Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

SEKSIO SESAREA ATAS INDIKASI SUPERIMPOSED


PREEKLAMPSIA, UMUR 37 TAHUN, HAMIL ATERM,
DAN BELUM INPARTU

DISUSUN OLEH :
Tara Sefanya Kairupan

PEMBIMBING :
dr. Freddy Wagey, Sp.OG (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2010
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) termasuk preeklampsia dan
eklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di
Indonesia. Walaupun sudah jauh menurun, angka morbiditas dan mortalitas
maternal dan perinatal akibat penyakit ini masih tinggi (MMR 33,3% dan PMR
50%) dan merupakan salah satu dari ketiga penyebab utama kematian ibu, di
samping perdarahan dan infeksi. Insiden hipertensi dalam kehamilan umumnya
berkisar 7-12%.1-3
Klasifikasi hipertensi yang dikemukakan oleh The Committee on
Terminology of the American College of Obstetricians and Gynecologist dan di
Indonesia dibakukan oleh Satgas Gestosis POGI sebagai berikut:3,4
 Hipertensi dalam kehamilan sebagai penyulit yang berhubungan langsung
dengan kehamilan: preeklampsia dan eklampsia
 Hipertensi dalam kehamilan sebagai penyulit yang tidak berhubungan
langsung dengan kehamilan: hipertensi kronik
 Preeklampsia/eklampsia pada hipertensi kronik (superimposed)
 Hipertensi gestasional atau transient hypertension
 Hipertensi dalam kehamilan yang tidak dapat diklasifikasikan
Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah hipertensi yang menetap oleh
sebab apapun, ditemukan pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu, atau
hipertensi yang menetap setelah 12 minggu pasca persalinan. Preeklampsia adalah
penyakit dengan tanda-tanda hipertensi dan proteinuria ≥300 mg/24 jam yang
timbul karena kehamilan. Superimposed preeclampsia/eclampsia adalah
preeklampsia/eklampsia pada penderita hipertensi kronik.1-6

I.2. SEKSIO SESAREA


Seksio sesarea merupakan salah satu cara terminasi kehamilan, yaitu suatu
persalinan buatan, dimana janin dan plasenta dilahirkan melalui suatu insisi

1
dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta
berat janin diatas 500 gram.1,4
Jenis-Jenis Seksio Sesarea:4,8,9
1. Seksio Sesarea Klasik korporal
2. Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda (SCTP)
3. Seksio Sesarea yang diikuti dengan histerektomi
4. Seksio Sesarea ekstraperitoneal
Indikasi dilakukan seksio sesarea terbagi atas indikasi ibu dan indikasi
janin, antara lain:
1. Indikasi ibu :
 Indikasi absolut:4,8-10
Panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi, ruptura
uteri mengancam, disproporsi sefalo-pelvik, plasenta previa totalis, seksio
sesarea yang ketiga
 Indikasi relatif:4,9,10
Seksio sesarea sebelumnya kurang dari 1 tahun, partus lama, partus tidak
maju, stenosis serviks uteri atau vagina, distosia serviks, preeklampsi dan
hipertensi
2. Indikasi janin:4,9,10
 Kelainan letak
1. Letak lintang (pada primigravida atau panggul sempit)
2. Letak sungsang pada primigravida disertai satu faktor resiko (panggul
sempit, oligohidramnion, gawat janin)
3. Presentasi dahi dan muka (letak defleksi) bila reposisi dan cara-cara
lain tidak berhasil
4. Kelainan letak pada gemelli anak pertama (letak lintang, presentasi
bahu atau interlock)
 Gawat janin
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus seksio sesarea pada kehamilan
dengan superimposed preeclampsia, umur 37 tahun, hamil aterm, dan belum
inpartu.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1. IDENTITAS
Nama : Ny. Y.S.
Tempat, tanggal lahir : Manado, 12 Juli 1972
Umur : 37 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Mahakeret Barat lingkungan II
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Nama suami : Tn. A.G.
Pendidikan suami : SMA
Pekerjaan suami : Supir
Masuk RS : 26 Desember 2009

II.2. ANAMNESIS
Anamnesis Utama: diberikan oleh penderita
Keluhan Utama: nyeri perut bagian bawah
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Nyeri perut bagian bawah dirasakan belum teratur
- Pelepasan lendir campur darah (+)
- Pelepasan air dari jalan lahir (-)
- Pergerakan janin masih dirasakan saat masuk rumah sakit
- Riwayat nyeri kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan kabur disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat tekanan darah tinggi sejak ± 2 tahun yang lalu, T = 180/120 mmHg,
tidak kontrol teratur. Saat kehamilan, penderita kontrol ke dokter spesialis
dan diberikan Dopamet 3 x 1 tab, T = 150/100 mmHg.

