MUHAMMAD FARHAN
0906634901
1 Universitas Indonesia
NPM : 0906634901
Tanda Tangan :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan juga
rahmat-Nya, saya akhirnya dapat menyelesaikan tugas karya akhir ini. Penulisan tugas
karya akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Sosial Jurusan Kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia.
Tugas Karya Akhir ini membahas mengenai permasalahan yang telah begitu berat
melanda negeri ini yakni korupsi. Sudah terlalu banyak kerugian dan derita yang dihadapi
oleh bangsa ini akibat tangan-tangan kotor para koruptor. Sudah selayaknya Indonesia
melakukan gebrakan perubahan baru dalam memberantas korupsi agar akar permasalahan
ini dapat benar-benar tercabut. Tugas Karya Akhir ini adalah salah satu upaya penulis
dalam kontribusinya pada perubahan negeri ini dalam memberantas korupsi, sesuai
dengan kapasitasnya selaku akademisi.
Akhirnya, penulis berharap Allah SWT akan berkenan dalam membalas segala kebaikan
seluruh pihak yang telah membantu penulis selama ini. Semoga tugas karya akhir ini
tidak hanya menjadi sebuah hiasan di jajaran rak buku, namun dapat memberikan
kebermanfaatan bagi perubahan Indonesia dan pengembangan ilmu pengetahuan
manusia.
Penulis
Universitas Indonesia
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa selesainya Tugas Akhir Ini tidak lepas dari peran
mereka yang senantiasa memberikan bimbingan, bantuan, dan dukungan bagi penulis.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Muhammad Mustofa, MA, selaku dosen pembimbing yang telah merelakan
waktu, tenaga, serta menyumbang pemikirannya yang brilian untukmengarahkan
penulis dalam proses penyusunan tugas karya akhir ini
2. Bapak Dr. Ferdinand T. Andi Lolo S.H., LL.M., Ph.D, selaku penguji ahli yang telah
memberikan masukan dan kritik yang memperluas pengetahuan penulis dalam
menyempurnakan tulisan ini
3. Mas Iqrak Sulihin S.Sos., M.Si., selaku ketua sidang, dan Bang M. Irvan Olii S.Sos.,
M.Si., selaku sekretaris sidang, yang telah memberikan masukan yang amat berharga
bagi penyempurnaan tulisan ini
4. Mbak Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si, selaku pembimbing akademik penulis
selama menempuh proses studi kriminologi. Terima kasih atas masukan dan
bimbingannya selama ini
5. Mas Arief Effendy, yang selama ini selalu membantu penulis dalam menyelesaikan
segala urusan administrasi selama proses studi
6. Orangtua dan adik-adik, yang selalu mendukung penulis dalam menempuh
semuanya, baik moral maupun materi. Terima kasih penulis ucapkan sedalam-
dalamnya. Berkat restu mereka, penulis dapat menyelesaikan studinya
7. Om Fahri Hamzah, sebagai pencetus ide awal topik Tugas Karya Akhir ini, dan
pembimbing non formal bagi penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Tulisan-
tulisannya sangat menginspirasi selama ini. Terima kasih dan semoga selalu
dilindungi oleh Allah SWT
8. Even Apillyadi, anda yang memberi ide tentang Hong Kong bung. Doakan penulis
agar segera menyusul kesuksesan anda. Gilang Reffi dan Galih Ramadian Nugroho,
terimakasih atas bimbingan teknis pengutipan dan metode melalui chat. Rahmi
Suci Ramadhani dan Syafiq Al Madihidj, terima kasih atas bantuan membuat
abstraknya. Delia Wildianti, terima kasih atas bantuan dalam membuat daftar
isinya.
9. Mia Amelinda, rekan bimbingan dan berjuang mengejar deadline. M.Topan Raharjo,
Universitas Indonesia
rekan bimbingan dan berjuang yang berpengalaman dalam sidang. Okta Nugraha,
rekan berjuang dan rekan mengoreksi revisi. Zikriana Novitia dan Yogi Gunawan
yang menonton sidang.
10. Rekan-rekan Mares Club dan Tim Turbulence, Askar, Insan, Ardi, Rachmat, Jodi,
Angga, Ovan, Lydia, Rizky, Bagas, serta rekan-rekan Kriminologi 2009
11. Engkau, waktu akan menjawab semua.
12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah mendukung
penulis dalam menyelesaikan tulisan ini
Universitas Indonesia
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format- kan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 17 Januari 2013
Yang menyatakan
(...............................................................)
Muhammad Farhan
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Tugas karya akhir ini membahas perbandingan pola kerja yang dilakukan oleh
lembaga antikorupsi di Indonesia dan Hong Kong yakni Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Independent Commission Against Corruption (ICAC). Penulisan ini dilakukan
untuk mengetahui pola kerja apa yang membedakan antara kedua lembaga sehingga
ICAC dianggap lebih berhasil dalam memberantas korupsi daripada KPK. Dengan
demikian, maka dapat diketahui langkah evaluasi apa yang dibutuhkan oleh KPK. Hasil
penulisan menyarankan bahwa diperlukan adanya penyempurnaan undang-undang
pendukung KPK, penyusunan ulang rencana strategi KPK secara efektif dan efisien, serta
penyempurnaan pola kelembagaan di dalam tubuh KPK.
Kata kunci: pola kerja, korupsi, pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Independent Commission Against Corruption
ABSTRACT
This paper discusses the comparison of work pattern among the anti-corruption
institutions in Indonesia and Hong Kong, known consecutively as Corruption Eradication
Commission (KPK) and Independent Commission Against Corruption (ICAC). This
paper aims to determine the differences of work pattern between those two institutions as
ICAC is deemed to achieve better results in combating corruption than KPK. Thus, the
discussion of this paper is able to find out the evaluation steps which should be done by
KPK. The results suggest that the legislation supporting the KPK is need to be improved.
In addition, redesigning KPK's strategic plans is necessary to be done effectively and
efficiently, as well as improvement in institutional pattern within KPK's body.
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Universitas Indonesia
5. PENUTUP......................... .......................................................................................... 89
5.1Kesimpulan ...................................................................................................... 89
5.2 Saran ................................................................................................................ 90
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
Akan tetapi sejak KPK berdiri hingga saat ini, kasus-kasus korupsi tetap
saja bermunculan di berbagai media massa. Masyarakat dapat melihat bahwa
hampir setiap tahun terdapat kasus korupsi baru yang terkuak oleh media. Contoh
kasus yang sempat muncul adalah kasus Century. Kasus ini benar-benar
menghebohkan masyarakat karena diduga merugikan negara sebanyak Rp 6,7
Triliun. Ini bermula dari kesulitan yang dialami oleh Bank Century. Karena
dikhawatirkan akan berdampak sistemik apabila dibiarkan bangkrut, pemerintah
memberikan dana talangan kepada bank ini. Belakangan, hal tersebut terkuak
menjadi masalah besar yang diduga terdapat praktik korupsi di dalamnya. Kasus
ini menjadi kasus yang cukup pelik dan kompleks disebabkan adanya dugaan
keterlibatan dari penguasa yang sedang memangku jabatan, yang otomatis telah
“mengguncang” konstalasi politik dan menimbulkan ketidakpastian (Hamzah,
2011). Kasus ini juga mengundang perbincangan yang dikaitkan dengan isu
pelemahan KPK dan keterlibatan dari pejabat teras POLRI (Atmasasmita, 2012).
Kasus lain yang juga sempat menyita perhatian masyarakat adalah kasus proyek
Hambalang. Di dalam kasus Hambalang ini disinyalir terjadi aliran dana suap
yang mengalir kepada salah satu pihak pejabat di parlemen. Dana suap ini berasal
dari kontraktor proyek pembangunan tersebut, yakni PT Adhi Karya. Dana yang
masuk kepada salah satu pejabat tersebut diduga digunakan untuk membantu
pemenangan dalam pemilihan internal ketua umum partai (nasional.kompas.com,
2012).
Maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi belakangan ini menunjukkan
bahwa perlu dilakukan evaluasi terhadap langkah-langkah kebijakan atas
penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. Lembaga Transparency
International memiliki suatu standar kuantitatif untuk menilai tingkat persepsi
korupsi suatu negara yang disebut CPI atau Corruption Perception Index. Indeks
ini adalah merupakan pengukuran persepsi yang diambil dari gabungan hasil
survey. Setiap tahun, Transparency International mengeluarkan publikasi CPI
secara global yang berisi peringkat negara-negara di dunia dalam hal persepsi
korupsi. Tujuan peluncuran CPI ini secara rutin untuk selalu mengingatkan bahwa
korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia (ti.or.id, 2011).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
mengubah pola perilaku dari masyarakat Hong Kong. Langkah yang ditempuh
oleh ICAC tidak hanya dengan melakukan penindakan terhadap para koruptor,
tetapi yang lebih utama adalah dengan melakukan pencegahan di segala lini.
ICAC menggunakan seluruh sumber dayanya untuk mengubah perilaku dari
masyarakat (Skidmore, 1996).
Setiap tahunnya, ICAC mengeluarkan laporan survey yang berisi hasil
survey terhadap masyarakat Hong Kong terkait dengan topik korupsi dan ICAC
itu sendiri. Survey dilakukan oleh lembaga riset independen yang dipilih dengan
melalui mekanisme tender sehingga terjaga objektivitasnya (icac.org.hk). Pada
tahun 2011, seperti di tahun sebelumnya, hasil survey tersebut menunjukkan
kinerja ICAC terhadap penanganan korupsi yang baik di Hong Kong. Dari sekian
banyak pertanyaan, salah satunya adalah mengenai kepuasan masyarakat terhadap
ICAC. Sebanyak 87,8% responden berpendapat bahwa ICAC bekerja secara
efektif dan sebanyak 98% responden mengemukakan bahwa mereka mendukung
ICAC. Dari 98% responden yang mendukung ICAC, sebanyak 32,3% beralasan
bahwa ICAC mampu menjaga kondisi masyarakat yang bersih dari korupsi.
Sebanyak 27,9% mengatakan bahwa ICAC mampu memunculkan keadilan, dan
sebanyak 16,5% mengatakan bahwa ICAC telah melakukan investigasi yang
efisien terhadap kasus-kasus korupsi. Data-data hasil survey tersebut
menunjukkan bahwa keberhasilan ICAC memang diakui bahkan oleh masyarakat
Hong Kong sendiri (ICAC Annual Survey 2011, 2011).
1.2 Permasalahan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1. BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang penulisan, rumusan masalah,
pertanyaan penulisan, tujuan penulisan, signifikansi penulisan, metode analisa,
dan sistematika penulisan
2. BAB II KAJIAN LITERATUR
Dalam bab ini dibahas mengenai beragam konsep yang relevan dengan topik
penulisan.
3. BAB III POLA KERJA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN
INDEPENDENT COMMISSION AGAINST CORRUPTION
Dalam bab ini dibahas mengenai pola kerja apa saja yang dilakukan oleh kedua
lembaga
4. BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN POLA KERJA
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DAN INDEPENDENT COMMISSION
AGAINST CORRUPTION
Dalam bab ini dilakukan analisis perbandingan terhadap pola kerja yang
dilakukan oleh kedua lembaga
5. BAB V PENUTUP
Dalam bab ini dibahas mengenai kesimpulan serta saran dari penulisan ini.
