Anda di halaman 1dari 12

4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS)


dikembangkan oleh Spencer Kagan (1990). Metode in bisa digunakan dalam semua
mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta didik. Metode Two Stay Two
Stray merupakan sistem pembelajaran kelompok dengan tujuan agar siswa dapat
saling bekerja sama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah, dan
saling mendorong satu sama lain untuk berprestasi. Metode ini juga melatih siswa
untuk bersosialisasi dengan baik (Huda, 2014:207).

Menurut Ika Berdiati (2010: 92) model pembelajaran Two Stay Two Stray
atau dua tinggal dua bertamu merupakan bagian dari pembelajaran koopertif yang
memberi pengalaman kepada siswa untuk berbagi pengetahuan baik di dalam
kelompok maupun dalam kelompok lainnya. Dalam diskusi berkelompok siswa
dituntut berperan sacara aktif untuk memecahkan suatu masalah secara bersama-sama
dengan teman sekelompoknya. Setelah itu hasil dari diskusi kelompok akan
dicocokkan dengan jawaban dengan kelompok lain yang diperoleh dari dua teman
mereka yang bertamu ke kelompok lain.

Menurut Suprijono (2010:93) model Two Stay Two Stray atau dua tinggal dua
tamu diawali dengan pembagian kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru
memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan
jawabannya. Setelah diskusi antar kelompok usai, dua orang dari masing-masing
kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu kepada kelompok yang lain.
Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas sebagai duta (tamu) mempunyai
kewajiban menerima tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka adalah menyajikan
hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua orang bertugas sebagai tamu
diwajibkan bertamu kepada semua kelompok. Jika mereka telah usai menunaikan
tugasnya, mereka kembali ke kelompok asal, baik peserta didik yang bertugas
bertamu maupun mereka yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas
hasil kerja yang telah mereka tunaikan.
5

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa model Two Stay Two Stray
merupakan model yang dapat melatih siswa untuk berdiskusi dan bekerja sama dalam
kelompok. Model pembelajaran kooperatif teknik Two Stay Two Stray diharapkan
dapat mengupayakan peningkatan keterampilan berdiskusi siswa yaitu dengan adanya
siswa yang bertamu ke kelompok lain, memacu siswa untuk berbicara dan bertanya.
Begitu pula dengan siswa yang tinggal ditempat, terpacu untuk mengutarakan
pendapatnya mengenai bahan diskusi yang sebelumnya telah didiskusikan dengan
kelompoknya. Kegiatan tersebut akan mengharuskan terjadinya interaksi untuk saling
bertukar pendapat antar siswa yang bertamu dengan siswa yang tinggal ditempat
untuk menyelesaikan masalah yang didiskusikan.

2.2 Teori Yang Mendasari Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

2.2.1 Teori Beban Kognitif

Istilah teori beban kognitif (cognitive load theory) yang biasa disingkat CLT
pertama kali diperkenalkan oleh John Sweller sekitar tahun 1980-an di Australia,
Beliau yang dijuluki sebagai penemu CLT. John Sweller adalah dosen di University
of New South Wales. Ia terfokus pada tuntutan kognitif dari metode pembelajaran
yang lebih cenderung melihat pada hasil akhir yang diperoleh dari peserta didik ketika
dihadapkan pada pemecahan masalah, metode dimana peserta didik secara mandiri
memecahkan sejumlah besar masalah untuk mengembangkan keahlian. Dengan
menggunakan metode tersebut John Sweller menganggap bahwa metode analisis hasil
akhir malah menciptakan beban kognitif yang sangat tinggi pada kapasitas
pengolahan kognitif peserta didik yang sangat terbatas. Teori John Swelller
menyimpulkan bahwa upaya kognitif dihabiskan dalam metode analisis hasil akhir
yang mengarah pada solusi masalah saja atau tujuan dari tugas yang mendesak tetapi
tidak meninggalkan sumber daya kognitif yang cukup untuk akuisisi skema yang
menjadi tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, tahap awal
perkembangan CLT adalah bagaimana membentuk hubungan antara metode
pembelajaran yang digunakan untuk mempromosikan pemecahan masalah dan beban
kognitif yang disebabkan oleh metode tersebut.