3
- Penyakit jantung, penyakit paru-paru, penyakit hati, penyakit ginjal,
penyakit kencing manis disangkal penderita
Riwayat gemelli (+)
BAB/BAK biasa

Anamnesis Kebidanan
Riwayat Kehamilan Sekarang:
Riwayat muntah pada kehamilan muda (-), bengkak (-), penglihatan
terganggu (-), sakit kepala (-), kencing terlalu sering (-), buang air besar tidak
teratur (-) , perdarahan (-), kejang (-).
Penderita tidak merokok dan minum minuman beralkohol.
Pemeriksaan Antenatal (PAN):
Pemeriksaan antenatal (PAN) 5x pada dokter spesialis.
Riwayat Haid:
Haid pertama dialami pada usia 12 tahun dengan siklus yang tidak teratur
dan lamanya haid setiap siklus adalah 7 hari. HPHT tanggal ??–03–2009, taksiran
tanggal partus (TTP) ??–12-2009.
Riwayat Keluarga:
Penderita menikah 1 kali. Pernikahan ini sudah berlangsung 11 tahun.
Penderita telah mempunyai 1 orang anak.
Keluarga Berencana (KB):
Penderita belum pernah mengikuti program KB sebelumnya.
Riwayat Kehamilan Terdahulu:
1. Penderita melahirkan anak pertama, perempuan, pada tahun 1998, cukup
bulan, lahir spontan letak belakang kepala, berat badan lahir 2900 g, dibantu
oleh bidan, hidup
2. Ini (2009)
Penyakit atau operasi yang pernah atau sedang dialami:
Riwayat tekanan darah tinggi dialami penderita sejak ± 2 tahun yang lalu.

4
II.3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Umum
Status Praesens:
- Keadaan umum = Cukup
- Kesadaran = Compos mentis
- Tekanan darah = 200/130 mmHg
- Nadi = 84 kali/menit
- Pernapasan = 24 kali/menit
- Suhu badan = 36,8 oC
- BB/TB = 82 kg / 154 cm
- Gizi = Cukup
- Kepala = Kepala bentuk simetris, kedua konjungtiva tidak
anemis, kedua sklera tidak ikterik, telinga normal,
tidak ada sekret yang keluar dari liang telinga, hidung
bentuk normal, dan tidak ada sekret, tenggorokan
tidak hiperemis, karies dentis (-)
- Leher = Tidak ditemukan pembengkakan kelenjar getah
bening.
- Dada = Bentuk simetris normal.
- Jantung = Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar bising
jantung.
- Paru-paru = Tidak ditemukan ronki dan wheezing di kedua
lapangan paru.
- Abdomen = Hepar dan lien sukar dievaluasi
- Alat kelamin = Alat kelamin wanita normal
- Anggota gerak = Edema (-), varises (-)
- Refleks = Refleks fisiologis normal, refleks patologis negatif

5
Status Obstetri:
Pemeriksaan Luar
- TFU = 31 cm
- Letak janin = Letak kepala, punggung kanan
- BJA = (+) 13-12-12
- His = Jarang / jarang
Pemeriksaan Dalam
porsio tebal lunak, pembukaan 1 jari, pp. kepala HI-II.

II.4. RESUME MASUK


G2 P1 A0, 37 tahun, masuk rumah sakit tanggal 26 Desember 2009 jam 12.30
WITA, dengan keluhan utama nyeri perut bagian bawah, tanda-tanda inpartu (+),
pelepasan air dari jalan lahir (-), pergerakan janin (+) saat masuk rumah sakit.
Riwayat hipertensi (+) sejak 2 tahun yang lalu (TD = 180/120mmHg), tidak
berobat teratur. Riwayat kontrol di dokter spesialis, diberi Dopamet 3x1 tablet
(TD = 150/100mmHg).
Perut kembung (+) sejak tadi malam, BAB/BAK biasa.
HPHT tanggal ??–03–2009, taksiran tanggal partus (TTP) ??–12-2009.
P1 = 1998, perempuan, spt lbk, BBL=2900 g, dibantu oleh bidan, hidup
P2 = ini (2009)

Status praesens:
KU = cukup N = 84x/menit
Kes = CM R = 24x/menit
T = 220/130mmHg S = 36,8o

Status Obstetri: TFU = 31 cm


Letak janin = Letak kepala, punggung kanan
BJA = (+) 13-12-12
His = jarang // jarang

6
II.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium:

- Hb : 11,3 g/dL
- Leukosit : 8.900/mm3
- Trombosit : 254.000/mm3
- SGOT/AST : 21,7 U/L
- SGPT/ALT : 17,2 U/L
- Ureum : 30,4 mg/dL
- Kreatinin : 1 mg/dL
- Asam Urat : 6,4 mg/dL
- Proteinuria : ++++

Pemeriksaan USG:
Kesan : Janin letak kepala, aterm sesuai usia gestasi, plasenta implantasi di
fundus, oligohidramnion

II.6. DIAGNOSIS DAN SIKAP


Diagnosis Sementara
G2 P1 A0, 37 tahun, hamil aterm, observasi inpartu + superimposed preeclampsia +
primisekundi
Janin intrauterin, tunggal, hidup, letak kepala + oligohidramnion

Sikap/Tatalaksana
- IVFD RL : Dextrose 5%  20gtt/mnt
- MgSO4 20%  20cc i.v.
- MgSO4 40%  10cc i.m. bokong kiri, 10cc i.m. bokong kanan.
- Kateterisasi urin ± 150 cc

Pemeriksaan Dalam:
porsio tebal lunak, pembukaan 1 jari, ketuban (+), pp. kepala HI-II.