Universitas Indonesia
BAB II
KAJIAN LITERATUR
9 Universitas Indonesia
Dikaitkan dengan pola kerja sebuah organisasi maka sifat keteraturan dari kerja
sebuah organisasi tersebut tentunya dapat dimanfaatkan untuk memahami lebih
jauh mengenai organsiasi tersebut.
2.2 Korupsi
Saat ini, telah banyak studi yang dilakukan terkait dengan permasalahan
korupsi. Studi-studi tersebut memunculkan banyak definisi korupsi. Pada
dasarnya, tidak mudah untuk merumuskan definisi korupsi secara seragam. Hal ini
disebabkan pemahaman atas korupsi berbeda-beda pada tiga tingkatan yakni:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
intensif dilakukan antara bagian ekonomi dan administrasi. Yang kedua, arus
informasi yang masuk tidak bersifat mencolok. Ketiga, terjadi pemusatan
kompetensi kepada pekerja ahli tertentu. Hal ini menyebabkan mereka memiliki
kesempatan untuk mengambil keputusan. Keempat, terdapat ketidakjelasan
mengenai batas antara hal yang dapat diterima secara sosial dan perbuatan yang
dianggap melanggar hukum. Kelima, kurangnya kesadaran korban kejahatan
korupsi bahwa mereka diperlakukan dengan tidak adil (Parwadi, 2010).
Perkembangan globalisasi akan berpengaruh pada perkembangan
demokrasi dan reformasi ekonomi di dunia. Hal ini rupanya juga berpengaruh
kepada kecenderungan masyarakat dunia dalam kaitannya dengan korupsi. Dilihat
dari perspektif jangka panjang, tentunya masyarakat di setiap belahan dunia
menginginkan korupsi yang berkurang, seiring dengan persaingan politik dan
ekonomi yang makin terbuka sebagai dampak dari perkembangan dunia. Ini
disebabkan keterbukaan akan semakin mereduksi kesempatan untuk berbuat
sewenang-wenang. Akan tetapi jika dilihat dalam perspektif jangka pendek,
persaingan dalam politik dan ekonomi justru akan memacu peluang terjadinya
korupsi karena keduanya akan mengakibatkan perubahan yang cepat pada aturan
main yang ada. Hal ini menyebabkan munculnya persaingan bebas tanpa
diimbangi oleh aturan main yang relevan. Pada umumnya, korupsi terjadi karena
perubahan kebijaksanaan yang tepat, tetapi dilaksanakan oleh lembaga yang sakit,
yang mengakibatkan persekongkolan dan permainan dengan orang dalam,
pertukaran konsesi politik, dan pemerintah daerah yang diperlukan semaunya oleh
berbagai pihak (Klitgaard dkk, 2002).
Sebuah rumusan korupsi yang dikemukakan oleh Klitgaard dapat
menjelaskan alasan terjadinya korupsi secara praktis. Rumusan tersebut:
C=M+D–A
Universitas Indonesia
yang berhak atas barang atau jasa tersebut dan seberapa banyak kuantitasnya, dan
pada saat yang bersamaan tidak terdapat mekanisme akuntabilitas bagi individu
tersebut. Apabila kondisi tersebut ditemukan dalam suatu organisasi,
kemungkinan besar akan terjadi korupsi di organisasi tersebut. Hal ini berlaku,
baik di sektor swasta dan sektor publik, negara kaya atau miskin (Klitgaard dkk,
2002).
Andvig menjelaskan dalam tulisannya bahwa kondisi pemerintahan juga
dapat menjadi salah satu faktor terjadinya korupsi di suatu negara. Korelasi
antara korupsi dan demokrasi akan berbentuk seperti lonceng atau bel. Sistem
paling otoriter akan mampu mongontrol tingkat korupsi yang terjadi sehingga
korupsi hanya terjadi pada batas yang secara ekonomi masih dianggap layak.
Sementara itu, kondisi pemerintahan yang paling demokratis juga akan menekan
angka korupsi, karena adanya transparansi yang utuh pada sistem
pemerintahannya. Dengan demikian, proses pengawasan akan berjalan ketat
sehingga meminimalkan kesempatan korupsi. Kondisi yang paling riskan adalah
ketika masih berada di masa transisi antara sistem yang otoriter menuju
demokrasi. Ini akan terjadi saat kendali otoriter hancur oleh adanya liberalisasi
ekonomi dan demokratisasi politik, akan tetapi belum digantikan sepenuhnya oleh
mekanisme check and balances yang demokratis, serta institusi yang mendapat
pengakuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada kondisi ini, tingkat korupsi
akan semakin meningkat dan mencapai puncaknya sebelum akan turun kembali
oleh adanya perbaikan sedikit demi sedikit menuju sistem pemerintahan yang
demokratis (Hamzah, 2012).
Tindak pidana korupsi memiliki dampak atau efek yang beraneka ragam
baik itu kepada individu, korporasi, maupun kepada negara. Korupsi yang telah
terjadi secara sistematis akan membawa dampak yang sangat mematikan bagi
masyarakat. Korupsi sistematis akan menimbulkan kerugian yang bersifat
ekonomi, politik, dan sosial. Kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif,
kerugian politik karena meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan, dan
kerugian sosial karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
keenam, badan tersebut terlalu bergantung pada penegakan hukum dan melupakan
fungsi pencegahan korupsi dan berfokus pada penindakan. Alasan ketujuh, Badan
tersebut mengabaikan siasat melenyapkan peluang untuk korupsi dan terlalu
bergantung pada penindakan setelah korupsi terjadi. Alasan kedelapan, undang-
undang yang dijadikan landasan berpijak tidak memadai. Badan antikorupsi tidak
dapat bekerja secara maksimal tanpa adanya dukungan konstitusional yang kuat.
Selanjutnya, badan akan tidak optimal jika dibebani tumpukan perkara masa lalu.
Kasus-kasus di masa lalu yang menumpuk menyebabkan terhambatnya pekerjaan
badan tersebut. Alasan selanjutnya, badan tersebut gagal melibatkan masyarakat
luas. Hal ini dapat menghambat pemberantasan korupsi, karena pemberantasan
korupsi memerlukan gerakan dari seluruh elemen termasuk masyarakat umum.
Alasan selanjutnya adalah akuntabilitas yang kurang, semangat yang kendur
karena ketidakpercayaan masyarakat, dan yang terakhir, badan tersebut
diindikasikan melakukan korupsi (Hamzah, 2012).
Alasan-alasan tersebutlah yang menjadikan upaya pemberantasan korupsi
di suatu negara dapat gagal. Dalam mengatasinya, tidak cukup hanya dengan
membenahi sebagian poin akan tetapi semua poin harus diselesaikan dan
disolusikan.
Fahri Hamzah menjelaskan empat pendekatan dalam melakukan
pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi harus menggunakan empat
pendekatan tersebut, yakni pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan
keimanan, pendekatan edukatif, serta pendekatan sosiokultural. Pendekatan
hukum berarti bahwa pemberantasan korupsi didukung oleh hukum ideal yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak ekonomi dan sosial rakyat
berada di atas kepentingan negara yang lain. Pendekatan moralistik dan keimanan
berkaitan dengan pemaknaan sila pertama pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha
Esa. Negara dan penyelenggara penegakan hukum wajib tetap berpedoman
kepada prinsip tersebut. Pendekatan edukatif, adalah pendekatan yang berpusat
kepada peningkatan kesadaran terhadap isu korupsi. Hal ini mencakup
peningkatan daya nalar sehingga masyarakat memahami latar belakang, faktor
pendukung, serta pencegahan dari korupsi. Pendekatan terakhir adalah pendekatan
sosiokultural, yakni pendekatan yang berfokus kepada pembangunan budaya
Universitas Indonesia
masyarakat yang memandang negatif tindakan korupsi. Jika hal ini tercapai,
masyarakat dengan sendirinya akan memiliki budaya antikorupsi sebagai barrier
yang mencegah mereka tergiur untuk melakukan korupsi (Hamzah, 2012)
Klitgaard (1998) dalam salah satu bukunya menjelaskan salah satu model
pendekatan dalam menganalisis korupsi, yakni model atasan-pegawai-klien.
Model ini menganalogikan bahwa atasan adalah pemimpin lembaga negara
misalnya lembaga pemungut pajak, lalu pegawai adalah pegawai pemungut pajak
yang berinteraksi langsung dengan klien, yang adalah seorang wajib pajak. Jika
melihat dari sudut pandang pegawai dan klien, mereka akan mengkalkulasikan
untung rugi dari melakukan tindakan korupsi. Bagi seorang atasan, korupsi yang
dilakukan oleh pegawainya dapat dimanfaatkan untuk menguntungkan dirinya
sendiri melalui “uang tutup mulut” apabila ia mengetahui dengan pasti dan jelas
perihal korupsi yang dilakukan pegawainya. Namun, seringkali atasan tidak
mengetahui dengan jelas korupsi yang terjadi sehingga akan terjebak dalam situasi
yang serba salah. Keberadaan korupsi di dalam lembaga yang ia pimpin saja
sudah menjadi kerugian atau “faktor negatif”. Selain itu ia harus mematok gaji
dan hukuman bagi pegawai tersebut tanpa ia mengetahui tentang produktivitas
pegawai tersebut maupun tindakan korupsi yang menyulitkannya yang dilakukan
oleh pegawai tersebut. Mungkin seorang atasan akan membuat sebuah mekanisme
tertentu untuk mengetahui dan mengumpulkan informasi tentang apa saja yang
dilakukan oleh pegawai. Namun, hal ini akan memakan biaya mahal.
Terkait dengan pendekatan tersebut, Klitgaard juga mengemukakan
pandangannya tentang analisis penyusunan kebijakan alternatif yang dapat
dilakukan oleh atasan. Menurut Klitgaard, terdapat lima langkah yang dapat
dilakukan, yakni memilih pegawai dengan cermat, mengubah imbalan dan
hukuman sehingga pegawai akan tertarik untuk berlaku jujur, mengumpulkan
informasi agar para pegawai selalu merasa terawasi, mengatur kembali hubungan
atasan-pegawai-klien agar tidak tercipta peluang untuk memonopoli keputusan,
serta mengubah sikap bersama dalam menghadapi korupsi. Model tersebut dapat
diaplikasikan ke dalam kebijakan lembaga anti korupsi secara nasional. Lembaga
antikorupsi dapat merancang strategi pemberantasan korupsi dengan didasari oleh
kelima langkah tersebut (Klitgaard, 1998).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1. General Provisions
2. Preventive Measures
3. Criminalization and Law Enforcement
4. International Cooperation
5. Asset Recovery
6. Technical Assistance and Information Exchange
7. Mechanisms for Implementation
8. Final Provisions
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB III
POLA KERJA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DAN INDEPENDENT COMMISSION AGAINST CORRUPTION
Seperti yang sudah dipahami, korupsi di Indonesia sudah ada sejak masa
penjajahan, hingga masuk ke dalam periode kemerdekaan. Bahkan, pada masa
kerajaan, korupsi merupakan hal yang lumrah, karena didasari oleh kultur atau
budaya setempat (Soedarso, 2009). Sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi
lahir, periode pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga
periode yakni pada masa orde lama, orde baru, serta era reformasi (Hamzah,
2012).
Menurut Kaligis, pada masa orde lama, terdapat setidaknya tiga upaya
umtuk memberantas korupsi. Yang pertama adalah Panitia Retooling Aparatur
Negara (PARAN). Panitia ini dibentuk dengan dasar hukum Undang-Undang
Keadaan Bahaya. PARAN tidak berhasil memberantas korupsi karena rata-rata
para pejabat yang menjadi tersangka berlindung di balik perlindungan presiden.
