Anda di halaman 1dari 11

SENI

Hubungan seni dan masyarakat


Seni dan masyarakat merupakan dua konsep yang masing-masing punya masalah dan punya
kepentingan sendiri, walaupun diantara keduanya terdapat hubungan yang tak dapat dipisahkan. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya ekuivalensi (padanan) kata tersebut dan tidak konkrit terminiloginya.
Seni memiliki pengertian yang berbeda pada orang yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda.
Terdapat usaha untuk membedakan karakter umum yang ada pada seni, namun pada akhirnya semua
akan terlibat dengan ilmunkesenian, estetika, dan metafisika. Seseorang yang mengidentifikasikan salah
satu karya seni misalnya seni lukis, maka akan timbul masalah, yaitu bagaimanaa dengan musik dan
arsitektur? Namun yang jelas pada kenyataan yang ada, seni merupakan aktivitas khusus yang ada
hubungannya dengan profesi manusia dari hubungan yang tidak langsung dengan setiap manusia.

Masyarakat, sama halnya dengan seni. Masyarakat dapat diartikan sebagai penduduk suatu
daerah, juga dapat diartikan sebagaimanusia secara lebih luas, dan secara ekstrim dapat diartikan pula
kelompok manusia yang punya tujuan sama. Yang akhirnya seperti halnya kesenian, masyarakat akan
selalu dikaitkan dengan ilmu kemasyarakatan seperti sosiologi, agar dapat memberikan gambaran yang
logis tentang masyarakat. Hubungan seni yang tidak jelas perwujudannya dan kompleks
permasalahnnya serta hubungan masyarakat yang tidak jelas dalam memberikan gambaran logis
mengakibatkan hubungan yang tidak jelas, tetapi ada hubungan yang saling membutuhkan.

Plato, filsuf yang terkenal dengan sebutan dewa estetika, mengatakan: bahwa seni dan
masyarakat merupakan hubungan yaang tak terpisahkan; seni integral dengan masyarakatnya; satu
konsep yang tidak terpisahkan baik seni dan masyarakat terwujud diantaranya hubungan antara
manusia dan lingkungannya. Kenyataan hubungan antara seni dan masyarakat, apapuyn yang terjadi
bahwa seni itu sendiri selalu merupakan kreasi individu. Tentu saja ada jenis seni yang didukung oleh
sekelompok orang namun ini pun tetap memberi kekuatan seperti dalam konotasi seseorang atau
individu-individu yang punya kebersamaan. Misalnya arsitektur dan drama. Karya seni yang dilahirkan
merupakan karya seni yang tidak lepas dari masyarakatnya. Konsepsi penciptaan artistiknya berorientasi
terhadap aspek kebutuhan masyarakat, dan bukan berarti keinginan masyarakat. Keseluruhan yang
kompleks dari problem ini muncul dari adanya kenyataan, bahwa seniman dengan karya seninya
tergantung pada masyarakat, tidak saja dalam persoalan yang mendatar seperti ekonomi, politik, dan
agama, tetapi dalam persoalan yang lebih mendalam dan kompleks.

Masyarakat dan seni memang berbeda dalam pengertiannya,tetapi sebenarnya keduanya


memiliki interksi psikis. Di satu pihak dominasi subyektivitas seniman dalam mencari bentuk
penyesuaian dengan lingkungan masyarakatnya, di lain pihak masyarakat sendiri merupakan satu
organisasi atau satu kesatuan yang memiliki bentuk-bentuk penyesuaian secara internal dan eksternal.
Dilihat dari kepentingannnya, kepentingan seniman terhadap masyarakat adalah ikut mengangkat
dengan pantas dan mengajak persepsi masyarakat ketingkat yang lebih baik.
Sekelompok seniman adalah sekelompok pemikiran dan idea dengan berbagai manifestasinya
yang mengarah kebagian yang lebih dalam. Di sinilah gambaran seniman yang selalu berusaha
mengangkat masyarakatnya ketingkat yang lebih tinggi. Namun kadang yang terjadi, bahwa signal-signal
yang dilemparkan seniman sulit difahami oleh masyarakat, di sinilah peran apresiator atau kritikusyang
sangat penting, untuk menterjemahkan pesan-pesan yang dikirimkan seniman lewat karyanya. Selama
signal atau pesan yang disampaikan seniman merupakan perwujudan yang mudah dicerna oleh
masyarakat, seperti lukisan pemandangan alam, drama sosial, peran kritikus kurang dibutuhkan, namun
bukan berarti tidak perlu.

