Anda di halaman 1dari 46

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Makassar, 30 Agustus 2019

LAPORAN PBL MODUL IMUNOLOGI

BLOK IMUNHEMA

KELOMPOK 7 KELAS B

ANDI AYESHA ANANDA IRWAN 110 2018 0134

YULIA NUGRA 110 2018 0163

PUSPITA WAHYU LESTARI 110 2018 0168

MUH. AHMAD AZIRI 110 2018 0177

INNAYATURRAHMATIAH MUJADDID 110 2018 0180

DWI HIKMAH 110 2018 0181

FAHMI SATRIO HIDAYAT 110 2018 0196

SRI SISILAWATI JAMIL 110 2018 0199

ISMI NURLAELY JAMIR 110 2018 0209

CHITA ALIFIAH M.A 110 2018 0220

TUTOR : dr. Nurfachanti, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR
SKENARIO 2
Seorang anak perempuan berusia 13 tahun dibawa orangtuanya ke PKM
dengan keluhan lemas sejak 6 bulan yang lalu, hilang timbul, dan memberat
sejak 2 hari, Pasien juga mengeluh mengalami pusing dan pengelihatan
berkunang-kunang. Keluhan gusi berdarah dialami 2 hari yang terjadi tiba-
tiba. Kulit tampak memar – memar dan petekie pada kedua ekstremitas
superior. Ada demam naik turun sejak 1 bulan yang lalu, tidak terlalu tinggi.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada. Pemeriksaan tanda
vital didapatkan adanya takipneu. Mata tampak pucat DD anemia aplastic,
anemia pada leukemia

Kata sulit

a) Takipneu : suatu kondisi yang menggambarkan pernapasan yang


cepat dan dangkal karena ketidakseimbangan antara
karbondioksida dan oksigen dalam tubuh.
b) Petekie : perdarahan di kulit atau membrane mukosa yang
diameternya kurang dari 2 mm.
c) Ikterus : perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena
pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam
sirkulasi darah.

Kata kunci
1. Seorang anak perempuan berusia 13 tahun
2. keluhan lemas sejak 6 bulan yang lalu, hilang timbul, dan memberat sejak
2 hari
3. Pasien juga mengeluh mengalami pusing dan pengelihatan berkunang-
kunang
4. Keluhan gusi berdarah dialami 2 hari yang terjadi tiba-tiba
5. Kulit tampak memar – memar dan petekie pada kedua ekstremitas
superior
6. demam naik turun sejak 1 bulan yang lalu, tidak terlalu tinggi
7. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada. Pemeriksaan tanda
vital didapatkan adanya takipneu
8. . Mata tampak pucat DD anemia aplastic, anemia pada leukemia

Rumusan masalah

1. Jelaskan definisi dan patomekanisme dari anemia aplastik dan anemia


pada leukimia?
2. Bagaimana patomekanisme gejala pada kasus ?
3. Organ-organ apa saja yang terlibat pada skenario ?
4. Bagaimana pemeriksaan dalam mendiagnosa kasus pada skenario?
5. Bagaimana diagnosis deferensial pada kasus?
6. Bagaimana prespektif islam dalam skenario?
Pembahasan

A. Definisi dan Patomekanisme dari Anemia Aplastik dan Anemia pada


Leukimia Anemia Aplastik

Sebelum membahas mengenai definisi dan patofisiologi anemia


aplastik, perlu diketahui bahwa terdapat suatu keadaan dimana jumlah sel
dari semua jalur sel darah utama : eritrosit, leukosit, dan trombosit,
berkurang. Keadann ini disebut pansitopenia. Terdapat beberapa
penyebab dari keadaan ini yaitu

1. Definisi dan Patofisiologi Anemia Aplastik


a. Definisi
Anemia aplastik merupakan anemia yang disertai oleh
pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer
pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hypoplasia tanpa
aadanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Pada
anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum
tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia, dan trombositopenia.
Defek yang mendasari pada semua kasus tampaknya adalah
pengurangan yang bermakna dalam jumlah sel induk pluripotensial
hemopoietik, dan kelainan pada sel induk yang ada atau reaksi
imun terhadap sel induk tersebut, yang membuatnya tidak mampu
membelah dan berdiferensiasi secukupnya untuk mengisi sumsum
tulang. Anemia aplastic diklasifikasikan menjadi jenis primer
(kongenital atau didapat) atau sekunder.

a) Primer
1) Kongenital
Jenis Fanconi memiliki suatu pola pewarisan resesif
autosomal dan sering disertai dengan retardasi pertumbuhan
dan cacat kongenital di rangka (misal-nya mikrosefalus, tidak
adanya radius atau ibu jari), kelainan saluran ginjal (misalnya
ginjal pelvis atau ginjal tapal kuda/horseshoe kidney), cacat
kulit (daerah-daerah hiperpigmentasi atau hipopigmentasi);
kadang-kadang terdapat retardasi mental. Persoalan yang
mendasari tampaknya adalah perbaikan (repair) DNA yang
mengalami gangguan. Sel dari penderita anemia Fanconi (AF)
memperlihatkan frekuensi pecahnya kromosom spontan yang
sangat tinggi dan uji diagnostik adalah peningkatan pemecahan
setelah inkubasi limfosit darah perifer dengan diepoksibutana
(tes DEB).
2) Idiopatik Didapat
Penyakit ini merupakan anemia aplastik yang paling
sering ditemukan. Walaupun mekanismenya belum
diketahui, respons yang baik terhadap globulin anti-
limfosit (GAL) dan siklosporin A menunjukkan bahwa
kerusakan autoimun yang diperantarai sel T, kemungkinan
terhadap sel induk yang berubah secara struktural dan
fungsional, berperan penting.
Seringkali disebabkan oleh kerusakan langsung di
sumsum hemopoietik akibat radiasi atau obat sitotoksik.
Obat anti-metabolit (mis. metotreksat) dan inhibitor
mitosis (mis. daunorubisin) menyebabkan aplasia
sementara saja, tetapi agen pengalkil, khususnya
busulfan, dapat menyebabkan terjadinya aplasia kronik
yang sangat menyerupai penyakit idiopatik kronik.
Beberapa individu menderita anemia aplastik akibat efek
samping obat idiosinkrasi yang jarang terjadi, seperti
kloramfenikol atau emas yang tidak diketahui bersifat
sitotoksik. Mereka juga dapat menderita penyakit ini
dalam beberapa bulan setelah hepatitis virus (hepatitis A
atau non-A, non-B, non-C). Kloramfenikol memiliki
insidensi toksisitas sumsum tulang sangat tinggi,
sehingga obat ini harus digunakan untuk pengobatan
infeksi yang mengancam jiwa dan untuk penyakit yang
membutuhkan obat ini sebagai pengobatan optimum
(mis. tifoid). Zat kimia seperti benzene mungkin terlibat
sebagai penyebab penyakit ini.
b) Sekunder
1) Radiasi pengion: pemajanan tidak sengaja (radioterapi,
isotope radioaktif, stasiun pembangkit tenaga nuklir.
2) Zat kimia : benzene dan pelarut organic lain, TNT ,
insektisida, pewarna rambut, kloridan, DDT.
3) Obat : obat yang biasanya menyebabkan depresi
sumsum tulang (bisulfan , siklofosfamid, antrasiklin,
neutrosourea,). Obat yang kadang-kadang menyebabkan
depresi susmsum tulang ( kloramfenikol, sulfonamida,
emas, dll.)
4) Infeksi : hepatitis virus (A atau Non-A, Non B.

