BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Ika Berdiati (2010: 92) model pembelajaran Two Stay Two Stray
atau dua tinggal dua bertamu merupakan bagian dari pembelajaran koopertif yang
memberi pengalaman kepada siswa untuk berbagi pengetahuan baik di dalam
kelompok maupun dalam kelompok lainnya. Dalam diskusi berkelompok siswa
dituntut berperan sacara aktif untuk memecahkan suatu masalah secara bersama-sama
dengan teman sekelompoknya. Setelah itu hasil dari diskusi kelompok akan
dicocokkan dengan jawaban dengan kelompok lain yang diperoleh dari dua teman
mereka yang bertamu ke kelompok lain.
Menurut Suprijono (2010:93) model Two Stay Two Stray atau dua tinggal dua
tamu diawali dengan pembagian kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru
memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan
jawabannya. Setelah diskusi antar kelompok usai, dua orang dari masing-masing
kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu kepada kelompok yang lain.
Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas sebagai duta (tamu) mempunyai
kewajiban menerima tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka adalah menyajikan
hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua orang bertugas sebagai tamu
diwajibkan bertamu kepada semua kelompok. Jika mereka telah usai menunaikan
tugasnya, mereka kembali ke kelompok asal, baik peserta didik yang bertugas
bertamu maupun mereka yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas
hasil kerja yang telah mereka tunaikan.
5
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa model Two Stay Two Stray
merupakan model yang dapat melatih siswa untuk berdiskusi dan bekerja sama dalam
kelompok. Model pembelajaran kooperatif teknik Two Stay Two Stray diharapkan
dapat mengupayakan peningkatan keterampilan berdiskusi siswa yaitu dengan adanya
siswa yang bertamu ke kelompok lain, memacu siswa untuk berbicara dan bertanya.
Begitu pula dengan siswa yang tinggal ditempat, terpacu untuk mengutarakan
pendapatnya mengenai bahan diskusi yang sebelumnya telah didiskusikan dengan
kelompoknya. Kegiatan tersebut akan mengharuskan terjadinya interaksi untuk saling
bertukar pendapat antar siswa yang bertamu dengan siswa yang tinggal ditempat
untuk menyelesaikan masalah yang didiskusikan.
Istilah teori beban kognitif (cognitive load theory) yang biasa disingkat CLT
pertama kali diperkenalkan oleh John Sweller sekitar tahun 1980-an di Australia,
Beliau yang dijuluki sebagai penemu CLT. John Sweller adalah dosen di University
of New South Wales. Ia terfokus pada tuntutan kognitif dari metode pembelajaran
yang lebih cenderung melihat pada hasil akhir yang diperoleh dari peserta didik ketika
dihadapkan pada pemecahan masalah, metode dimana peserta didik secara mandiri
memecahkan sejumlah besar masalah untuk mengembangkan keahlian. Dengan
menggunakan metode tersebut John Sweller menganggap bahwa metode analisis hasil
akhir malah menciptakan beban kognitif yang sangat tinggi pada kapasitas
pengolahan kognitif peserta didik yang sangat terbatas. Teori John Swelller
menyimpulkan bahwa upaya kognitif dihabiskan dalam metode analisis hasil akhir
yang mengarah pada solusi masalah saja atau tujuan dari tugas yang mendesak tetapi
tidak meninggalkan sumber daya kognitif yang cukup untuk akuisisi skema yang
menjadi tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, tahap awal
perkembangan CLT adalah bagaimana membentuk hubungan antara metode
pembelajaran yang digunakan untuk mempromosikan pemecahan masalah dan beban
kognitif yang disebabkan oleh metode tersebut.
Teori beban kognitif adalah teori yang menjelaskan tentang besarnya usaha
yang dilakukan memori kerja (working memory) untuk memproses informasi dalam
waktu tertentu (Cooper, 1990).
6
Beban kognitif dalam memori kerja dibagi menjadi tiga macam berdasarkan
sumber penyebabnya yaitu:
Menurut Gagne (dalam Sagala, 2013), belajar adalah perubahan yang terjadi
dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan
hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu
stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga
pertumbuhannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami
situasi itu ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi. Gagne berkeyakinan, bahwa
belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor luar diri dimana keduanya
saling berinteraksi.
Tutor sebaya adalah bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada orang lain
dengan umur yang sebaya. Belajar bersama dalam kelompok dengan tutor sebaya
merupakan salah satu ciri pembelajaran berbasis kompetensi, melalui kegiatan berinteraksi
dan komunikasi, siswa menjadi aktif belajar, mereka menjadi efektif. Menurut Thomson
proses belajar tidak harus berasal dari guru ke siswa, melainkan dapat juga siswa saling
mengajar sesama siswa lainnya. Bahkan Lie (2008) menyatakan bahwa pengajaran oleh
rekan sebaya (tutor sebaya) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru. Hal ini
disebabkan latar belakang, pengalaman skemata para siswa mirip satu dengan lainnya
dibanding dengan skemata guru. Menurut Suharsimi Arikunto adakalanya seorang siswa
9
lebih mudah menerima keterangan yang diberikan oleh kawan sebangku atau kawan yang
lain karena tidak adanya rasa enggan atau malu untuk bertanya, guru dapat meminta
bantuan kepada anak-anak yang menerangkan kepada kawan kawannya.
