengan paru kiri,
retraksi interkostal (-/-), stem fremitus paru kiri=kanan, nyeri
tekan (-). Sonor di kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-).
Vesikuler (+/+) normal, rhonki (+/+) di apeks lobus kiri dan
basal lobus kanan, wheezing (-/-)
Iktus kordis terlihat di ICS VI linea Aksilaris anterior. Iktus
Jantung kordis teraba ICS VI linea Aksilaris anterior.
Batas jantung dalam batas normal
murmur (-) sistolik, gallop (-)
Datar, striae (-), venektasi (-), caput meduase (-). Lemas, nyeri
Abdomen tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba, ballotement
(-). Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-). Bising usus (+)
normal

11
Ekstremitas Superior : Deformitas (-), pitting edema (-),
Ekstremitas pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+), telapak
tangan berkeringat (+), tremor (+)
Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), pitting edema (-),
pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+),
A Hipertiroid
P IVFD RL gtt xx/m
Propranolol 2x10 mg
Ptu 2x100mg
Drip neurosanbe 1 ampul

13 april 2019

S Os mengeluh batuk (+) berdahak (+) badan terasa lemas(+)


O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 140/60 mmHg
Nadi 92x/m, reguler, isi cukup, tegangan kuat
Pernapasan 20 x/m
Temperatur 37,1oC
Keadaan spesifik
Kepala Normocephali, warna rambut beruban, rambut licin, tidak
mudah dicabut, alopesia (-), nyeri tekan supra dan infra orbita
(-), deformitas tulang kepala (-)
Mata Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa
katarak (-/-), pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), edema palpebra (-/-)
Hidung Deviasi septum nasal (-), sekret (-), epistaksis (-)
Bibir pucat (-), bibir kering (-), chelitis angularis (-), lidah
Bibir kering (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-)

Telinga MAE lapang, MT intak, sekret (-)

Leher JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-), pembesaran


struma/tiroid (+) strauma difusa.

Thorax Barrel chest (-), venektasi (-), dan spider naevi (-),
Paru-paru statis dan dinamis simetris paru kanan sama dengan paru kiri,
retraksi interkostal (-/-), stem fremitus paru kiri=kanan, nyeri

12
tekan (-). Sonor di kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-).
Vesikuler (+/+) normal, rhonki (+/+) di apeks lobus kiri dan
basal lobus kanan, wheezing (-/-)
Iktus kordis terlihat di ICS VI linea Aksilaris anterior. Iktus
Jantung kordis teraba ICS VI linea Aksilaris anterior.
Batas jantung dalam batas normal
murmur (-) sistolik, gallop (-)
Datar, striae (-), venektasi (-), caput meduase (-). Lemas, nyeri
Abdomen tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba, ballotement
(-). Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-). Bising usus (+)
normal
Ekstremitas Superior : Deformitas (-), pitting edema (-),
Ekstremitas pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+), telapak
tangan berkeringat (+), tremor (+)
Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), pitting edema (-),
pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+),
A Hipertiroid
P IVFD RL gtt xx/m
Propranolol 2x10 mg
Ptu 2x100mg
Drip neurosanbe 1 ampul
Ambroksol syr 3x1 C
Cefixime 2x100mg
Rencana Rontgen Thorax

15 april 2019

S Os mengatakan keluhan membaik, batuk(-)


O
Keadaan umum KU perbaikan
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/70 mmHg
Nadi 88x/m, reguler, isi cukup, tegangan kuat
Pernapasan 20 x/m
Temperatur 36,8oC
Keadaan spesifik
Kepala Normocephali, warna rambut beruban, rambut licin, tidak
mudah dicabut, alopesia (-), nyeri tekan supra dan infra orbita
(-), deformitas tulang kepala (-)

13
Mata Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa
katarak (-/-), pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), edema palpebra (-/-)
Hidung Deviasi septum nasal (-), sekret (-), epistaksis (-)
Bibir pucat (-), bibir kering (-), chelitis angularis (-), lidah
Bibir kering (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-)

Telinga MAE lapang, MT intak, sekret (-)

Leher JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-), pembesaran


struma/tiroid (+) strauma difusa.

Thorax Barrel chest (-), venektasi (-), dan spider naevi (-),
Paru-paru statis dan dinamis simetris paru kanan sama dengan paru kiri,
retraksi interkostal (-/-), stem fremitus paru kiri=kanan, nyeri
tekan (-). Sonor di kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-).
Vesikuler (+/+) normal, rhonki (+/+) di apeks lobus kiri dan
basal lobus kanan, wheezing (-/-)
Iktus kordis terlihat di ICS VI linea Aksilaris anterior. Iktus
Jantung kordis teraba ICS VI linea Aksilaris anterior.
Batas jantung dalam batas normal
murmur (-) sistolik, gallop (-)
Datar, striae (-), venektasi (-), caput meduase (-). Lemas, nyeri
Abdomen tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba, ballotement
(-). Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-). Bising usus (+)
normal
Ekstremitas Superior : Deformitas (-), pitting edema (-),
Ekstremitas pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+), telapak
tangan berkeringat (+), tremor (-)
Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), pitting edema (-),
pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+),
A Hipertiroid dengan bronchitis akut
P IVFD RL gtt xx/m
Propranolol 2x10 mg
Ptu 2x100mg
Drip neurosanbe 1 ampul
Ambroksol syr 3x1 C
Cefixime 2x100mg
Rencana pulang

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hipertiroid

3.1.1 Definisi

Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical


Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi
normal. Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya
kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah.
Hipertiroidisme adalah sindrom yang dihasilkan dari efek metabolic yang beredar
secara berlebihan oleh hormone tiroid T4, T3 atau keduanya. Subklinis
hipertiroidisme mengacu pada kombinasi konsentrasi serum TSH yang tidak
terdeteksi dan konsentrasi serum T3, T4 normal, terlepas dari ada atau tidak adanya
tanda-tanda gejala klinis.(4)

3.1.2 Etiologi

Dikenal beberapa penyakit yang dapat menyebabkan hipertiroidi dengan


penyebab tersering toxic diffuse goiter dan toxic nodular goiter, baik jenis
multinoduler maupun soliter.(5) Beberapa penyebab hipertiroidi yang lain dapat
ditemukan pada tiroiditis subakutan, chronic autoimmune thyroiditis, karsinoma
tiroid, struma ovarii, exogenous hyperthyroidism, hipertiroidi karena pemakaian
iodium dan berbagai penyebab hipertiroidi, penyakit Graves (PG) atau penyakit
Basedow atau penyakit Parry merupakan penyebab paling sering ditemukan. (5)

15
PG adalah suatu penyakit multisistemik yang karakteristik dengan adanya
struma difusa, tirotoksikosis, oftalmopati infiltratif dan kadang-kadang disertai
dengan dermopati infiltrative. PG dikatakan merupakan penyakit otoimun kelenjar
tiroid, hal ini disokong dengan adanya laperan-laporan tentang terdapat-nya antibodi
spesifik pada penderita PG.(5)

3.1.3 Epidemiologi

Graves Disease menyumbang antara 60% sampai 80% dari pasien dengan
hipertiroidisme. Hal ini menyerang 10 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan
pria, dengan risiko tertinggi onset antara usia 40 sampai 60 tahun. Prevalensi adalah
orang Asia dan Eropa. Adenoma autonom dan racun multi-nodular gondok lebih
sering terjadi di Eropa dan daerah lain di dunia di mana penduduk cenderung
mengalami defisiensi yodium, prevalensi mereka juga lebih tinggi pada wanita dan
pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun.(4)

Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1960 diperkirakan
200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian hipertiroidi yang
didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44% — 48,93% dari
seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok.(5) Di AS diperkirakan 0,4%
populasi menderita PG, biasanya sering pada usia di bawah 40 tahun.(6)

Distribusi jenis kelamin dan umur pada penyakit hipertiroidi amat bervariasi
dari ber-bagai klinik. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP
Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan
di RSHS Bandung 10 :1. Sedangkan distribusi menumt umur di RSUP Palembang
yang terbanyak adalah pada usia 21 - 30 tahuii (41,73%), tetapi menurut beberapa
penulis lain puncaknya antara 30—40 tahun.(5)