b. Patofisiologi

Tiga faktor penting untuk terjadinya anemia aplastik adalah :

a) Gangguan sel induk hemopoeitik

Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara


tidak langsung melalui keberhasilan transplantasi sumsum
tulang pada penderita anemia aplastik, yang berarti bahwa
pengganrian sel induk dapat memperbaiki proses patologik
yang terjadi.

b) Gangguan lingkungan mikro sumsum tulang

Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan


melalui tikus percobaan yang diberikan radiasi,

c) Proses imunologik

Teori imunologik ini dibuktikan secara tidak


langsung nelalui keberhasilan pengobatan imunosupresif.
Kelainan imunologik diperkirakan menjadi penyebab dasar
dari kerusakan sel induk atau lingkungan mikro sumsum
tulang
Patofisiologi timbul- nya anemia aplastik digambarkan secara
skematik pada gambar

Proses tersebut dapat diterangkan sebagai berikut: sel target


hematopoeietik dipengaruhi oleh interaksi ligan-reseptor, snyal
intraseluler dan aktivasi gen. Aktivasi sitotoksik T-limfosit
berperan penting dalam kerusakan jaringan melalui sekresi IFN-γ
dan TNF. Keduanya dapat saling meregulasi selular reseptor
masing-masing dan Fas reseptor. Aktivasi tersebut menyebabkan
terjadinya apoptosis pada sel target. Beberapa efek dan IFN-γ
dimediasi melalui IRF-1 yang menghambat transkripsi selular gen
dan proses siklus sel sehingga regulasi sel-sel darah tidak dapat
terjadi. IFN-γ juga memicu produksi gas No. yang bersifat toksik
terhadap sel-sel lain. Selain itu, peningkatan IL-2 menyebabkan
meningkatnya jumlah T sel sehingga semakin mempercepat
terjadinya kerusakan jaringan pada sel.

2. Definisi dan Patofisiologi Anemia karena Leukimia


a. Definisi
Leukimia adalah suatu keganasan yang berasal dari
perubahan genetik dari satu atau banyak sel di sumsum tulang.
Salah satu gejala dari leukemia, khususnya leukemia akut yaitu
anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah. Pada pemeriksaan
laboratorium, leukemia akut juga sering dijumpai anemia
normokromik-normositer, anemia sering berat dan timbul cepat.
Adapun jenis leukemia lainnya yaitu leukemia myeloid kronik juga
memperlihatkan gejala anemia yang mula-mula ringan menjadi
progresif pada fase lanjut, bersifat normokromik normositer.
1) Leukemia akut
Proses patofisiologi leukemia akut dimulai dari
transformasi ganas sel induk hematologik atau turunannya.
Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia akan
mengakibatkan:
 Penekanan hemopoesis normal sehingga terjadi bone
manota failure.
 Infiltrasi sel leukernia ke dalam organ sehingga
menimbulkan organomegali
 Katabolisme sel meningkat sehingga terjadi keadaan
hiperkatabolik. Skema patofisiologi rimbulnya gejala-
gelaIa klinik pada leukemia akut dapat dilihat pada gambar
2) Leukemia myeloid kronik
Patogenesis Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom
(Phi chr) suatu reciprocal transhcation 9,22 (9;22).
Pada t(9;22) terjadi translokasi sebagian materi
genetik pada lengan panjang kromosom 22 ke lengan
panjang kromosom 9 yang bersifat resiprokal. Sebagai
akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan
panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung)
dengan onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22.
Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric
oncogen) yaitu bcr-abl lnclgen. Gen baru akan
mentranskripsikan chimeric RN,,4 sehingga terbentuk
chimeric protein (protein 210 hd). Timbulnya protein baru
ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui
trosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan
dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya
apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri
mieloid.r-3'16
Fase Perialanan Penyakit Perjalanan penyakit CML
dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
 Fase kronik Fase ini berjalan selama 2-5 ahun dan
responsif terhadap kemoterapi.
 Fase akselerasi atau transformasi akut:
 Pada fase ini perangai klinik CML berubah mirip
leukemia akut.
 Proporsi sel muda meningkat dan akhirnya masuk ke
dalam " blast crisis" atau krisis blastik.
 Sekitar 213 menurytkkan sel blast seri mieloid,
sedangkan l/3 menunjukkan seri limfoid.patomekanisme
gejala pada kasus.
Referensi : 1.Hoffbrand, A.V., Pettit. J.E., Moss, P.A.H. Hematologi. Edisi ke-4.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran :
EGC.
B. Patomekanisme gejala pada kasus
a. Patogenesis Memar
Dengan jumlah trombosit yang berkurang, memar akan semakin
mudah terjadi. Pada orang dengan kekurangan Vitamin C juga akan
lebih mudah mengalami memar karena vitamin C merupakan unsur
penting dalam penyembuhan luka dan pembentukan lapisan kolagen.
Sedangkan pemeriksaan fisik bertujuan untuk menyingkirkan dugaan
penyakit medis dasar (sepsis, leukemia, dan lain-lain) dan menentukan
akibat perdarahan. Pola perdarahan harus ditentukan karena
berhubungan dengan kerusakan yang menyebabkannya. Pada
kerusakan trombosit (kuantitatif maupun kualitatif), sering dijumpai
purpura atau ptekie, manifestasi lain yang juga ada pada penyakit von
willebrand adalah epistaksis, dan menoragia pada wanita. Sebaliknya
pada defisiensi faktor pembekuan (misalnya hemofilia) perdarahan
biasanya terjadi pada otot dan sendi.
b. Patogenesis Gusi Berdarah
Trombosit harus dalam jumlah yang adekuat untuk
mempertahankan hemostasis normal. Pada keadaan normal jumlah
trombosit darah berkisar 150.000 – 400.000/mm. Trombositopenia
adalah istilah untuk jumlah trombosit yang kurang dari nilai normal
tersebut. Trombositopenia biasanya tidak mempunyai manifestasi
klinis hingga jumlah trombosit 100.000/mm3, bahkan hingga
50.000/mm3 sekalipun. Perdarahan spontan biasanya baru terlihat pada
jumlah trombosit < 20.000/mm3
Perdarahan akibat trombositopenia merupakan komplikasi
paling sering dari leukemia akut. Gaydos et al. (1962) yang pertama
kali melaporkan adanya hubungan antara perdarahan dengan jumlah
trombosit pada leukemia akut.Manifestasi perdarahan akibat
trombositopenia dapat berupa ptekie atau purpura, epistaksis,
perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, menorrhagi hingga
perdarahan otak. Webert et al. (2006) melaporkan berbagai tingkat
perdarahan yang terjadi pada 58,4% pasien leukemia mieolositik akut
akibat trombositopenia. Berkurangnya jumlah trombosit pada leukemia
akut biasanya merupakan akibat infiltrasi sumsum tulang atau
kemoterapi, selain itu dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor lain
seperti koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis dan
hipersplenisme sekunder terhadap pembesaran limpa.
Trombositopenia yang terjadi bervariasi dan hampir selalu
ditemukan pada saat leukemia didiagnosis. Proses infiltrasi di sumsum
tulang mengakibatkan sumsum tulang dipenuhi oleh sel leukemik
sehingga terjadi penurunan jumlah megakariosit yang berakibat
menurunnya produksi trombosit. Kemoterapi pada leukemia dapat
menyebabkan kerusakan langsung sumsum tulang sehingga juga akan
menyebabkan berkurangnya produksi trombosit. Koagulasi
intravaskuler diseminata yang sering terjadi pada leukemia akut
terutama leukemia promielositik akut mengakibatkan trombosit banyak
terpakai dalam proses koagulasi. Konsumsi trombosit yang berlebihan
ini juga menyebabkan terjadinya trombositopenia7