Oleh karena tidak efektif, maka PARAN dibubarkan dan diganti dengan Operasi
Budhi. Operasi Budhi menargetkan penangkapan para koruptor di perusahaan-
perusahaan milik negara dan lembaga-lembaga negara hingga ke pengadilan.
Setelah mulai bekerja, dalam waktu hanya tiga bulan, Operasi Budhi berhasil
menyelamatkan keuangan negara sebanyak kurang lebih 11 milyar rupiah. Akan
tetapi, karena dianggap mengganggu nama baik presiden maka Operasi Budhi
dibubarkan dan pada akhirnya diganti dengan Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi (KOTRAR) dengan dipimpin oleh Presiden Soekarno sendiri.
Namun, pada titik ini, upaya pemberantasan oleh KOTRAR berjalan di tempat
(Hamzah, 2012).
22 Universitas Indonesia
Setelah Soekarno jatuh dan Indonesia memasuki era orde baru, terdapat
tiga upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Presiden
Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh
Jaksa Agung dengan dibantu oleh Kapolri, Panglima ABRI, serta Menteri
Kehakiman. Tim ini dibentuk berdasarkan pidato kenegaraan pada tanggal 16
Agustus 1967. Kemudian pada tahun 1970, dibentuk Komisi Empat yang
beranggotakan Mohammad Hatta, Anwar Tjokroaminoto, Herman Johannes, serta
Soetopo Yoewono dengan Hatta sebagai ketua. Komisi ini memiliki target
memberantas korupsi di Pertamina, BULOG, penebangan hutan, serta BUMN.
Lalu pada tahun 1977, pemerintah melaksanakan Operasi Penertiban (Opstib)
dengan diketuai oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dengan target
menangani 1127 kasus. Akan tetapi, Opstib tidak terdengar kiprahnya, dan hingga
Soeharto jatuh pada tahun 1998, pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara
transparan (Hamzah, 2012).
Setelah Soeharto jatuh, Indonesia memasuki babak baru reformasi dengan
semangat yang menggebu-gebu untuk membenahi pemerintahan. Pada tahun
1999, muncullah Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya diamanatkan tentang pembentukan KPK.
Kemudian sembari menunggu terbentuknya KPK, Presiden Gus Dur membentuk
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dipimpin
oleh Jaksa Agung namun sayangnya dibubarkan oleh Mahkamah Agung. Pada
tahun 2002 disahkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi yang di dalamnya mencakup berbagai
ketentuan hukum mengenai KPK. Di tahun berikutnya, KPK resmi dibentuk
(Hamzah, 2012).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada masa bakti 2004 sampai dengan 2007, KPK berjalan dengan
dilandasi Visi Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi dan Misi Penggerak
Perubahan untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi. Misi tersebut
dituangkan ke dalam empat tujuan (KPK, 2004), yaitu:
1) Pembangunan Kelembagaan
Di masa awal KPK, pembangunan kelembagaan menjadi sesuatu yang
vital. Ini terwujud ke dalam 12 kegiatan, yakni menyusun struktur
organisasi, kode etik, rencana strategis, rencana kinerja, anggaran,
prosedur operasi standar, sistem manajemen SDM, sistem manajemen
keuangan, teknologi informasi pendukung, mekanisme pengawasan
internal, rekrutmen dan pengembangan penasihat serta pegawai, dan
penyediaan peralatan dan fasilitas.
2) Penindakan
KPK menjabarkan strategi penindakan dalam lima kegiatan. Yang pertama
adalah pengembangan sistem dan prosedur peradilan pidana korupsi yang
langsung ditangani oleh KPK. Kemudian pelaksanaan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan dilakukan seluruhnya oleh KPK. Ketiga,
pengembangan mekanisme supervisi KPK terhadap penyelesaian tindak
pidana korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keempat, identifikasi
kelemahan undang-undang, dan yang terakhir adalah pemetaan aktivitas
yang diindikasikan sebagai korupsi.
3) Pencegahan
Dalam rangka pencegahan, KPK mencanangkan lima kegiatan pokok.
Pertama, meningkatkan efektifitas sistem pelaporan kekayaan
penyelenggara negara. Kedua, penyusunan sistem pelaporan gratifikasi
dan sosialisasi. Kemudian selanjutnya adalah penyusunan sistem pelaporan
pengaduan masyarakat. keempat, mengkaji dan memberi masukan atas
sistem administrasi pemerintah yang berindikasikan korupsi dan yang
terakhir penelitian dan pengembangan teknik dan metode yang mendukung
pemberantasan korupsi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada rencana strategis tahun 2011-2015, terjadi pergantian visi dan misi
kembali. Visi KPK adalah Menjadi Lembaga Penggerak Pemberantasan Korupsi
yang Berintegritas, Efektif, dan Efisien, dengan misi terbagi menjadi lima poin
yakni koordinasi dan supervisi dengan instansi penegak hukum lain, melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap korupsi, melakukan tindakan
pencegahan, dan yang terakhir melakukan pengawasan atau memonitor
penyelenggaraan pemerintahan negara. Renstra tahun 2011-2015 ini sebenarnya
adalah sebuah revisi atas renstra sebelumnya (2010-2014) yang diubah karena
perubahan kepemimpinan di tubuh KPK (KPK, 2011)
Universitas Indonesia
1) Fase II (2015-2019)
Fase II direncanakan berfokus kepada beberapa strategi lama yakni
penanganan kasus grand corruption dan APGAKUM, perbaikan sektor
strategis, aksi Sistem Integritas Nasional, serta perkembangan lebih lanjut
dari persiapan fraud control yakni implementasinya.
2) Fase III (2019-2023)
Pada fase III, KPK tidak banyak memberikan perubahan. Secara umum
hanya merupakan tindak lanjut dari fase sebelumnya yakni optimalisasi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
menjelaskan bahwa terdapat lebih dari 10 peraturan baik itu langsung atau tidak
langsung. Peraturan itu terdiri dari TAP MPR, undang-undang, peraturan
pemerintah, instruksi presiden, keputusan presiden, surat edaran serta peraturan
daerah. Dari sekian banyak jenis peraturan tersebut, yang paling kuat dasar
hukumnya adalah undang-undang. Undang-undang yang terkait dengan
pemberantasan korupsi secara umum antara lain:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
anggaran KPK adalah sebesar Rp 576 miliar. Angka ini adalah sebuah kenaikan
yang cukup besar dari sebelumnya di tahun 2010 hanya sebesar Rp 431 miliar.
Sementara itu, anggaran untuk tahun 2012 adalah sebesar Rp 635 miliar
(Soesatyo, 2010). Pegawai KPK mendapatkan gaji yang cukup besar. Gaji
penyidik KPK lebih besar dari penyidik di Kepolisian. Menurut Biro Penerangan
Masyarakat Mabes POLRI, penyidik KPK memiliki gaji lebih besar hingga 400%
dari penyidik POLRI (nasional.kompas.com, 2012).
Sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban kepada publik atas apa yang
telah dilakukan selama setahun, KPK menerbitkan Laporan Tahunan setiap akhir
tahun. Di dalamnya tercantum mengenai apa saja kegiatan-kegiatan KPK, laporan
keuangan KPK, serta data statistik lain terkait KPK (Laporan Tahunan KPK,
2011). KPK memiliki Tim Penasihat yang terdiri dari empat orang. Anggota dari
tim ini dipilih berdasarkan hasil seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi yang
dibentuk oleh KPK. Panitia seleksi ini akan mengumumkan penerimaan calon dan
mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari
masyarakat. Calon anggota yang didapat kemudian diumumkan ke publik untuk
mendapat tanggapan. Kemudian, panitia seleksi akan mengajukan delapan orang
calon untuk dipilih oleh KPK. KPK mengangkat anggota tersebut dengan didasari
oleh kepakarannya. Fungsi dari Tim Penasihat ini adalah untuk memberikan
nasihat serta pertimbangan untuk KPK sesuai dengan kepakarannya. Di samping
itu, untuk mekanisme pengawasan internal, KPK memiliki Direktorat Pengawasan
Internal (Djaja, 2008).
Dalam upaya mengurangi korupsi birokrasi di tingkat daerah, KPK
menargetkan sebelas instansi yang menjadi prioritas untuk dilakukan koordinasi
dan supervisi yakni imigrasi, pertanahan, pelayanan SIM, pelayanan STNK, Dinas
Perhubungan, Kantor Layanan Terpadu, Dinas Koperasi dan Perindag, Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil, Inspektorat, serta rumah sakit umum daerah.
Hal ini dilakukan bekerjasama dengan sebanyak mungkin instansi terkait seperti
KemenPAN dan RB, Ombudsman, BPK, BPKP, LKPP, Inspektorat, serta Komisi
Informasi dalam mendorong adanya perbaikan dan optimalisasi pemanfaatan
teknologi informasi. Metodologi dalam melakukan hal tersebut dilakukan dengan
banyak cara seperti evaluasi terbuka, rapat evaluasi, pemantauan tertutup, serta
Universitas Indonesia
pemantauan terbuka secara mendadak. Selama kurun waktu 2011, KPK telah
melakukan 30 kegiatan tersebut di 10 provinsi di Indonesia (Laporan Tahunan
KPK, 2011).
Untuk memicu perkembangan per wilayah, KPK juga membangun Zona
Integritas, yakni program pengembangan daerah yang bebas korupsi. Zona
Integritas merupakan wilayah yang ada di sebuah daerah yang dikembangkan
sebagai wujud penerapan usaha-usaha nyata dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Ini dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas sistem
kelembagaan dan sumber daya manusia dalam rangka penguatan komitmen anti
korupsi. Dengan dibentuknya Zona Integritas, maka pemerintah kota atau
kabupaten dapat mengajukan diri untuk menjadi Wilayah Bebas Korupsi (WBK)
dan meminta KPK untuk menilai kelayakan kota tersebut sebagai WBK. Sampai
saat ini, baru Surabaya yang mengajukan diri. KPK juga menyelenggarakan
Integrity Fair yakni sebuah pameran yang bertujuan mengkampanyekan nilai-nilai
integritas sebagai upaya mencegah dan memberantas korupsi. Pameran ini telah
dilakukan di empat kota yakni Palembang, Bandung, Surabaya, dan Makassar.
Upaya-upaya tersebut adalah program KPK untuk mengajak pemerintah daerah
agar bersama-sama mencegah dan memberantas korupsi (Laporan Tahunan KPK,
2011).
Dalam upaya menekan korupsi di sektor bisnis, KPK melaksanakan
program Studi Prakarsa Anti Korupsi (SPAK). Melalui SPAK, KPK melakukan
penilaian terhadap sektor bisnis dan sebagai tindak lanjut, KPK memberikan
rekomendasi terhadap pihak yang dinilai tersebut. Karena program ini baru
dilaksanakan, maka sasarannya masih terbatas pada BUMN, namun akan tetap
direncanakan untuk menyasar pada sektor swasta di kemudian hari. Sampai saat
ini, sudah empat BUMN yang melaksanakannya. Program SPAK ini hampir
serupa dengan Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK). Yang menjadi perbedaan,
PIAK dilakukan terhadap kementerian/lembaga negara. PIAK tahun 2011
dilakukan terhadap 18 kementerian/lembaga dan 11 Pemda. KPK juga
memperluas cakupan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)
agar pemantauan terhadap kekayaan penyelenggara negara semakin luas. LHKPN
adalah mekanisme pengawasan berupa wajib lapor bagi pegawai negara kepada
Universitas Indonesia
KPK untuk melaporkan kekayaannya. Pada tahun 2011, wajib lapor meningkat
menjadi 28.000 orang dari sebelumnya 8000 orang (Laporan Tahunan KPK,
2011).