Teori beban kognitif adalah teori yang menjelaskan tentang besarnya usaha
yang dilakukan memori kerja (working memory) untuk memproses informasi dalam
waktu tertentu (Cooper, 1990).
6

Menurut Kalyuga (2011) teori beban kognitif merupakan teori pembelajaran


yang menjelaskan keterlibatan dengan instruksional karakteristik arsitektur kognitif
manusia. Komponen utama dari arsitektur kognitif manusia adalah memori jangka
panjang (long term memory) dan memori jangka pendek (short term memory).
Memori jangka panjang memiliki sifat dalam penyimpanan informasi yang tak
terbatas artinya mampu menyimpan informasi dalam jumlah banyak dan dalam kurun
waktu yang lama. Teori beban kognitif dibangun dari konstruksi utama oleh beban
kognitif. Beban kognitif merupakanusaha mental yang harus dilakukan dalam memori
kerja untuk memproses materi yang diterima pada selang waktu tertentu.

Beban kognitif dalam memori kerja dibagi menjadi tiga macam berdasarkan
sumber penyebabnya yaitu:

1. Beban Kognitif Intrinsik (Intrinsic Cognitive Load)

Beban kognitif intrinsik (intrinsic cognitive load) adalah beban kognitif


yang disebabkan oleh tingkat kompleksitas materi yang harus diproses secara
bersamaan dalam memori kerja untuk mengkonstruksi skema yang sedang
dipelajari. Menurut Sweller beberapa materi yang sulit dipahami dan dipelajari
sering kali mengesampingkan bagaimana materi tersebut dibelajarkan. Faktor
utama yang mempengaruhi yaitu kerumitan materi pembelajaran yang harus
dipahami dan diolah oleh memori kerja, dan juga keahlian siswa dalam belajar.

2. Beban Kognitif Ekstrinsik (Exstraneous Cognitive Load)

Beban kognitif ekstrinsik (exstraneous cognitive load) adalah beban kognitif

yang disebabkan oleh desain instruksional dalam pembelajaran. Sepenuhnya beban


kognitif ekstrinsik ini berasal dari kegiatan intruksi pembelajaran, artinya beban ini
disebabkan oleh bagaimana cara penyampaian materi pada saat pembelajaran. Dalam
kegiatan pembelajaran, beban kognitif ekstrinsik merupakan beban yang dikenakan
karena ketidaksesuaian cara penyampaian materi pada siswa.

3. Beban Kognitif Konstruktif (Germane Cognitive Load)

Beban kognitif konstruktif (germane cognitive load) adalah beban kognitif


yang disebabkan oleh upaya yang dilakukan siswa dalam memahami materi yang
7

sedang dipelajari, seperti halnya proses konstruksi pengetahuan siswa dengan


pengetahuan yang dimilikinya. Paas & van Merriënboer mengatakan bahwa beban
kognitif konstruktif merupakan beban pengajaran yang efektif terhadap pembelajaran.
Hal ini dikarenakan beban kognitif konstruktif memiliki hubungan positif dengan
pembelajaran, yaitu merupakan hasil dari proses mengolah dan mengkonstruksi
pengetahuan awal siswa, dan menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Sehingga beban kognitif konstruktif dibutuhkan untuk mendorong
memori kerja membangun dan menyampaikan skemata kedalam memori jangka
panjang.

2.2.2 Teori Belajar Kognitifisme dan Konstruktivisme

Teori belajar yang mendukung faham kognivisme dan konstrukivisme


adalah teori belajar Piaget, Bruner, Vygotsky, dan Gagne.

1. Teori Belajar Piaget

Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan


unteraksi aktif anak dengan lingkungan, pengetahuan yang datang dari tindakan.
Piaget meyakini bahawa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi
lingkungan penting bagi proses perubahan perkembangan anak. Interkasi dengan
teman sebaya, khususnya ketika beragumentasi dan berdiskusi membantu
memperjelas pemikiran yang akhirnya memuat pikiran tersebut menjadi logis.

Menurut Trianto (2009), teori Piaget mewakili konstrukivisme yang


memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif
membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-
pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Piaget mengemukakan bahwa
pengalaman tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui
tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak tergantung pada seberapa jauh
mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Teori Belajar Vygotsky

Menurut Vygotsky (dalam Herpratiwi, 2009), bahwa interaksi memegang


peranan terpenting dalam perkembangan kognitif anak, anak belajar melalui 2
tahapan pertama melalui interaksi dengan orang lain baik keluarga, teman sebaya,
8

maupun gurunya, kemudian secara individual yaitu dengan cara menginteraksikan


apa yang ia pelajari dari orang lain ke dalam struktur mentalnya.

