Anda di halaman 1dari 4

Amila Azka Rachmayani

1906339821
Ekonomi dan Keuangan Syariah – 37
Kajian Timur Tengah dan Islam

Teori Positivisme

Sumber ilmu menurut John Hospers dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Filosofical
Analysis, menyebutkan beberapa alat untuk memperoleh pengetahuan, antara lain pengalaman indra,
nalar, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan. Ragam sumber inilah yang memberikan berbagai
pandangan berbeda dalam pendekatan filsafat. Beberapa pemikiran signifikan adalah teori empirisme,
yaitu pendekatan yang meyakini bahwa sesuatu yang tidak diamati dengan indra bukanlah
pengetahuan yang benar, didukung oleh sejumlah tokoh diantaranya Thomas Hobbes, Jhon Locke,
Berkeley dan David Hume. Teori ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1. Keterbatasan indra; contohnya ketika semakin jauh objek, semakin kecil penampakannya
namun tidak berarti bahwa objek tersebut semakin mengecil
2. Penipuan indra; dapat terjadi bias pada indra orang yang sakit
3. Penipuan objek; contonya pada fatamorgana
4. Penipuan indra dan objek; contohnya ketika melihat gajah dari depan, yang terlihat adalah
kepalanya saja.

Kelemahan-kelemahan inilah yang membuka jalan bagi para pemikir rasionalisme, dengan tokoh
utamanya Rene Descartes (1596-1650). Rasionalisme tidak menganggap pengalaman indra (empiris)
sebagai sumber pengetahuan, namun juga tidak mengingkari penggunaannya. Melainkan, indra hanya
sebagai perangsang agar akal (rasio) berpikir menemukan kebenaran/pengetahuan. Sama halnya
seperti empirisme, teori ini juga tidak lepas dari kritik, seperti kelemahan yang terdapat pada akal itu
sendiri. Akal tidak dapat mengetahui secara menyeluruh (universal) objek yang ada dihadapinya, dan
pengetahuan akal adalah pengetahuan parsial karena akal hanya dapat memahami sudatu objek jika
ia memikirkannya serta hanya memahami bagian-bagian tertentu dari objek tersebut.

Kelemahan dalam aliran empirisme dan rasionalisme disempurnakan sehingga melahirkan teori
Positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte (1798-1857) dan Immanuel Kant (1724-1804) yang
saat ini menjadi dasar kegiatan ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
paham ini, indra sangat penting untuk memperoleh suatu pengetahuan, namun harus dipertajam
dengan eksperimen yang dapat terukur secara pasti. Misalnya, jauh diukur dengan meteran atau berat
diukur dengan timbangan.

Sejarah Perkembangan

Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825), dan
dipopulerkan oleh August Comte dalam sebuah karyanya yang berjudul Course de Philosophic Positive.
Positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika simbolik
sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris
Francis Bacon. Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuuan yang valid, dan fakta-
fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam
perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga
diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang
dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-
1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan
formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam
Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim,
yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan Lingkaran Wina dengan tokoh-
tokohnya O. Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Selain itu, kelompok yang turut
berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua
kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta
semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika
simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Pada abad 18, atas kesuksesan perkembangan teknologi dalam industri, positivisme juga
mengembangkan pemikiran mengenai ilmu universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang
juga etika, politik dan juga agama sebagai disiplin ilmu yang posivistik. Percabangan tersebut diawali
dengan konsep berikut:
1. Positivisme Sosial
Adalah penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah, dengan tokoh utama
August Comte, dengan teorinya mengenai perjenjangan sejarah alam piker manusia yaitu tahap
teologis (menjabarkan peristiwa alam sebagai kehendan dewa/dewi), tahap metafisik (abstraksi
sebab kekuatan semesta) dan tahap positif (pengamatan ilmiah). Tokoh lainnya adalah Jeremy
Bethan dan John Stuart Mill.
2. Positivisme Evolusioner
Menggunakan doktrin evolusi biologik, Herbert Spencer mengatakan bahwa pengetahuan
manusia terbatas pada kawasan fenomena. Pengalaman spiritual dalam beragama ada dalam
kawasan misteri, tidak terbatas.
3. Positivisme Kritis
Disebut juga dengan era neo-positivisme, dipelopori oleh Mach dan Avenarius yang mencoba
memberikan fundamen bagi kepastian ilmu filsafat dengan derajat kepastian yang sama dengan
ilmu pasti menggunakan metode matematik dan eksperimen.Tokoh lainnya dalam aliran ini
adalah Pearson (tesis hokum merupakan deskripsi tentang dunia luar, bukan persepsi) dan
Petzoldt (law of univocal determination).
Metode historis khusus dikembangkan bagi masyarakat yang lebih spesifik untuk mengungkapkan
hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan agar tidak hanya dalam kawasan
ilmu alam saja. Kospe-konsep tersebut adalah:
4. Positivisme Linguistik
Pelopor pengembangan positivisme linguistik pada awal abad 20 adalah de Saussure yang
mengaplikasikan sistem logika yang menggunakan bahasa sebagai sistem logika untuk
pengembangan ilmu. Sistem logika bahasa ini disebut sebagai second order of logic yang pada era
sekarang dikenal dengan positivisme linguistik.
5. Positivisme Fungsional
Positivisme fungsional yang merupakan positivisme modem, masih tetap menggunakan
paradigma kuatitaif matematik yang diasumsikan isomorphic dengan ilmu pengetahuan alam.
Disebut positivisme fungsional karena ia mengadopsi analogi biologik dan analogi mekanik dalam
menelaah manusia. Sistem biologik dan sistem mekanik dipakai untuk memahami prilaku manusia
6. Positivisme Logik (Noepositivisme)
Masih berangkat dari Lingkaran WIna, teori ini menyatakan Positivisme Logis berpendapat bahwa
filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan
kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak
memiliki arti sama sekali. Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain
Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung
dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-
positivis ini.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai
sikap skeptic terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa
semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas.
Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme
filsafat dan empirisme.

Daftar Pustaka

Mill, John Stuart. 2005. Auguste Comte and Positivism. (t. p.). (t. t). Dipetik dari
http://library.umac.mo/ebooks/b21819853.pdf pada 20 September 2019 23:35 WIB

Suaedi. 1993. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: Penerbit IPB Press

Wilopo. 2012. Lingkaran Wina. (t. p.). (t. t). Dipetik dari
http://wilopo.lecture.ub.ac.id/2012/01/lingkaran-wina/ pada 21 September 2019 04:00 WIB

Anda mungkin juga menyukai