Anda di halaman 1dari 19

2.2.

1 Definisi

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yakni kuman aerob yang tahan terhadap asam karena

memiliki struktur dinding sel yang terdiri dari dua lapisan lemak asimetrik yang

mengandung asam lemak rantai panjang (asam myocolic) dan komponen glikolipid dan

lilin (Djojodibroto, 2009; Rab, 2010; Giovanni, 2013).

Kuman ini berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai BTA, kuman TB Paru cepat

mati bila kena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat

yang gelap dan lembab. Dalam tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama

beberapa tahun (Depkes RI, 2008:5).

2.2.2 Etiopatogenesis

TB paru merupakan penyakit radang parenkim paru oleh M. tuberculosis yang

ditularkan melalui udara. Droplet nuclei yang dibersinkan atau dibatukkan oleh penderita

TB dapat menetap 1-2 jam di udara bebas bergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,

ventilasi yang buruk dan kelembaban. Bila dalam suasana gelap dan lembab, kuman ini

dapat bertahan berhari-hari hingga berbulan-bulan. Oleh karena itu, penularan M.

tuberculosis terutama terjadi pada malam hari (Djojodibroto, 2009;Rab, 2010; Setiati,

2014).

Bila agen penyebab TB dihirup oleh orang yang sehat, maka akan menempel pada

saluran pernapasan atau jaringan paru. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB

dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologik non spesifik. Makrofag alveolar akan memfagosit kuman TB (Setiati, 2014;

Rab, 2010)

Sebagian orang yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit primer (infeksi primer)

yang biasanya terlokalisir di paru dan limfonodi regional dalam rongga thorax. Pada infeksi

primer, biasanya pasien tidak mengeluh, namun hasil tes tuberkulinnya positif. Pada

sebagian kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan

bereplikasi dalam makrofag dan terus berkembang biak hingga akhirnya membentuk

koloni pertama di tempat tersebut yang disebut sebagai fokus primer GOHN (Setiati,

2014).

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe

regional. Penyebaran ini menyebabkan inflamasi pada saluran limfe (limfangitis) dan

kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Kompleks primer merupakan gabungan fokus

primer, limfangitis dan limfadenitis. Waktu yang diperlukan hingga terbentuk kompleks

primer disebut masa inkubasi yang memerlukan waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu

antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai

jumlah >100 kuman, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imun seluler

(Setiati, 2014).

Setelah respon imun seluler terbentuk, fokusprimer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna menjadi fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami

nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis

dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.

Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun di dalam kelenjar ini

(Setiati, 2014).
Kuman yang bersifat dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (TB sekunder / TB pasca primer).

Mayoritas reinfeksi mencapai 90% karena imunitas tubuh yang menurun seperti pada

penyakit malnutrisi, DM, HIV, kanker, gagal ginjal, alkoholism dan lain-lain. TB sekunder

ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru. Invasinya adalah ke

daerah parenkim paru dan tidak ke nodul hilus paru. Dalam 3-10 minggu, sarang ini

menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-

Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat (Setiati, 2014).

2.2.3 Faktor Resiko Tuberkolosis Paru

2.2.3.1 Umur

Lingkungan kerja yang padat serta berhubungan dengan banyak orang

menjadi faktor risiko bagi usia produktif untuk menderita TB paru. Hal tersebut

disebabkan meningkatnya peluang bagi usia produktif untuk terpapar dengan

M.tuberculosis. Sedangkan anak dengan usia<2 tahun berisiko menderita TB paru

yang ditularkan melalui kehidupan rumah tangga. Lamanya kontak atau terpapar

dengan penderita TB paru adalah faktor risiko untuk tertular (Dotulong, 2015;

Narasimhan, 2013).

2.2.3.2. Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita TB paru

lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak

merokok dan mengonsumsi alkohol yang merupakan faktor risiko terjadinya infeksi,

termasuk TB paru (Dotulong, 2015; Lin HH, 2007).


2.2.3.3. Status Gizi

Seseorang yang malnutrisi dua kali lebih berisiko menderita TB. Pasien

dengan TB paru sering ditemukan dengan keadaan kekurangan nutrisi seperti vitamin

A, B complex, C dan E, dan selenium yang mendasar dalam integritas respon imun.