7
Diagnosis
G2 P1 A0, 37 tahun, hamil aterm, observasi inpartu + superimposed preeclampsia +
primisekundi
Janin intrauterin tunggal hidup letak kepala HI-II + oligohidramnion

Sikap/Tatalaksana
- Resusitasi intrauterin
- MgSO4 dilanjutkan sesuai protokol
- Seksio sesarea
- Konseling
- Sedia donor, setuju operasi
- Anti hipertensi
- Konsul mata
- Konsul interna
- Lapor konsulen
Advis : seksio sesarea cito

II.7. OBSERVASI PERSALINAN


26 Desember 2009
16.00 KU = cukup His = jarang, jarang BJJ = (+)12-13-12
Kes = compos mentis
T = 220/130mmHg
N = 84x/menit
R = 24x/menit
Pemeriksaan dalam =
porsio tebal lunak, pembukaan 1 jari, pp. kepala HI-II
Diagnosa sementara =
G2 P1 A0, 37 tahun, hamil aterm, observasi inpartu + superimposed
preeclampsia + primisekundi
Janin intrauterin tunggal hidup letak kepala + oligohidramnion

8
Tatalaksana =
- Resusitasi intrauterin
- MgSO4 dilanjutkan sesuai protokol
- Seksio sesarea
- Konseling
- Sedia donor, setuju operasi
- Anti hipertensi
- Konsul mata
- Konsul interna
- Lapor konsulen
Advis : seksio sesarea cito
16.00-16.30 T = 170/90mmHg His = jarang, jarang BJJ = (+)12-12-12
16.30-17.00 His = jarang, jarang BJJ = (+)12-13-12
17.00-17.30 T = 160/90mmHg His = jarang, jarang BJJ = (+)12-13-12
17.30-18.00 His = jarang, jarang BJJ = (+)12-12-12
18.00-18.30 T = 160/100mmHg His = jarang, jarang BJJ = (+)12-13-12
18.30-19.00 His = jarang, jarang BJJ = (+)12-12-12
19.00-19.30 T = 170/100mmHg His = jarang, jarang BJJ = (+)12-13-12
19.30-20.00 His = jarang, jarang BJJ = (+)12-13-12
20.00-20.30 T = 170/100mmHg His = jarang, jarang BJJ = (+)12-12-12
20.30 Penderita didorong ke OK cito
21.17 Operasi dimulai, dilakukan SCTP
21.22 Lahir bayi laki-laki, BBL=2850g, PBL=47cm, AS=5-7
22.30 Operasi selesai
Perdarahan = 600 cc
Diuresis = 300 cc

9
II.8. LAPORAN OPERASI
Penderita dibaringkan terlentang di atas meja operasi. Dilakukan tindakan
antisepsis pada abdomen dan sekitarnya. Abdomen ditutup dengan doek steril
kecuali lapangan operasi. Dalam keadaan general anaesthesia (GA) dilakukan
insisi linea mediana inferior. Insisi diperdalam lapis demi lapis sampai
peritoneum. Peritoneum dijepit, digunting, diperlebar ke atas dan ke bawah
sehingga tampaklah uterus gravidarum. Identifikasi plika vesicouterina, dijepit,
digunting dan disisihkan ke depan, dilindungi dengan haak abdomen, dilakukan
insisi semilunaris pada segmen bawah rahim, diperdalam secara tumpul sampai
cavum uteri, tampak selaput ketuban. Ketuban dipecahkan keluar cairan putih
keruh ± 100 cc. Dilakukan eksplorasi janin letak kepala dengan meluksir kepala.
Jam 21.22 lahir bayi laki-laki, BBL = 2850g, PBL = 47cm, AS = 5-7. Sementara
jalan napas dibersihkan, tali pusat di jepit dengan 2 klem kocher, digunting
diantara dua klem. Bayi diserahkan kepada TS Neonati. Plasenta implantasi di
fundus, dikeluarkan secara manual. Uterus dijepit dengan beberapa ring tang,
dijahit 2 lapis dengan cara simpul dan jelujur, dilakukan reperitonealisasi, kontrol
perdarahan (-). Peritoneum dijahit secara jelujur dengan catgut, otot dijahit secara
simpul dengan catgut, fascia dijahit secara jelujur dengan dexon, lemak subcutan
dijahit secara simpul dengan catgut. Kulit dijahit secara subcuticuler dengan
catgut. Luka operasi ditutup dengan kasa steril. Ibu dibersihkan dan diistirahatkan.
Operasi selesai.

Keadaan umum post operasi :


T = 150/90mmHg N = 84x/menit R = 24x/menit
Perdarahan = 600 cc
Diuresis = 300 cc

II.9. DIAGNOSIS POST-OPERASI


P2 A0, 37 tahun, post SCTP atas indikasi superimposed preeclampsia +
primisekundi + oligohidramnion
Lahir bayi laki-laki, BBL = 2850g, PBL = 47cm, AS = 5-7

10
II.10. INSTRUKSI POST OPERASI
- Kontrol nadi/tensi/pernapasan/suhu/perdarahan
- Puasa sampai flatus/peristaltik (+)
- Infus RL : Dextrose 5% = 2 : 2  20 gtt/menit
- Cek Hb 6 jam post operasi, apabila Hb < 10g/dL  transfusi darah
- Antibiotik : - Cefotaxime 3x1 g i.v.
- Metronidazole 2x0,5g drips
- Oksitosin 3x1 amp. drips
- Vitamin C 1x1 amp. i.v.
- Kaltrofen supp. II

II.11. OBSERVASI NIFAS


27 Desember 2009
22.00 S: Keluhan nyeri bagian operasi
O: Status praesens:
- KU = cukup
- Kes = compos mentis
- T = 180/100mmHg
- N = 88x/m
- R = 24x/m
Status puerpuralis:
- Mammae = laktasi (-/-), infeksi (-/-)
- TFU = 1 jari di bawah pusat
- Kontraksi = baik
- Bising usus (-), peristaltik (-)
A: P2 A0, 37 tahun, post SCTP ai. superimposed preeclampsia +
primisekundi + oligohidramnion
Lahir bayi laki-laki, BBL = 2850g, PBL = 47cm, AS = 5-7
P: - ASI on demand
- Konseling KB
- Cefotaksim inj. 1 g 3x1 i.v.