Masih bersumber dari Laporan Tahunan KPK, KPK setiap tahunnya
menerima sekitar 600 undangan untuk mengisi diklat di berbagai wilayah di
Indonesia. Namun, hanya sekitar 400 undangan yang dapat dipenuhi oleh KPK.
Untuk itu, dalam rangka optimalisasi pendidikan anti korupsi, KPK telah
melaksanakan program Anti Corruption Learning Center (ACLC), yakni sebuah
program pelatihan untuk mencetak fasilitator, mentor, dan pengajar materi-materi
anti korupsi yang sangat dibutuhkan saat ini. Sasarannya diklasifiaksikan dengan
modul untuk pegawai negeri, swasta, serta masyarakat umum (Laporan Tahunan
KPK, 2011). KPK juga meluncurkan film bertemakan anti korupsi untuk
mengedukasi masyarakat secara lebih ringan dan agar pesan yang dimaksud dapat
meresap dengan lebih baik (kpk.go.id, 2012).
Sebagai media penghubung kepada masyarakat, KPK memiliki website
yang memuat informasi-informasi yang berhubungan dengan KPK dan
pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK menerbitkan beberapa buku digital
yang dapat diunduh secara gratis. Buku ini antara lain menjelaskan tentang
gratifikasi, pemahaman tentang korupsi, serta kode etik KPK. Selain itu, KPK
juga menerbitkan majalah Integrito, yaitu majalah digital yang dapat diunduh
secara gratis di website KPK. Majalah ini adalah salah satu media yang digunakan
KPK untuk mengedukasi masyarakat tentang pemahaman anti korupsi (kpk.go.id,
2012).
Masyarakat dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi
dengan menghubungi nomor telepon KPK yang dapat dilihat di website resmi
KPK. Selain itu, masyarakat dapat menghubungi lewat media lain seperti pesan
teks singkat, surat, atau email. KPK juga memiliki KPK whistleblower system
(KWS) yakni sebuah mekanisme pelaporan secara dini kepada KPK atas adanya
dugaan tindak korupsi. KWS ini berupa perangkat lunak yang dipasang di
beberapa kantor instansi pemerintah yang langsung terhubung dengan KPK. Saat
ini sudah ada enam instansi yang menerapkan KWS yakni LPSK, Pertamina,
Universitas Indonesia
Ditjen Pajak, Bea Cukai, Kementrian Pertanian, serta PLN (Laporan Tahunan
KPK, 2010)
Untuk menilai kinerja KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia,
Davidsen pernah melakukan kajian tentang upaya-upaya pemberantasan korupsi
yang telah dilakukan di Indonesia Menurut penelitian Davidsen dkk, sebenarnya
KPK memiliki satu keistimewaan yakni terdapatnya Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) di sistem peradilan Indonesia. Pengadilan Tipikor dibentuk
sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 30 tahun 2002. Para hakim Pengadilan
Tipikor menerima pelatihan khusus mengenai keuangan dan akuntansi untuk
meningkatkan integritas dan kompetensi mereka dalam menganalisis perkara
korupsi yang seringkali berisi transaksi finansial yang rumit. Akan tetapi, menurut
Davidsen dkk, Pengadilan Tipikor terhambat oleh adanya satu masalah yakni
kurangnya pendanaan. Masalah yang paling serius adalah tidak terbayarnya gaji
para hakim (Davidsen dkk, 2006).
Davidsen dkk (2006) juga menyatakan bahwa KPK memiliki beberapa
tantangan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Pertama, KPK tidak memiliki
kapasitas untuk menindaklanjuti rekomendasinya untuk perbaikan institusi.
Kemampuan KPK untuk mendorong institusi-institusi pemerintah agar merombak
diri masih sangat terbatas. Kedua, terdapat persepsi bahwa KPK tidak
menginvestigasi koruptor kelas “kakap” dan pengaruh politik mempengaruhi
siapa yang menjadi target KPK. Hal ini telah dibantah oleh pimpinan KPK sendiri
yang menyatakan bahwa undang-undang tidak mengizinkan mereka untuk
menginvestigasi korupsi yang dilakukan sebelum tahun 1999, dan mereka
menyeleksi dan memprioritaskan hanya kasus-kasus yang memiliki cukup bukti
dan kemungkinan untuk sukses diselesaikan. Ketiga, masih terlalu dini untuk
menganggap bahwa telah terbangun peningkatan berarti dalam hubungan dan
kerjasama antara KPK, Kejaksaan, Kepolisian, dll. Keempat, terlihat bahwa KPK
masih kurang agresif dalam menginvestigasi laporan kekayaan pejabat
pemerintahan senior. Kelima, KPK belum maksimal dalam area pencegahan
korupsi. Keenam, meskipun telah membangun kerjasama dengan beberapa
pemerintahan provinsi dan kabupaten, namun tetap saja jangkauan KPK terhadap
area-area di luar Jakarta sangat terbatas.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
agama, tenaga kerja, tugas sosial, masalah luar negeri, interpretasi dan
pengubahan Basic Law, serta ketentuan tambahan (Djaja, 2008).
Cara hidup sosialis seperti di daratan Cina tidak diterapkan di Hong Kong.
Hong Kong menjalani cara hidup kapitalis sampai dengan 50 tahun ke depan sejak
1 Juli 1997. Sesuai Hukum Dasar, Hong Kong memiliki independensi dari RRC
termasuk dalam bidang eksekutif, legislatif, serta yudikatif. Sistem hukum setelah
peralihan antara sebelum tahun 1997 dan setelah tahun 1997 tidak banyak
berubah. Sistem peradilan tetap memakai sistem Jury yang dipertahankan
sebagaimana di Inggris. Prinsip Presumption of Innocence sebelum adanya
keputusan hakim pun tetap dipertahankan (Djaja, 2008).
Hong Kong saat ini telah dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
tingkat korupsi paling rendah di dunia. Di tahun 2012, Hong Kong mendapatkan
skor 77 dengan peringkat 12 dunia (Transparency International, 2011). Lembaga
kepolisian Hong Kong saat ini dikenal sebagai lembaga kepolisian yang paling
efektif dan tidak korup di Asia.
Akan tetapi, jauh sebelum kondisi ini tercapai, Hong Kong pernah
mengalami situasi di mana korupsi begitu merajalela. Sekitar tahun 1960-an
sampai 1970-an, korupsi begitu merajalela di sektor publik. Contoh nyata yang
dapat menggambarkan betapa parahnya kondisi saat itu misalnya ketika seseorang
hendak dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil ambulan, maka ia
harus memberikan suap terlebih dahulu kepada petugas ambulan tersebut. Contoh
lain, apabila seorang pasien rumah sakit ingin dilayani, maka ia juga harus
memberikan suap. Hal tersebut terjadi secara wajar di Hong Kong pada masa
tersebut. Korupsi paling besar terutama dilakukan di institusi kepolisian.
Penyelewengan terjadi di seluruh struktur hierarkis kepolisian dari tingkat
terendah hingga pimpinan di tingkat atas (icac.org.hk, 2012).
Menurut Klitgaard (1998), terdapat tiga perbuatan korupsi yang lazim
dilakukan oleh kepolisian pada masa itu. Tiga perbuatan tersebut adalah peredaran
obat terlarang, perjudian dan pelacuran, serta yang terakhir adalah pelanggaran
lalu lintas.
Sejak abad ke-19, Hong Kong telah menjadi pusat dari kegiatan produksi
dan ekspor ulang obat-obatan terlarang. Sekitar awal 1970-an, diperkirakan
Universitas Indonesia
sebanyak 50 ton candu dan 10 ton morfin dikirim menuju Hong Kong setiap
tahunnya dari wilayah “segitiga emas” yang berada di perbatasan Birma, Laos,
dan Thailand. Jumlah sebesar itu dikonsumsi oleh sekitar 80.000 pecandu di Hong
Kong. Para pengedar dan pebisnis obat terlarang secara rutin melakukan
pembayaran dalam rangka pembagian keuntungan kepada para perwira kepolisian.
Ini dilakukan sebagai upaya agar bisnis mereka tidak diganggu. Jumlah yang
dibayarkan kurang lebih sebanyak 10.000 dolar Hong Kong yang diberikan
kepada para perwira kepolisian. Selain sebagai imbalan tutup mulut, keuntungan
lainnya adalah para pebisnis obat terlarang ini akan diberikan isyarat dini tentang
adanya rencana penyerbuan oleh eselon-eselon yang lebih tinggi. Untuk
memuaskan pihak atasan, biasanya perwira-perwira ini melakukan penangkapan
palsu atau berpura-pura agar disangka bahwa mereka tetap menjalankan tugasnya
dengan baik. Polisi juga memiliki sindikat tersendiri. Para perwira menengah
bertugas melakukan penarikan uang dari pusat-pusat obat terlarang. Perwira polisi
yang jabatannya lebih tinggi kemudian menerima sebagian besar uang tersebut
sebagai uang tutup mata. Hal ini terjadi secara terus menerus dan terorganisir
Menurut Klitgaard, selain dalam bisnis obat-obatan terlarang, kepolisian
juga turut berperan dalam memakmurkan bisnis judi dan pelacuran. Serupa
dengan bisnis obat terlarang, bisnis perjudian juga memberikan suap kepada pihak
kepolisian yang korup sehingga mereka dapat menerima informasi jika akan
dilakukan penyergapan mendadak oleh polisi. Kasino-kasino besar di Hong Kong
setiap harinya membayar hingga 10.000 dolar Hong Kong demi mendapatkan
perlindungan usaha mereka yang memiliki volume harian sebesar 600.000 dolar
Hong Kong dan memiliki laba harian sebesar 25.000 dolar Hong Kong. Para
bandar judi pacuan kuda di Hong Kong setiap minggunya membayar antara 1.500
hingga 3000 dolar Hong Kong kepada polisi, tergantung besar taruhan yang
dilakukan. Dalam bidang pelacuran, polisi disuap untuk mengabaikan penegakan
peraturan tentang perekrutan pelacur, tempat-tempat pelacuran yang tidak
memiliki izin, serta aksi mereka dalam menarik pelanggan.
Selain dalam bidang prostitusi, Klitgaard juga mengemukakan bahwa
polisi lalu lintas turut serta mengambil bagian dalam korupsi. Polisi lalu lintas
biasanya menerima suap dari para pengguna jalan seperti supir taksi dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1) Investigasi Proaktif
Strategi ini didasari oleh pemikiran bahwa tindak pidana korupsi adalah
kejahatan yang bersifat rahasia dan sulit untuk dideteksi. Dalam
melakukan investigasi, pegawai ICAC berusaha aktif dengan cara
memelihara hubungan dengan kontak-kontak tertentu di sektor privat dan
sektor publik untuk bertukar informasi dan memperoleh kerjasama.
Kemudian, dalam melakukan investigasi, ICAC memanfaatkan teknologi
informasi untuk memperoleh serta menganalisa data kriminal. ICAC juga
memiliki informan serta agen yang menyamar untuk tujuan investigasi.