Studi menunjukkan, kadar serum vitamin D yang menurun meningkatkan risiko TB

paru. Hal ini secara signifikan mempercepat konversi kultur dahak selama fase

intensif pengobatan anti mikroba TB paru (Narasimhan, 2013; Miyata, 2013).

2.2.3.4. Diabetes Melitus

Seseorang dengan diabetes mellitus (DM) lebih berisiko menderita TB paru

dibandingkan dengan yang tidak mendrita DM. Hal ini disebabkan karena DM secara

langsung merusak respon imunitas innate dan adaptif, dengan demikian proliferasi

bakteri penyebab TB semakin meningkat. Pasien dengan DM menurunkan produksi

IFN-ɣ dan sitokin lainnya sehingga sel T berkurang dan reduksi chemotaxis netrofil

(Narasimhan, 2013).

2.2.3.5. Status Imunitas

Seseorang dengan status imunitas yang rendah, misalnya pada pasien

HIV/AIDS sangat berisiko untuk menderita TB, menurunnya imunitas meningkatkan

risiko terjadinya infeksi. Cell mediated immunity adalah komponen penting

pertahanan tubuh yang dilemahkan oleh HIV sehingga meningkatkan risiko

reaktivasi TB paru dan pada umumnya juga meningkatkan risiko penyebaran yang

luas dan menyebabkan extra pulmonary tuberculosis. Individu dengan penyakit

autoimun yang telah menerima pengobatan tumor necrosis factor – alpha (TNFα)
inhibitor juga berisiko tinggi menderita TB karena TNFα sangat berperan penting

dalam respon imun terhadap bakteri, jamur, parasit dan mikroba lainnya (Sulis, 2014;

Narasimhan, 2013).

2.2.3.6. Merokok

Merokok meningkatkan risiko terjadinya TB paru sebab mengganggu

pembersihan sekresi mukosa, menurunkan kemampuan fagosit makrofag alveolar,

dan menurunkan respon imun dan atau limfopenia CD4+ akibat kandungan nikotin

dalam rokok (Narasimhan, 2013).

2.2.3.7. Alkohol

Mengonsumsi alkohol menjadi faktor risiko TB paru karena mengganggu

sistem imun, khususnya dalam pensinyalan molekul yang bertanggung jawab untuk

produksi sitokin (Narasimhan, 2013).

2.2.3.8. Lingkungan

Lingkungan lembab, ventilasi yang buruk dan kurangnya sinar ultraviolet

berperan penting dalam rantai penularan TB paru. M.tuberculosis merupakan bakteri

yang tidak tahan terhadap sinar ultraviolet, sehingga lingkungan yang lembab dan

sinar ultraviolet kurang menjadi risiko seseorang untuk menderita TB (Setiati, 2014;

Rab, 2010).
2.2.4 Klasifikasi Tuberkolosis Paru

2.2.4.1. Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum (BTA), TB paru

diklasifikasikan menjadi beberapa, yaitu (Konsensus TB, 2006) :

1) TB paru BTA (+)

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

b. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan

radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan

positif

2) TB paru BTA (-)

a. Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik

dan kelainan radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respon

terhadap antibiotik spektrum luas.


b. Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.

tuberculosis positif.

2.2.4.2. Berdasarkan riwayat pengobatan penderita, klasifikasi TB paru dibagi

menjadi (Setiati, 2014) :

1) Kasus Baru

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT <1 bulan. 2) TB

paru BTA (-)

2) Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya

Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang pernah

mendapatkan OAT ≥1 bulan yang diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan

terakhir, yaitu :

a. Kasus kambuh, adalah pasien yang dulunya pernah mendapatkan OAT dan

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan pada waktu sekarang

ditegakkan diagnosis TB episode rekuren.


b. Kasus setelah pengobatan gagal, adalah pasien yang sebelumnya pernah

mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.

c. Kasus setelah putus berobat, adalah pasien yang pernah mendapatkan OAT ≥1

bulan dan tidak lagi meneruskannya selama >2 bulan berturut-turut atau

dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan.

d. Kasus dengan riwayat pengobatan lainnya, adalah pasien yang sebelumnya

mendapatkan pengobatan OAT dan hasil pengobatannya tidak diketahui atau

didokumentasikan.

e. Pasien pindah, adalah pasien yang dipindah registrasi TB untuk melanjutkan

pengobatannya.

f. Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, adalah pasien

yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

2.2.4.3. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan antibiotik, klasifikasi TB

terbagi menjadi : (Kemenkes RI, 2014)

1) Mono resisten (TB MR)

TB MR adalah TB yang resisten terhadap satu jenis OAT lini pertama saja.