11
- Metronidazol 0,5g 2x1 i.v.
- Catapres 4 amp dalam larutan Dextrose 5%

28 Desember 2009
07.00 S: Keluhan berkurang
O: Status praesens:
- KU = cukup
- Kes = compos mentis
- T = 160/100mmHg
- N = 84x/m
- R = 24x/m
Status puerpuralis:
- Mammae = laktasi (-/-), infeksi (-/-)
- TFU = 1 jari di bawah pusat
- Kontraksi = baik
- Bising usus (+) lemah, peristaltik (+)
A: P2 A0, 37 tahun, post SCTP ai. superimposed preeclampsia +
primisekundi + oligohidramnion
Lahir bayi laki-laki, BBL = 2850g, PBL = 47cm, AS = 5-7
P: - ASI on demand
- Konseling KB
- Cefadroksil 500mg tab 3x1
- Metronidazol tab 3x1
- Catapres 4 amp dalam larutan Dextrose 5%
- Mobilisasi

29 Desember 2009
S: Keluhan berkurang
O: Status praesens:
- KU = cukup
- Kes = compos mentis

12
- T = 160/90mmHg
- N = 84x/m
- R = 24x/m
Status puerpuralis:
- Mammae = laktasi (-/-), infeksi (-/-)
- TFU = 2 jari di bawah pusat
- Kontraksi = baik
- BAB (-), BAK (+)
A: P2 A0, 37 tahun, post SCTP ai. superimposed preeclampsia +
primisekundi + oligohidramnion
Lahir bayi laki-laki, BBL = 2850g, PBL = 47cm, AS = 5-7
P: - ASI on demand
- Konseling KB
- Rawat luka operasi
- Cefadroksil 500mg tab 3x1
- Metronidazol tab 3x1
- Sulfas ferrosus 1x1
- Dopamet 3x250mg
- Catapres 4 amp dalam larutan Dextrose 5%

13
BAB III
DISKUSI

Pada kasus ini akan dibahas mengenai diagnosis, penanganan, komplikasi


dan prognosis.

III.1. DIAGNOSIS
Diagnosis adalah proses penentuan jenis masalah kesehatan atau penyakit
dengan cara meneliti atau memeriksa. Diagnosis klinis adalah diagnosis yang
ditegakkan melalui serangkaian proses anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang yang saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam
penegakkan diagnosis sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pasien,
pelaku diagnosis, serta sarana dan prasarana penunjang diagnosis. Kesalahan pada
salah satu faktor akan menjadi penyulit dalam mendapatkan diagnosis yang jelas,
bahkan lebih fatal dapat membawa kepada kesalahan diagnosis, yang tentunya
akan berpengaruh terhadap penanganan dan prognosis penyakit tersebut. Dalam
diagnosis obstetri, dicantumkan dua komponen, yaitu diagnosis ibu dan diagnosis
janin.
Melalui serangkaian proses anamnesis, pemeriksaan fisik dan obstetrik,
serta pemeriksaan penunjang, maka diagnosis kasus ini adalah G2P1A0, 37 tahun,
hamil aterm, observasi inpartu + superimposed preeclampsia + primisekundi.
Janin intrauterin, tunggal, hidup, letak kepala + oligohidramnion.
Diagnosis G2P1A0 ditegakkan dari hasil anamnesis, bahwa kehamilan ini
merupakan kehamilan yang kedua (gravida 2), dimana pada kehamilan terdahulu,
pasien pernah melahirkan anak pertama dan hidup (para 1) dengan riwayat abortus
disangkal (abortus 0).
Umur penderita didapatkan melalui perhitungan berdasarkan tanggal lahir
(12 Juli 1972), yaitu 37 tahun. Seorang wanita yang hamil di atas usia 35 tahun
masuk dalam kategori resiko tinggi, baik bagi sang ibu maupun bagi janin yang
dikandungnya. Resiko/komplikasi yang sering terjadi pada ibu adalah hipertensi
(preeklampsia), perdarahan post partum, dan berkurangnya tenaga saat