2) Kerjasama Lembaga
Dalam memberantas korupsi, ICAC bekerjasama secara aktif dengan
lembaga-lembaga lain. Salah satunya, ICAC bekerjasama dan menjalin
hubungan yang baik dengan penegak hukum, baik itu di Hong Kong,
Daratan Utama (RRC), maupun dengan negara lain. Selain itu, ICAC juga
bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintahan dalam upaya
meminimalisir peluang melakukan korupsi di sektor pelayanan publik
Universitas Indonesia
3) Hubungan Internasional
ICAC mengembangkan dan mengkonsolidasikan jaringan internasional
untuk membantu pemberantasan korupsi. Hal ini terurai dalam tiga
aktivitas. Pertama, saling bertukar informasi, mengadakan kunjungan, dan
dilatih oleh berbagai lembaga penegak hukum di negara lain di dunia,
misalnya FBI, The London Metropolitan Police, The Royal Canadian
Mounted Police, dan banyak lembaga penegak hukum lainnya. Aktivitas
yang kedua adalah turut berpartisipasi dalam inisiatif pergerakan anti
korupsi internasional, konferensi, simposium, dan kelompok kerja,
contohnya dalam Interpol Group of Experts on Corruption dan The Anti-
Corruption and Transparency Task Force of the Asia-Pacific Economic
Cooperation. Yang terakhir, ICAC menyelenggarakan ICAC Symposium
serta menerbitkan ICAC International Anti-Corruption Newsletter untuk
bertukar pengalaman dan mempererat kerjasama antar lembaga penegak
hukum.
4) Teknologi yang Mutakhir dan Spesialisasi Kemampuan
ICAC menekankan pada peralatan dan teknologi informasi yang mutakhir
serta kemampuan yang terspesialisasi untuk memberantas korupsi
diantaranya perekam video dan audio untuk mewawancara tersangka
dengan dukungan penuh dari pengadilan serta pengacara, kemampuan
komputer forensik yang handal untuk mendapatkan data bukti pengadilan,
serta kemampuan khusus investigasi keuangan untuk melacak bukti
korupsi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
adalah pegawai negeri yang sama dengan pegawai negeri lain di pemerintahan
Hong Kong, akan tetapi dengan penambahan gelar Commission Against
Corruption (CAC) di akhiran pangkat pegawai negeri mereka. Mereka
mendapatkan gaji yang sama besarnya dengan pegawai negeri lain. ICAC
memiliki struktur kepangkatan tersendiri. Selain Commissioner yang bertanggung
jawab langsung pada Chief Executive, terdapat enam tingkatan pangkat di tingkat
direktorat, lima tingkatan di CACO, dan lima tingkatan di CACI. Gaji pegawai
ICAC berbeda dengan gaji pegawai negeri biasa. Pada tahun 1989, untuk
menegaskan status spesial ICAC dan independensinya dari pegawai pemerintah,
dibuatlah ICAC Pay Scale (IPS). Sebelumnya, gaji dan remunerasi pegawai ICAC
secara umum sama dengan Kepolisian Hong Kong (JSSCS, 2012).
ICAC memiliki anggaran tahunan yang cukup besar. Pada tahun 2010,
ICAC memiliki anggaran sebesar 814,2 juta dollar Hong Kong. Kemudian di
tahun berikutnya di 2011, anggaran ICAC bertambah menjadi 824,1 juta dollar
Hong Kong. Di tahun 2012, ICAC menambah anggaran secara cukup signifikan
hingga sebanyak 875,5 juta dollar Hong Kong (gov.hk, 2012). Apabila dikonversi
pada rupiah menurut kurs saat ini, maka rata-rata anggaran ICAC adalah berada
sedikit di atas 1 Triliun rupiah. Contohnya, di tahun 2012, anggaran ICAC adalah
Rp 1,085 Triliun.
Klitgaard menjelaskan bahwa sejak awal, Sir Jack Cater menerapkan
aturan ketat bagi pegawai-pegawai baru ICAC. Ia menyusun strategi imbalan dan
hukuman yang tegas yang dimaksudkan untuk menjaga integritas dan moralitas
dari pegawai. Kaidah-kaidah pegawai negeri biasa tidak berlaku bagi pegawai
ICAC. Peningkatan karir dapat dilakukan tergantung dengan prestasi pegawai
tersebut, berbeda dengan pegawai negeri pada umumnya. Pimpinan ICAC juga
dapat sewaktu-waktu benar-benar memecat pegawai ICAC sendiri yang
diindikasikan korupsi. Kehidupan kelas mewah bukanlah kehidupan yang
dilakukan di antara para pegawai ICAC. Sejak tahun 1997 yakni setelah Hong
Kong diserahkan kembali oleh Inggris, commissioner ICAC dipilih dengan cara
ditunjuk oleh Dewan Negara Republik Rakyat Cina berdasarkan rekomendasi dari
Chief Executive Hong Kong (Klitgaard, 1998).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Peraturan ketiga mengatur hal yang lebih spesifik yakni pemilihan umum.
The Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance diberlakukan untuk
memastikan pemilihan umum yang dilakukan di Hong Kong bersifat adil, terbuka,
jujur, dan bebas dari praktek kotor korupsi (icac.org.hk, 2012)
Setiap tahunnya ICAC menerbitkan sebuah dokumen (ICAC Annual
Report) yang berisi penjelasan tentang kebijakan objektif yang dijalankan.
Terdapat empat hal pokok yang tercantum dalam dokumen tersebut:
Laporan tersebut adalah suatu bentuk transparansi program yang dilakukan oleh
ICAC kepada masyarakat luas sehingga masyarakat mengetahui apa saja yang
telah dilakukan oleh ICAC serta dapat memberikan penilaian terhadap kinerja
ICAC. Selain itu, setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap kinerja ICAC (ICAC
Annual Survey) yang dilakukan oleh lembaga survey swasta yang dipilih melalui
mekanisme tender dan bukan dilakukan oleh ICAC sendiri. Hasil Survey ini
dipublikasi setiap tahun. Survey ini dilakukan terhadap warga Hong Kong untuk
mengetahui sejauh mana kepuasan masyarakat terhadap kinerja ICAC dan untuk
mengetahui persepsi masyarakat Hong Kong terhadap korupsi dan pemberantasan
korupsi di Hong Kong (ICAC Annual Survey 2011).
Djaja (2008) juga menjelaskan bahwa untuk mengawasi kinerja ICAC di
tingkat pimpinan atau Commissioner, Chief Executive Hong Kong membentuk
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
berasal dari laporan, ICAC juga memiliki intelijen yang dapat mendeteksi
terjadinya tindak korupsi.
Dalam proses pelaporan, ICAC memiliki Report Centre atau pusat
pelaporan yang berlokasi di markas besar ICAC. Pusat pelaporan ini memiliki
enam seksi yang melayani laporan selama 24 jam secara bergiliran. Di pusat
pelaporan ini juga terdapat Quick Response Team yang bertujuan untuk melayani
laporan masyarakat dengan cepat. Pusat pelaporan ini sangat efisien karena
memiliki peralatan yang canggih dan sangat terbuka. Masyarakat dapat
menghubungi nomor hotline dan dapat mengirimkan laporan lewat pos. Selain
lewat kantor pelaporan di markas besar, masyarakat juga dapat melapor kepada
kantor cabang/regional yang tersebar di tujuh wilayah strategis di Hong Kong
melalui surat, telepon, datang langsung, dan bertemu langsung dengan pejabat
ICAC. Kerahasiaan identitas dari pelapor tindakan korupsi akan dirahasiakan dan
semua akan diperlakukan sama. Dalam memperlakukan laporan ini, tidak ada
campur tangan apapun dari luar, kecuali Chief Eexecutive Hong Kong itu sendiri
dalam rangka pengarahan (Djaja, 2008).
Dalam proses penyelidikan, divisi yang bertanggung jawab adalah B3 atau
Investigation Branch. Metode yang digunakan mencakup dua hal. Yang pertama
adalah intelijen taktis, yakni melakukan rekrutmen dan pengendalian informan,
serta melakukan penyamaran atau undercover yang teregistrasi dengan kode,
bukan dengan nama. Informan dan para penyamar ini mengumpulkan data dan
informasi yang diserahkan kepada ICAC. Penggunaan taktik ini dilakukan hanya
dalam keadaan tertentu, misalnya ketika cara-cara konvensional tidak berhasil,
atau menyangkut target tersangka yang sulit karena pengendalian informan dan
penyamaran membutuhkan dana yang besar. Metode intelijen kedua adalah
intelijen strategis, yang mengendalikan data, baik yang diperoleh sendiri oleh
ICAC maupun dari luar. Proses analisis data ini menggunakan sistem yang sangat
canggih, dan jaringannya dibuat secara khusus, tidak terhubung dengan jaringan
komputer ICAC biasa (Djaja, 2008).
ICAC dapat melakukan penyadapan telepon dan sensor surat secara
selektif dengan terlebih dahulu meminta izin kepada Chief Executive Hong Kong
dengan alasan yang dapat dibenarkan. Cara seperti ini terbukti sangat efektif
Universitas Indonesia
dalam melacak koruptor di Hong Kong. ICAC juga dapat meminta kepada bank
untuk memberikan keterangan rekening milik tersangka yang sedang diperiksa
(Mochtar, 2006).
Proses penyidikan di ICAC dilakukan dengan interview, yang bersifat
tanya jawab yang selalu direkam dengan audio-video dan kemudian dibuat
transkripnya. Di kantor ICAC terdapat banyak ruangan pemeriksaan untuk
melakukan hal tersebut. Setiap ruangan dilengkapi dengan perangkat perekam
yang mencakup dua buah kamera, satu untuk merekam secara layar lebar dan satu
untuk merekam wajah secara close-up. Dalam rekaman tersebut akan tertera
petunjuk tanggal dan jam. Kemudian, terdapat pula tiga alat video recorder serta
sebuah cermin berukuran besar untuk menunjukkan pantulan gambar di dinding di
belakang kamera agar terlihat keseluruhan isi ruangan sehingga apabila terjadi
intimidasi apapun oleh penyidik akan terungkap. Hasil rekaman akan dibuat
rangkap tiga, satu untuk tersangka, satu untuk penyidik, dan satu lagi untuk
digunakan sebagai alat bukti di persidangan. Ruangan interview didesain
sedemikian rupa untuk proses ini. Ruangan dibuat kedap suara, dan pada
dindingnya terdapat tulisan mengenai hak tersangka yang sedang diperiksa (Djaja,
2008).
Masih menurut Djaja (2008), mirip dengan yang dilakukan oleh FBI di
Amerika Serikat, untuk mengenali tersangka oleh para saksi, dilakukan sistem line
up, yakni para tersangka dijejerkan di dalam suatu ruangan dengan kaca satu
arah, dan saksi melihat dari balik kaca. Para tersangka tidak dapat melihat saksi
dan saksi dapat melihat tersangka, namun suara apapun dapat terdengar dari kedua
belah pihak sehingga tersangka dapat mengetahui apabila ternyata saksi
diintimidasi oleh penyidik ICAC. Sistem penahanan tersangka juga sangat
canggih, terdapat petugas khusus berseragam dengan identitas yang jelas dan para
penyidik ICAC tidak dapat sewenang-wenang menggunakan mereka untuk
menekan tersangka korupsi. Seluruh proses penyidikan oleh ICAC dapat
dikatakan sangat baik dan canggih karena seluruhnya dirancang secara khusus
oleh satu bagian bernama Technical Support.
