Anda di halaman 1dari 11

PROSTITUSI SEBAGAI MASALAH SOSIAL

DI KOTA BANDUNG

Disusun oleh :
Kelompok 3 - Putri Rahmawati / 170104160024
- Kintan Anindita Putri / 170104160008
- Rizky Fariz Andhika / 170104160026
- Indri Dwi Fuji Astuti / 170104160074
- Resita Tara Retnaningdyah / 170104160044
- Rian Dwi Haryono / 170104160060

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS PADJADAJARAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua kehidupan
manusia itu sendiri. Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang
membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. Pelacuran
merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa
mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pekerja seks komersial (PSK) adalah bagian dari
dunia pelacuran.
Pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan
memperjualbelikan badan dan kehormatan kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu
seks dengan imbalan pembayaran. Secara umum terdapat lima alasan yang paling mempengaruhi
dalam menuntun seorang perempuan menjadi seorang pekerja seks komersial diantaranya adalah
materialisme, modeling, dukungan orang tua, lingkungan yang permisif, dan faktor ekonomi.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah:


1. Bagaimana pandangan terhadap prostitusi / pelacuran yang terjadi di Indonesia?
2. Bagaimana solusi untuk prostitusi / pelacuran yang terjadi di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan kami mengenai
pelacuran dan solusi terhadap pelacuran tersebut.
D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak, yaitu :
a. Pada remaja

Memberikan wacana dan informasi kepada remaja dengan tujuan agar remaja lebih
berwaspada dengan pergaulan bebas yang dapat mempengaruhi remaja dalam mengambil
sebuah keputusan.
b. Pada orangtua

Memberikan informasi pada orangtua agar sadar akan perannya sebagai orangtua dan
memberikan perhatian yang cukup pada anak agar tidak mudah terpengaruh dari orang lain
yang memberikan dampak negatif pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Prostitusi dan Perkembangannya di Bandung, Jawa Barat


Menurut Kartono (2013: 216), prostitusi sebagai bentuk penyimpangan seksual, dengan
pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk
pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai
eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya. Menurut Bonger
(dalam Kartono, 2013: 213) mengartikan prostitusi sebagai gejala kemasyarakatan di mana
wanita menjual diri, melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
Pemerintah Kota Bandung, melalui pendataan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota
Bandung pada tahun 2012 memverifikasi jumlah pekerja seks komersial di Kota Bandung
sebanyak 319 orang. Data tersebut berbeda dengan data yang dimiliki oleh Kesatuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) yang dilansir oleh surat kabar setempat yang mencatat bahwa jumlah
PSK pada tahun 2012 mencapai lebih dari 1.000 orang. Data ini didukung oleh pendataan/survey
yang dilakukan oleh Klinik Mawar (Klinik yang berperan aktif dalam penyuluhan bagi PSK)
yang menunjukkan data serupa pada tahun yang sama. Pada tahun 2013, jumlah PSK yang
berada dalam penyuluhan aktif Klinik Mawar berjumlah 130 orang.
Setelah itu, tahun 2015 dalam kurun waktu 6 bulan, sebanyak 421 anak dan remaja di Kota
Bandung melakukan hubungan seks beresiko (m.tempo.co,31/12/2015). Hasil survei dari Alfatih
Studio yang disampaikan oleh Anggota DPRD Kota Bandung Salmiah Rambe ketika meminta
Pemkot Bandung melakukan pencegahan perilaku seks bebas, menunjukkan bahwa 54% remaja
di Kota Bandung sudah pernah melakukan hubungan seksual dan pergaulan bebas tersebut serta
diiringi dengan perilaku kekerasan.

B. Penyebab Prostitusi
Tidak semuanya pelaku prostitusi melakukan hal itu berdasarkan kemauan sendiri tetapi ada
juga karena saat mereka mencari pekerjaan pada biro-biro penyalur tenaga kerja yang tidak
bonafide, mereka dijanjikan untuk pekerjaan di dalam atau pun di luar negeri namun pada
kenyataannya dijual dan dipaksa untuk menjadi pelacur.