14
melahirkan. Sedangkan resiko bagi janin antara lain pertumbuhan janin yang
terhambat atau kemungkinan terjadi cacat/kelainan pada janinnya (misalnya
Sindroma Down yang disebabkan karena kelainan kromosom). Itulah sebabnya
dianjurkan usia melahirkan yang aman adalah 25 hingga 35 tahun.
Kehamilan aterm (at term pregnancy / full term pregnancy) ialah umur
kehamilan 37 minggu hingga 42 minggu dimana pada umur kehamilan ini janin
sudah dalam keadaan matur dengan berat janin di atas 2500 gram. Periode ini
merupakan saat terjadi persalinan normal. Penentuan umur kehamilan dapat
dilakukan melalui berbagai cara, antara lain dengan HPHT (hari pertama haid
terakhir), pengukuran tinggi fundus uteri, terabanya ballotement pada umur
kehamilan 12 minggu, gerakan janin pertama pada umur kehamilan 12 minggu,
terdengarnya bunyi jantung janin dengan Laennec pada umur kehamilan 18-20
minggu atau dengan fetal electrocardiograph pada umur kehamilan 12 minggu,
pencitraan (ultrasonografi), dan berbagai teknik lainnya.1,4
Berdasarkan anamnesa HPHT, pasien hanya ingat bulan terakhir haid,
yaitu bulan Maret 2009. Kemudian dilakukan pemeriksaan Leopold dan
didapatkan janin letak kepala, sudah masuk pintu atas panggul, dengan TFU =
31cm. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan obstetrik tersebut, dapat dihitung
taksiran tanggal partus dengan rumus Naegele disimpulkan bahwa saat masuk
rumah sakit (Desember 2009), kehamilan sudah cukup bulan. Kemudian
berdasarkan TFU, maka taksiran berat badan janin dengan menggunakan rumus
Johnson Tussac ialah (31 – 13)cm x 155g/cm = 2790 gram, artinya mendukung
perhitungan HPHT, yaitu sudah janin sudah cukup bulan (berat janin >2500
gram). Melalui rangkaian pemeriksaan tersebut maka, diagnosis hamil aterm dapat
dikatakan sudah tepat.
Persalinan (partus) adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan
uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir
atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (Mochtar, 2002). In
partu adalah keadaan dimana seorang wanita sedang dalam keadaan persalinan.
Sebab terjadinya partus sampai kini masih merupakan teori yang kompleks.
Sebab-sebab mulainya persalinan belum diketahui secara pasti. Banyak faktor

15
yang memegang peranan dan bekerja sama sehingga terjadi persalinan. Beberapa
teori yang dikemukakan sebagai penyebab persalinan ialah:1
1. Penurunan kadar progesteron. Progesteron menimbulkan relaksasi otot-
otot rahim, sebaliknya estrogen meninggikan kerenggangan otot rahim.
Selama kehamilan terdapat keseimbangan antara kadar progesteron dan
estrogen di dalam darah, tetapi pada akhir kehamilan kadar progesteron
menurun sehingga timbul his.
2. Teori oksitosin. Pada akhir kehamilan kadar oksitosin bertambah oleh
karena itu timbul kontraksi otot-otot rahim.
3. Ketegangan otot-otot. Seperti halnya dengan kandung kencing dan
lambung, bila dindingnya terenggang oleh karena isinya atau janin yang
membesar.
4. Pengaruh janin / fetal cortisol. Hipofisis dan kelenjar suprarenal janin juga
memegang peranan, oleh karena itu pada anenchepalus kehamilan sering
lebih lama dari biasa.
5. Teori prostaglandin. Prostaglandin yang dihasilkan oleh desidua,
kemungkinan menjadi salah satu penyebab permulaan persalinan.
Berdasarkan teori, apabila timbul kontraksi uterus yang mulai teratur dan
wanita tersebut mengeluarkan lendir yang bercampur darah (bloody show) secara
klinis dapat dinyatakan partus dimulai (inpartu). Pelepasan lendir bercampur
darah adalah tanda klinis yang terjadi akibat mulainya pembukaan serviks. Pada
primipara, penipisan dan pendataran serviks mendahului pembukaan serviks,
sedangkan pada multipara, penipisan dan pendataran serviks terjadi bersama-sama
dengan pembukaan serviks. Dalam kasus ini, pasien datang dengan keluhan nyeri
perut bagian bawah ingin melahirkan yang masih belum teratur disertai dengan
pelepasan lendir campur darah. Pada pemeriksaan dalam, didapatkan porsio tebal
lunak dan pembukaan 1 jari, artinya belum ditemukan penipisan dan pendataran
(effacement) serviks. Pembukaan 1 jari pada pasien ini belum tentu menandakan
inpartu oleh karena pasien memiliki riwayat paritas sebelumnya. Hal-hal ini yang
mungkin menjadi sebab ditegakkannya diagnosa “observasi inpartu”. Namun,
diagnosis observasi inpartu dalam kasus ini bukan merupakan diagnosis baku