ICAC tidak memiliki kewenangan dalam hal penuntutan terhadap
tersangka korupsi. Izin penuntutan diberikan oleh Sekretaris Departemen Yustisi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
nilai anti korupsi dan mempromosikan diri secara langsung ke masyarakat. salah
satunya dengan ICAC Mobile Exhibition Truck, yakni sebuah bis/truk yang
berkeliling ke perumahan-perumahan, pusat perbelanjaan, serta sekolah-sekolah.
Dengan demikian, ICAC sangat dikenal oleh masyarakat Hong Kong dari segala
lapisan (icac.org.hk).
ICAC melalui Departemen Hubungan Masyarakat melakukan klasifikasi
sasaran informasi yakni pada sektor bisnis, generasi muda, guru, sampai anak-
anak dari tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah
pertama. Setiap masing-masing kelompok masyarakat diberikan informasi dan
bantuan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan mereka. ICAC juga melakukan
program pelatihan, survei tentang pandangan publik tentang korupsi, wawancara
telepon, kuesioner, serta pandangan publik atas kinerja ICAC. Yang tak kalah
penting, ICAC juga secara berkala melakukan pertemuan dengan kalangan pers
(Djaja, 2008).
Sekitar tahun 1990-an, korupsi di Hong Kong pernah mengalami
peningkatan yang cukup berarti. Secara garis besar, terdapat beberapa alasan yang
diperkirakan menjadi pemicu hal ini. Pertama, adanya investasi yang masuk dari
RRC. ICAC pernah melakukan survei atas hal ini dan menemukan bahwa terdapat
kalangan bisnis Hong Kong dengan pusat produksi di RRC yang menjadi korban
atas kebiasaan korupsi yang terjadi di RRC. Dengan demikian, mereka turut
melakukan hal yang dianggap korupsi di Hong Kong seperti pemberian
gratifikasi. Kedua, arus migrasi yang datang dari RRC ke Hong Kong. Para
pendatang yang telah terbiasa dengan praktek korupsi di wilayah asalnya di RRC
turut berkontribusi pada peningkatan angka korupsi di sekitar tahun 1990-an.
Alasan ketiga, pensiun dini para pegawai negeri. Banyak para pegawai negeri
yang mengambil hak pensiun sebelum waktunya karena khawatir dengan
peralihan kekuasaan yang akan terjadi di tahun 1997. Mereka ingin lebih cepat
pensiun karena tidak ingin mengambil resiko pensiun pada masa Hong Kong
kembali di bawah kekuasaan RRC. Hal ini memicu kenaikan angka korupsi di
Hong Kong (Manion, 2004).
Universitas Indonesia
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN POLA KERJA
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN INDEPENDENT
COMMISSION AGAINST CORRUPTION
57 Universitas Indonesia
Dari tabel perbandingan di atas, terlihat bahwa Hong Kong memiliki tiga
undang-undang yang dapat dijadikan landasan ICAC untuk melakukan
permberantasan korupsi, sedangkan Indonesia memiliki sembilan undang-undang
yang dapat dijadikan dasar oleh KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Ini belum termasuk peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan instrumen
hukum lain selain undang-undang. Di antara undang-undang yang dimiliki oleh
Indonesia, terdapat beberapa yang telah mengalami perubahan dan pembaharuan
sejalan dengan perkembangan yang terjadi.
Landasan hukum yang dimiliki oleh Hong Kong dan Indonesia sudah
cukup lengkap, lalu mengapa terdapat perbedaan hasil kinerja dalam
pemberantasan korupsi di antara kedua negara? Hal yang perlu dicermati adalah
tingkat efektifitas terkait isi undang-undang tersebut dan penerapannya.
Dari segi isi, terdapat kelemahan di dalam undang-undang di Indonesia.
Masih terdapat celah dalam peraturan yang telah disahkan, atau dengan kata lain
peraturan tersebut belum secara komprehensif mengatur segala kemungkinan
yang dapat terjadi terkait dengan penegakan hukum anti korupsi. Misalnya, telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 bahwa KPK memiliki fungsi
dan kewenangan melakukan supervisi terhadap lembaga penegak hukum lain.
Akan tetapi, dalam undang-undang tersebut tidak terdapat sanksi yang jelas dan
tegas apabila ternyata didapati bahwa lembaga penegak hukum lain tidak patuh
atau tidak bekerjasama secara optimal dengan KPK. KPK seolah-olah memiliki
sebuah tugas dan tanggung jawab yang besar, namun tidak didukung oleh
kekuatan yang nyata. Lagipula, dalam undang-undang tersebut tidak jelas
tercantum kepada siapa KPK bertanggung jawab. KPK hanya bertanggung jawab
kepada publik, namun mekanisme pertanggung jawabannya sangat minim.
Baru-baru ini, muncul wacana revisi atas undang-undang yang menjadi
senjata utama KPK yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 meskipun
mengundang kontroversi terkait pemikiran bahwa revisi tersebut justru akan
melemahkan kekuatan KPK karena isi yang akan diubah tidak menyempurnakan
poin yang sebelumnya menjadi kelemahan-kelemahan undang-undang tersebut,
tapi justru hal yang akan semakin memangkas kekuatan KPK.
Universitas Indonesia
Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah penerapan dari isi
undang-undang tersebut. Poin yang menarik dalam undang-undang tersebut
adalah mengenai perbedaan kewenangan atas kasus korupsi antara kedua
lembaga. ICAC adalah lembaga permanen yang memiliki fungsi penyidikan
monopolistik. Ini berarti, lembaga yang berwenang melaksanakan penegakan
hukum terkait segala jenis tindak pidana korupsi di Hong Kong hanya ICAC. Hal
tersebut akan semakin meningkatkan efektivitas dari pemberantasan korupsi
karena ICAC akan lebih fokus menjalankan tugasnya dengan tidak dibayangi oleh
lembaga penegak hukum lain dan tidak akan menemui masalah-masalah seperti
yang ada di Indonesia. Di Indonesia, sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002, KPK berbagi fungsi dengan kepolisian dan kejaksaan. KPK tidak sendirian
dalam memberantas korupsi di Indonesia melainkan harus berkoordinasi dengan
dua lembaga tersebut, dan masing-masing memiliki domain sendiri terkait kasus
korupsi yang menjadi kewenangannya. KPK berwenang untuk menyidik dan
menuntut dalam kasus korupsi yang masuk dalam kriterianya yakni dilakukan
oleh pejabat negara atau yang terkait dengan korupsi yang dilakukan oleh pejabat
negara, meresahkan masyarakat, dan menimbulkan kerugian di atas Rp 1 Miliar.
Setiap kasus tindak pidana korupsi yang tidak masuk ke dalam kriteria tersebut
akan ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Permasalahannya, terkadang antara
KPK dan kepolisian tidak memiliki kesamaan pandangan dalam menentukan
siapa yang berhak menangani kasus yang dihadapi, misalnya pada kasus korupsi
pengadaan simulator SIM di Korlantas Mabes POLRI. Jika ini tidak dicari
solusinya, maka akan selalu muncul potensi konflik dan perbedaan persepsi antar
lembaga penegak hukum. Kasus Cicak Versus Buaya adalah salah satu peristiwa
yang dapat dikaitkan dengan hal ini. Kondisi ini tentu akan menyebabkan
penerapan undang-undang terkait pemberantasan korupsi tidak berjalan maksimal.
Sesuai amanat konstitusi, KPK seharusnya menjalankan fungsi trigger
mechanism atau pendorong penegakan hukum oleh kepolisian dan kejaksaan
sehingga lebih optimal dalam memberantas korupsi. Inilah mengapa KPK hanya
berstatus lembaga ad hoc. KPK pada saatnya nanti akan dibubarkan jika
kehadirannya sudah tidak dibutuhkan, yakni ketika kepolisian dan kejaksaan telah
dipandang berhasil dalam menanggulangi korupsi secara utuh di Indonesia. Akan
Universitas Indonesia
tetapi, hal tersebut sampai sekarang masih juga tidak terjadi. Realitanya, KPK
justru berkonflik dengan kepolisian sehingga fungsi trigger mechanism sama
sekali tidak berjalan.
Universitas Indonesia
korupsi malah terjadi secara luas diakibatkan dari sistem desentralisasi yang tidak
diiringi dengan siapnya perangkat penegakan hukum yang belum teradaptasikan
dengan kondisi baru ini. Perbedaan dengan Hong Kong, apabila di Hong Kong
korupsi berpusat di kepolisian, maka di Indonesia korupsi mewabah di hampir
seluruh instansi pemerintahan. Kondisi ini terus bergulir hingga KPK didirikan
sampai sekarang. KPK hadir dalam kondisi pemberantasan korupsi oleh lembaga
penegak hukum gagal menangani korupsi, sama dengan di Hong Kong. Namun
perbedaannya, apabila di Hong Kong kewenangan ICAC benar-benar secara
penuh menangani korupsi tanpa ada turut campur dari kepolisian, maka KPK di
Indonesia menangani korupsi namun tetap berbagi peran dengan kepolisian dan
kejaksaan. Selain itu, KPK juga diamanatkan sebagai lembaga supervisi bagi dua
lembaga tersebut.
Di masa awal, ICAC dan KPK sama-sama harus memikirkan darimana
mendapatkan pegawai yang tepat. ICAC mengambil langkah merekrut pegawai
baru yang berasal dari elemen-elemen yang dapat dipercaya seperti para pemuda,
polisi senior yang terjamin integritasnya dan telah diselidiki latar belakangnya,
serta mendatangkan perwira-perwira polisi Inggris. Sementara itu, KPK
meminjam pegawai dari lembaga penegak hukum yang sebenarnya tidak dapat
dipastikan independensinya dari lembaga asalnya dan loyalitasnya terhadap KPK.
Lebih jauh, sebenarnya lembaga tempat KPK meminjam pegawai adalah lembaga
yang juga memiliki catatan korupsi. Peristiwa baru-baru ini saat Kepolisian
menarik kembali sejumlah penyidiknya dari KPK adalah salah satu contoh
ketidakefektifan dari sistem pinjam meminjam pegawai. Jika POLRI dapat
sewaktu-waktu menarik kembali pegawainya yang dipinjamkan kepada KPK,
maka seolah-olah pegawai tersebut adalah berada di bawah kontrol kepolisian. Ini
tentu memiliki dampak pada bagaimana para pegawai tersebut bekerja.
Hal yang mendasar tapi sangat penting bagi upaya pemberantasan yang
dilakukan adalah memahami latar belakang permasalahan terjadinya wabah
korupsi di negara masing-masing. ICAC memahami apa yang menjadi
permasalahan mendasar di Hong Kong sehinggadapat merancang strategi yang
efektif. Penyebab parahnya korupsi di Hong Kong lebih diakibatkan pada sistem
kontrol yang tidak berjalan serta monopoli kekuasaan yg tertumpuk pada
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Commissioner
Pimpinan KPK
Administration
Branch Penasihat
Universitas Indonesia
hal ini dapat ditafsirkan bahwa ICAC menempatkan prioritas yang berbeda antara
urusan administrasi lembaga dan urusan teknis pemberantasan korupsi yang
dijalankan oleh departemen. Fungsi utama tentu saja berada di tataran
departemen. Fungsi administrasi yang tidak sejajar dengan departemen dan berada
di posisi antara commissioner dan departemen menunjukkan bahwa
Administration Branch bersifat sebagai penyokong dari ketiga departemen.