Menurut Weisberg (Koentjoro, 2004) menemukan adanya tiga motif utama yang
menyebabkan perempuan memasuki dunia pelacuran, yaitu:
1. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak sebagaimana
konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang tua dan sosial.
2. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi ini yang
dimaksud adalah uang.
3. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua,
penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang tua. Weisberg
juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti pengalaman seksual diri dan
peristiwa traumatik sebagai bagian dari motivasi situasional
Berbeda dengan pendapat di atas, Greenwald (Koentjoro, 2004) mengemukakan bahwa faktor
yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah faktor kepribadian.
Ketidakbahagiaan akibat pola hidup, pemenuhan kebutuhan untuk membuktikan tubuh yang
menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-macam pria, dan sejarah perkembangan
cenderung mempengaruhi perempuan menjadi pelacur.

C. Dampak Prostitusi
Pelacuran tentunya memiliki banyak dampak negatif bagi generasi muda dan lingkungan
sekitar. Tidak hanya memberi pengaruh buruk tetapi moral bangsa pun ikut rusak akibat
pelacuran. Apabila dibiarkan tentunya dampak negatif ini akan semakin berkembang dan banyak
generasi yang akan terjerumus kedalam pelacuran. Untuk itu kita harus pahami dampak yang
terjadi apabila kita tidak melakukan pencegahan. Dampaknya dapat kita lihat dari segi yang
melakukan maupun lingkungannya.
Dampak bagi yang melakukan :
1. Terjakit penyakit kelamin dan menularkan kepada orang lain. Hal ini sering terjadi akibat
sering bergonta ganti pasangan. Selain itu juga dapat menyebabkan penyakit AIDS yang
membahayakan nyawa.
2. Terjadinya kekerasan seksual yang dialami pelacur yang dilakukan pelanggannya.
3. Merusak kehormatan dan nama baik keluarga. Tidak hanya nama baik diri sendiri, tetapi
keluarga ikut tercoreng karena dianggap tidak berpendidikan dan tidak bermoral.
4. Kertergantungan dan ketagihan akan seks juga menjadi dampak apabila pelaku sudah terbiasa
melakukannya.
5. Biasanya perbuatan pelacuran dekat dengan kegiatan kriminalitas lain seperti narkoba
ataupun minuman keras.
6. Terjadinya kekerasan fisik akibat pemaksaan yang dilakukan pelaku tak bertanggung jawab
kepada pihak yang lemah.
7. Dikucilkan dan dihina oleh penduduk sekitar. Pelaku dianggap sebagai sampah masyarakat
dan dipandang rendah oleh masyarakat.
8. Memnyebabkan terjadinya disfungsi seksual, contohnya seperti : impotensi, anorgasme,
nymfomania, satyriasis, ejakulasi prematur

Dampak bagi Lingkungan :


1. Rusaknya moral dan nilai-nilai ideologi bangsa.
2. Membawa pengaruh buruk dan contoh buruk yang kemungkinan ditiru orang lain terutama
generasi muda atau remaja.
3. Nama lingkungan sekitar tentunya ikut rusak karena dianggap lengah pengawasannya.
4. Rusaknya nilai-nilai agama. Mereka yang melakukan tentunya sudah melenceng jauh dari
yang Agama ajarkan kepada manusia.
5. Lingkungan yang tidak damai akibat protes warga tentang kegiatan pelacuran.
6. Banyak anak-anak hasil pelacuran yang dibuang dan menjadi beban pemerintah.
7. Menghancurkan rumah tangga bagi si pelacur maupun si pelanggan.
8. Masyarakat enggan bergaul atau bersosialisasi dengan si pelaku pelacuran dan
memperlakukan pelaku dengan buruk.
9. Banyak pelanggaran hukum terjadi dan masyarakat merasa tidak aman dan tidak nyaman.

D. Solusi terhadap Masalah Prostitusi


Pelacuran merupakan masalah sosial yang belum juga dapat dihapuskan hingga saat ini.
Usaha menanggulangi pelacuran ini tergolong sulit dan membutuhkan waktu yang relatif lama
serta membutuhkan biaya yang besar.

Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial mengemukakan berbagai usaha untuk
mengatasi masalah pelacuran ini. Beliau membaginya dalam 2 bagian yaitu:
a. Usaha Preventif
Merupakan suatu usaha yang diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah
terjadinya pelacuran, usaha ini antara lain berupa:
1. Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan
penyelenggaraan pelacuran
2. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk memperkuat
keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
3. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak puber
untuk menyalurkan kelebihan energinya
4. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya,
serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya
5. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan
keluarga
6. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran
yang dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat
lokal untuk membantu melaksanakan kegiatan pencegahan atau penyebaran pelacuran
7. Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-
film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks
8. Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya
b. Usaha Reprensif dan Kuratif
Merupakan usaha yang dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan (menghapus,
menindas) dan usaha untuk menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk
kemudian membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha-usaha tersebut antara lain:
1. Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan
pengawasan/control yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para prostitute
serta lingkungannya;
2. Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi
agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang bersusila. Rehabilitasi
dan resosialisasi ini dilakukan melalui pendidikan moral dan agama, latihan-latihan kerja
dan pendidikan keterampilan agar mereka bersifat kreatif.
3. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila terkena razia,
disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing
4. Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk menjamin kesehatan
para pelaku pelacuran dan lingkungannya
5. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi
pelacuran dan mau untuk memulai hidup susila
6. Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan masyarakat asal
mereka agar mereka mau menerima kembali bekas-bekas wanita tunasusila itu mengawali
hidup baru
7. Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi para wanita tunasusila untuk
membawa mereka ke jalan yang benar
8. Mengikutsertakan para eks wanita tunasusila dalam usaha transmigrasi, dalam rangka
pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan kerja bagi kaum wanita.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelacuran sangat bertentangan dengan ideologi Bangsa Indonesia yaitu Pancasila, dimana
sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia memang bukan negara agama tapi
Indonesia adalah negara yang beragama, tidak dibenarkan melakukan perzinaan dengan motif
apappun, karena dapat menimbulkan kerusakan moral Bangsa.
Motif ekonomi merupakan salah satu penyebab utama pelacuran.berkembangnya teknologi
informasi di era globalisasi ini menyebabkan meningkatnya gaya dan kebutuhan hidup, yang hal
ini tidak diimbangi dengan tingkat pendapatan suatu penduduk. Ketimpangan tersebut menuntut
pemenuhan dan bukanlah perkara yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan guna pemenuhan
kebutuhantersebut. Akhirnya sebagaian masyarakat mengambil jalan pendek guna memecahkan
masalahnya yaitu menjual diri. Apalagi masalah tersebut didukung dengan tidak adanya
peraturan perundang – undangan yang jelas dan tegas di negeri ini.
B. Saran

Berikut penulis sampaikan saran dari permasalah yang sudah dijelaskan :


1. Indonesia merupakan negeri beragama, yang menjunjung nilai – nilai ketuhanan sebagaimana
yang diamanatkan sila pertama dari Pancasila, karena itu Agama harus menjadi ujung tombak
dari pemecahan masalah ini, dengan mencegah dan membentangi masyarakat dari usia dini
sampai manula dengan nilai – nilai keagamaan dan keimanan yang berkelanjutan.
2. Mendorong pemerintah segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai
permasalahan ini, agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana.
3. Pemerintah segera mencegah dan melarang hal – hal yang berbau porno baik itu berbentuk
gambar, video, dll
4. Pemerintah melakukan pendidikan seks kepada anak-anak sedini mungkin.
5. Pemerintah segera membuat program rehabilitasi dan resosialisasi bagi para pelaku
pelacuran.
6. Meningkatkan kepdulian sosial kemasyarakatan, agar saling mengingatkan, saling menasihati
sesamanya dalam lingkungannya.
Daftar Pustaka

Buku :

Zubaedi. 2013. Pengembangan Masyarakat: Wacana dan Praktik. Kencana Prenadamedia


Group.

Internet :

http://tempo.co
http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/95565-ridwan-kamil-satgas-khusus-
berantas-prostitusi-bandung
https://tempatwisatadibandunginfo.wordpress.com/2015/02/21/28/
http://ayumeilana.blogspot.co.id/2010/10/prostitusi
http://il-pustakawanhukum.blogspot.co.id/2014/03/makalah-pelacuran-sebagai-masalah.html

Anda mungkin juga menyukai