16
pada pusat-pusat pelayanan kesehatan lainnya, oleh sebab itu sebaiknya diagnosis
diubah menjadi belum inpartu. Hal yang rancu juga ditemukan pada resume
masuk, dimana tertulis tanda-tanda inpartu (+). Anamnesis dan pemeriksaan fisik
ini tidak saling mendukung satu sama lainnya sehingga mengaburkan diagnosis.
Ketidakjelasan diagnosis ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya
faktor ibu yang mungkin salah mengerti pertanyaan, memberikan jawaban yang
kurang jelas saat anamnesis, atau faktor pemeriksa yang mungkin kurang cermat
dalam melakukan pemeriksaan, kesalahan teknis dan sebagainya.1,4
Superimposed preeclampsia ialah keadaan dimana ibu telah menderita
hipertensi sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang menetap
setelah 12 minggu pasca persalinan, dengan disertai adanya proteinuria saat usia
kehamilan di atas 20 minggu. Diagnosis superimposed preeclampsia dapat
ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Melalui anamnesis, penderita memiliki riwayat hipertensi sejak ± 2 tahun yang
lalu. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 200/130 mmHg. Penderita
menyangkal adanya riwayat nyeri kepala, penglihatan kabur dan nyeri
epigastrium. Pada pemeriksaan penunjang/laboratorium didapatkan proteinuria
++++. Pada pasien ini juga ditemukan adanya peningkatan kadar asam urat serum
mencapai 6,4 mg/dL. Kurdas (2001) menyatakan bahwa peningkatan kadar asam
urat serum merupakan prediksi terhadap terjadinya preeklampsia. Tingginya kadar
asam urat serum ini diduga akibat turunnya ekskresi asam urat ginjal dan sering
ditemukan pada penderita preeklampsia.1-4,7
Berdasarkan temuan-temuan tersebut maka pada kasus ini dapat
ditegakkan diagnosis superimposed preeclampsia. Diagnosis banding pada kasus
ini ialah hipertensi kronik, kehamilan dengan sindrom nefrotik, atau kehamilan
dengan payah jantung.
Primisekundi atau primigravida sekunder adalah keadaan dimana jarak
kehamilan sebelumnya lebih dari 10 tahun, dan merupakan kehamilan resiko
tinggi. Pada kasus ini, diagnosis primisekundi ditegakkan mengingat pasien
memiliki riwayat kehamilan pertama pada tahun 1998 dan kehamilan yang
sekarang pada tahun 2009, sehingga jaraknya 11 tahun.

17
Setelah ditelusuri, jarak kehamilan 11 tahun ini tanpa disertai dengan
riwayat pemakaian alat kontrasepsi sebelumnya. Hal ini mengarah pada diagnosis
riwayat infertilitas sekunder. Infertilitas adalah pasangan suami-istri yang telah
menikah selama satu tahun dan sudah melakukan hubungan seksual tanpa
menggunakan alat kontrasepsi tetapi belum memiliki anak. (Sarwono, 2000).
Sepasang suami-istri dapat dikatakan infertil jika:11
 Tidak hamil setelah 12 bulan melakukan hubungan intim secara rutin (1-3
kali seminggu) dan bebas kontrasepsi bila perempuan berumur kurang dari
34 tahun.
 Tidak hamil setelah 6 bulan melakukan hubungan intim secara rutin (1-3
kali seminggu) dan bebas kontrasepsi bila perempuan berumur lebih dari
35 tahun.
 Perempuan yang bisa hamil namun tidak sampai melahirkan bayi cukup
bulan.
Dengan pemahaman di atas, dapat ditambahkan diagnosis riwayat
infertilitas sekunder 11 tahun pada pasien ini, dengan catatan pada saat anamnesa
selain ditanyakan mengenai riwayat penggunaan alat kontrasepsi, ditanyakan juga
mengenai frekuensi hubungan intim (rutin atau tidak).
Diagnosis janin dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan obstetrik, serta pemeriksaan penunjang (USG). Melalui rangkaian
pemeriksaan tersebut, didapatkan janin intrauterin, tunggal, hidup, letak kepala.1,4
Oligohidramnion ialah suatu keadaan di mana volume air ketuban kurang
dari normal, yaitu kurang dari 500 cc. Oligohidramnion akan menyebabkan
kematian perinatal meningkat. Janin akan mudah mengalami kompresi tali pusat.
Jaringan paru akan terganggu perkembangannya (hipoplasia paru) sehingga akan
menimbulkan distres pernafasan pada neonatus. Diagnosis oligohidramnion
ditegakkan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG). Volume cairan amnion
secara semikuantitatif dapat ditentukan dengan mengukur diameter vertikal satu
kantung amnion (single pocket) atau disebut dengan Amnion Fluid Length (AFL).
Tidak boleh ada bagian janin yang terletak di dalam area pengukuran tersebut.
Volume cairan amnion dianggap normal apabila terdapat kantung amnion

18
berdiameter 2-8 cm. Cara lain menentukan volume cairan amnion adalah dengan
mengukur Amnion Fluid Index (AFI), yaitu mengukur diameter vertikal kantung
amnion pada 4 kuadran uterus. Volume cairan amnion yang normal adalah bila
AFI berjumlah antara 5-25 cm. Diagnosis oligohidramnion ditegakkan apabila
AFL kurang dari 2 cm atau AFI kurang dari 5 cm.12-14
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan dengan menggunakan teknik yang
pertama, yaitu secara semikuantitatif dengan mengukur diameter vertikal satu
kantung amnion (AFL). Pada hasil pemeriksaan ultrasonografi didapatkan AFL =
1,43 cm. Ini artinya menurut pencitraan USG terdapat kesan volume amnion yang
kurang, sehingga diagnosis oligohidramnion dalam kasus ini sudah tepat.12-14
Diagnosis post operasi pada kasus ini ialah P2 A0, 37 tahun, post SCTP
atas indikasi superimposed preeclampsia + primisekundi + oligohidramnion.
Superimposed preeclampsia yang disertai dengan primisekundi dan
oligohidramnion dalam kasus ini bukan menjadi indikasi mutlak untuk
dilakukannya seksio sesarea. Indikasi yang tepat ialah superimposed preeclampsia
pada usia 37 tahun, hamil aterm, dan belum inpartu.