16
3.1.4 Anatomi Kelenjar Tiroid

Tiroid yang berbentuk perisai segi empat. Kelenjar tiroid merupakan organ
yang bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah
anterior trakea. Kelenjar ini merupakan kelenjar endokrin yang paling banyak
vaskularisasinya, dibungkus oleh kapsula yang berasal dari lamina pretracheal fascia
profunda.Kapsula ini melekatkan tiroid ke laring dan trakea. Kelenjar ini terdiri atas
dua buah lobus lateral yang dihubungkan oleh suatu jembatan jaringan ismus tiroid
yang tipis dibawah kartilago krikoidea di leher, dan kadang-kadang terdapat lobus
piramidalis yang muncul dari ismus di depan laring. (7)

Kelenjar tiroid terletak di leher depan setentang vertebra servikalis 5 sampai


trokalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh ismus. Setiap
lobus berbentuk seperti buah pear, dengan basis di bawah cincin trakea 5 atau 6.
Kelenjar tiroid mempunyai panjang lebih kurang 5 cm, lebar 3 cm, dan dalam
keadaan normal kelenjar tiroid pada orang dewasa beratnya antara 10 sampai 20
gram. Aliran darah kedalam tiroid per gram jaringan kelenjar sangat tinggi (lebih
kurang 5ml/menit/gram tiroid, kira-kira 50x lebih banyak dibanding aliran darah
dibagian tubuh lainnya).(7)

Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (musculus


sternothyroideus dan musculus sternohyoideus) kanan dan kiri yang bertemu pada
midline. Otot-otot ini disarafi oleh cabang akhir nervus kranialis hipoglossus
desendens dan bagian kaudal dipersarafi oleh ansa hipoglossus. Pada bagian
superfisial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisial yang
membungkus musculus sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi
lateral berbatasan dengan arteri karotis komunis, vena jugularis interna, trunkus
simpatikus, dan arteri tiroidea inferior.(7) Bagian posterior dari sisi medialnya terdapat
kelenjar paratiroid, nervus rekuren laringeus dan esofagus. Esofagus terletak

17
dibelakang trakea dan laring sedangkan nervus rekuren laringeus terletak pada sulkus
trakeoesofagikus.(7)

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber antara lain arteri
karotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan
kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang arteri brakhialis. Kadang kala
dijumpai arteri tiroidea, cabang dari trunkus brakiosefalika. Sistem vena terdiri atas

18
vena tiroidea superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di sebelah
lateral dan vena tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi laring
dengan pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus
laringeus superior.(8)

Inervasi Kelenjar Tiroid


Persarafan simpatis diperoleh dari ganglion cervicalis superior dan ganglion
cervicalis media yang mencapai kelenjar thyroid dengan mengikuti arteri thyroidea
superior dan arteri thyroideainferior atau mengikuti perjalanan nervus laryngeus
superior ramus eksternus dan nervus laryngeus recurrens. Serat-seratsaraf simpatis
mempunyai efek perangsangan pada aktifitas sekresi kelenjar thyroid.(9)
Nervus laryngeus superior mengandung komponen motorisuntuk m.
cricothyroidea, dan komponen sensoris untuk dindinglarynx di sebelah cranial plica
vocalis. Nervus laryngeus recurrensmengandung komponen motoris untuk semua otot
intrinsic laryngeus dan komponen sensoris untuk dinding larynx disebelah caudal dari
plica vocalis.(9)
Nervus laryngeus superior mempercabangkan ramus internus dan ramus
eksternus. Ramus internus berjalan menembus membrana thyrohyoidea, dinding
anterior fossa piriformis dan mencapai otot-otot lateral serta membawa komponen
sensoris untuk dinding larynx di cranial plica vocalis dan aditus laryngeus.Sedangkan
ramus eksternus mempersarafi m. cricothyroidea.Kerusakan pada nervus laryngeus
superior menyebabkan perubahan suara yang khas dan hilangnya sensasi dalam
larynx dicranial plica vocalis.(9)
Nervus laryngeus recurrens yang terletak dalam sulkustracheoesophagus
memasuki pharynx dengan melewati bagian profunda tepi inferior m. constrictor
pharyngeus inferior dan berada pada bagian dorsal articulatio cricothyroidea.
Kerusakan pada nervus recurrens menyebabkan paralisis plica vocalis.(9)

19
3.1.5 Fisiologi Kelenjar Tiroid

Pembentukan dan sekresi hormon tiroid

Hormon utama kelenjar tiroid yaitu tiroksin yang berupa tetraiodotironin (T4),
dan triiodotironin (T3). Umumnya yang disebut tiroksin yaitu T4 yang sekitar 93%-
nya dibentuk langsung di kelenjar tiroid, sedangkan T3 yang langsung di produksi di
kelenjar tiroid hanya sekitar 7%. T3 juga dibentuk di jaringan perifer melalui proses
deiodinasi T4. Kedua hormon itu merupakan senyawa yang berasal dari asam amino
tirosin. Hormone ini mengandung iodin. (10)

3’ 3
C 2 C C
5’ 5

Thyroxine (T4 = tetraiodothyronine) N 2

C 2 C C

N 2
T3 = triiodothyronine

Sebagai hormon, fungsi T4 dan T3 sama, tetapi T3 lebih aktif dari T4. RT3
tidak aktif sebagai hormon. T4 secara alami berbentuk isomer L. Isomer R terdapat
hanya sangat sedikit, dan keaktifannya juga jauh lebih kecil dari isomer L. (10)

Iodine (I) merupakan bahan mentah yang esensial yang berupa iodida untuk
sintesis hormon tiroid. Iodida yang diserap diubah menjadi iodine. Untuk menjaga

20
Untuk mencegah
kekurangan iodine, garam dapur yang dijual dicampur dengan natrium iodida, yaitu
satu bagian Na-I untuk 100-ribu NaCl. T3 dan T4 dimetabolisme di hati, dan I
dikeluarkan sebagian besar melalui kemih dan sedikit melalui feses. (10)

Membran sel folikel yang menghadap ke kapiler berisi simporter yang


mentransport I- dan Na+ (NIS) ke dalam sel melawan perbedaan selisih elektrokimia
untuk I-. Simporter ini mampu meningkatkan kadar I- di dalam sel sampai 20 – 40
kali lebih tinggi dibandingkan kadar di plasma. Bila sel folikel kegiatannya sangat
tinggi, kadar I- di dalam sel bahkan dapat meningkat lebih dari 200 kaIi kadar dalam
plasma. Proses ini dipengaruhi oleh TSH dan tentu juga melibatkan pompa Na+ - K+
ATPase untuk mengeluarkan Na+ dari dalam sel. Kemudian I- menuju ke koloid
dengan berdifusi, mungkin melalui kanal khusus untuk I-. NIS merupakan protein
membran yang mempunyai 12 segmen yang menembus membran, dan yang gugus
amino dan gugus karboksilnya berada di dalam sel. I esensial untuk fungsi normal
tiroid, tetapi baik defisiensi maupun kelebihan I dapat menghambat fungsi tiroid.(10)

Kelenjar ludah, mukosa gaster, plasenta, korpus siliare mata, pleksus


korioideus, dan kelenjar mama juga mempunyai NIS yang mentransport juga I
melawan selisih konsentrasi, tetapi asupannya tidak dipengaruhi oleh TSH. Kelenjatr
mama juga mengikat I dan membentuk diiodotirosin, tetapi tidak membentuk T 3 dan
T4. Makna proses ini sama sekali belum diketahui.(10)

Sintesis hormon tiroid

Di dalam koloid terdapat molekul tiroglobulin yang mengandung 123 gugus


tirosin. Hanya 4- 8 gugus tirosin saja yang nantinya bereaksi membentuk hormon
tiroid. Setelah dimasukkan ke dalam koloid sebagian melalui protein pendrin yang
merupakam Cl-/I- exchanger, iodide dioksidasi menjadi iodine dan diikat oleh tirosin
yang merupakan bagian dari molekul tiroglobulin pada posisi karbon 3. Tiroglobulin
dibentuk di dalam sel-sel tiroid (thyrocytes) dan disekresi melalui proses eksositosis