Pentingnya interaksi sosial dalam proses belajar juga dikemukakan oleh


Vygotsky bahwa belajar adalah proses sosial kontruksi yang dihubungkan oleh
bahasa dan interaksi sosial. Perspektif ini memandang bahwa membahasakan
sains dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya menginterpretasikan kehidupan
sehari-hari dalam sains adalah sesuau yang penting. Berdasarkan hal tersebut
banyak penganut paham ini yang menyerukan untuk meningkatkan penggunaan
aktivitas kooperatif di sekolah. Mereka beralasan bahwa interaksi diantara siswa
dalam tugas-tugas pembelajaran akan terjadi dengan sendirinya untuk
mengembangkan pencapaian prestasi belajar siswa.

3. Teori Belajar Gagne

Menurut Gagne (dalam Sagala, 2013), belajar adalah perubahan yang terjadi
dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan
hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu
stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga
pertumbuhannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami
situasi itu ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi. Gagne berkeyakinan, bahwa
belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor luar diri dimana keduanya
saling berinteraksi.

2.2.3 Tutor Sebaya

Tutor sebaya adalah bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada orang lain
dengan umur yang sebaya. Belajar bersama dalam kelompok dengan tutor sebaya
merupakan salah satu ciri pembelajaran berbasis kompetensi, melalui kegiatan berinteraksi
dan komunikasi, siswa menjadi aktif belajar, mereka menjadi efektif. Menurut Thomson
proses belajar tidak harus berasal dari guru ke siswa, melainkan dapat juga siswa saling
mengajar sesama siswa lainnya. Bahkan Lie (2008) menyatakan bahwa pengajaran oleh
rekan sebaya (tutor sebaya) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru. Hal ini
disebabkan latar belakang, pengalaman skemata para siswa mirip satu dengan lainnya
dibanding dengan skemata guru. Menurut Suharsimi Arikunto adakalanya seorang siswa
9

lebih mudah menerima keterangan yang diberikan oleh kawan sebangku atau kawan yang
lain karena tidak adanya rasa enggan atau malu untuk bertanya, guru dapat meminta
bantuan kepada anak-anak yang menerangkan kepada kawan kawannya.

2.2.4 Teori Motivasi Belajar

Winkel (2008) menjelaskan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya


penggerak psikis didalam siswa yang menimbulkan kegiatan belajar itu demi
mencapai suatu tujuan.

Sardiman A. M (2007) menjelaskan motivasi belajar adalah seluruh daya


penggerak didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar yang menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar yang memberikan arah pada kegiatan belajar
sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat dicapai.

Menurut Hamzah B. Uno (2011) “motivasi belajar adalah dorongan internal dan
eksternal pada siswa yang sedang belajar untuk mengadakan tingkah laku, pada umumnya
dengan beberapa indikator atau unsur-unsur yang mendukung”. Indikator-indikator yang
mendukung motivasi belajar antara lain: adanya hasrat dan keinginan berhasil, dorongan
dan kebutuhan dalam belajar, harapan dan cita-cita masa depan, penghargaan dalam
belajar, dan lingkungan belajar yang kondusif.

2.2.5 Dinamika Kelompok

Menurut Wolman (1973) Dinamika kelompok adalah studi tentang hubungan


sebab akibat yang ada dalam kelompok, tentang perkembangan hubungan sebab
akibat yang terjadi didlam kelompok, tentang teknik-teknik untuk mengubah
hubungan interpersonal dan perilaku dalam kelompok. Dinamika kelompok meliputi
penelitian dan solusi dari masalah yang terjadi ketika orang bekerja dalam kelompok.

2.3 Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

Pembelajaran kooperatif tipe TSTS memiliki beberapa karakteristik, yaitu :


1. Positive Interdepedence, yaitu hubungan timbal balik yang didasari adanya
kepentingan yang bersama diantara anggota kelompok
2. Interaction Face to Face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antar siswa tanpa
adanya perantara.
10

3. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota


kelompok sehingga termotivasi untuk membantu temannya.
4. Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah (proses
kelompok)
5. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu

2.4 Tahap- Tahap Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS


Adapun langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two
Stray menurut Huda (2015) adalah sebagai berikut:

1. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari
empat siswa. Kelompok yang dibentukpun merupakan kelompok heterogen, misalnya
satu kelompok terdiri dari 1 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan
sedang, dan 1 siswa berkemampuan rendah. Hal ini dilakukan karena pembelajaran
kooperatif tipe Two Stay Two Stray bertujuan untuk saling membelajarkan (peer
Tutoring) dan saling mendukung.