III.2. PENANGANAN
Penanganan suatu kasus harus berdasarkan indikasi, sesuai prosedur yang
telah ditetapkan serta harus disertai dengan persetujuan pasien. Ini merupakan
dasar yang harus selalu diingat dalam melakukan penanganan berbagai kasus
medis.
Penanganan superimposed preeclampsia sendiri dapat dibedakan menjadi
perawatan konservatif dan perawatan aktif.1,15
1. Perawatan konservatif
Indikasi: umur kehamilan preterm (<37 minggu) dan tanpa adanya tanda-
tanda impending eklampsia serta janin dalam keadaan baik.
2. Perawatan aktif
Indikasi:
a. Ibu: umur kehamilan >37 minggu, terdapat tanda-tanda impending
eklampsia, atau gagal pengobatan konservatif.

19
b. Janin: apabila terdapat gawat janin, atau terdapat intrauterine growth
retardation (IUGR)
c. Laboratorik: adanya sindroma HELLP (hemolytic, elevated liver
enzymes, dan low platelet count)
Pada kasus ini, pasien datang dengan umur kehamilan >37minggu,
sehingga merupakan indikasi dilakukannya perawatan aktif.
Perawatan aktif dibagi dalam pengobatan medisinal dan penanganan
obstetrik. Pada pengobatan medisinal, dilakukan resusitasi intrauterin, yaitu
dengan tirah baring miring ke satu sisi, pemberian oksigen, resusitasi cairan
(ringer laktat, ringer asetat, atau koloid) sambil mengawasi balans cairan, serta
pemasangan kateter. Selain dilakukan resusitasi intrauterine, pasien diberikan obat
anti kejang MgSO4 dengan loading dose 20cc MgSO4 20% i.v. secara perlahan.
Kemudian untuk maintenance dose diberikan 20cc MgSO4 40% i.m. (10cc pada
bokong kanan dan 10cc pada bokong kiri), dan selanjutnya diberikan 4 gram
(10cc) setiap 4-6 jam. Syarat pemberian MgSO4 ialah:15
1. Tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram
dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit
2. Refleks patella (+) kuat
3. Frekuensi pernapasan >16x/menit. Dalam kasus ini, frekuensi
pernapasan 24x/menit.
4. Produksi urin >100cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5cc/kgBB/jam).
Dalam kasus ini, kateterisasi urin ± 150 cc dalam waktu kurang dari 4
jam.
Dalam kasus ini syarat-syarat tersebut kurang lebih sudah terpenuhi, sehingga
pemberian MgSO4 merupakan langkah yang tepat, sesuai indikasi dan prosedur.
Pengobatan antihipertensi digunakan pada pasien dengan tekanan darah
sistolik >180 mmHg, dan tekanan diastolik >100 mmHg. Dalam kasus ini,
tekanan darah pasien mencapai 200/130mmHg, sehingga pemberian obat
antihipertensi merupakan langkah yang tepat, sesuai indikasi dan prosedur.1,2,4,6,15
Selain pengobatan medisinal, dilakukan juga penanganan obstetrik dengan
cara terminasi kehamilan. Penanganan obstetrik ini dibedakan atas:15

20
1. Belum inpartu:
a. Dilakukan induksi persalinan dengan cara amniotomi dan
oksitosin drip dengan syarat skor Bishop >5.
b. Seksio sesarea dilakukan apabila syarat oksitosin drip tidak
terpenuhi, atau adanya kontraindikasi oksitosin drip, atau pada
12 jam sejak dimulainya oksitosin drip belum masuk fase aktif.

Tabel III.2.1. Skor Bishop


Skor
Faktor
0 1 2 3
Pembukaan (cm) 0 1-2 3-4 5-6
Pendataran (%) 0-30 40-50 60-70 80
Station -3 -2 -1 atau 0 +1 atau +2
Konsistensi kenyal medium lunak -
Posisi posterior medial anterior -

2. Sudah inpartu
a. Kala I, fase laten dilakukan amniotomi dan oksitosin drip,
sekurang-kurangnya 15 menit setelah pengobatan medisinal.
b. Seksio sesarea dilakukan apabila setelah 5 jam setelah
amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap.
c. Kala II, pada persalinan pervaginam diselesaikan dengan partus
buatan.
Penanganan yang dilakukan pada kasus ini didasarkan atas indikasi
diagnosis superimposed preeclampsia pada kehamilan aterm, dan belum inpartu.
Oleh dasar indikasi diagnosis tersebut sebenarnya dapat dilakukan induksi
persalinan dengan amniotomi dan oksitosin drip. Namun dalam kasus ini pasien
berumur 37 tahun, sedangkan Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandou
memiliki prosedur tetap untuk tidak melakukan oksitosin drip pada usia >35
tahun. Mengingat penanganan yang tepat harus didasarkan pada indikasi dan
prosedur, maka untuk kasus ini terminasi kehamilan dengan seksio sesarea
merupakan langkah yang paling tepat.15

21
Pada pasien dengan jumlah anak cukup dan umur di atas 35 tahun, petugas
kesehatan harus memberikan konseling untuk kontrasepsi mantap dengan
sterilisasi. Namun pada kasus ini, pasien dan keluarga menolak, sehingga
meskipun ada indikasi dan sesuai prosedur, tidak dilakukannya sterilisasi
merupakan langkah yang tepat karena tidak disertai persetujuan pasien ataupun
keluarga pasien.