21
dalam bentuk granule yang juga berisi thyroid peroxidase, suatu enzim yang
mengoksidasi dan mengikatkan iodine pada tirosin. Hormon tiroid yang terbentuk
tetap menjadi bagian tiroglobulin sampai disekresikan. Sebelum disekresikan, maka
koloid akan direabsorpsi oleh sel tiroid melalui endositosis, ikatan peptide akan
dihidrolisis, dan T4 dan T3 bebas dikeluarkan ke kapiler.(10)

Sel tiroid (sel folikel/sel tirosit) dengan demikian mempunyai 4 fungsi, yaitu:

1. mengumpulkan dan mentransport iodine


2. mensintesis tiroglobulin dan mensekresikannya ke koloid
3. memfiksasi iodin pada tiroglobulin untuk membentuk hormon
4. mengambil hormon tiroid dari tiroglobulin dan mensekresikan ke
peredaran darah.
Dalam proses sintesis hormone tiroid, produk yang paling awal yaitu
monoiodotirosin (MIT). Kemudian MIT mengalami iodinasi pada karbon 5 menjadi
diiodotirosin (DIT). Kemudian terjadi oksidasi kondensasi DIT yang menghasilkan
T4. Sedang T3 mungkin terbentuk oleh kondensasi MIT dan DIT, sedang RT 3
mungkin terjadi oleh kondensasi DIT dan MIT. Pada kelenjar tiroid manusia,
distribusi rata-rata senyawa iodine yaitu 23% MIT, 33% DIT, 35% T4, dan 7% T 3.
RT3 hanya merupakan zat yang dapat dirunut (traces).(10)

Sekresi

Setiap harinya kelenjar tiroid mensekresi sekitar 80 µg (103 nmol) T4, 4 µg (7


nmol) T3, dan 2 µg (3,5 nmol) RT3. MIT dan DIT tidak disekresikan. Sel-sel tiroid
mereabsorpsi koloid dengan proses endositosis (fagositosis), sehingga pada sel yang
aktif terlihat lacuna-lakuna (ceruk-ceruk) reabsorpsi pada batas pinggir koloid. Di
dalam sel, globule koloid menyatu dengan lisosome. Ikatan peptide antara gugus
yang teriodinasi dan tiroglobulin diputus oleh protease dalam lisosome, dan T 4, T3,
DIT, dan MIT dibebaskan ke sitoplasma.(10)

22
Tirosine yang diiodinasi (DIT dan MIT) di-deiodinasi oleh enzim deiodinase
iodotirosin dan iodin yang dibebaskan digunakan kembali untuk sintesis hormon. T 4
dan T3 tidak mengalami deiodinasi, dan dilepas ke peredaran darah. Kadang-kadang
terdapat kelainan kongenital tidak adanya enzim deiodinase iodotirosin. Pada pasien
ini DIT dan MIT terdapat dalam kemih dan terdapat gejala defisiensi iodium. (10)

Transport dan metabolisme hormon tiroid

Kadar T4 plasma normal pada orang dewasa sekitar 8 µg/dl (103 nmol/L),
sedang T3 sekitar 0,15 µg/dl (2,3 nmol/L), Sebagian besar terikat pada protein
plasma. Angka tersebut diperoleh dengan radioimunoesai.(10)

Hormon tiroid bebas dalam plasma dalam keseimbangan dengan hormon


tiroid yang terikat protein dalam plasma dan jaringan. Hormon tiroid yang baru
disekresikan menambah hormon yang bebas. Hormon yang bebas ini yang aktif dan
juga yang menghambat sekresi TSH oleh hipofisis anterior. (10)

Protein plasma yang mengikat umumnya albumin. Prealbumin yang dulu


disebut thyroxine-binding prealbumin (TBPA) sekarang disebut transtiretin. Globulin
tertentu juga dapat mengikat hormon tiroid (thyroxine binding globulin = TBG).
Albumin mmpunyai kapasitas terbesar dalam mengikat hormon tiroksin, sedang TBG
terkecil. Namun afinitas T4 terhadap TBG tinggi, sehingga sebagian besar T 4 dalam
plasma lebih banyak yang terikat pada TBG. Sebagian besar T 4 dalam plasma
(99,98%) terikat pada protein. Yang bebas hanya sekitar 0,2 ng/dl. Sebagian besar T 3
juga terikat pada protein. Hanya sekitar 0,2% (0,3 ng/dl) yang bebas.(10)

Sebagian besar T4 dan T3 dimetabolisme di hati dan ginjal. Sebagian besar


T3 dan RT3 yang beredar merupakan hasil deiodinasi T4. Distribusi T4 dan T3
biasanya dinyatakan dalam rasio T3/T4. Rasio T3/T4 yang paling tinggi yaitu di
hipofisis dan di korteks serebri.(10)

23
Efek hormon tiroid

Secara umum hormon tiroid berfungsi merangsang konsumsi oksigen,


sehingga efeknya terutama sekunder oleh peningkatan konsumsi oksigen itu. T 3 dan
T4 masuk ke dalam sel dan terikat pada reseptor terhadap hormon tiroid (TR).
Kompleks hormon-reseptor kemudian mengikat DNA melalui ikatan zinc finger dan
meningkatkan atau kadang-kadang menurunkan ekspresi berbagai macam gen yang
menyandikan enzim yang mengatur fungsi sel. Jadi reseptor hormon tiroid yang
terdapat dalam nukleus sel merupakan anggota dari superfamili faktor transkripsi
nukleus yang sensitif terhadap hormon.(10)

Terdapat dua macam gen TR pada manusia, yaitu gen re


kromosom 17 dan gen reseptor β pada kromosom 3. Masing-masing dapat
membentuk dua macam mRNA. Jadi ada TR α1 dan TRα2, serta TRα1 dan TRα2. TRα2
hanya terdapat di otak, sedang yang lain tersebar secara luas di seluruh tubuh. TR α2
berbeda dengan TR yang lain karena TRα2 ini tidak mengikat T3 dan fungsinya
belum jelas. TR mengikat DNA sebagai monomer, homodimer dan heterodimer
dengan reseptor nukleus yang lain, terutama dengan reseptor retinoid X.

T3 umumnya mempunyai efek 3 – 4 kali lebih kuat dan lebih cepat


dibandingkan T4. Hal ini disebabkan karena ikatan antara T 3 dengan protein kurang
kuat, sebaliknya ikatan dengan TR lebih kuat. RT 3 bersifat inert.(10)

3.1.6 Patofisiologi Hipertiroid

T4 dan T3 meningkatkan konsumsi oksigen hampir pada semua jaringan yang


secara metobolik aktif. Beberapa pengecualian yaitu pada otak, testis, uterus, kelenjar
limfe, limpa, dan hipofisis anterior orang dewasa. T4 menekan konsumsi oksigen
hipofisis anterior mungkin karena T4 justru berrfungsi menghambat sekresi TSH.