Apabila mengamati website resmi dari ICAC, dapat terlihat gambaran dari hal ini
yakni ditonjolkannya ketiga departemen di halaman muka tanpa menonjolkan
Administration Branch. Akan tetapi, dalam laporan tahunan, Administration
Branch memiliki porsi pembahasan yang sama dengan ketiga departemen karena
tidak dapat dipungkiri bahwa keempat elemen tersebut sama pentingnya dan
bekerja secara sinergis.
Hal yang berbeda dapat dilihat pada struktur KPK. Tidak seperti pada
struktur ICAC yang sederhana dengan hanya memiliki tiga divisi, KPK memiliki
lima divisi. Kelima divisi tersebut adalah Deputi Bidang Pencegahan, Penindakan,
Informasi dan Data, Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, serta satu
Sekretariat Jenderal. Terdapat dua divisi yang sama di ICAC dan KPK yakni
pencegahan dan penindakan/operasi. Hal ini dirasa wajar karena memang secara
garis besar, kegiatan memberantas korupsi berkutat di kedua hal tersebut. yang
tidak dimiliki oleh ICAC adalah divisi informasi dan data serta pengawasan
internal dan pengaduan masyarakat yang berdiri sendiri. Pemisahan kedua bidang
tersebut dari divisi lain dapat dilihat melalui dua perspektif. Yang pertama, hal ini
menunjukkan bahwa struktur KPK tidak efisien dan dianggap melakukan
pemborosan pembagian divisi. Untuk apa membuat deputi bidang baru jika tugas
dan fungsinya dapat dilebur ke dalam deputi bidang lain? di ICAC, kedua fungsi
bidang tersebut dimasukkan ke dalam departemen lain. Kedua, hal ini dapat
dilihat secara positif dengan pemikiran bahwa dengan berdiri sendiri dan dipisah
secara lebih spesifik, maka kerja yang dilakukan akan lebih fokus dan menambah
optimalisasi fungsinya.
Di KPK, fungsi administrasi ditangani oleh Sekretariat Jenderal dengan
Sekretaris Jenderal sebagai pimpinannya. Sekjen di pilih oleh presiden namun
bertanggung jawab pada pimpinan KPK. Dalam struktur dapat dilihat bahwa
Universitas Indonesia
posisi antara empat Deputi Bidang dan Sekretariat Jenderal yang bertanggung
jawab secara administrasi adalah sejajar secara hierarki. Dengan demikian, maka
tidak terdapat pihak yang lebih atas atau bawah. Hal ini dirasa cukup berbeda jika
dibandingkan dengan struktur ICAC yang menempatkan bagian administrasi
terpisah dan tidak sejajar secara hierarki. Jika ingin mencari perbandingan, bahkan
dalam struktur organisasi Kepolisian, bagian administrasi (Renmin) diposisikan
terpisah dan tidak sejajar karena fungsinya yang bersifat menyokong. Posisi unik
Sekretariat Jenderal yang berada sejajar dengan Deputi Bidang sepatutnya
menjadi pertanyaan.
Yang terakhir, terlihat satu perbedaan lagi dalam struktur kedua lembaga.
Pada struktur KPK, terdapat Penasehat di antara Pimpinan dan kelima divisi di
bawahnya. Penasehat ini berfungsi memberikan saran dan masukan pada
pimpinan KPK. Hal ini tidak ditemui pada struktur ICAC. Fungsi penasehat pada
ICAC terdapat pada komite-komite tambahan yang tidak hanya ada di tingkat
Commissioner akan tetapi terdapat di setiap tingkatan termasuk tingkatan
departemen. Komite-komite tersebut juga mencakup fungsi kontrol internal. Pada
KPK, fungsi kontrol internal terdapat pada Direktorat Pengawasan Internal yang
bernaung di bawah Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat. Posisi bidang pengawasan internal yang sejajar dengan departemen
lain juga dapat memicu ketidakefisienan kinerjanya karena seharusnya fungsi
pengawasan dan kontrol internal memiliki posisi lebih independen dan berada
terpisah secara struktur dengan bidang-bidang yang diawasi olehnya. Jika
terbentuk secara sejajar, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kecenderungan
untuk tidak mematuhi pengawasan yang dilakukan oleh divisi pengawasan yang
terkait.
Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, struktur organisasi KPK
dibentuk dan didesain dengan landasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
sehingga apabila ingin melakukan perubahan atau pembaharuan struktur, otomatis
undang-undang tersebutlah yang harus direvisi.
Universitas Indonesia
ICAC KPK
1) Departemen Operasi 1) Renstra KPK 2004-2007
- investigasi proaktif - pembangunan Kelembagaan
- kerjasama antar lembaga domestik dan - penindakan
Internasional - pencegahan
- hubungan jaringan internasional - penggalangan keikutsertaan masyarakat
- teknologi dan spesialisasi kemampuan 2) Renstra KPK 2008-2011
2) Departemen Pencegahan Korupsi - koordinasi dan supervisi
- prosedur serta kontrol yang optimal - penindakan
untuk mencegah korupsi - pencegahan
- pemeriksaan mendalam pada area - pengawasan terhadap penyelenggaraan
rawan Korupsi negara
- saran yang tepat waktu (pencegahan 3) Renstra KPK 2011-2015
sejak awal) - Penanganan grand corruption,penguatan
- kerjasama dengan manajemen sektor “apgakum”
privat dan publik - perbaikan sektor strategis terkait
3) Departemen Hubungan Masyarakat kepentingan nasional
- penggunaan media massa - pembangunan pondasi Sistem Integrasi
- kontak langsung dengan masyarakat Nasional (SIN)
- penyesuaian kebutuhan sasaran - penguatan sistem politik berintegritas
dan masyarakat (CSO) paham integritas
- persiapan fraud control
4) Road Map KPK 2011-2023
- fase II, penanganan grand corruption
APGAKUM, perbaikan sektor strategis,
aksi Sistem Integritas Nasional, serta
perkembangan lebih lanjut dari persiapan
fraud control yakni implementasinya.
- fase III, optimalisasi penanganan sektor
strategis, optimalisasi Sistem Integrasi
Nasional (SIN), dan penanganan fraud
yang dilakukan oleh penyelenggara
negara
Sumber: Diolah dari berbagai sumber oleh peneliti
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pemimpin. Visi dan Misi pun selalu berganti pada setiap periode kepemimpinan.
Dampak dari perubahan-perubahan ini adalah, muncul potensi tidak tercapainya
keberhasilan dari strategi yang direncanakan, terutama apabila dalam rencana
strategis berikutnya, strategi tersebut tidak ikut dicantumkan. Akan tetapi, hal ini
juga dapat berdampak positif, yakni strategi yang dijalankan akan selalu
beriringan dengan perkembangan sosial masyarakat dan pola korupsi yang terjadi.
Dengan perubahan-perubahan yang terjadi, penyesuaian kebutuhan
pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dilakukan. Namun kenyataan yang
terjadi tidak mengarah kepada dugaan bahwa pergantian rencana strategis
dilakukan berdasarkan substansi perkembangan kebutuhan pemberantasan korupsi
tetapi lebih kepada alasan pergantian kepemimpinan saja. Ini tercermin pada
rencana strategis tahun 2011-2015. Rencana strategis tersebut adalah sebuah revisi
dari rencana strategis sebelumnya yang sudah dicanangkan yakni Renstra KPK
2010-2014. Revisi dilakukan karena perubahan visi, misi, tujuan, serta sasaran
strategis dari pimpinan KPK itu sendiri. Inkonsistensi ini lebih mengarahkan
kepada ketidakefektifan kinerja dari KPK daripada keefektifannya, jika dilihat
dari hasil kinerja pemberantasan korupsi secara umum.
Konsistensi dan kesinambungan yang diharapkan baru muncul pada
periode terakhir kepemimpinan KPK yakni melalui rancangan Road Map KPK
dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Tahun 2011-2023. Dalam rancangan
tersebut, dirancang bagaimana rencana KPK dalam tiga fase dari mulai tahun
2011 lalu hingga nanti tahun 2023. Rancangan ini dibentuk tentunya dengan
harapan bahwa dengan adanya pergantian kepemimpinan selanjutnya, maka
pemimpin selanjutnya akan patuh dan konsisten kepada rancangan jangka panjang
ini. Apabila ternyata di kepemimpinan berikutnya tidak mengikuti strategi jangka
panjang ini, maka akan sia-sia saja rancangan road map ini disusun. Pergantian
strategi yang tidak sesuai dengan road map ini sebenarnya sangat mungkin terjadi
mengingat budaya periode-periode sebelumnya yang selalu mengganti visi, misi,
serta strateginya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kepemimpinan baru
KPK.
Universitas Indonesia
ICAC KPK
1) Seleksi pegawai 1) seleksi pegawai
Di masa awal, pegawai diambil dari perwira Di masa awal, pegawai diambil dari institusi
polisi inggris, polisi senior Hong Kong yang kepolisian dan kejaksaan untuk menutup
terpercaya, serta pemuda Hong Kong yang kebutuhan penyidik dan penuntut. Saat ini,
diseleksi ketat dan diselidiki latar belakangnya. masih terdapat pegawai dari dua institusi
Sampai sekarang, pegawai ICAC diseleksi tersebut. KPK juga melakukan seleksi sendiri
secara ketat sesuai standar yang sama. (Indonesia Memanggil) dengan standar tes
Commissioner ditunjuk oleh Dewan Negara yang cukup tinggi dengan skala kualitas nilai 1-
Republik Rakyat Cina berdasarkan 4. Ketua KPK diseleksi oleh tim seleksi dan
rekomendasi dari Chief Executive Hong Kong melalui proses fit and proper test di DPR
2) Kepegawaian 2) Kepegawaian
- klasifikasi pegawai direktorat, CACO, - klasifikasi pegawai tetap, pegawai
CACI serta pegawai negeri dengan negeri yang diperkerjakan, pegawai tidak
gelar tambahan CAC tetap (kontrak)
- gaji CACO dan CACI berbeda dengan - gaji pegawai KPK lebih besar dari
pegawai negeri (ICAC Pay Scale) pegawai instansi pemerintah lain
- peningkatan karir sesuai prestasi, - zero tolerance terhadap perbuatan
reward and punishment terhadap korupsi yang dilakukan oleh pegawainya
pegawai
3) Wilayah Kasus 3) Wilayah Kasus
Seluruh kasus korupsi - melibatkan penyelenggara negara atau orang
yang terkait dengan korupsi yang dilakukan
pemyelenggara negara
- Meresahkan masyarakat
- kerugian negara minimal Rp 1 Miliar
4) Akuntabilitas 4) Akuntabilitas
- Bertanggung jawab kepada Chief - Bertanggung jawab kepada publik
Executive - Penerbitan Laporan Tahunan KPK
- Penerbitan ICAC Annual Report - Survei Persepsi Masyarakat
- ICAC Annual Survey
5) Pengawasan Internal 5)Pengawasan Internal
- Advisory Committee on Corruption - Penasihat KPK
- Internal Investigation and Monitoring - Direktorat Pengawasan Internal
Group
Universitas Indonesia
ICAC KPK
- Operation Review Committee, Corruption
Prevention Advisory Committee, Citizens
Advisory Committee on Community Relation
- ICAC Complaints Committee
6) Fasilitas dan Keterjangkauan 6) Fasilitas dan Keterjangkauan
- gedung mewah dengan fasilitas canggih - gedung dengan kapasitas terbatas di
di North Point dengan 7 kantor cabang Kuningan tanpa kantor cabang
Sumber: Diolah dari berbagai sumber oleh peneliti
Universitas Indonesia
website ICAC dan mendapatkan secara jelas deskripsi pekerjaan yang dibuka serta
keterangan lainnya secara lengkap. Sementara itu, KPK secara rutin melakukan
rekrutmen yag dinamakan Indonesia Memanggil. IM sudah dilaksanakan
beberapa tahun dengan melakukan proses seleksi yang ketat. Standar yang
diberlakukan di kedua lembaga untuk menerima pegawai baru cukup tinggi.