III.3. KOMPLIKASI
Komplikasi/penyulit langsung maupun tidak langsung yang dapat terjadi
pada pasien dengan hipertensi pada kehamilan dapat berupa:1
 Impending eklampsia atau eklampsia.
 Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita
hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada preeklampsia.
 Hipofibrinogenemia. Pada preeklampsia berat, Zuspan (1978) menemukan
23% hipofibrinogenemia, oleh sebab itu dianjurkan untuk memeriksa
kadar fibrinogen secara berkala.
 Hemolisis. Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang
menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum
diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau
destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan
pada otopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
 Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian
maternal penderita eklampsia.
 Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang
berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang
terjadi pada retina.
 Edema paru. Komplikasi ini jarang ditemukan, namun dapat terjadi pada
penderita eklampsia disebabkan karena payah jantung.
 Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada preeklampsia-eklampsia
merupakan akibat vasospasmus secara umum. Kerusakan sel-sel hati dapat

22
diketahui dengan pemeriksaan fungui hati, terutama penentuan enzim-
enzimnya.
 Sindroma HELLP, yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low
platelet.
 Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu
pembengkakan sitoplasma sel endothelial tubulus ginjal tanpa kelainan
struktut lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal
ginjal.
 Prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intrauterin.
 Kematian ibu dan janin.
Pada kasus ini tidak terjadi komplikasi yang bermakna gawat darurat
karena ditangani dengan cepat dan tepat.

III.4. PROGNOSIS
Prognosis ibu dan bayi sebelum dan saat masuk rumah sakit adalah dubia
ad malam (meragukan, ke arah buruk) karena bila tidak dilakukan terminasi
kehamilan dapat mengakibatkan kematian pada ibu yang disebabkan perdarahan
otak, payah jantung dan gagal ginjal. Demikian juga pada janin akibat dari
sirkulasi utero-plasenter yang tidak baik.1,3
Prognosis setelah dilakukan seksio sesarea adalah dubia ad bonam
(meragukan, ke arah baik). Hal ini disebabkan penanganan yang cepat dan tepat
sesuai indikasi dan prosedur serta perawatan yang baik pasca operasi dan masa
nifas.

23
BAB IV
PENUTUP

IV.1. KESIMPULAN DAN SARAN


Hipertensi pada kehamilan pada umumnya berakhir dengan baik bila
dilakukan pemeriksaan antenatal yang teratur dan berkualitas terhadap ibu hamil
maupun terhadap janin yang dikandungnya. Selain itu bila ditemukan penyulit
maka dapat dilakukan diagnosis dan penanganan sedini mungkin.3,10
Pada ibu ini sebaiknya dilakukan konseling yang lebih intensif untuk
melakukan kontrasepsi mantap yaitu sterilisasi mengingat usia ibu sudah 35 tahun
dan jumlah anak yang sudah cukup.3

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro H, editor. Ilmu Kebidanan. Edisi Pertama. Penerbit Yayasan


Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2007.

2. Mochtar R. Penyakit Kardiovaskuler. Lutan D, editor. Dalam: Sinopsis


Obstetri Jilid 1 edisi ke-2. Penerbit EGC, Jakarta: 1998.

3. Warouw, N. Hipertensi Dalam Kehamilan. Bagian Obstetri Ginekologi FK


Unsrat. Manado: 2001.

4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant MF. Hypertensive Disorders In


Pregnancy. In: Ronardy DH, editor. Obstetric Williams,21st Ed. McGraw Hill

5. Reynold C. Hypertensive States of Pregnancy. In: Decherney A, Nathan L.


Lange Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis and Treatment 9th Ed.
McGraw Hill. India: 2003.

6. Manuaba I. Kapita Selekta Penatalaksanan Rutin Obstetri Ginekologi dan


KB. Penerbit EGC. Jakarta: 2001.

7. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri


dan Ginekologi.Bagian I. Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi UNSRAT-
RSUP Manado: 1996.

8. Sectio Caesarea. Obstetri Operatif. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas


Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Bandung: 1985.

9. Sutoto, Kristanto H. Bedah Caesar, Histerektomi Caesarean dan Histerotomi.


Dalam: Ilmu Fantom Bedah Obstetri. Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro. Semarang: 1999.

10. Mochtar R, Lutan D. Seksio Sesarea. Dalam: Sinopsis Obstetri. Jilid 2 edisi
2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1998.

25
11. Sarwono. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta: 2000.

12. Mochtar R, Lutan D. Pemeriksaan Ultrasonografi Pada Kebidanan. Dalam:


Sinopsis Obstetri. Jilid 1 edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta:
1998

13. Hariadi, R. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi Perdana. Penerbit


Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. Surabaya: 2004

14. Endjun, J. Pemeriksaan Cairan Amnion. Dalam: Ultrasonografi Dasar


Obstetri Dan Ginekologi. Penerbit FKUI. Jakarta: 2007

15. Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi RSU Prof. R.D. Kandou. Buku
Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri-Ginekologi. FK Universitas Sam
Ratulangi. Manado: 2006.

26

Anda mungkin juga menyukai