Disisi lain, seni merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan
keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang
indah,apapun jenis keindahan itu. dorongan tersebut merupakan naruli manusia, atau fitrah yang
dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Disisi lain Al-Qur’an memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesui dengan fitrah
manusia.

Maka tetapkanlah wajahmu dengan luruskepada agama ( Allah ); ( tetaplah atas ) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahanpada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui ( QS Al-Rum [30]:30 ).

Merupakan satu hal yang mustahil,bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk
menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah islam agama fitrah?
Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya.

Kemampuan berseni merupakan perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian, islam
pasti mendukung kesenian selama penampilannya lahir dan mendukungfitrah manusia yang suci itu, dan
karena itu pula islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa
manusia didalam islam.

Tetapi mengapa selama ini ada kesan bahwa islam menghambat perkembangan seni dan
memusihinya? Jawabannya boleh jadi tersirat dari informasi berikut.

Diriwayatkan bahwa Umar Ibnul Khathab-khalifah kedua-pernah berkata,” Umat islam


meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus kedalam haram ( riba ).”
Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga dapat menjadi benar jika kalimat “transaksi ekomoni”
diganti dengan “kesenian”.

Boleh jadi problem yang paling menonjol dalam hubungan dengan seni budaya dan islam,
sekaligus kendala utama kemajuanya adalah kekhawatiran tersebut.

Bahasan berikut akan berusaha memaparkan wawasan Al-Qur’an tentang seni.


Keindalan dalam Konsep Al-Qur’an
Tidak keliru jika dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Qur’an adalah memperkenalkan
keesaan Allah swt. Ini terlihat sejak wahyu pertama Al-Qur’an, ketika wahyu tersebut memerintahkan
untuk membaca dengan nama Tuhan yang di perkenalkan sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah serta
Pengajar.

Dan Dialah( Allah ) yang menundukkan lautan ( untukmu ) agar kamu dapat memakan darinya (
laut itu )daging yang segar ( ikan ), dan kamu dapat mengeluarkan darinya ( lautan itu ) perhiasan yang
kamu pakai, serta kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya… ( QS Al-Nahl [16]:14 )

Gunung-gunung dengan ketegarannya, bintang ketika terbenam, matahari saat naik


sepenggalan, malam ketika hening,dan masih banyak yang lain, semua diungkapkan oleh Al-Qur’an.
Bahkan pemandangan ternakdinyatakannya:

Kamu memperolehpandangan yang indah ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan
ketika kamu melepaskannya ke tempat pengembalaan ( QS Al-Nahl [16]:6 )

Ayat terakhir ini melepaskan kendali kepada manusia yang memandangnya untuk menikmati
dan melukiskan keindahan itu, sesuai dengan subjektivitas perasaannya. Begitu kurang lebih uraian para
mufasir ketika menganalisis redaksi ayat itu.

Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau
oleh kelompok masyaratkat sesuai dengan budayanya., tanpa batasan ketat kecuali yang di gariskan-Nya
pada awal uraian surat Al-Nahl itu, yakni

Maha suci Allah dari segala kekurangan dan maha tinggidari apa yang mereka persekutukan.

Memang, kehidupan di dunia tidak akan berakhir kecuali apabila dunia ini telah sempurna
keindahannya, dan manusia telah mengenakan semua hiasannya.

Sengguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah seperti air hujan yang Kami turunkan
dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman di bumi, diantaranya ada
yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna keindahannya, dan
memakai ( pula ) perhiasannya, serta pemilik-pemiliknya merasa yakin berkuasa atasnya, ketika itu
serta-merta datang siksa Kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan tanaman-tanamannya
laksana tanaman yang telah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemaren. Demikianlah kami
menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada orang-orang yang berpikir ( QS Yunus [10]:24 )
Bumi berhias sedemikian ini sebagai buah keberhasilan manusia memperindahnya. Tentu saja
hal tersebut merupakan hasil dorongan naluri manusia yang selalu mendambakan keindahan.

Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam pembuaktian keesaan dan
kekuasaan Allah, kita dapat berkata bahwa mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam raya
ini, berarti mengabaaikan salah satu dari bukti keesaan AllahSwt., dan mengekspresikannya dapat
merupakan upaya membuktikan kebesaran-Nya, tidak kalah kalau enggan berkata lebih kuat dari upaya
membuktikannya dengan akal pikiran. Bukankah seperti tulis Immannuel Kant, dan dikuatkan juga oleh
mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul Halim Mahmud,bahwa “ bukti terkuat tentang wujud
Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya. Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang
membuktikan wujud Tuhan, karena dengan logika juga orang membuktikannya sebaliknya “.

Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ulumuddin, bahwa:

Siapa yang tidak berkesan hatinya dimusim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh
alat music dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.

Seorang muslim dituntut berakhlak dengan akhlak ilahi sesuai kemampuannya sebagai makhluk.
Dalam konteks ini, Nabi Saw. Bersabda , “ berakhlaklah dengan akhlak Allah “.

Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi keindahan.

Bahkan ada hadist Nabi yang memberi kesan bolehnya memperhatikan keindahan diri sampai
pada batas “ bersaing “ untuk menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin Mararah
Ar-Rahawi, perna bertanya kepada Nabi Swa,.

Sahabat Rasul Malik Mararah Ar-Rahawi berkata kepada Nabi Swa., “ Wahai Rasul Allah telah
menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang
yang melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau melebihinya, apakah yang denikian merupakan
keangkuhan?” Nabi Swa.menjawab, “ Tidak! Keangkuhan adalah meremehkan hak dan merendahkan
orang lain” (HR Ahnad dan Abu Dawud ).

Rasulullah Saw.sendiri memakai pakaian yang indahh, bahkan suatu ketika beliau memperoleh
hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu beliau naik ke mimbar, namun beliau tidak
berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya sedemikian kagum dengan baju itu, sampai
mereka memegang dan merabanya, Nabi Saw.bersabda,
“Apakah kalian mengagumi baju ini?” mereka berkata, “Kami sama sekali belum pernah melihat
pakaian lebih indah daripada ini.” Nabi bersabda : “ Sesungguhnya saputangan Sa’ bin Mu’adz di surge
jauh lebih indah daripada yang kalian lihat.”

Demikian beliau memakai baju yang indah, teatapi beliau tetap menyadari sepenuhnya tentang
keindahan surgawi.

Apakah yang Disebut Seni?


Kalau memang seperti itu pandangan islam tentang kesenian, maka mengapa warna keseniaan
Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi Saw.dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa
atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian?

Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa Nabi dan para
sahabatnya adalah karena seniman, baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan
gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian
mencetuskannya dalam bentuk karya seni. Pada masa nabi dan sahabat beliau, proses penghayatan
nilai-nilai Islami baru dimuali, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya “membersihkan”
gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga
kehati-hatian amat diperlakukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim
lainnya.

Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang ada, kalau kita menerima adanya
larangan penampilan karya seni tertentu. Apalagi seperti dikemukakan diatas bahwa apresiasi Al-Qur’an
terhadap seni sedemikian besar.

Mari kita coba lihat dua macam seni yang sering kali dinyatakan terlarang dalam islam.

a. Seni Lukis, Pahat, atau Patung


Al-Qur’an secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara tentang patung pada
tiga surat Al-Qur’an.
1. Dalam surat Al-Anbiya’(21):51-58 diuraikan tentang patung-patung yang disembah oleh
“ayah” Nabi Ibrahim dan kaumnya. Sikap Al-Qur’an terhadap patung-patung itu, bukan
sekedar menolaknya, tetapi merestui penghancurannya.

Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berpotong-potong,


kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk
bertanya) kepadanya (QS Al-Anbiya’ [21]:58 ).

Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti dari sikap Nabi Ibrahim di
atas, yaitu bahwa beliau menghancurkan semua berhala kecuali satu yang terbesar.
Membiarkan satu diantaranya dibenarkan, karena ketika itu berhala tersebut
diharapkan dapat berperan sesuai dengan ajaran tauhid. Melalui berhala itu lah Nabi
Ibrahim membuktikan kepada mereka bahwa berhala betapun besar dan indahnya tidak
wajar untuk disembah.

Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya ( penghancuran


berhala-berhala itu ). Maka tanyakan lah kepada mereka jika mereka dapat berbicara.”
Maka mereka kembali ke-Aku membuat untuk kamu dari tanah ( sesuatu )berbentuk
seperti burung kemudiaan aku menuipnya, maka ia menjadikan seekor burung seizin
Allah ( QS Ali Imran [3]:49 ).

Disini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau karena faktor


syirik tidak ditemukan, maka Allah Swt.membenarkan pembuatan patung burung oleh
Nabi Isa as. Dengan demikian, penolakan Al-qur’an bukan disebabkanoleh patungnya
melainkan karena kemusyrikan dan penyembahannya.
Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat, sehingga Allah
berfirman,

Ingatlah olehmu diwaktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti ( yang


berkuasa ) sesuadah kaum ‘Ad, dan memberikan tempat bagimu dibumi. Kamu didirikan
istana-istana di tanah yang datar, dan kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan
rumah, makaa ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di bumi
membuat kerusakan ( QS Al-A;raf[7]:74 ).

Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat ahli dalam
bidang ini sampai-sampai relief-relief yang mereka buat demikian indah bagaikan
“sesuatu yang hidup”, menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka. Kaum ini
enggan beriman, maka mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan “keahliannya”
itu, yakni keluarnya seekor unta yang benar-benar hidup dari sebuah batu karang.
Mereka melihat unta itu makan dan minum ( QS Al-A’raf [7]:73 dan QS Al-
Syu’ara’[26]:155-156), bahkan mereka meminum susunya. Ketika itu relief-relief yang
mereka lukis tidak berarti sama sekali disbanding dengan unta yang menjadi mukjizat
itu. saying mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka tidak mendapat jalan
lain kecuali menyembekih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan palu godam
terhadap mereka ( QS Al-Syams [91]: 13-15 ).
Yang digarisbawahi disini adalah pahat memahat yang mereka tekuni itu
merupakan nikmat Allah Swt.yang harus disyukuri, dan harus mengantar kepada
pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah Swt.
Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam bidang keahlian
mereka itu, pada hakikatnya merupakan “ seniman agung ‘ kalau istilah ini dapat
diterima.
Kembali pada persoalan tentang sikap islam tentang seni pahat atau patung,
maka agaknya dapat dipahami antara lain melalui penjelasan berikut.
Syaikh Muhammad Ath-Thahir bin Asyur ketika menafsirkan ayat-ayat yang
berbicara tentang patung-patung Nabi Sulaiman menegaskan bahwa islam
mengharamkan patung karena agama ini sangat tegas dalam memberantas segala
dalam bentuk kemusyrikan yang demikian mendarah daging dalam jiwa orang-orang
Arab serta orang-orang selain mereka ketika itu. sebagian besar berhala adalah patung-
patung, maka islam mengharamkannya karena alas an tersebut bukan karena dalam
patung terdapat keburukan,tetapi karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan.
Atas dasar inilah, hendaknya dipahami hadist-hadist yang melarang
menggambar dan melukis dan memahat makhluk-mahkluk hidup.
Apalagi seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan
hiasannya yang dibenarkan agama, mengabdikan nilai-nilai luhur dan menyucikannya,
serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka
sunah Nabi mendukung, tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah menjadi salah
satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad ‘Imarah
dalam bukunya, Ma’alim Al-manhaj Al-Islami yang penerbitannya disponsori oleh
Dewan Tertinggi Dakwah Islam,Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Ma’had Al-‘Alami lil
FikrAl-islami (International Institute for Islamic Thought).
2. Seni Suara
Ada tiga ayat yang dijadikan oleh sementara ulama untuk melarang paling
sedikit dalam arti “ memakruhkan “ nyayian, yaitu: surat Al-Isra’( 17 ):64, Al-Najm
(53):59-61, dan Luqman ( 31 ):6.
Surat Al-Isra’ dimaksud adalah perintah Allah pada setan:

Hasunglah siapa yang kamu sanggup ( hasung ) diantara mereka ( manusia )


dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu
yang berjalan kaki dan berserikatlahdengan mereka pada harta dan anak-
anak,berjanjilah mereka. Tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka kecuali
tipuan belaka.

Kata “ suaramu “ dalam ayat diatas menurut sementara ulama adalah nyanyian.
Tapi benarkah demikian? Membatasi arti “ suara “ dengan “ nyanyian “ merupakan
batasan yang tidak berdasar, dan kalau pun itu diartikan “ nyanyian”, maka nyanyian
yang dimaksud adalah yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat ini. Dan
suatu ketika ada nyanyian yang dilakukan oleh bukan setan, maka belum tentu
termasuk yang di kecam oleh ayat ini.
Surat Al-Najm yang dimaksud adalah :
Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini ( adanya hari kiamat )?
Kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu samidun ( QS Al-Najm [53]:59-
61 ) .

Kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara sengan arti “ dalam
keadaan menyanyi-nyanyi “. Arti ini tidak disepakati oleh ulama, karena kata tersebut
walaupun digunakan oleh suku Himyar ( salah satu suku bangsa Arab ) dalam arti
demikian. Tetapi dalam kamus-kamus bahasa seperti Mu’jam Maqayis Al-
Lughahmdijelaskan bahwa kata samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada
jalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan kanan, atau secara majazi dapat
diartikan serius atau tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya.
Dengan demikian, kata samidun dalam ayat trsebut dapat diartikan lengah,
karena seorang yang lengah biasanya serius dalam menghadapi seuatu dan tidak
mengindahkan yang lain.
Dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya Departemen Agama RI, kata samidun
diartikan seperti keterangan diatas, yakni lengah. Kalaupun kata diatas dibatasi dalam
arti nyanyian, maka nyanyian yang dikecam disini adalah yang dilakukan oleh orang-
orang yang menertawakan adanya hari kiamat, dan atau melengahkan mereka dari
peristiwa seharusnya nenilikan mereka.
Ayat ketiga yang dijadikan argumentasi keharaman menyanyi atau
mendengarkannya adalah surat Luqman ayat 6.

Diantara manusia ada yang mempergunakan lahwa hadist ( kata-kata yang


tidak berguna )untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan
menjadikan jalan Allah itu olk-olokan. Mereka itu akan memperoleh siksa yang
menghinakan.

Mereka mengartikan “ kata-kata yang tidak berguna “ ( lahwa al-hadist ) sebagai


nyanyian.
Pendapat ini jelas tidak beralasan untuk menolak seni suara,bukan saja karena
lahwa al-hadist tidak berarti nyanyain, tetapi juga karena seandainya kalimat tersebut
diartikan nyanyian, yang dikecam disini adalah bila “kata-kata yang tidak berguna “itu
menjadi alat untuk menyesatkan manusia.
Ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan menyampaikan kalimat-
kalimat yang memiliki irama dan nada. Nada dan irama itu tidak lain dari apa yang
diistilahkan oleh sementara ilmuwan Al-Qur’an dengan Musiqa Al-Qur’an ( music Al-
Qur’an). Ini belum lagi jika ditinjau dari segi ilmu tajwidyang mengatur antara lain nada
panjang pendeknya bacaan,bahkan belum lagi lagu-lagu yang diperkenalkan oleh ulama-
ulama Al-Qur’an. Imam Bukhari dan Abu Dawud meriwayatkan sabda Nabi Saw.yang
artinya “Perindahlah Al-Qur’an dengan suara kamu.”
Bukankah semua ini menunjukkan bahwa “ menyanyikan “ Al-Qur’an tidak
terlarang,dank arena itu menyanyi secara umumpun tidak terlarang kecuali nyanyian
tersebut tidak sejalan dengan tuntutan islam.