2. Guru memberikan sub pokok bahasan pada tiap-tiap kelompok untuk dibahas
bersama-sama dengan anggota kelompok masing-masing.

3. Siswa bekerja sama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang. Hal ini
bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat terlibat secara
aktif dalam proses belajar mengajar.

4. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya


untuk bertemu ke kelompok lain.

5. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan
informasi mereka kepada tamu dari kelompok lain.

6. Tamu mohon berdiri dan kembali ke kelompok mereka sendiri untuk melaporkan
temuan mereka dari kelompok lain.

7. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.

8. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka.


11

Menurut Lie (2000) Pembelajaran kooperatif model two stay two stray (TSTS) terdiri dari
beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Tahap persiapan
Pada tahap persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah membuat RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran), sistem penilaian, menyiapkan LKS (lembar kerja siswa) dan
membagi siswa ke dalam beberapa kelompok dengan masing-masing beranggotakan 4 siswa
dan setiap anggota kelompok harus heterogen dalam hal jenis kelamin dan prestasi belajar.
2. Presentasi guru
Pada tahap ini, guru menyampaikan indikator pembelajaran dan menjelaskan materi
secara garis besarnya sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat sebelumnya.
3. Kegiatan kelompok
Dalam kegiatan ini, pembelajarannya menggunakan lembar kegiatan yang berisi
tugas-tugas yang harus dipelajari oleh tiap-tiap siswa dalam satu kelompok. Setelah
menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan
konsep materi dan klasifikasinya, siswa mempelajarinya dalam kelompok kecil yaitu
mendiskusikan masalah tersebut bersama anggota kelompoknya. Masing-masing kelompok
menyelesaikan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara mereka sendiri.
Masing-masing siswa boleh mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan dari
temannya. Kemudian dua dari empat anggota dari masing-masing kelompok meninggalkan
kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain secara terpisah, sementara dua anggota
yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke
tamu mereka. Setelah memperoleh informasi dari dua anggota yang tinggal, tamu mohon diri
dan kembali ke kelompok masing-masing dan melaporkan temuan dari kelompok lain serta
mencocokkan hasil kerja mereka.
4. Presentasi kelompok
Setelah belajar dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan, salah satu
kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk dikomunikasikan atau
didiskusikan dengan kelompok lainnya. Dalam hal ini masing-masing siswa boleh
mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban atapun tanggapan kepada kelompok yang
sedang mempresentasikan hasil diskusinya. Kemudian guru membahas dan mengarahkan
siswa ke jawaban yang benar.
12

5. Evaluasi kelompok dan penghargaan


Pada tahap evaluasi ini, untuk mengetahui seberapa besar kemampuan siswa dalam memahai
materi yang telah diberikan dapat dilihat dari seberapa banyak pertanyaan yang diajukan dan
ketepatan jawaban yang telah diberikan atau diajukan.

Tabel Langkah-langkah Model TSTS di Kelas

Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Teori

Tahap Persiapan a. Memotivasi siswa a. Memusatkan perhatian Konstruktivisme,


(memfokuskan perhatian terhadap apa yang akan Motivasi,
siswa) dengan cara Tanya dipelajari. dinamika
jawab berkaitan dengan b. Mencatat tujuan kelompok
materi dalam kehidupan pembelajaran untuk
sehari-hari. mencocokkannya dengan
b. Mengenalkan aturan dan subtopik yang akan
tata cara pelaksanaan dipilih
TSTS c. Membentuk kelompok
c. Menyampaikan dan secara heterogen
meminta siswa mencatat
tujuan pembelajaran
d. Menjelaskan kepada siswa
bagaimana caranya
membentuk kelompok
belajar dan membantu
setiap kelompok
melakukan transisi secara
efisien
e. Membagi siswa dalam
beberapa kelompok yang
setiap kelompoknya
terdiri dari 4 siswa.