24
Beberapa efek kalorigenik hormon tiroid disebabkan karena metabolisme
asam lemak yang dimobilisasi oleh hormon tersebut. Hormon tiroid juga
meningkatkan aktivitas Na+-K+-ATPase yang terikat membran sel. Peningkatan
aktivitas Na+-K+-ATPase menyebabkan kebutuhan ATP meningkat, hal ini
menyebabkan peningkatan proses katabolisme dalam tubuh. Selain menghasilkan atp,
proses katabolic juga menyebabkan pelepasan kalor sehingga terjadi peningkatan
suhu tubuh.(11)

Bila pada orang dewasa laju metabolisme naik karena T4 dan T3, ekskresi
nitrogen naik. Ini menunjukkan katabolisme protein atau lemak meningkat. Bila
asupan makanan tidak naik, maka protein dan lemak endogen akan dikatabolisme dan
individu akan turun berat badannya. (11)

Bila taraf metabolisme naik, kebutuhan akan vitamin meningkat sehingga


sindrome kekurangan vitamin dapat muncul. Hormon tiroid diperlukan untuk
konversi karoten menjadi vitamin A. Hal ini dapat menyebabkan penimbunan karoten
di darah (karotenemia) pada penderita hipotiroid sehingga kulit penderita akan
berwarna kekuningan. Kekuningan karena karotenemia dapat dibedakan dengan
jaundice karena pada karotenemia sklera mata tidak kuning.(11)

Kulit umumnya mengandung bermacam-macam protein yang berkombinasi


dengan polisakaride, asam hialuronat, dan asam sulfat kondroitin. Pada
hipotiroidisme, zat-zat tersebut berakumulasi dan merangsang terjadinya retensi air
sehingga menimbulkan kesan bengkak (myxedema). Bila hormon tiroid diberikan,
protein dimetabolisme dan terjadi diuresis sampai miksedema sembuh. (11)

Selain itu, peningkatan suhu tubuh akibat peningkatan proses katabolik


menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, hal ini menyebabkan volume
darah dalam pembuluh darah relative menurun sehingga sistem RAS akan
teraktivasi.(12)

25
Dosis tinggi hormon tiroid cukup kuat untuk meningkatkn produksi panas
ekstra untuk meningkatkan suhu tubuh, yang selanjutnya meningkatkan aktivitas
penyebaran panas tubuh. Tahanan perifer berkurang karena vasodilatasi pembuluh
darah kulit, dan ini meningkatkan reabsorpsi Na + dan air dan selanjutnya
meningkatkan volume darah. Curah jantung meningkat oleh kerja langsung hormon
tiroid dan katekolamin pada jantung. Dengan demikian tekanan nadi dan frekuensi
jantung meningkat serta waktu sirkulasi memendek. (12)

Di dalam miosit, T3 tidak dibentuk, tetapi T3 dari peredaran darah masuk ke


miosit , berkombinasi dengan reseptornya di nukleus dan menimbulkan rangsangan
atau menghambat ekspresi beberapa gen. Gen yang diaktifkan termasuk gen untuk α-
miosin heavy chain, Ca2+ ATPase retikulum sarkoplasma, reseptor β-adrenergik,
protein-G, Na+-K+ATPase, dan kanal ion K+ tertentu. Gen yang dihambat termasuk
gen untuk β-miosin heavy chain, fosfolamban (PLN, suatu protein integral yang
mengatur pompa Ca2+ pada otot jantung dan otot rangka), dua jenis adenilil siklase,
reseptor T3 di nukleus, dan penukar (exchanger) Na+-Ca2+. Hasil akhirnya yaitu
meningkatnya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. (12)

Di dalam otot jantung terdapat dua isoform myosin heavy chain (MHC), yaitu
α-MHC dan β-MHC. Keduanya disandikan oleh dua gen yang sangat homolog yang
pada manusia berlokasi berurutan pada lengan pendek kromosom 17. Setiap molekul
miosin berisi dua heavy chain dan dua pasang light chain. Miosin yang mengandung
β-MHC aktivitas ATPasenya lebih kecil dibandingkan miosin yang mengandung α-
MHC. Pada orang dewasa, α-MHC predominan di atrium dan jumlahnya meningkat
oleh hormon tiroid. Ekspresi gen α-MHC dihambat dan gen β-MHC ditingkatkan
pada hipotiroid.(12)

Pada hipertiroidisme, hormon tiroid akan meningkatkan proses mental, dan


dapat menyebabkan cepat marah dan gelisah. Secara umum pada orang dewasa aliran
darah otak, konsumsi glukose dan oksigen normal baik pada hipo-maupun hipertiroid.

26
Namun demikian pada orang dewasa hormon tiroid masuk ke dalam sel-sel otak dan
terdapat pada substansi kelabu di banyak tempat di berbagai lokasi otak. Lagi pula
astrosit di otak mengubah T4 menjadi T3, dan terjadi peningkatan yang tajam aktivitas
reseptor dopamin D2 setelah tiroidektomi dan kembali ke normal 4 jam setelah sekali
pemberian T3 lewat vena. Beberapa efek hormon tiroid pada otak mungkin sekunder
terhadap peningkatan kepekaan terhadap katekolamin yang meningkakan aktivitas
RAS (reticular activating system).(11)

Hormon tiroid sangat berpengaruh pada perkembangan otak. Bagian otak


yang perkembangannya sangat dipengaruhi yaitu korteks serebri dan basal ganglia,
dan juga koklea (alat pendengaran). Akibatnya bila terjadi defisiensi hormon tiroid
pada saat perkembangan dapat terjadi retardasi mental, rigiditas sistem motorik, dan
mutisme karena tuli.(11)

Hormon tiroid juga berpengaruh pada refleks. Waktu reaksi refleks regang
memendek pada hipertiroid dan memanjang pada hipotiroid. Pemeriksaan refleks
lutut sering dilakukan untuk menilai fungsi tiroid, tetapi refleks juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain.(11)

Kerja hormon tiroid dan katekolamin norepinefrin dan epinefrin berkaitan


sangat intim. Epinefrin meningkatkan taraf metabolisme, merangsang sistem saraf,
dan menimbulkan rangsangan pada sistem kardiovaskuler seperti halnya hormon
tiroid, meskipun efeknya hanya sebentar. Demikian juga norepinefrin. Pada tikus,
toksisitas terhadap katekolamin sangat meningkat setelah pemberian T4. Meskipun
kadar katekolamin plasma normal pada hipertiroid, efek terhadap sistem
kardiovaskuler, tremulousness (gemetaran), dan banyak keringat oleh hormon tiroid
dapat dikurangi dengan simpatektomi dan oleh obat-obat yang menghambat reseptor
β-adrenergik. Dengan demikian propranolol dan β-blocker yang lain digunakan
secara luas untuk pengobatan tirotoksikosis dan pada eksaserbasi hipertiroidisme
yang disebut badai tiroid (thyroid storm suatu kondisi yang mengancam nyawa dan

27
harus dibawa ke UGD). Meskipun demikian β-bloker merupakan inhibitor lemah
terhadap perubahan T4 mnjadi T3 di luar kelenjar tiroid dan dengan demikian hanya
menmbulkan sedikit penurunan T3 plasma, dan juga terhadap efek lain hormon
tiroid.(11)

Pada hampir semua pasien hipertiroid terjadi kelemahan otot (miopati


tirotoksik). Bila hipertiroid berat dan lama, miopatinya dapat berat juga. Miopati ini
mungkin disebabkan karena meningkatnya katabolisme protein. Hormon tiroid juga
mempengaruhi ekspresi gen MHC seperti halnya pada otot jantung, namun efek yang
ditimbulkannya kompleks dan hubungannya dengan miopati belum diketahui.
Hipotiroidisme juga menimbulkan kelemahan otot, kramp, dan kekakuan otot.(11)

Hormon tiroid meningkatkan absorpsi karbohidrat di usus, efek yang mungkin


tidak bergantung kepada efek kalorigenik. Pada hipertiroidisme, glukose plasma
meningkat dengan cepat setelah makan kartbohidrat, kadang-kadang bahkan melebihi
transport maksimum ginjal. Turunnya juga cepat. (11)

Hormon tiroid menurunkan kadar kolesterol darah. Kadar kolesterol turun


sebelum taraf metabolisme naik, yang menyatakan bahwa efek ini tidak bergantung
kepada perangsangan penggunaan oksigen. Menurunnya kadar kolesterol darah
disebabkan karena pembentukan reseptor LDL di hati yang meningkatkan
pengambilan kolesterol oleh hati dari darah. Dalam hal ini dapat dipikirkan
pembuatan analog hormon tiroid yang menurunkan kolesterol darah tetapi tidak
meningkatkan metabolisme.(11)

Pengaturan fungsi tiroid

Kelenjar tiroid diatur terutama oleh variasi kadar TSH (thyroid stimulating
hormone = thyrotropin) hipofisis yang beredar. Sekresi TSH meningkat oleh hormon
hipofisiotropik TRH (thyrotropin releasing hormone) yang diproduksi oleh