Menurut Hamzah B. Uno (2011) “motivasi belajar adalah dorongan internal dan
eksternal pada siswa yang sedang belajar untuk mengadakan tingkah laku, pada umumnya
dengan beberapa indikator atau unsur-unsur yang mendukung”. Indikator-indikator yang
mendukung motivasi belajar antara lain: adanya hasrat dan keinginan berhasil, dorongan
dan kebutuhan dalam belajar, harapan dan cita-cita masa depan, penghargaan dalam
belajar, dan lingkungan belajar yang kondusif.
1. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari
empat siswa. Kelompok yang dibentukpun merupakan kelompok heterogen, misalnya
satu kelompok terdiri dari 1 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan
sedang, dan 1 siswa berkemampuan rendah. Hal ini dilakukan karena pembelajaran
kooperatif tipe Two Stay Two Stray bertujuan untuk saling membelajarkan (peer
Tutoring) dan saling mendukung.
2. Guru memberikan sub pokok bahasan pada tiap-tiap kelompok untuk dibahas
bersama-sama dengan anggota kelompok masing-masing.
3. Siswa bekerja sama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang. Hal ini
bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat terlibat secara
aktif dalam proses belajar mengajar.
5. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan
informasi mereka kepada tamu dari kelompok lain.
6. Tamu mohon berdiri dan kembali ke kelompok mereka sendiri untuk melaporkan
temuan mereka dari kelompok lain.
Menurut Lie (2000) Pembelajaran kooperatif model two stay two stray (TSTS) terdiri dari
beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Tahap persiapan
Pada tahap persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah membuat RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran), sistem penilaian, menyiapkan LKS (lembar kerja siswa) dan
membagi siswa ke dalam beberapa kelompok dengan masing-masing beranggotakan 4 siswa
dan setiap anggota kelompok harus heterogen dalam hal jenis kelamin dan prestasi belajar.
2. Presentasi guru
Pada tahap ini, guru menyampaikan indikator pembelajaran dan menjelaskan materi
secara garis besarnya sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat sebelumnya.
3. Kegiatan kelompok
Dalam kegiatan ini, pembelajarannya menggunakan lembar kegiatan yang berisi
tugas-tugas yang harus dipelajari oleh tiap-tiap siswa dalam satu kelompok. Setelah
menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan
konsep materi dan klasifikasinya, siswa mempelajarinya dalam kelompok kecil yaitu
mendiskusikan masalah tersebut bersama anggota kelompoknya. Masing-masing kelompok
menyelesaikan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara mereka sendiri.
Masing-masing siswa boleh mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan dari
temannya. Kemudian dua dari empat anggota dari masing-masing kelompok meninggalkan
kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain secara terpisah, sementara dua anggota
yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke
tamu mereka. Setelah memperoleh informasi dari dua anggota yang tinggal, tamu mohon diri
dan kembali ke kelompok masing-masing dan melaporkan temuan dari kelompok lain serta
mencocokkan hasil kerja mereka.
4. Presentasi kelompok
Setelah belajar dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan, salah satu
kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk dikomunikasikan atau
didiskusikan dengan kelompok lainnya. Dalam hal ini masing-masing siswa boleh
mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban atapun tanggapan kepada kelompok yang
sedang mempresentasikan hasil diskusinya. Kemudian guru membahas dan mengarahkan
siswa ke jawaban yang benar.
12
Suatu model pembelajaran pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Adapun kelebihan
dari model Two Stay Two Stray (Lie, 2002) adalah sebagai berikut.
1. Menurut Lie (2008) bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (tutor sebaya) ternyata lebih
efektif dari pada pengajaran oleh guru.
2. Teori beban kognitif adalah teori yang menjelaskan tentang besarnya usaha yang
dilakukan memori kerja (working memory) untuk memproses informasi dalam waktu
tertentu (Cooper, 1990).
3. Dalam Hosnan (2014) materi pelajaran harus mempunyai subtopik yang memiliki
kedudukan yang setara/sama.
5. Dalam Almeda (2017) sekolah perlu menyediakan perpustakaan kelas atas yang
menyediakan informasi dan opini dari berbagai macam media; yang juga dapat
menyediakan akses ke sumber daya luar dengan baik dan relevan, dan juga
mengunjungi tempat-tempat penting keberadaan sumber.