c. Patomekanisme Demam, Pusing dan Lemas


Kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi adenosine triphosphate (ATP).
Setiap kenaikan suhu tubuh 10Cakan meningkatkan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut,
reaksi oksidasi berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat
habis. Oksigen dalam jaringan yang kurang dapat menyebabkan terjadi
keadaan hipoksia. Anemia yang ditunjukkan dengan kadar hemoglobin
yang rendah menyebabkan kemampuan sel darah merah pengikat
oksigen menurun. Oksigen dibutuhkan dalam proses transport aktif ion
Na-K yang berguna untuk menstabilkan membran sel saraf. Kestabilan
membran sel saraf yang terganggu dapat mengakibatkan konsentrasi
ion Na intrasel meningkat sehingga terjadi depolarisasi. Kejang terjadi
apabila terdapat depolarisasi berlebihan pada neuron dalam sistem
saraf pusat dan jika kondisi ini berada pada level yang tetap dan
mendapat rangsangan yang kuat seperti demam tinggi (>380C) dan
kondisi anemia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Khanis didapatkan hasil
uji statistik menunjukkan adanya perbedaan pada distribusi kejadian
penurunan kadar Hb antara kelompok kasus (kejang demam) dengan
kontrol (demam tanpa kejang)
Anemia disebabkan oleh menurun nya kadar Hemoglobin dalam
eritrosit. Penurunan kadar hemoglobin tersebut disebabkan oleh
banyak hal, misalnya, pendarahan yg hebat, defisiensi zat gizi (zat
besi, asam folat & vit. B12), produksi sel – sel darah di sumsum tulang
yg menurun, penghancuran sel darah sebelum waktunya dengan
jumlah yang banyak, dan sebagainya.
Dengan adanya penyebab – penyebab diatas, kadar hemoglobin
dalam tubuh kita turun dari kadar normal nya. Hemoglobin merupakan
pengangkut oksigen untuk keseluruh jaringan tubuh, dengan kadar
hemoglobin turun, kadar oksigen pun turun secara tidak langsung.
Kadar oksigen yang turun menyebabkan, metabolisme sel turun,
dengan turun nya metabolisme sel, energy yang dihasilkan juga
sedikit, sehingga orang tersebut akan mudah lemah karena kurang nya
energi. Saat proses metabolisme sel secara aerob tidak optimal,
berlangsung proses metabolisme anaerob. Pada metabolisme anaerob,
energy yang dihasilkan sedikit dan menghasilkan asam laktat yang
menyebabkan otot lelah.
Berkurangnya hemoglobin akan menyebabkan turunnya kadar
oksigen dalam darah karena fungsi hemoglobin adalah mengikat
oksigen dalam darah. Hal ini akan menyebabkan penurunan
oksigenisasi jaringan. Untuk menyesuaikan keadaan ini tubuh akan
memvasokonstriksi pembuluh darah untuk memaksimalkan
pengiriman oksigen ke organ-organ vital. Untuk pucat dalam keadaan
seperti ini akan menyebabkan pucat. Warna kulit bukan merupakan
indeks yang dapat dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi
pigmentasi kulit, suhu, dan kedalaman serta distribusi bantalan kapiler.
Bantalan kuku, telapak tangan, dan membrane mukosa mulut serta
konjungtiva merupakan indicator yang lebih baik untuk menilai pucat.
Kadar oksigen yang turun juga meyebabkan hipoksia di jaringan
– jaringan tubuh, salah satu nya di otak. Dengan kurang nya kadar
oksigen di otak, akan menyebabkan pusing dan kesadaran menurun.

Referensi :

- Sylvia A. Price. 2012. Patofisiologi, Konsep – Konsep Klinis Proses – Proses


Penyakit, Jakarta : EGC

- McKenzie SB. Text book of hematology, 2nd edition. Baltimore: William &
Wilkins. 1996;309-417.

C. Organ-organ apa saja yang terlibat pada skenario


Hemopoiesis atau hematopoesis ialah proses pembentukan darah.
Tempat hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan umur :

a. Yolk sac : umur 0-3 bulan intrauterin


b. Hati dan lien : umur 3-6 bulan intrauterin
c. Sumsum tulang : umur 4 bulan intrauterin-dewasa
Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hemopoiesis
terjadi pada sumsum tulang. Dalam keadaan patologik, seperti pada
mielofibrosis, hemopoesis terjadi di luar sumsum tulang, terutama di lien,
disebut sebagai hemopoesis ekstramedular.

Jika dihubungkan dengan kasus diatas, organ yang terlibat


langsung dalam terjadinya kelainan adalah sumsum tulang Sindroma
kegagalan sumsum tulang yang dikarakterisasi dengan adanya
pansitopenia perifer, hipoplasia sumsum tulang dan makrositosis oleh
karena terganggunya eritropoesis dan peningkatan jumlah fetal
hemoglobin.

Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari


radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak
DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan
hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang terkena
maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma
sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis. Kehilangan stem sel yang
ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien
dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi
5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang.
Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat
menyebabkan anemia aplastik.