28
hipotalamus, dan dihambat oleh T 4 dan T3 bebas yang beredar dalam darah melalui
mekanisme umpan balik negatif. Efek T3 diperkuat oleh produksi T3 dalam
sitoplasma sel-sel kelenjar hipofisis oleh 5’-D2 yang terdapat di dalamnya. Pada
percobaan hewan, sekresi TSH juga ditingkatkan oleh dingin, dan dikurangi oleh
hangat.(11)

TSH manusia merupakan glukoprotein yang mengandung 211 gugus asam


amino, ditambah heksose, heksosamin, dan asam sialat. TSH terdiri dari 2 subunit,
yaitu α dan β. Subunit α disandikan oleh gen di kromosom 7 dan subunit β oleh gen
di kromosom 1. Subunit α dan β kemudian digandengkan nonkovalen di tirotrop.
TSH-α identik dengan subunit α dari LH, FSH, dan hCG-α. Spesifisitas fungsi TSH
ditentukan oleh subunit β, Struktur TSH bervariasi dari spesies ke spesies, tetapi TSH
mamalia aktif secara biologi pada manusia. (11)

Waktu paruh TSH manusia sekitar 60 menit. TSH dirombak terutama di ginjal
dan sebagian kecil di hati. Sekresinya berfluktuasi, mulai meningkat sekitar pukul 9
malam, mencapai puncaknya sekitar tengah malam, dan menurun pada siang hari.
Laju sekresi rata-rata sekitar 110 µg/d dan kadar dalam plasma rata-rata sekitar 2
µU/ml.(11)

Karena subunit α TSH sama dengan subunit α hCG, maka kadar yang tinggi
hCG dapat merangsang reseptor tiroid. Pada tumor plasenta, kadart hCG dapat sangat
tinggi sehingga dapat menimbulkan hipertiroidisme ringan. (11)

Efek TSH pada tiroid

Bila kelenjar hipofisis diangkat, maka fungsi tiroid menurun dan kelenjarnya
mengalami atrofi. Bila kemudian diberi TSH, fungsi TSH dirangsang kembali.
Beberapa menit setelah penyuntikan TSH, terjadi peningkatan pengikatan iodide,
sintesis T4, T3, iodotirosin, sekresi tiroglobulin ke dalam koloid, dan endositosis
koloid. Peningkatan pengambilan iodide dalam beberapa jam, aliran darah juga

29
meningkat. Pemberian TSH dalam jangka lama menimbulkan hipertrofi dan
peningkatan berat kelenjar. Pembesaran kelenjar tiroid disebut goiter (gondok). TSH
bekerja melalui reseptor TSH yang khas sebagai reseptor serpentin dan bekerja
mengaktifkan adenilil siklase melalui protein Gs. Phospholiase C juga diaktifkan.(11)

3.1.7 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda dari hipertiroid adalah sebgai berikut:

3.1.8 Penegakan Diagnosis

 Anamnesis

Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu


tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak. Tiroidal dapat
berupa goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akhibat
sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala hipertiroidisme dapat berupa
hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang meningkat seperti pasien mengeluh
lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat berlebih, berat badan menurun
sementara nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan atau

30
atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya.(13)

Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid perlu
juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit yang
sama atau memiliki penyakit yang berhubungan dengan autoimun.(13)

 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal berupa


oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata
melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag(keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. (13)

Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum
ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare,
berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita
muda gejala utama dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi
peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan
pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya
palpitasi, dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.

 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis adalah


pemeriksaan kadat T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT4i (free thyroxine index),
pemeriksaan antibodu tiroid yang meliputi antitiroglobulin dan antimikrosom,
penurunan TSH serum, test radioactive iodine uptake (RAIU) dan pemeriksaan
sidikan tiroid (thyroid scanning).(13)

31
Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4)
dan tri-iodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin
stimulating hormon (TSH) Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH
akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, makaproduksi
TSH akan menurun. Pada penyakit Graves’, adanya antibodi terhadap reseptor
TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon
tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar
hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis,
sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi.

Test radioactive iodine uptake (RAIU) adalah pemeriksaan yang digunakan


untuk membedakan antara hipertiroidisme dan penyebab lain dari tirotoksikosis.
Hipertiroidisme memiliki RAIU yang tinggi sedangkan etiologi lain memiliki
atau hampir tidak ada penyerapan yodium radioaktif. (2) Tes serapan yodium
radioaktif (RAIU) menggunakan pelacak radioaktif dan penyelidikan khusus
untuk mengukur seberapa banyak pelacak yang diserap kelenjar tiroid dari darah.
Tes RAIU sering dilakukan bersamaan dengan sidikan tiroid (tyroid scan), yang
menunjukkan apakah pelacak tersebar merata di kelenjar. Ini membantu
mengetahui apakah kelenjar tiroid berfungsi dengan baik.(14) Gold standar yang
digunakan dalam klinis adalah dengan melihat nilai serum TSH dan FT4. (13)

3.1.9 Tatalaksana

 Farmakologis

Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid. Terdapat 2


kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan dengan nama
propiltiourasil (PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan nama metimazol dan

32
karbimazol. Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja dengan dua efek, yaitu efek intra
dan ekstratiroid. Berikut merupakan mekanisme masing-masing efek.(15)

a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,


menghambat coupling iodotirosis, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin sehingga mencegah atau mengurangi biosintesis
hormon tiroid T3 dan T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi T3 di
jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi ekstratiroid adalah
propiltiourasil (PTU).

Dosis PTU dimulai degan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol 20-40


mg/hari dengan dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah itu dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respon klinis dan biokimia. Jika ditemukan dosis
awal belum memberikan perbaikan klinis, dosis dapat dinaikan bertahap hingga dosis
maksimal, sementara jika dosis awal sudah memberi perbaikan klinis maupun
biokimia, dosis diturunkan hingga dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/
tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan eutiroid dan kadar
T4 bebas dalam batas normal. Pemilihan PTU dan metimazol dapat disesuaikan
dengan kondisi klinis karena berdasarkan kemampuan menghambat penurunan segera
hormon tiroid di perifer, PTU lebih direkomendasikan.(15)

 Nonfarmakologis
a. Diet

Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi untuk diet


tinggi kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari baik dari makanan
main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100-125 gr (2,5 gr/kg BB) per hari
untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur, olah raga
teratur, serta mengurangi rokok, alkohol, dan kafein yang dapat meningkatkan kadar
metabolism.(15)

33
b. Istirahat

Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin meningkat.
Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang melelahkan/mengganggu
pikiran balk di rmah atau di tempat bekerja. Dalam keadaan berat dianjurkan bed rest
total di Rumah Sakit.(15)

3.1.10 Prognosis

Prognosis dapat baik apabila ditangani dengan cepat dan tepat, namun fungsi
dan kemungkinan kondisi berulang dapat kurang baik apabila penyebabnya tidak
diatasi.

34
3.2 Bronkitis Akut

3.2.1 Definisi

Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta
cabang – cabangnya yang disertai dengan gejala batuk dengan atau tanpa sputum
yang dapat berlangsung sampai 3 minggu. Tidak dijumpai kelainan radiologi pada
bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis akut harus dipastikan tidak berasal dari
penyakit saluran pernapasan lainnya.(16)

Gambar 1. Bronkitis akut

3.2.2 Etiologi

Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :

 Infeksi virus : influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus


(RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.

35
 Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella)
 Jamur
 Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.

Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak
90% sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10% (17)

3.2.3 Patogenesis

Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah virus,


namun organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat
diketahui, oleh karena kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan.
Adapun beberapa virus yang telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut
adalah virus – virus yang banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni
influenza B, influenza A, parainfluenza dan respiratory syncytial virus (RSV).
Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan menyebar
secara cepat dalam suatu populasi. Gejala yang paling sering akibat infeksi virus
influenza diantaranya adalah lemah, nyeri otot, batuk dan hidung tersumbat. Apabila
penyakit influenza sudah mengenai hampir seluruh populasi di suatu daerah, maka
gejala batuk serta demam dalam 48 jam pertama merupakan prediktor kuat seseorang
terinfeksi virus influenza. RSV biasanya menyerang orang – orang tua yang terutama
mendiami panti jompo, pada anak kecil yang mendiami rumah yang sempit bersama
keluarganya dan pada tempat penitipan anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada
pasien dengan bronkitis akut akibat infeksi RSV.(18)

Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas seperti


rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala yang

36
dominan timbul akibat infeksi virus ini adalah hidung tersumbat, keluar sekret encer
dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis.