Presentasi guru a. menyampaikan indikator a. Mendengarkan dengan kognitivisme,


pembelajaran baik dinamika
b. menjelaskan materi b. mencari berbagai sumber kelompok,
secara garis besarnya belajar yang relevan dan motivasi belajar
sesuai dengan rencana terpercaya seperti buku,
pembelajaran yang telah LKS, internet, dll.
dibuat sebelumnya.
13

Kegiatan a. memberikan tugas pada a. Mendengarkan Konstruktivisme,


kelompok setiap kelompok siswa pembagian tugas dari motivasi belajar,
b. membimbing kelompok- guru dinamika
kelompok belajar pada b. Mendiskusikan dengan kelompok, beban
saat mereka mengerjakan teman sekelompok kognitif, tutor
tugas c. Mencari informasi / data sebaya
c. mengintruksikan 2 dari kelompok lain
anggota dari masing-
masing kelompok untuk
meninggalkan
kelompoknya dan
masing-masing bertamu
kelompok lain

Presentasi a. Mengintruksikan siswa a. Siswa yang tinggal Konstruktivisme,


kelompok yang tinggal di dalam mempersentasikan hasil dinamika
kelompok bertugas diskusi ke kelompok kelompok,
memberikan informasi tamu motivasi belajar
dan hasil kerja mereka ke b. Mendiskusikan data
tamu yang diperoleh dari
b. Mengintruksikan siswa kelompok lain
untuk kembali ke dalam c. Menganalisis yang
kelompok asal dan memberi pembenaran
mendiskusikan hasil dari keputusan yang
diskusinya dibuat kelompok diskusi
c. Mengintruksikan setiap dari data yang diperoleh
kelompok untuk dari kelompok lain dan
membandingkan dan teoi pendukung dan
membahas hasil membuat laporan
pekerjaan mereka berdasarkan sumber
d. Mengintruksi siswa untuk yang didapatkan
mempersentasikan hasil d. Siswa maju ke depan
kerja dari setiap kelas untuk
kelompok mempersentasikan hasil
e. Memberi kesempatan diskusi yang telah
siswa untuk memberi dilakukan
pendapat/pertanyaan e. Siswa yang lain
mendengarkan dan
memberi tanggapan
berupa pertanyaan
14

terhadap kelompok yang


mempersentasikan hasil
diskusinya.
Evaluasi a. Menguatkan kesimpulan a. Kelompok lain Motivasi,
kelompok dan yang diperoleh sesuai memberikan tanggapan dinamika
penghargaan hasil kerja kelompok b. Siswa mendengarkan kelompok,
b. Mengevaluasi hasil informasi kognitivisme
belajar c. Siswa mencatat hal-hal
c. Mengumunkan kelompok penting
terbaik dan memberikan d. Menghargai
penghargaan penghargaan dari guru

2.5 Kelebihan Dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

Suatu model pembelajaran pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Adapun kelebihan
dari model Two Stay Two Stray (Lie, 2002) adalah sebagai berikut.

1. Memberikan kesempatan terhadap siswa untuk menentukan konsep sendiri dengan


cara memecahkan masalah Dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan kreatifitas dalam
melakukan komunikasi dengan tema sekelompoknya
3. Kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna
4. Lebih berorientasi pada keaktifan.
5. Diharapkan siswa akan berani mengungkapkan pendapatnya
6. Siswa dapat meningkatkan kemapuan berpikir kritis
7. Menambah kekompakan dan rasa percaya diri siswa.
8. Kemampuan berbicara siswa dapat ditingkatkan.
9. Membantu meningkatkan minat dan prestasi belajar

Sedangkan kekurangan dari model Two Stay Two Stray adalah:

1. Membutuhkan waktu yang lama


2. Siswa yang tidak terbiasa belajar kelompok merasa asing dan sulit untuk bekerjasama
sehingga siswa cenderung tidak mau belajar dalam kelompok
3. Bagi guru, membutuhkan banyak persiapan (materi, dana dan tenaga)
15

4. Guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas.

2.6 Kondisi Yang Mendukung Pelaksanaan TSTS

1. Menurut Lie (2008) bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (tutor sebaya) ternyata lebih
efektif dari pada pengajaran oleh guru.

2. Teori beban kognitif adalah teori yang menjelaskan tentang besarnya usaha yang
dilakukan memori kerja (working memory) untuk memproses informasi dalam waktu
tertentu (Cooper, 1990).

3. Dalam Hosnan (2014) materi pelajaran harus mempunyai subtopik yang memiliki
kedudukan yang setara/sama.

4. Menurut Trianto (2009), teori Piaget mewakili konstrukivisme yang memandang


perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun
sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-
interaksi mereka.

5. Dalam Almeda (2017) sekolah perlu menyediakan perpustakaan kelas atas yang
menyediakan informasi dan opini dari berbagai macam media; yang juga dapat
menyediakan akses ke sumber daya luar dengan baik dan relevan, dan juga
mengunjungi tempat-tempat penting keberadaan sumber.

Anda mungkin juga menyukai