Seni Islam
Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? Ataukah harus berbicara tentang ajaran
islam? Dengan tegas jawabannya adalah:tidak. Dalam konteks ini, Muhammad Quthb menulis,

Keseniaan islam tidak harus berbicara tentang islam. Ia tidak harus berupa nasihat
langsung , atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang akidah. Seni
yang islami adalah seni yang dapat menggambarkan wujud ini, dengan “ bahasa” yang indah
serta sesuai dengancetusan fitrah. Seni islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi
pandangan islam tentang alam,hidup,dan manusia yang mengatur menujupertemuan sempurna
antara kebenaran dan keindahan. Boleh jadi seseorang menggambarkan Muhammad
Saw.dengan sangat indah sebagai contoh genius yang memiliki berbagai keistimewaan.
Penggmbaran semacam ini, belum menjadikan karay seni yang ditampilkannya adalah seni yang
islami, karena ketika itu ia baru menampilkan beliau sebagai manusia, tanpa menggambarkan
hubungan bekiau dengan hakikat mutlak yaitu Allah Swt. Penggambaran itu tidak sejalan dengan
pandangan islam menyangkut manusia ( Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah,hlm.119).

Anda boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Anda boleh menggambarkan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat dimana anda berada. Anda boleh memadukannya dengan apa saja,boleh
berimajinasi karena lapangan seni islami adal semua wujud, tetapi “ sedikit catatan “ yaitu jangan
sampai seni yang anda tampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan islam tentang wujud itu
sendiri. Jangan sampai,misalnya,pemaparan tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata
atau yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu tanahnya,tiidak disertai dengan unsure ruh ilahi
yang mendajikannya sebagai manusia.

Jika catatan ini diindahkan,pada saat itu pula, seni telah mengayunkan langkah untuk berfungsi
sebagai saran akwah islamiyah.

Islam,melalui sumber utamnya Al-Qur’an, bahkan melukiskan dengan sangat indah, kelemahan-
kelemahan manusia; gejolak nafsu berahi oun ditampilkannya, dan dirayunya muda yang ada di
rumahnya,ditutupnya semua pintu amat rapat, sambil berkata “ inilah daku”. Sesungguhnya dia telah
bermaksud melakukan itu dan pemuda itu pun bermaksud ……

Begitu sekelumit dari sisi kelemahan manusia yang diabadikan oleh Al-Qur’an dalam kisah Yusuf ( QS
12:23-24 ). Tetapi Al-Qur’an tidak larut dalam melukiskannya karena ini dapat menghayutkannya, tetapi
juga dia tidak berhenti sampai disana.
Karena itu baru aspek debu tanah manusia, kisahnya dilanjutkan dengan menggambarkan
kesadaran para pelaku, sehingga pada akhirnya bertemu debu tanah dan ruh ilahi itu pada sosok kedua
hamba Allah itu.

Allah Swt.meyakinkan manusia tentang ajrannya dengan menyentuh seluruh totalitas manusia,
termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Qur’an, antara lain melalui kisah-
kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret dari gagasan
abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya. Dapat dipastikan bahwa Al-
Qur’an menggunakan seni untuk dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita belum
memanfaatkan secara maksimal apalagi mengembangkan apa yang dicontohkan Al-Qur’an itu.

Kalau Al-Qur’an menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan gejolak hati manusia, tentu tidak
ada salahnya jika sikap dan gejolak hati itu digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan mimik,
bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah satu contoh perkembangan, karena mnjadikan Al-Qur’an
sebagai petunjuk bukan berarti kita harus menirunya dalam segala hal, tetapi dalam bidang seni
misalnya, ia berarti menghayati jiwa bimbingan dan napas penampilannya, kenudian setelah itu
mempersilahkan seniman untuk menerjemahkan jiwa dan napas tersebut dalam kreasi seninya.