Bakteri juga memerankan perannya dalam pada bronkitis akut, antara lain,
Bordatella pertusis, bordatella parapertusis, Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma
pneumoniae. Infeksi bakteri ini biasanya paling banyak terjadi di lingkungan kampus
dan di lingkungan militer. Namun sampai saat ini, peranan infeksi bakteri dalam
terjadinya bronkitis akut tanpa komplikasi masih belum pasti, karena biasanya
ditemukan pula infeksi virus atau terjadi infeksi campuran.

Pada kasus eksaserbasi akut dari bronkitis kronik, terdapat bukti klinis bahwa
bakteri – bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan
Haemophilus influenzae mempunyai peranan dalam timbulnya gejala batuk dan
produksi sputum. Namun begitu, kasus eksaserbasi akut bronkitis kronik merupakan
suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut, karena ketiga bakteri tersebut dapat
mendiami saluran pernapasan atas dan keberadaan mereka dalam sputum dapat
berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan merupakan tanda infeksi akut. (19)

Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi bisa dari berbagai
penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada keadaan
normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary defence, yaitu
sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari. Pada pasien
dengan bronkhitis akut, sistem mucocilliary defence paru-paru mengalami kerusakan
sehingga lebih mudah terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, akan terjadi
pengeluaran mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar mukus menjadi
hipertropi dan hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah bertambah) sehingga
produksi mukus akan meningkat. Infeksi juga menyebabkan dinding bronkhial
meradang, menebal (sering kali sampai dua kali ketebalan normal), dan
mengeluarkan mukus kental. Adanya mukus kental dari dinding bronkhial dan mukus
yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah banyak akan menghambat beberapa

37
aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Mukus yang kental dan
pembesaran bronkhus akan mengobstruksi jalan napas terutama selama ekspirasi.
Jalan napas selanjutnya mengalami kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal
dari paru-paru.. Pasien mengalami kekurangan 02, iaringan dan ratio ventilasi perfusi
abnormal timbul, di mana terjadi penurunan PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat
meningkatkan nilai PCO,sehingga pasien terlihat sianosis. (20)

Pada bronkitis akut akibat infeksi virus, pasien dapat mengalami reduksi nilai
volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang reversibel. Sedangkan pada
infeksi akibat bakteri M. pneumoniae atau C. Pneumoniae biasanya mempunyai nilai
reduksi FEV1 yang lebih rendah serta nilai reversibilitas yang rendah pula. (20)

38
Gambar 2: Patogenesis Bronkitis Akut

3.2.4 Gejala klinis

Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3
minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih,
kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala berikut
ini :

 Demam,
 Sesak napas,
 Bunyi napas mengi atau – ngik
 Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada

Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala – gejala infeksi saluran
respiratori seperti rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3 – 4 hari setelah
rhinitis. Batuk pada mulanya keras dan kering, kemudian seringkali berkembang
menjadi batuk lepas yang ringan dan produktif. Karena anak – anak biasanya tidak
membuang lendir tapi menelannya, maka dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk

39
keras dan memuncak. Pada anak yang lebih besar, keluhan utama dapat berupa
produksi sputum dengan batuk serta nyeri dada pada keadaaan yang lebih berat.

Bronchitis akut biasanya merupakan kondisi yang tidak berat dan dapat
membaik sendiri, maka proses patologis yang terjadi masih belum diketahui secara
jelasa karena kurangnya ketersediaanjaringan untuk pemeriksaan. Yang diketahui
adalah adanya peningkatan aktivitas kelenjar mucus dan terjadinya deskuamasi sel –
sel epitel bersilia. Adanya infiltrasi leukosit PMN ke dalam dinding serta lumen
saluran respiratori menyebabkan sekresi tampak purulen. Akan tetapi karena migrasi
leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik terhadap kerusakan jalan napas, maka
sputum yang purulen tidak harus menunjukkan adanya superinfeksi bakteri.

Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring
perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam ronki, suara
napas yang berat dan kasar, wheezing ataupun suara kombinasi. Hasil pemeriksaan
radiologist biasanya normal atau didapatkan corakan bronchial. Pada umumnya gejala
akan menghilang dalam 10 -14 hari. Bila tanda – tanda klinis menetap hingga 2 – 3
minggu, perlu dicurigai adanya infeksi kronis. Selain itu dapat pula terjadi infeksi
sekunder.

Sebagian besar terapi bronchitis akut viral bersifat suportif. Pada


kenyataannya rhinitis dapat sembuh tanpa pengobatan sama sekali. Istirahat yang
cukup, masukan cairan yang adekuat serta pemberian asetaminofen dalam keadaan
demam bila perlu, sudah mencukupi untuk beberapa kasus. Antibiotik sebaiknya
hanya digunakan bila dicurigai adanya infeksi bakteri atau telah dibuktikan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya. Pemberian antibiotik berdasarkan terapi empiris
biasanya disesuaikan dengan usia, jenis organisme yang biasa menginfeksi dan
sensitivitas di komunitas tersebut. Antibiotik juga telah dibuktikan tidak mencegah
terjadinya infeksi bakteri sekunder, sehingga tidak ada tempatnya diberikan pada
bronchitis akut viral.

40
Bila ditemukan wheezing pada pemeriksaan fisik, dapat diberikan
bronkodilator ß2 agonist, tatapi diperlukan evaluasi yang seksama terhadap respon
bronkus untuk mencegah pemberian bronkodilator yang berlebihan.

Jumlah bronchitis akut bakterial lebih sedikit daripada bronchitis akut viral.
Invasi bakteri ke bronkus merupakan infeksi sekunder setelah terjadi kerusakan
permukaan mukoasa oleh infeksi virus sebelumnya. Sebagai contoh., percobaan pada
tikus, infeksi virus influenza menyebabkan deskuamasi luas epitel bersilia di trakea,
sehingga bakteri seperi Pseudomonas aeruginosa yang seharusnya dapat tersapu dapat
beradhesi di permukaan epitel.

Hingga saat ini, bakteri penyebab bronchitis akut yang telah diketahui adalah
Staphylococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Mycoplasma pneumoniae
juga dapat menyebabkan bronchitis akut, dengan karakteristik klinis yang tidak khas,
dan biasanya terjadi pada anak berusia di atas 5 tahun atau remaja. Chlamydia sp
pada bayi dapat menyebabkan trakeobronkitis akut dan penumonitis dan terapi
pilihan yang dibeikan adalah eritromisin. Pada anak yang berusia di atas 9 tahun
dapat diberikan tertrasiklin. Untuk terapi efektif dapat diberikan eritromisin atau
tertrasiklin untuk anak – anak di atas usia 9 tahun

Pada anak – anak yang tidak diimunisasi, infeksi Bordatella pertusis dan
Corynebacterium diphteriae dihubungkan dengan kejadian trakeobronkitis. Selama
stadium kataral pertusis, gejala – gejala infeksi respiratori lebih dominan, berupa
rhinitis, konjungtivitis, demam sedang dan batuk. Pada stadium paroksismal,
frekuensi dan keparahan batuk meningkat. Gejala khas berupa batuk kuat berturut –
turut dalam satu ekspirasi, yang diikuti dengan usaha keras dan mendadak untuk
ekspirasi, sehingga menyebabkan timbulnya whoop. Batuk ini biasanya menghasilkan
mukus yang kental dan lengket. Muntah pascabatuk (posttusve emesis) dapat juga
terjadi pada stadium paroksismal.