Referensi
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran :
EGC.
D. Pemeriksaan dalam Mendiagnosa Kasus pada Skenario
1. Anamnesis
Langkah Klinik
a) Mengucapkan basmalah dan salam, lalu pemeriksa berdiri,
memperkenalkan diri dan mempersilahkan pasien duduk
b) Berbicara dengan lafal yang jelas dan menggunakan bahasa yang
bisa dipahami pasien, menyebut nama pasien saat mengajukan
pertanyaan, menjaga suasana santai dan rileks serta memberikan
respon yang baik dalam rangka membina sambung rasa
c) Menanyakan identitas: nama , umur, alamat dan pekerjaan
- Seperti yang terdapat dalam kasus skenario 2 Seorang anak
perempuan berusia 13 tahun
d) Menanyakan keluhan utama dan keluhan penyerta yang berkaitan
dengan keluhan utama berdasarkan kronologis dan perkembangan
penyakit
- Keluhan utama seperti lemas sejak 6 bulan yang lalu, hilang
timbul, dan memberat sejak 2 hari
- Keluhan penyerta seperti pusing dan pengelihatan berkunang-
kunang. Keluhan gusi berdarah dialami 2 hari yang terjadi tiba-
tiba. Ada demam naik turun sejak 1 bulan yang lalu, tidak terlalu
tinggi.
e) Melakukan anamnesis sistem lainnya
f) Seperti Menggali riwayat penyakit terdahulu, riwayat pengobatan
dan alergi obat, serta riwayat kebiasaan /gaya hidup pasien
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada.
g) Menggali riwayat penyakit dalam keluarga dan lingkungan
h) Melakukan cek silang dan menayakan apabila ada keluhan yang
ingin ditambahkan oleh pasien
i) Mengakhiri anamnesis dengan mengucapkan hamdalah dan
menyimpulkan diagnosis sementara
2. Pemeriksaan Fisik Dasar (Inspeksi, Palpasi, Perkusi Dan Auskultasi)
Pemeriksan fisik dilakukan dengan posisi pemeriksa berada disebelah
kanan pasien.
a) Inspeksi
1. Bentuk tubuh penderita: apakah kurus, atletis atau gemuk.
2. Perbandingan ukuran kepala dan panjang anggota badan
3. Cara berjalan dan gerakannya
4. Adanya deformitas atau kelainan bentuk
5. Keadaan kulit,rambut, mukosa mata dan kuku

o Pada kasus, Kulit tampak memar – memar dan petekie pada


kedua ekstremitas superior.
o Mata tampak pucat DD anemia aplastic, anemia pada
leukemia
6. Ekspresi wajah, apakah cemas, tertekan, malu, kesakitan
7. Ciri-ciri lain yang didapatkan
b) Palpasi
1. Pemeriksa berada disebelah kanan penderita.
2. Daerah yang akan diperiksa harus bebas dari pakaian
3. Yakinkan bahwa tangan anda tidak dingin
4. Cara meraba dapat memakai:
o Jari telunjuk dan ibu jari: untuk menentukan besarnya benda
o Jari 2,3 dan 4 bersama dapat digunakan untuk menentukan
konsistensi atau kualitas benda. Seluruh telapak tangan dapat
merasakan adanya getaran .
5. Sedikit tekanan dengan ujung jari atau telapak jari dapat
menemukan adanya rasa sakit yang dapat dilihat dari
perubahan mimik muka atau mendengarkan keluhan pasien.
c) perkusi
1. Jari tengah dari tangan kiri dalam posisi hiperekstensi
diletakkan pada permukaan yang akan diperkusi .
2. Tekankan persendian interfalang pada permukaan yang akan
diperkusi, dan hindarkan kontak antara permukaan yang
diperkusi dengan bagian lain dari tangan kiri .
3. Tempatkan tangan kanan ke dekat daerah yang akan diperkusi
dalam posisi menekuk ke atas
4. Jari tengah dalam sikap fleksi, relaks dan siap untuk mengetuk.
5. Dengan gerakan yang cepat, tapi relaks dari pergelangan
tangan kanan, ketuklah jari tengah tangan kiri yang menempel
pada bidang yang diperiksa dengan jari tengah tangan kanan.
6. Gunakan ujung jari yang sedapat mungkin tegak lurus
7. Buatlah ketukan seringan mungkin yang dapat menghasilkan
suara yang jelas.
d) Auskultasi
1. Gunakan stetoskop dengan pipa pendek (25-30 cm).
2. Pasangkan kedua ear pieces ke dalam telinga, sehingga betul-
betul masuk, tetapi tidak menekan
3. Gunakan bagian bel dari stetoskop untuk memeriksa toraks dan
bagian diafragma untuk memeriksa abdomen.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium, bisa
kita melakukan beberapa tes. Antara lain :
a) Pemeriksaan darah lengkap :
Pada pemeriksaan darah lengkap kita dapat mengetahui jumlah
masing-masing sel darah baik eritrosit, leukosit maupun trombosit.
Apakah mengalami penurunan atau pansitopenia. Pasien dengan
anemia aplastik mempunyai bermacam-macam derajat
pansitopenia. Anemia dihubungkan dengan indeks retikulosit yang
rendah, biasanya kurang dari 1% dan kemungkinan nol walaupun
eritropoetinnya tinggi. Jumlah retikulosit absolut kurang dari
40.000/µL (40x109 /L). Jumlah monosit dan netrofil rendah.
Jumlah netrofil absolut kurang dari 500/µL (0,5x109 /L) serta
jumlah trombosit yang kurang dari 30.000/µL(30x109 /L)
mengindikasikan derajat anemia yang berat dan jumlah netrofil
dibawah 200/µL (0,2x109 /L) menunjukkan derajat penyakit yang
sangat berat.
b) Pemeriksaan Sumsum tulang
Pada pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pemeriksaan
biopsi dan aspirasi. Bagian yang akan dilakukan biopsi dan aspirasi
dari sumsum tulang adalah tulang pelvis
c) Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluorescence In Situ
Hybridization)
Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan spesifik. Pada
pemeriksaan Flow cytometry, sel- sel darah akan diambil dari
sumsum tulang, tujuannya untuk mengetahui jumlah dan jenis sel-
sel yang terdapat di sumsum tulang. Pada pemeriksaan FISH,
secara langsung akan disinari oleh cahaya pada bagian yang
spesifik dari kromosom atau gen. tujuannya untuk mengetahui
apakah terdapat kelainan genetic atau tidak.
d) Pemeriksaan Radiologi
o Pemeriksaan X-ray rutin
o USG abdominal untuk mencari pembesaran dari limpa dan/
atau pembesaran kelenjar limfa.
Referensi :
Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

E. Diagnosis deferensial pada Kasus


1. Anemia Aplastik
a) Definisi
Anemia aplastic merupakan anemia yang disertai oleh
pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer
pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hypoplasia tanpa
aadanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Pada
anemia aplastic terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum
tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia, dan trombositopenia.
b) Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di
seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk
pertahun. Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan
insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta
penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2
kasus persejuta orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik
terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua
terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering
terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira- kira 7 kasus persejuta
penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5
kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden
di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.
Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor
lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia
toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti
dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang
tinggal di Amerika.
c) Etiologi
Penyebab penyakit anemia aplastik sebagian besar adalah
idiopatik (50- 70%). Beberapa penyebab lain yang sering dikaitkan
dengan anemia aplastik adalah toksisitas langsung dan penyebab
yang diperantarai oleh imunitas seluler. Beberapa etiologi tersebut
tercantum pada tabel berikut:
1) PRIMER
 Idiopatik
 Kelainan Kongenital
 Fanconi
 Nonfanconi
 Dyskeratosis Kongenital
2) Sekunder
 Akibat radiasi, bahan kimia atau obat
 Akibat obat-obat idiosinkratik
 Karena penyebab lain:
 Infeksivirus : hepatitis virus/virus lain
 Akibat kehamilan
d) Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya, anemia aplastik dapat dibedakan


menjadi :

1) Anemis Aplastik Didapat

Anemia aplastik didapat disebabkan oleh bahan-bahan


kimia seperti senyawa benzena, ataupun hipersensitivitas
terhadap obat atau dosis obat yang berlebihan seperti
kloramfenikol, fenilbutazon, sulfue, mileran, atau nitroseurea.
Selain itu, anemia aplastik didapat juga disebabkan oleh infeksi
seperti Epstein-Bar, influenza A, dengue, tuberkulosis,
hepatitis, HIV, infeksi mikobakterial, kehamilan ataupun tiroid.