Al-Qur’an misalnya menjadikan salah satu sarana pendidikan yang sejalan dengan
pandangannya tentang alam, manusia, dan kehidupan. Maka saat seseorang menggunakan kisah
sebagai sarana pendidikan seni dan hiburan dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang
jati diri manusia, menggambarkan akibat baik atau buruk dari satu pengalaman, pada saat itu seni yang
ditampilkannya adalah seni yang bernapaskan islam, walaupun dicelah-celah kisahnya dilukiskan
kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak mendorong kejatuhannya.

Al-Qur’an dan sunah misalnya melukiskan alam dengan begitu indah,berdialog, dan bersambung
rasa dengan manusia. Lukisan itu telah memerankan pandangan islam tentang alam, tidak jauh
bersabda dengan ungkapan Rasulullah Saw.ketika melukiskannya dengan bahasa lisan,yang artinya
“Gunung ini (uhud) mencintai kita dan kita pun mencintainya.”

Memang Al-Qur’an,demikian juga Sunnah,sangat memerhatikan sisi “hidup” pada


penggambaran yang diberikannya. Perhatiakn bagaimana Al-Qur’an melukiskan bagaimana tanah yang
gersang sebagai tanah yang mati, dan tanah yang subur sebagai tanah yang hidup ( QS Al-Baqarah[2]:
164 ). Bahkan dengarkan bagaimana Al-Qur’an melukiskan Alam raya ini bagai sesuatu yang hidup dan
mampu berdialog.

Kemudian Allah menuju kepada pencipta langit, dan langit ( ketika itu ) masih merupakan asap,
lalu dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “ datanglah kamu berdua menurut perintahku suka atau
tidak suka!” keduanya menjawab, “kami dating dengan ssuka hati” (QS Al-Fushshilat[41]: 11 ).

Bahkan segala sesuatu hidup bertasbih kepada Allah:


Langi yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbuh kepada-Nya ( Allah ). Tiada
sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih
mereka. Sengguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (QS Al-Isra’ [17]: 44 ).

Tentu penggambaran alam raya ini sebagai sesuatu yang hidup, bukan sekedar bertujuan seni,
tetapi untuk mengingatkan kepada manusia bahwa alam raya adalah sesuatu yang hidup dan memiliki
kepribadian. Sehingga manusia peerlu menjalin hubungan “persahabatn” dengannya,atau paling tidak
alam raya perlu dipelihara, di jaga kesimanbungannya serta dilimpahkan kepadanya rahmat dan kasih
sayang.

Seni dan Budaya Asing


Islam dapat menerima semua hal karya manusia selama sejalan dengan pandangan islam
menyanggkut wujud alam raya ini. Namun demikian, wajar dipertanyakan bagaimana sikap suatu
masyaratkat dengan kreasi seninya yang tidak sejalan dengan budaya masyarakatnya?

Dalam konteks ini, perlu digaris bawahi bahwa Al-qur’an memerintahkan kaum muslim untuk
menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan makruf dan mencegah perbuatan munkar.

Makruf merupakan budaya masyarakat sejalan dengan nilai-nilai agama, sedangkan munkar
adalah perbuatan yang tidak sejalaan dengan budaya masyarakat.

Dari sini, setiap muslim hendaknya memelihara nilai-nilai budaya yang makruf dan sejalan
dengan agama, dan ini akan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni budaya setiap
masyarakat. Seandainya pengaruh apalagi yang negatif dapat merusak adat istiadat serta kreasi seni dari
satu masyarakat, maka kaum muslim didaerah itu harus tampil mempertahankan “makruf” yang diakui
oleh masyarakatnya, serta membendung setiap usaha dari mana pun datangnya yang dapat merongrong
makruf tersebut. Bukankah Al-Qur’an memerintahkan untuk menegakkan makruf?!

Demikian, sekelumit yang dapat dikemukakan tentang seni dalam wawasan Al-Qur’an. Agaknya
kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur’an sangat menghargai segala kreasi manusia, termasuk kreasi
manusia yang lahir dari penghayatan rasa manusia terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi tersebut
sejalan dengan fitrah kesucian jiwa manusia.

Anda mungkin juga menyukai