41
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi menunjukkan adanya infiltrasi
mukosa oleh limfosit dan leukosit PMN. Diagnosis dapat dipastikan dengan
pemeriksaan klutur dan sekresi mukus. Pengobatan pertusis sebagian besar bersifat
suportif. Pemberian eritromisin dapat mengusir kuman pertusis dari nasofaring dalam
waktu 3 – 4 hari, sehingga mengurangi penyebaran penyakit. Pemberian selama 14
hari setelah awitan penyakit selanjutnya dapat menghentikan penyakit.

Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi saluran
pernafasan lainnya. Oleh karena itu sebelum memikirkan bronkitis akut, perlu
dipikirkan kemungkinan lainnya seperti pneumonia, common cold, asma akut,
eksaserbasi akut bronkitis kronik dan PPOK. (19)

3.2.5 Diagnosis

Diagnosis dari bronkitis akut dapat ditegakkan bila; pada anamnesa pasien
mempunyai gejala batuk yang timbul tiba – tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa
adanya bukti pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut, eksaserbasi akut
bronkitis kronik dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pemeriksaan fisik
pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan adanya demam, gejala
rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis. Sejalan dengan
perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dada dapat terdengar ronki,
wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir banyak
dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah. (19)

3.2.6 Pemeriksaan Penunjang

a. Foto thorax
Foto thorax biasanya menunjukkan gambaran normal atau
tampak corakan bronkial meningkat.

42
Gambar 3. Gambaran radiologi

b. Uji faal paru


Pada beberapa penderita menunjukkan adanya penurunan uji
fungsi paru.
c. Laboratorium
Pada bronkhitis didapatkan jumlah leukosit meningkat.

Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan kemungkinan


pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai
menderita bronkitis akut, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai
berikut:

 Denyut jantung > 100 kali per menit


 Frekuensi napas > 24 kali per menit
 Suhu > 38°C
 Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan peningkatan
suara napas.
Bila keadaan tersebut tidak ditemukan, kemungkinan pneumonia dapat
disingkirkan dan dapat mengurangi kebutuhan untuk foto thorax.(19)

43
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan hasil definitif untuk
diagnosis bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila etiologi bronkitis harus
ditemukan untuk kepentingan terapi. Hal ini biasanya diperlukan pada bronkitis
kronis. Pada bronkitis akut pemeriksaan ini tidak berarti banyak karena sebagian
besar penyebabnya adalah virus.Pemeriksaan radiologis biasanya normal atau tampak
corakan bronkial meningkat. Pada beberapa penderita menunjukkan adanya
penurunan ringan uji fungsi paru. Akan tetapi uji ini tidak perlu dilakukan pada
penderita yang sebelumnya sehat.(19)

3.2.7 Differensial Diagnosis

Batuk dengan atau tanpa produksi sputum dapat dijumpai pada common cold.
Common cold sendiri merupakan istilah konvensional dari infeksi saluran pernapasan
atas yang ringan, gejalanya terdiri dari adanya sekret dari hidung, bersin, sakit
tenggorok dan batuk serta bias juga dijumpai demam, nyeri otot dan lemas. Seringkali
common cold dan bronkitis akut memiliki gejala yang sama dan sulit dibedakan.
Batuk pada common cold merupakan akibat dari infeksi saluran pernapasan atas yang
disertai postnasal drip dan pasien biasanya sering berdeham. Batuk pada bronkitis
akut disebabkan infeksi pada saluran pernapasan bawah yang dapat didahului oleh
infeksi pada saluran pernapasan atas dan oleh sebab itu mempersulit penegakkan
diagnosis penyakit ini.(19)

Bronkitis akut juga sulit dibedakan dengan eksaserbasi akut bronkitis kronik
dan asma akut dengan gejala batuk. Dalam suatu penelitian mengenai bronkitis akut,
asma akut seringkali didiagnosa sebagai suatu bronkitis akut pada 1/3 pasien yang
datang dengan gejala batuk. Oleh karena kedua penyakit ini memiliki gejala yang
serupa, maka satu – satunya alat diagnostik adalah dengan mengevaluasi bronkitis
akut tersebut, apakah merupakan suatu penyakit tersendiri atau merupakan awal dari
penyakit kronik seperti asma.(19)

44
Bronkitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang dapat sembuh
sendiri dan bila batuk lebih dari 3 minggu maka diagnosis diferensial lainnya harus
dipikirkan. Pasien dengan riwayat penyakit paru kronik sebelumnya seperti bronkitis
kronik, PPOK dan bronkiektasis, pasien dengan gagal jantung dan dengan gangguan
sistem imun seperti AIDS atau sedang dalam kemoterapi, merupakan kelompok yang
beresiko tinggi terkena bronkitis akut dan dalam hal ini kelompok tersebut
merupakan pengecualian.(19)

3.2.8 Tatalaksana
Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan bronkitis
akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang mereka derita
seringkali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik atau common
cold. Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk bronkitis akut hanya untuk
meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu pemberian antibiotik dikarenakan
penyakit ini disebabkan oleh virus.(19)
1. Pemberian antibiotik
Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65 – 80 % pasien dengan
bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui bahwa
pemberian antibiotik sendiri tidak efektif.(19) Pasien dengan usia tua paling sering
menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka menerima terapi antibiotik
dengan spektrum luas.(21) Tren pemberian antibiotik spektrum luas juga dapat
dijumpai di praktek dokter – dokter pada umumnya.
Pada pasien bronkitis akut yang mempunyai kebiasaan merokok, sekitar 90%
menerima antibiotik, dimana sampai saat ini belum ada bukti klinis yang
menunjukkan bahwa pasien bronkitis akut yang merokok dan tidak mempunyai
riwayat PPOK lebih perlu diberikan antibiotik dibandingkan dengan pasien dengan
bronkitis akut yang tidak merokok.
Dari beberapa penelitian dikatakan pemberian antibiotik sebenarnya tidak
bermanfaat pada bronkitis akut karena penyakit ini disebabkan oleh virus. Dalam

45
praktek dokter di klinik, banyak pasien dengan bronkitis akut yang minta diberikan
antibiotik dan sebaiknya hal ini ditangani dengan memberikan penjelasan mengenai
tidak perlunya penggunaan obat tersebut dan justru pemberian antibiotik yang
berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman (resistensi) terhadap antibiotik.(22)
Namun begitu, penggunaan antibiotik diperlukan pada pasien bronkitis akut
yang dicurigai atau telah dipastikan diakibatkan oleh infeksi bakteri pertusis atau
seiring masa perjalanan penyakit terdapat perubahan warna sputum. Pengobatan
dengan eritromisin (atau dengan trimetroprim/sulfametoksazol bila makrolid tidak
dapat diberikan) dalam hal ini diperbolehkan. Pasien juga dianjurkan untuk dirawat
dalam ruang isolasi selama 5 hari.(19)

2. Bronkodilator
Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan bronkodilator tidak
direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut tanpa komplikasi. Ringkasan
statistik dari penelitian Cochrane tidak menegaskan adanya keuntungan dari
penggunaan β-agonists oral maupun dalam mengurangi gejala batuk pada pasien
dengan bronkhitis akut. Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni
pasien bronkhitis akut dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing,
penggunaan bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan.Efek samping dari
penggunaan β-agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan gemetar.16 Penggunaan
antikolinergik oral untuk meringankan gejala batuk pada bronkitis akut sampai saat
ini belum diteliti dan oleh karena itu tidak dianjurkan.(19)

3. Antitusif
Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi frekuensi batuk
dan perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti secara
sistematis. Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat tersebut
terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan bronkitis kronik,
maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan memiliki nilai kegunaan. Suatu

46
penelitian mengenai penggunaan kedua obat tersebut untuk mengurangi gejala batuk
pada common cold dan penyakit saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang
beragam dan tidak direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek
keseharian.
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif dalam
menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian, sebanyak 710 orang
dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan gejala batuk, secara acak
diberikan dosis tunggal 30 mg Dekstromethorpan hydrobromide atau placebo dan
gejala batuk kemudian di analisa secara objektif menggunakan rekaman batuk secara
berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuk berkurang dalam periode 4 jam
pengamatan.
Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih banyak
berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi empiris untuk
batuk pada bronkitis akut dapat digunakan.(19)

47
Drug Information Handbook. 20th ed. Hudson, OH: Lexi-Comp, 2011

Agen mukokinetik
Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis yang
menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di beberapa penelitian,
meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal.(19)

4. Lain – lain

Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada penderita,


diperlukan istirahat dan asupan makanan yang cukup, kelembaban udara yang
cukup serta masukan cairan ditingkatkan.