2) Anemia Aplastik Familial


Meskipun anemia aplastik paling banyak bersifat idiopatik,
namun faktor herediter juga diketahui dapat menyebabkan
terjadinya anemia aplastik yang diturunkan. Beberapa etiologi
anemia aplastik yang diturunkan antara lain pansitopenia
konstitusional Fanconi, defisiensi pankreas pada anak, serta
gangguan herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.
e) Patofisiologi
Tiga faktor penting untuk terjadinya anemia aplastik adalah
:
1) Gangguan sel induk hemopoeitik
2) Gangguan lingkungan mikro sumsum tulang
3) Proses imunologik
Kerusakan sel induk telah dapat dibuktian secara tidak
langsung melalui keberhasilan transplantasi sumsum tulang
pada penderita anemia aplastik yang berarti bahwa penggantian
sel induk dapat memperbaiki proses patologik yang terjadi.
Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan melalui tikus
percobaan yang diberikan radiasi, sedangkan teori imunologik
dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan
pengobatan imunosupresif. Kelainan imunolgik diperkarikan
menjadi penyebab dasar dari kerusakan sel induk atau
lingkungan mikro sumsum tulang.

Proses tersebut dapat diterangkan sebagai berikut: sel target


hematopoeietik dipengaruhi oleh interaksi ligan-reseptor, snyal
intraseluler dan aktivasi gen. Aktivasi sitotoksik T-limfosit
berperan penting dalam kerusakan jaringan melalui sekresi IFN-γ
dan TNF. Keduanya dapat saling meregulasi selular reseptor
masing-masing dan Fas reseptor. Aktivasi tersebut menyebabkan
terjadinya apoptosis pada sel target. Beberapa efek dan IFN-γ
dimediasi melalui IRF-1 yang menghambat transkripsi selular gen
dan proses siklus sel sehingga regulasi sel-sel darah tidak dapat
terjadi. IFN-γ juga memicu produksi gas No. yang bersifat toksik
terhadap sel-sel lain. Selain itu, peningkatan IL-2 menyebabkan
meningkatnya jumlah T sel sehingga semakin mempercepat
terjadinya kerusakan jaringan pada sel.

f) Manifestasi Klinis
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga
keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia
tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia
dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain.
Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia
yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi
sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat
lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan
di organ-organ. Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia
aplastik dapat berupa:
1) Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak
napas intoleransi terhadap aktivitas fisik, angina pectoris
hingga gejala payah jantung.
2) Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging,
mata berkunang – kunang terutama pada waktu perubahan
posisi dari posisi jongkok ke posisi berdiri, iritabel, lesu dan
perasaan dingin pada ekstremitas..
3) Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi,
perut kembung, enek di hulu hati, diare atau obstipasi.
4) Sistem urogeniatal : gangguan haid dan libido menurun.
5) Epitel dan kulit: kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau kurang
cerah, rambut tipis dan kekuning kuningan.
6) Gejala Perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan
subkonjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis/melenaatau
menorhagia pada wanita. Perdarahan organ dalam lebih jarang
dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering bersifat
fatal.
7) Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis
leher, febris, sepsis atau syok septik.
g) Pemeriksaan Penunjang
 Kelainan laboratorik yang dapat dijumpai pada anemia
aplastik adalah :
o Anemia normokromik normositer disertai
retikusitopeniaAnemia sering berat dengan kadar Hb<7
g/dl
o Leukopenia dengan relatif limfositosis, tidak dijumpai
sel muda dalam darah tepi
o Trombositopenia, yang bervariasi dari ringan sampai
sangat berat
o Sumsum tulang: hipoplasia sampai aplasia. Aplasia
tidak menyebar secara merata pada seluruh sumsum
tulang, sehingga sumsum tulang yang normal dalam
satu kali pemeriksaan tidak dapat menyingkirkan
diagnosis anemia aplastik, harus diulangi pada tempat-
tempat yang lain.
o Besi serum normal atau meningkat, TIBC normal, HbF
meningkat.
 Darah Lengkap: Jumlah masing-masing sel darah (eritrosit,
leukosit, trombosit)
 Hapusan Darah Tepi: Ditemukan normokromik normositer

 Pemeriksaan Sumsum Tulang: Aspirasi sumsum tulang


biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang
kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel
hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast
mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan
kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan
peningkatan elemen- elemen ini. Pada kebanyakan kasus
gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat
ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan
tetapi megakariosit rendah. International Aplastic Study
Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas
sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50%
dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada
sumsum tulang.

 Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluorescence In Situ


Hybridization) : Sel darah akan diambil dari sumsum tulang,
tujuannya untuk mengetahui jumlah dan jenis sel-sel yang
terdapat di sumsum tulang. Serta untuk mengetahui apakah
terdapat kelainan genetik atau tidak.
 Tes Fungsi Hati dan Virus
Anemia aplastik dapat terjadi pada 2-3 bulan setelah episode
akut hepatitis. Tes ini juga dinilai jika mempertimbangkan
dilakukannya bone marrow transplantasion.
 Pemeriksaan Radiologis : umumnya tidak dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal
khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang
yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan
abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu
ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan
lemak

.
h) Diagnosis
Kriteria diagnosis anemia aplastik berdasarkan
International Agranulocytosisand Aplastic Anemia Study Group
(IAASG) adalah :
 Satu dari tiga sebagai berikut:
 Hb < 10 g/dl atau Hct < 30%
 Trombosit < 50x109/L
 Leukosit , 3,5x109/L
 Retikulosit <30x109/L
 Gambaran sumsum tulang:Penurunan selularitas dengan
hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoeitik atau
selularitas normal oleh hiperplasiaeritroid fokal dengan deplesi
seri granulosit dan megakariosit.
 Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
 Pansitopenia karena obat sitostakita atau radiasi terapeutik
harus diekslusi
i) Penatalaksanaan

Secara garis besar terapi untuk anemia aplastik terdiri atas :

 Terapi non farmakologi.


a. Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti
sayuran,daging, ikan dan unggas.
b. Dapat digunakan suplemen multi-vitamin yang
mengandung vitamin B12 dan asam folat sebagai terapi
profilaksis maupun memperbaiki defisiensi vitamin
B12 ataupun asam folat.
c. Pada pasien dengan anemia kritis dapat dilakukan transfusi
sel darah merah. Anemia kronis yang ditandai dengan
gejala parah seperti denyut jantung cepat, nafas tersengal
dan pingsan mungkin harus segera ditangani dengan
transfusi darah.
 Terapi farmakologi
pemberian oral atau parenteral vitamin B12, induksi asam
folat (menginduksi remisi eksogen hematologi). Pemberian
parenteral asam folat jarang diperlukan , karena asam folat oral
diserap dengan baik bahkan pada pasien dengan sindrom
malabsorpsi . Dosis 1 mg asam folat oral setiap hari sudah
cukup untuk memulihkan anemia megaloblastik , memulihkan
kadar folat serum normal.