2) Poli resisten (TB PR)

TM PR adalah TB yang resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama

selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

3) Multi drug resisten ( TB MDR)


TB MDR adalah TB yang resisten terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara

bersamaan.

4) Extensive drug resisten (TB XDR)

TB XDR adalah TB TB MDR yang sekaligus juga resisten terhadap salah satu

OAT golongan florokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini keduajenis

suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).

5) Resisten rifampisin (TB RR)

TB RR adalah TB yang resisten terhadap rifampisin dengan atau tanpa resistensi

terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau

metode fenotip (konvensional).

2.2.5. Gejala Klinis Tuberkolosis Paru

2.2.5.1. Gejala Sistemik (Setiati, 2014)

1) Demam

Biasanya demam subfebris yang menyerupai demam influenza, tetapi kadang-

kadang mencapai 40-41°C. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh

pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.

2) Maleise
Gejala maleise yang sering ditemukan adalah anoreksia, tidak ada nafsu makan,

sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise

semakin lama semakin berat dan sering hilang timbul secara tidak teratur.

3) Berat Badan Turun

Pasien biasanya tidak merasakan penurunan berat badan. Sebaiknya, berat badan

ditanyakan pada saat sekarang dan waktu pasien belum sakit.

4) Rasa Lelah

2.2.5.2. Gejala Respiratorik (Setiati, 2014)

1) Batuk/Batuk Darah

Batuk terjadi karena adanya iritasi bronkus. Karena terlibatnya bronkus pada

setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru terjadi setelah penyakit TB

berkembang dalam jaringan paru setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan

peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)

kemudian setelah timbul peradangan berubah menjadi produktif (menghasilkan

dahak). Batuk dapat menhasilkan darah karena terdapat pembuluh darah kecil

yang pecah.

2) Sesak Nafas
Sesak nafas ditemukan pada penderita TB paru yang sudah lanjut, dimana

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru paru.

3) Nyeri Dada

Nyeri dada muncul bila infiltrasi sel radang telah sampai ke pleura sehingga

menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik

nafas/melepaskan nafasnya.

4) Sering Tersering Flu

Daya tahan tubuh yang menurun menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi

lain seperti influenza.

2.2.6. Diagnosis Tuberkolosis Paru

2.2.6.1. Foto Thorax

Pemeriksaan radiologi (foto thorax) untuk menegakkan diagnosa TB paru

dilakukan bila pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Lesi TB umumnya berada

di apeks paru, tetapi dapat juga pada lobus bawah bagian inferior atau di daerah

hilus. Gambaran radiologik berupa bercak-bercak seperti awan dan batas-batas yang

tidak tegas. Bila lesi telah diliputi jaringan ikat maka bayangan akan terlihat berupa

bulatan dengan batas yang tegas disebut tuberkuloma (Setiati, 2014).

2.2.6.2. Mikroskopi
Pemeriksaan sputum sangat penting untuk diagnosis TB yaitu dengan

ditemukannya Basil Tahan Asam (BTA). Disamping itu, pemeriksaan ini juga

mudah dan murah sehingga dapat dilakukan di tingkat perifer (puskesmas).

Pemeriksaan secara mikroskopi dilakukan 3 kali dengan menggunakan sputum

sewaktu-pagi-sewaktu. Untuk menemukan BTA, pembuatan apusan dilakukan

dengan pewarnaan tahan asam dengan metode Ziehl-Neelsen. Pembacaan hasil

pemeriksaan sediaan sputum untuk BTA dilakukan dengan skala International

Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD), yakni (Setiati, 2014) :

a. BTA (-) : BTA tidak ditemukan (0/100 LP)

b. Meragukan : 1-9/100 LP

c. + : 10-99/100 LP

d. ++ : 1-10/LP

e. +++ : >10/LP (periksa minimal 20 LP)