Obat Inhaler (µg) Larutan Oral Vial Durasi

Nebulizer injeksi (jam)

(mg/ml) (mg)

Adrenergik (β2-agonis)

Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup) 4-6

Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil), 0,1 ; 0,5 4-6

0,24% (sirup)

48
Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 (pil) 0,2; 0,25 4-6

Formoterol 4,5-12 MDI&DPI 12+

Salmeterol 25-50 MDI&DPI 12+

Antikolinergik

Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8

Oxitropium bromide 100 (MDI) 1,5 7-9

Tiotropium 18(DPI) 24+

Methylxanthines

Aminophylline 200-600mg (pil) 240mg 24

Theophylline 100-600mg (pil) 24

Kombinasi adrenergik & antikolinergik

Fenoterol/Ipatropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8

Salbutamol/Ipatropium 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8

Inhalasi Glukortikosteroid

Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4

Budenosid 100,200,400(DPI) 0,20, 0,25, 0,5

Futicason 50-500(MDI &DPI)

Triamcinolone 100(MDI) 40 40

Kombinasi β2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler

Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)

49
50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)

Sistemik Glukortikosteroid

Prednisone 5-60 mg(Pil)

Methy-Prednisone 4, 8 , 16 mg (Pil)

3.2.9 Prognosis

Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang tepat
atau mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal dari
penyakit yang mendasari.

Quo ad vitam: Dubia ad bonam

Quo ad sanationam: Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam: Dubia ad bonam

50
BAB IV

ANALISIS MASALAH

Pada pasien didapati gejala berupa sesak ketika beraktivitas, dada berdebar-
debar, mudah lelah, lebih nyaman di ruang dingin, penuruna nafsu makan, penurunan
berat badan, sedangkan pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran kelenjar tiroid
difus, tidak didapati bruit, didapati eksofthalmus, retraksi kelopak mata tidak ada, lid
lag tidak ada, hiperkinesis tidak ada, tangan lembab, akral hangat dan nadi
100x/menit. Berdasarkan gejala dan temuan klinis pada pasien, didapatkan hasil
perhitungan indek wayne sebesar 22 yang menandakan pasien mungkin mengalami
hipertiroidisme. Dugaan ini juga diperkuat dengan adanya peningkatan hormon T3
dan T4 serta didapati penurunan TSH akibat feedback negative pada aksis
hypothalamus-pituitary-thyroid. Peningkatan hormon T3 dan T4 pada pasien
menyebabkan aktivitas Na+-K+-ATPase yang terikat membran sel. Peningkatan
aktivitas Na+-K+-ATPase menyebabkan kebutuhan ATP meningkat, hal ini
menyebabkan peningkatan proses katabolisme dalam tubuh yang menyebabkan
terjadinya penurunan berat badan pada pasien,
Selain menghasilkan ATP proses katabolik juga menyebabkan pelepasan
kalor sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer dan peningkatan sekresi keringat. Vasodilatasi
pembuluh darah sistemik menyebabkan penurunan volume plasma dalam pembuluh
darah dan meyebabkan penurunan GFR. Hal ini menyebabkan teraktivasinya sistem
renin-angiotensin-aldosteron. Aktivasi RAAS menyebakan retensi cairan dan
peningkatan preload dan overload.
Selain sistem RAA, tingginya kadar hormone tiroid yang beradar dalam darah
menyebabkan peningkatan respon miokardium terhadap MHC-α dan penurunan
respon miokardium terhadap MHC-β yang menyebabkan peningkatan laju konraksi
serabut otot miokardium sehingga terjadi peningkatan frekuensi detak jantung. Selain
itu, hormone tiroid juga meingkatkan respon miokardium terhadap SERCA dan

51
menurunkan respon miokardium terhadap phospholamban yang menyebabkan
peningkatan konsentrasi kalsium dalam sitoplasma saat fase sistolik dan penurunan
kadar kalsium sitoplasma pada akhir fase diastolic, hal ini menyebabkan peningkatan
kontraksi myocardium pada fase sistolik. Peningkatan preload dan frekuensi jantung
menyebabkan peningkatan tekanan darah pada fase sistolik, sedangkan pada fase
diastolik didapatkan tekanan darah yang normal atau menurun karena adanya
penurunan resistensi perifer akibat adanya vasodilatasi pembuluh darah. Oleh karena
itu, pada pasien ini didapatkan tanda berupa isolated systolic hypertension.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusrini I, Kumorowulan S. NILAI DIAGNOSTIK INDEKS WAYNE DAN


INDEKS NEWCASTLE UNTUK PENAPISAN KASUS HIPERTIROID.
Kemenkes RI dan Balai Penelit dan Pengemb GAKI. 2010;28–43.
2. The Indonesia Society of Endicrinology. Indonesian Clinical Practice
Guidelines for Hyperthyroidism. JAFES. 2012;27:34.
3. Guyton arthur c. buku ajar fisiologi kedokteran. 11th ed. jakarta: egc; 2007.
4. Pauline M, Chamacho, Hossein, Gharib, Glen, W S. evidence based
endocrinology. 2007;
5. Hermawan G. pengelolaan dan pengobatan hipertiroid. cermin dunia Kedokt.
1990;63.
6. Ka ingbar sh woeber. disease of the tyroid in: horrison’s principles of internal
medicine. 1980. 1694 p.
7. Cady B, R R. Surgery of the Thyroid and Parathyoid Glands. saunders Co.
1988;104:947.
8. Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. II. jakarta: EGC; 2005.
9. Moore, Keith L, Anne M. Glandula Thyroidea. hipokrates. 2002;
10. Setiadji S, of Thyroid Gland P. Fisiologi Kelenjar Tiroid,. 2016.
11. Mullur R, Liu Y-Y, Brent GA. Thyroid hormone regulation of metabolism.
Physiol Rev [Internet]. 2014 Apr;94(2):355–82. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24692351
12. Osuna PM, Udovcic M, Sharma MD. Hyperthyroidism and the Heart.
Methodist Debakey Cardiovasc J [Internet]. 2017;13(2):60–3. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28740583
13. Amory J. hyperthyroidism from autoimmune thyroiditis in a man with type 1
diabetes mellitus: a case report. J Med Case Rep. 2011;5.
14. Healthwise staff. Radioactive iodine uptake test. Univ michigan. 2018;
15. Santos Palacios S, Pascual-Corrales E, Galofre JC. Management of subclinical
hyperthyroidism. Int J Endocrinol Metab [Internet]. 2012/04/20.
2012;10(2):490–6. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23843809

53
16. Gonzales R, Sande M. uncomplicated acuted bronchitis. ann intern.
2008;133:981–91.
17. Josson J, Sigurdsson J, Kristonsson K. Acute bronchitis in adults. scand j prim
Heal care. 2008;15:156–60.
18. Zambon M, Stockton J, Clewley J. contribution of influenza and respiratory
syncytial virus to community cases of influenza like illness: an observational
study. Lancet. 2009;358:1410–6.
19. Sidney S, Braman. chronic cough due to acute bronchitis: ACCP evidence-
based clinical practice guidelines. chest J. 2006;
20. Melbye H, Kongerud J, Vorland L. reversible airflow limitation in adults with
respiratory infection. eur respir j. 2009;7:1239–45.
21. Steinman M, Sauaia A, Masseli J. office evaluation and treatment of elderly
patients with acute bronchitis. j am geriatr. 2006;52:875–9.
22. Snow V, Mottur-pilson C, Gonzales R. principles of appropriate antibiotic use
for treatment of acute bronchitis in adults. ann intern med. 2009;134:518–20.

54

Anda mungkin juga menyukai