 Terapi Kausal
 Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen
penyebab. Tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena
etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya yang tidak dapat
dikoreksi.
 Terapi Suportif
 Terapi ini adalah untuk mengatasi akibat pansitopenia.
 Untuk mengatasi infeksi antara lain :
 Higiene mulut
 Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang
tepat dan adekuat. Sebelum ada hasil tes sensitivitas, antibiotik
yang biasa diberikan adalah ampisilin, gentamisin, atau
sefalosporin generasi ketiga.
 Tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat
kuman gram negatif, dengan neutropenia berat yang tidak
memberikan respon pada antibiotika adekuat.
Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang

 Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang


pertumbuhan sumsum tulang :
 Anabolik Steroid: oksimetolon atau atanozol. Efek terapi
diharapkan muncul dalam 6-12 minggu.
 Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah : prednison 40-
100 mg/hr, jika dalam 4 minggu tidak ada perbaikan maka
pemakaiannya harus dihentikan karena efek sampingnya cukup
serius.
 GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan
jumlah netrofil.
 Terapi definitif
 Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan
kesembuhan jangka panjang. Terapi tersebut terdiri atas dua
macam pilihan :
 Terapi Imunosupresif
 Pemberian anti lymphocyte globuline : anti lymphocyte
globulin (ALG) atau anti thymocyte globuline (ATG).
Pemberian ALG merupakan pilihan utama untuk pasien yang
berusia di atas 40 tahun.
 Pemberian methylprednisolon dosis tinggi b. Transplantasi
sumsum tulang.
 Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang
memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat
mahal, memerlukan peralatan yang canggih, serta adanya
kesulitan tersendiri dalam mencari donor yang kompatibel.
Transplantasi sumsum tulang.

j) Komplikasi
Komplikasi Anemia Aplastik
Biasanya Anemia Aplastik akan sembuh dengan sendirinya setelah
dilakukan pengobatan, salah satunya dengan transfusi darah.
Namun, untuk mencegah komplikasi cara tersebut tidak boleh
dilakukan secara terus-menerus karena dikhawatirkan tubuh akan
mengembangkan antibodi dalam darah yang ditransfusi, sehingga
pengobatan yang dilakukan menjadi tidak efektif.
k) Prognosis
Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat
bervariasi, tetapi tanpa pengobatan pada umumnya memberikan
prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi tiga, yaitu :
kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3
bulan (10-15% kasus)
pasien dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi
dan relapse dapat meninggal dalam 1 tahun (50% kasus)
pasien yang mengalami remisi sempurna atau parsial
(sebagian kecil pasien)
l) Pencegahan dan Edukasi
Pencegahan pengobatan yang mengakibatkan anemia
aplastik sangat penting. Karena tidak mungkin meramalkan
pasien mana yang akan mengalami reaksisamping terhadap
bahan tertentu, obat yang potensial toksik hanya boleh
digunakanapabila terapi alternatif tidak tersedia. Pasien yang
minum obat toksik dalam jangka waktu lama harus memahami
pentingnya pemeriksaan darah secara periodik danmengerti
gejala apa yang harus dilaporkan. Tindakan pencegahan dapat
mencakup linkungan yang dilindungi dan hygiene yang baik.
Pada perdarahan dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi
komponen darahyaitu sel darah merah, granulosit, trombosit
dan antibiotik. Agen- agen perangsangsum-sum tulang seperti
androgen diduga menimbulkan eritropoesis. Penderita
anemiaaplastik kronik dapat menyesuaikan diri dengan baik
dan dapat dipertahankan pada Hb antara 8 dan 9 dengan
transfusi darah yang periodik
2. Leukimia
a) Definisi
Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai
“darah putih” pada tahun 1874, adalah penyakit neoplastik yang
ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk
hematopoetik.
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan
genetik pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan
dari sel yang normal akan tertekan pada waktu sel leukemia
bertambah banyak sehingga akan menimbulkan gejala klinis.
Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik
yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel
induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok
sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia
beredar secara sistemik.
Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas,
sering disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal dengan
jumlah yang berlebihan, dapat menyebabkan kegagalan sumsum
tulang dan sel darah putih sirkulasinya meninggi.
b) Patofisiologi
Keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai
perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum
tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel
darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh
terhadap infeksi. Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain
pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut
berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan
mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan
leukemia. Perubahan kromosom dapat meliput i perubahan angka,
yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau
perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali),
delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau
lebih mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang
berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi
sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan
ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan
penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang
kompleks). Translokasi kromosom mengganggu pengendalian
normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tidak terkendali
dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum
tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-
sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam
organ lainnya termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal,
dan otak.
c) Klasifikasi Leukemia
Secara sederhana leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan
maturasi sel dan tipe sel asal yaitu :
1) Leukemia Akut
Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang
yang berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh
komponen darah abnormal (blastosit) yang disertai dengan
penyebaran ke organ-organ lain. Leukemia akut memiliki
perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan
meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan.
a. Leukemia Limfositik Akut (LLA)
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik
adanya proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari
sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali
(pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan organ.
LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%)
daripada umur dewasa (18%).21 Insiden LLA akan
mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun. Tanpa
pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2-3 bulan
setelah terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan
dari sumsum tulang19 (gambar 2.8. hapusan sumsum tulang
dengan pewarnaan giemsa perbesaran 1000x).
Gambar Leukemia Limfositik Akut

b. Leukemia Mielositik Akut (LMA)