2.2.6.3. Kultur Media Padat

Secara tradisional, kultur Mycobacterial dilakukan pada media padat,

biasanya menggunakan media Lowenstein-Jensen. Kultur memiliki sensitivitas

yang tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopi dengan kemampuan

mendeksi 102 basil per milliliter, meskipun membutuhkan waktu 4-6 minggu

(Patrick, 2016). Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB

paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan dengan

pemeriksaan bakteriologis. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis diperoleh

hasil negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan foto thorax (Kemenkes RI, 2014).
Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru
2.2.7. Pengobatan Tuberkolosis Paru

2.2.7.1. Tujuan Pengobatan

Tujuan pengobatan TB adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014) :

1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup

2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya

3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB

4) Menurunkan penularan TB

5) Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat

2.2.7.2. Prinsip Pengobatan

Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2014,

pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :

1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung 4

macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

2) Diberikan dalam dosis tepat

3) Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh pengawas minum obat (PMO)

sampai selesai pengobatan

4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal

serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

2.2.7.3. Tahapan Pengobatan


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengobatan TB terbagi menjadi

tahap awal dan tahap lanjutan. Pada tahap awal, pengobatan diberikan setiap hari

selama 2 bulan agar secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh

pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah

resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Sedangkan, tahap lanjutan

bertujuan untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh sehingga dapat

sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).

2.2.7.4. Paduan OAT

OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di

Indonesia adalah :

1) Kategori 1

Pasien TB paru dengan BTA positif dan merupakan kasus baru. Pengobatan tahap

awal terdiri atas Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)

masing-masing 2 tablet diberikan setiap hari selama 2 bulan. Tahap lanjutan

diberikan 4(HR)3E3.

Tabel 2.1. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1

Tahap Awal tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali


Berat Badan selama 56 hari HRZE seminggu selama 16 minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

>71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT


2) Kategori 2

Diberikan pada pasien kambuh, gagal terapi atau diobati kembali setelah putus

berobat. Tahap awal diberikan 2 (HRZE) Streptomisin (S) atau HRZE, dimana

HRZE diberian setiap hari selama 3 bulan danS diberikan hanya 2 bulan pertama.

Bila sputum BTA masih positif maka tahap awal dengan HRZE diteruskan lagi

selama 1 bulan. Tahap lanjutan diberikan 5(HR)3E3.

Tabel 2.2. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Awal tiap hari HRZE


Berat Tahap Lanjutan 3 kali
(150/75/400/275) + S
seminggu selama 16
Badan
Selama 28 minggu RH (150/150)
Selama 56 Hari
Hari

30-37 kg 2 tablet 4KDT + 2 tablet 2 tablet 2KDT + 2 tablet


500 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin inj.

38-54 kg 3 tablet 4KDT + 3 tablet 3 tablet 2KDT + 3 tablet


750 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin inj.

55-70 kg 4 tablet 4KDT + 4 tablet 4 tablet 2KDT + 4 tablet


1000 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin inj.
>71 kg 5 tablet 4KDT + 5 tablet 5 tablet 2KDT + 25 tablet
1000 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin inj. (>dosis
maks)

2.2.7.5. Alur Pengobatan

Gambar 2.2 Alur Pengobatan

TB Paru

 TB Paru BTA Positif  Pasien kambuh


 TB Paru terdiagnosis klinis  TB Paru terdiagnosis klinis
 Pasien putus berobat

3
OAT Kategori 1 OAT Kategori 2

Sembuh Gagal Terapi

2.2.8. Pencegahan Tuberkolosis Paru

2.2.8.1. Vaksinasi BCG

Vaksin BCG yang digunakan berupa vaksin yang berisi M.bovis hidup yang

dilemahkan. Dari beberapa penelitian, vaksinasi BCG yang dilakukan pada anak-
anak hanya memberikan proteksi terhadap TB yakni 0-80%. BCG merupakan

kontraindikasi anak yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang

bergejala (Setiati, 2014).

2.2.8.2. Kemoprofilaksis

Anak yang tinggal dengan pasien TB BTA positif berisiko tertular BTA.

Untuk mencegah menjadi sakit TB, maka diperlukan pemberian kemoprofilaksis.

Terapi profilaksis dengan INH menurut IUALTD diberikan selama 1 tahun dan ini

dapat menurunkan insidensi TB (Setiati, 2014).

Anda mungkin juga menyukai