2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian
kehilangan.
1. Fase akutBerlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas
tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
a. Syok dan tidak percayaRespons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak
dapat menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang
dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara
perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
c. RestitusiMerupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
2. Fase jangka panjanga. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama. .
Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan
termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang menjadi
keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan
dan menggunakan alkohol
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awalPada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung
selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan.
Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan
ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahanFase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya
perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan
yang terjadi.
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok,
diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap
kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang.
Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut.
3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam, panas/dingin
dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak nyaman
Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan kematian,
tapi tidak demikian dengan emosional.Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami
kehilangan akibat kematian orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan
beranggapan bahwa orang yang dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi
melihat atau mendengar suara seperti biasanya. Secara fisik akan tampak letih, lemah,
pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis, dan gelisah. Tahap ini
membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun setelah
kehilangan.
Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan. Perasaan
marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda
di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur,
dan tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.
4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.
5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang akan
mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak melakukan
hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......” atau “misalkan dia tidak memilih
pergi ke tempat itu ... pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien
dapat berupa hal sebagai berikut.1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas
dengan merasa bersalah pada masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.2. Ada
beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu hidup, terhindar
dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
Tahap Depresi Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien
sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri,
tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu
menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido.Fokus pikiran ditujukan pada
orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak
ada?” atau“Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran
saya?”Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang
penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan
damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan
dan kegelisahannya.
Bacaan
Keliat, BA., Helena, N.C.D., dan Farida P. 2007. Manajemen Keperawatan Psikosisial dan
Kader Kesehatan Jiwa: CMHN (Intermediate Courese). Jakarta: EGC.Stuart dan Laraia.
2005. Principles and Pratice of Psychiatric Nursing, 8th Edition. St.Loius: Mosby.Stuart, G.
W, dan Sundeen, S. J. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.Suliswati,
dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.Varcarolis. 2006.
Fundamental of Psychiatric Nursing. Edisi 5. St.Louis: Elsevier.WHO. 2001. The World
Health Reports 2001, Mental Health: New Understanding, New Hope. Geneva: WHO.