LMA merupakan leukemia yang mengenai sel stem
hematopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel
mieloid. LMA merupakan leukemia nonlimfositik yang
paling sering terjadi.
LMA atau Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih
sering ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan
anak-anak (15%).20 Permulaannya mendadak dan progresif
dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang
singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3 sampai 6
bulan.
2) Leukemia Kronik
Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai
proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau
terjadi karena keganasan hematologi.22
a. Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
LLK adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang
pada limfosit T). Perjalanan penyakit ini biasanya perlahan,
dengan akumulasi progresif yang berjalan lambat dari
limfosit kecil yang berumur panjang
.LLK cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang
menyerang individu yang berusia 50 sampai 70 tahun dengan
perbandingan 2:1 untuk laki-laki.
b. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK)
LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang
ditandai dengan produksi berlebihan sel mieloid (seri
granulosit) yang relatif matang.34 LGK/LMK mencakup
20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang dewasa
usia pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik yang
dinamakan kromosom philadelphia ditemukan pada 90-95%
penderita LGK/LMK.
Sebagian besar penderita LGK/LMK akan meninggal
setelah memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik
yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa
mieloblas/promielosit, disertai produksi neutrofil, trombosit
dan sel darah merah yang amat kurang.

d) Distribusi Frekuensi Leukemia


1) Berdasarkan Umur
Berdasarkan data The Leukemia and Lymphoma
Society (2009) di Amerika Serikat, leukemia menyerang
semua umur. Pada tahun 2008, penderita leukemia 44.270
orang dewasa dan 4.220 pada anak-anak. Biasanya jenis
leukemia yang menyerang orang dewasa yaitu LMA dan
LLK sedangkan LLA paling sering dijumpai pada anak-
anak.
Menurut penelitian Kartiningsih L.dkk (2001),
melaporkan bahwa di RSUD Dr. Soetomo LLA menduduki
peringkat pertama kanker pada anak.
Selama tahun 1991-2000. Ada 524 kasus atau 50%
dari seluruh keganasan pada anak yang tercatat di RSUD
Dr. Soetomo, 430 anak (82%) adalah LLA, 50 anak (10%)
menderita nonlimfoblastik leukemia, dan 42 kasus
merupakan leukemia mielositik kronik.
Penelitian Simamora di RSUP H. Adam Malik
Medan tahun2004-2007 menunjukkan bahwa leukemia
lebih banyak diderita oleh anak-anak usia <15 tahun
khususnya LLA yaitu 87%. Pada usia 15-20 tahun 7,4%,
usia 20-60 tahun 20,4%, dan pada usia >60 tahun 1,8%.17
2) Jenis Kelamin
nsiden rate untuk seluruh jenis leukemia lebih tinggi
pada laki-laki dibanding perempuan. Pada tahun 2009,
diperkirakan lebih dari 57% kasus baru leukemia pada laki-
laki.10 Berdasarkan laporan dari Surveillance
Epidemiology And End Result (SEER) di Amerika tahun
2009, kejadian leukemia lebih besar pada laki-laki daripada
perempuan dengan perbandingan 57,22%:42,77%.
Menurut penelitian Simamora (2009) di RSUP H.
Adam Malik Medan, proporsi penderita leukemia
berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi pada laki- laki
dibandingkan dengan perempuan (58%:42%).17
a.3. Ras
IR di negara barat adalah 4 per 100.000 anak-anak di
bawah usia 15 tahun. Angka kejadian terendah terdapat di
Afrika (1,18-1,61/100.000) dan tertinggi di antara anak-
anak Hispanik (Costa Rica 5,94/100.000 dan Los Angeles
5,02/100.000). IR ini lebih umum pada ras kulit putih (42,1
per 100.000 per tahun) daripada ras kulit berwarna (24,3
per 100.000 per tahun).19 Berdasarkan data The Leukemia
and Lymphoma Society (2009), leukemia merupakan salah
satu dari 15 penyakit kanker yang sering terjadi dalam
semua ras atau etnis. Insiden leukemia paling tinggi terjadi
pada ras kulit putih (12,8 per 100.000) dan paling rendah
pada suku Indian Amerika/penduduk asli Alaska (7,0 per
100.000).
3) Berdasarkan Tempat dan Waktu
Menurut U.S. Cancer Statistics (2005) terdapat
32.616 kasus leukemia di Amerika Serikat, 18.059 kasus
diantaranya pada laki-laki (55,37%) dan 14.557 kasus
lainnya pada perempuan (44,63%). Pada tahun yang sama
21.716 orang meninggal karena leukemia (CFR 66,58%).B
Berdasarkan laporan kasus dari F. Tumiwa dan
AMC. Kaparang (2008) menyebutkan bahwa IR tertinggi
LMK terdapat di Swiss dan Amerika (2 per 100.000)
sedangkan IR terendah berada di Swedia dan Cina (0,7 per
100.000).
LMK merupakan leukemia kronis yang paling
sering dijumpai di Indonesia yaitu 25-20% dari leukemia.
IR LMK di negara barat adalah 1-1,4 per 100.000 per
tahun.31
Berdasarkan data dari International Pharmaceutical
Manufacturers Group (IPMG) penderita leukemia pada
anak-anak di RSK Dharmais terus bertambah setiap
tahunnya. Pada tahun 2007 terdapat 6 kasus leukemia pada
anak dan pada tahun 2008 bertambah menjadi 16 kasus.15
Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2004 terdapat
30 penderita (18,52%), tahun 2005 terdapat 39 penderita
(24,07%), tahun 2006 terdapat 35 penderita (21,61%) dan
pada tahun 2007 terdapat 58 penderita (35,8%).
e) Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti
hingga kini. Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko
tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia.
1) Umur, jenis kelamin, ras
Insiden leukemia secara keseluruhan bervariasi
menurut umur. LLA merupakan leukemia paling sering
ditemukan pada anak-anak, dengan puncak insiden antara
usia 2-4 tahun, LMA terdapat pada umur 15-39 tahun,
sedangkan LMK banyak ditemukan antara umur 30-50
tahun. LLK merupakan kelainan pada orang tua (umur rata-
rata 60 tahun). Insiden leukemia lebih tinggi pada pria
dibandingkan pada wanita.
Tingkat insiden yang lebih tinggi terlihat di antara
Kaukasia (kulit putih) dibandingkan dengan kelompok kulit
hitam. Leukemia menyumbang sekitar 2% dari semua jenis
kanker. Menyerang 9 dari setiap 100.000 orang di Amerika
Serikat setiap tahun. Orang dewasa 10 kali kemungkinan
terserang leukemia daripada anak-anak. Leukemia terjadi
paling sering pada orang tua. Ketika leukemia terjadi pada
anak-anak, hal itu terjadi paling sering sebelum usia 4
tahun.
Penelitian Lee at all (2009) dengan desain kohort di
The Los Angeles County-University of Southern California
(LAC+USC) Medical Centre melaporkan bahwa penderita
leukemia menurut etnis terbanyak yaitu hispanik (60,9%)
yang mencerminkan keseluruhan populasi yang dilayani
oleh LCA + USA Medical Center. Dari pasien non-hispanik
yang umum berikutnya yaitu Asia (23,0%), Amerika Afrika
(11,5%), dan Kaukasia (4,6%).
2) Faktor Genetik
Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom
down adalah 20 kali lebih banyak daripada normal.
Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia
akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita
dengan kelainan kongenital misalnya agranulositosis
kongenital, sindrom Ellis Van Creveld, penyakit seliak,
sindrom Bloom, anemia Fanconi, sindrom Wiskott Aldrich,
sindrom Kleinefelter dan sindrom trisomi D.
Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden
leukemia meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk
mendapat leukemia pada saudara kandung penderita naik 2-
4 kali.19 Selain itu, leukemia juga dapat terjadi pada
kembar identik.
Berdasarkan penelitian Hadi, et al (2008) di Iran
dengan desain case control menunjukkan bahwa orang yang
memiliki riwayat keluarga positif leukemia berisiko untuk
menderita LLA (OR=3,75 ; CI=1,32-10,99) artinya orang
yang menderita leukemia kemungkinan 3,75 kali memiliki
riwayat keluarga positif leukemia dibandingkan dengan
orang yang tidak menderita leuke mia.
Selain itu, faktor instrinsik berupa obat-obatan, zat
kimia, virus, dan lain lain juga berperan dalam
meningkatkan terjadinya leukimia.
f) Gejala Klinis
Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia,
trombositopenia, neutropenia, infeksi, kelainan organ yang
terkena infiltrasi, hipermetabolisme.
1) Gejala klinis LLA
Gejala klinis LLA sangat bervariasi. Umumnya
menggambarkan kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis
berhubungan dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing,
sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan. Selain itu juga
ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi,
hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama
pada sternum, tibia dan femur.
2) Gejala utama LMA
Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan
dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan
sumsum tulang. perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk
purpura atau petekia. Penderita LMA dengan leukosit yang
sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3) biasanya
mengalami gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada
dan priapismus. Selain itu juga menimbulkan gangguan
metabolisme yaitu hiperurisemia dan hipoglikemia
3) Leukemia Limfositik Kronik
Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan
gejala. Penderita LLK yang mengalami gejala biasanya
ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat
badan dan kelelahan. Gejala lain yaitu hilangnya nafsu
makan dan penurunan kemampuan latihan atau olahraga.
Demam, keringat malam dan infeksi semakin parah sejalan
dengan perjalanan penyakitnya.

4) Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik
LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase
akselerasi dan fase krisis blas. Pada fase kronik ditemukan
hipermetabolisme, merasa cepat kenyang akibat desakan
limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi setelah
penyakit berlangsung lama. Pada fase akselerasi ditemukan
keluhan anemia yang bertambah berat, petekie, ekimosis
dan demam yang disertai infeksi.
g) Pencegahan

1) Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang
daptan menghentikan kejadian suatu penyakit atau
gangguan sebelum hal itu terjadi. seperti pengendalian
terhadap pemaparan sinar radioaktif, pemeriksaan
kesehatan pranikah.
2) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk
menghentikan perkembangan penyakit atau cedera menuju
suatu perkembangan ke arah kerusakan atau
ketidakmampuan. Dapat dilakukan dengan cara mendeteksi
penyakit secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat.
a. Diagnosis dini, meliputi :
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA
ditemukan leukositosis (60%) dan kadang-kadang
leukopenia (25%).48 Pada penderita LMA
ditemukan penurunan eritrosit dan trombosit.31
Pada penderita LLK ditemukan limfositosis lebih
dari 50.000/mm3,48 sedangkan pada penderita
LGK/LMK ditemukan leukositosis lebih dari
50.000/mm3.
o Pemeriksaan sumsum tulang.
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada
penderita leukemia akut ditemukan keadaan
hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang
diganti sel leukemia (blast), terdapat perubahan
tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang
tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast
minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum
tulang. Pada penderita LLK ditemukan adanya
infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu lebih
dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih
95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan
limfosit B. Sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan keadaan hiperselular dengan
peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas
granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari
30.000/mm3.

b. Penatalaksanaan Medis

 Kemoterapi
 Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi
tinggi untuk membunuh sel- sel leukemia. Sinar
berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau
bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel
leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau
partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar
gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan
jika terdapat keluhan pendesakan karena
pembengkakan kelenjar getah bening setempat.21

 Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan
untuk mengganti sumsum tulang yang rusak dengan
sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang
rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi
atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum
tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah
yang rusak karena kanker.49 Pada penderita LMK,
hasil terbaik (70-80% angka keberhasilan) dicapai
jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun
setelah terdiagnosis dengan donor Human
Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai.
Pada penderita LMA transplantasi bisa
dilakukan pada penderita yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia
muda yang pada awalnya memberikan respon
terhadap pengobatan.
 Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi
akibat-akibat yag ditimbulkan penyakit leukemia
dan mengatasi efek samping obat. Misalnya
transfusi darah untuk penderita leukemia dengan
keluhan anemia, transfusi trombosit untuk
mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk
mengatasi infeksi.36
3) Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier ditujukan untuk membatasi atau
menghalangi perkembangan kemampuan, kondisi, atau
gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang
membutuhkan perawatan intensif.43 Untuk penderita
leukemia dilakukan perawatan atau penanganan oleh tenaga
medis yang ahli di rumah sakit. Salah satu perawatan yang
diberikan yaitu perawatan paliatif dengan tujuan
mempertahankan kualitas hidup penderita dan
memperlambat progresifitas penyakit. Selain itu perbaikan
di bidang psikologi, sosial dan spiritual. Dukungan moral
dari orang-orang terdekat juga diperlukan.
Berikut ini table diagnosis banding :

GEJALA ANEMIA LEUKIMIA


APLASTIK
Lemas √ √
Pusing √ √
Pendarahan √ √
Petekie √ -
Demam √
Nafsu makan √ -
menurun

Takipneu √ -
Ikterus √ -

Referensi :
Wahid.I .Trombositosis Esensial. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed 5
jilid II halaman 1220.Interna publish ING 2006.
-Sanches.A.Ewton.A.Esential Trombositosis.A.Review Of Diagnostik An
Phatological Features.Lab MED.Vol 130 Ah. 1144-1149.
- Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Dalam RSUP Denpasar. Denpasar.
Lab/SMF Penyakut Dalam FK UNUD/ RSUP Denpasar, Bali.
- Referensi: Gunawan.G.Sulistia. 2008 Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta

F. Prespektif Islam dalam Skenario

Artinya :

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan


mengujimu dengan keburukan dan kebaikansebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”
(QS. al-Anbiyaa’: 35).

Referensi :
Al-Quran surah al-Anbiyaa ayat 35
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, IM. Hematologi Klinik ringkas. Penerbit Buku Kedokteran. EGC: Jakarta.
2003. P: 98-109.

Hoffbrand, A.V., Pettit. J.E., Moss, P.A.H. Hematologi. Edisi ke-4. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC.

Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran :


EGC.

Masrizal . “Anemia Defisiensi Besi” . Jurnal Kesehatan Masyarakat . September


2007 . hal 1-2

Widjanarko, A. Anemia Aplastik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. p. 637-643.

Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Dalam RSUP Denpasar. Denpasar: Lab
/SMF Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Denpasar Bali, 1994.

Anda mungkin juga menyukai