Bahkan di KPK, apabila tidak ada calon yang berhasil memenuhi kualifikasi,
maka jabatan atau posisi yang ditawarkan tersebut akan tetap kosong. Akan tetapi,
yang menjadi persoalan adalah mekanisme pemilihan ketua lembaga. Di ICAC,
commissioner ditunjuk oleh Dewan Negara RRC setelah direkomendasikan oleh
Chief Executive. Dengan demikian, tidak ada kemungkinan terdapat intervensi
dari kalangan politisi dalam proses pemilihannya. Di KPK, untuk menjadi ketua
KPK harus mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR. Hal ini membuka
peluang terjadinya intervensi kepentingan kelompok politik tertentu karena DPR
berisi wakil-wakil partai politik.
Status pegawai di ICAC dan KPK secara garis besar sama. Pegawai utama
dari kedua lembaga bukanlah berstatus pegawai negeri pemerintah melainkan
pegawai yang bersifat independen dimiliki oleh lembaga. Pegawai ICAC sebagian
besar adalah pegawai tingkatan CACO dan CACI dengan keterikatan kontrak
kerja dan pegawai negeri yang juga dipekerjakan di ICAC. Di KPK, selain
pegawai tetap, terdapat pegawai kontrak dan pegawai negeri yang dipekerjakan.
Tingkatan tertinggi adalah pegawai tetap KPK. Pegawai kontrak dan pegawai
negeri yang dipekerjakan dapat naik menjadi pegawai tetap.
Mengenai gaji, keduanya juga sama-sama memiliki gaji yang berada di
atas pegawai negeri biasa di masing-masing negara. Aturan yang dijalankan juga
sama-sama ketat, yakni penerapan reward and punishment. Ketika salah satu
pegawai dari kedua lembaga terbukti melakukan korupsi, akan segera diproses
tanpa diberi kelonggaran. Dengan demikian, secara kepegawaian kedua lembaga
tersebut secara garis besar menerapkan kebijakan yang sama.
Poin berikutnya yakni tentang wilayah kasus menunjukkan adanya
perbedaan yang sangat mencolok. ICAC berwenang menangani kasus korupsi
yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan yang terkait dengan korupsi yang
dilakukan oleh penyelenggara negara, sama dengan kewenangan yang dimiliki
Universitas Indonesia
oleh KPK. Namun, KPK memiliki tambahan syarat yakni kasus tersebut termasuk
dalam kategori meresahkan masyarakat banyak dan dengan potensi kerugian
sebesar minimal Rp 1 Miliar. Dua persyaratan tambahan ini cukup menarik untuk
ditelaah lebih lanjut. Poin pertama adalah korupsi tersebut haruslah mendapat
perhatian sehingga meresahkan masyarakat. Hal ini sebenarnya cukup terdengar
ganjil dan dapat dipertanyakan. Secara akal sehat, apakah ada masyarakat yang
tidak resah apabila aparatur negaranya melakukan korupsi? Apakah masyarakat,
yang membayar pajak dan menggantungkan harapan perbaikan negara pada
pejabat-pejabat pemerintahan, tidak resah jika mengetahui bahwa uang yang
mereka berikan lewat pajak ternyata justru diselewengkan? Tentunya warga
negara yang waras akan merasa resah dan terganggu dengan hal ini. Lagipula,
tidak terdapat adanya indikasi dan parameter yang jelas mengenai perkara korupsi
yang meresahkan masyarakat dan tidak meresahkan masyarakat. Perkara yang
meresahkan masyarakat biasanya adalah perkara korupsi yang besar sehingga
media kemudian memberitakannya kepada khalayak luas sehingga masyarakat
mengetahui dan mencium kasus tersebut. Apabila kasus tersebut secara kebetulan
tidak tercium oleh media dan tidak diberitakan, apakah masyarakat akan resah?
Bagaimana bisa masyarakat resah apabila bahkan mereka sendiri tidak
mengetahui kasus korupsi sedang terjadi?
Jika dilihat lebih dalam, hal ini sebenarnya merupakan sebuah celah
hukum yang dapat dimanfaatkan baik oleh pelaku korupsi maupun penegak
hukum di KPK yang mau diajak bekerjasama. Poin kedua adalah mengenai
jumlah minimal kerugian yang diderita oleh negara yang berada di angka minimal
Rp 1 Miliar. Kasus korupsi yang jumlah kerugiannya di bawah angka tersebut
merupakan kewenangan dari penegak hukum lain. Persoalannya, dalam
menangani suatu kasus korupsi, jumlah kerugian hanya dapat ditaksir dan
tentunya angka taksiran tersebut belum tentu tepat jika belum mendapat cukup
bukti dan putusan. Adanya pembagian peran berdasarkan jumlah kerugian
tersebut mungkin memang didasari oleh tujuan efisiensi agar beban kerja KPK
yang masih terbilang lembaga baru tidak terlalu banyak atau dengan alasan agar
tercipta wilayah kasus bagi penegak hukum lain untuk ditangani. Apapun
Universitas Indonesia
alasannya, yang jelas hal ini perlu implementasi yang rapi di lapangan agar tidak
tercipta konflik antar penegak hukum dan KPK.
Poin berikutnya yang juga menjadi pokok dari strategi kedua lembaga
adalah mengenai akuntabilitas. Secara garis besar, ICAC dan KPK memiliki
mekanisme akutabilitas yang sama yakni adanya laporan tahunan serta survei
tahunan. ICAC bertanggung jawab langsung kepada Chief Executive Hong Kong,
sedangkan KPK bertanggung jawab kepada publik dan juga harus menyampaikan
laporan secara terbuka dan berkala kepada Presiden RI, Dewan Perwakilan
Rakyat, serta Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam melakukan tanggung jawabnya
kepada publik, KPK harus melakukan audit terhadap kinerja dan keuangannya,
menerbitkan laporan keuangan, serta membuka akses informasi. Jika hanya
bertanggung jawab kepada publik maka sebenarnya terjadi kerancuan di poin ini.
Makna publik sangat luas. Jika hanya dianggap bahwa mengaudit, menerbitkan
laporan tahunan, dan membuka akses informasi, maka kontrol dari publik atas hal
tersebut sebenarnya kurang kuat. Presiden dan jajaran DPR serta BPK yang
menerima laporan secara terbuka dan berkala tidak dapat dianggap sebagai sebuah
pengontrol atas KPK karena KPK tidak bertanggung jawab pada mereka.
Di satu sisi, independensi ini berarti bahwa KPK adalah lembaga yang
tidak dicampuri oleh campur tangan pihak manapun dan dengan demikian bekerja
tanpa adanya kepentingan luar yang bermain. Akan tetapi jika melihat
keberhasilan ICAC yang memiliki tanggung jawab langsung pada pemimpin
tertinggi Hong Kong, maka sebenarnya kontrol dari pemimpin yang lebih tinggi,
jika diiringi pengawasan dari luar yang kuat seperti ICAC di Hong Kong akan
membuat KPK lebih disiplin dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi.
Seandainya di dalam tubuh KPK sendiri terdapat perbuatan korupsi, maka KPK
akan sangat bebas dan hanya perlu menyerahkan laporan pada publik melalui
laporan tahunan yang kemungkinan terburuknya dapat dimanipulasi dan kepada
presiden, DPR, dan BPK tanpa perlu bertanggung jawab pada siapapun secara
langsung.
Bagaimana tentang pengawasan internal di dalam tubuh kedua lembaga?
Pada poin pengawasan internal ini, ICAC lebih maju karena memiliki mekanisme
pengawasan internal yang lebih lengkap. Di setiap tingkatan struktur, ICAC
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sementara itu, KPK hanya memiliki satu kantor di Jalan Rasuna Said di
wilayah Kuningan. Kantor ini tidak dapat disebut layak karena kapasitasnya yang
sudah terlalu penuh untuk menampung pegawai KPK. Saat ini, kapasitas gedung
sudah terlampaui oleh jumlah pegawai KPK sehingga membutuhkan gedung baru.
Wacana mengenai gedung baru ini sebenarnya telah bergulir di tahun 2012 namun
tidak tercapai karena beberapa alasan. Padahal, KPK sangat membutuhkan gedung
yang layak demi hasil kinerja yang optimal. Yang lebih parah lagi, KPK tidak
memiliki kantor cabang yang tersebar di wilayah Indonesia. Otomatis, untuk
melaksanakan operasi atau program pencegahan di daerah di luar Jakarta, KPK
harus mengeluarkan angggaran dan biaya untuk perjalanan dan akomodasi selama
di daerah tujuan. Dapat dibayangkan, dengan luas wilayah Indonesia yang sangat
luas, lembaga anti korupsi yang dimiliki hanya menempati satu gedung kecil di
Jakarta. Jangan harap bahwa KPK dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat
secara berkesinambungan di seluruh pelosok Indonesia, karena memang secara
nyata hal tersebut sangat sulit dengan keterbatasan yang dihadapi saat ini. Tentu
sangat tidak efisien jikaanggaran yang terbatas terlalu banyak digunakan untuk
sekedar membiayai transportasi serta akomodasi pegawai KPK jika ingin pergi ke
daerah. Padahal, menyentuh wilayah di luar Jakarta sangat penting bagi KPK jika
ingin memberantas korupsi secara holistik dan secara sistemik.
Universitas Indonesia
Dari tabel perbandingan di atas, sudah cukup jelas bahwa ICAC memiliki
strategi jangka panjang yang dijalankan secara berkesinambungan sementara KPK
tidak memilikinya. ICAC membagi strategi jangka panjang tersebut ke dalam tiga
fase. Tiap fase ini disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan dari masyarakat
Hong Kong. Pada fase pertama, ICAC lebih fokus pada pembangunan
kepercayaan, karena saat itu ICAC masih merupakan lembaga yang baru dan
masyarakat masih didera rasa putus asa karena sebelumnya institusi kepolisian
begitu rusak oleh perilaku korupsi. Di fase kedua, arah fokus berganti kepada
pemberian layanan dan informasi kepada sektor privat dan publik agar tercipta
sistem internal yang tidak membuka jalan bagi terjadinya korupsi. Kemudian di
fase ketiga hingga sekarang, ICAC lebih berfokus pada bagaimana menciptakan
peningkatan keteladanan pemimpin, meningkatkan rasa memiliki di antar
pegawai-pegawai pemerintah, serta membangun kemitraan antar lembaga publik.
Meskipun terjadi pergantian kepemimpinan secara berkala di dalam
struktur ICAC, strategi jangka panjang tersebut tetap dijadikan fokus utama
hingga kini. Strategi jangka panjang KPK hanya tersusun pada tahun 2011, yang
rencananya akan dijalankan hingga tahun 2023 nanti. Dengan demikian, strategi
Universitas Indonesia
yang dirancang untuk jangka panjang ini belum terbukti apakah benar-benar
dijalankan atau tidak. Sebelumnya, selalu terjadi pergantian strategi secara
sendiri-sendiri antar pemimpin KPK. Setiap pimpinan memiliki fokus yang
berbeda sehingga tidak tercipta kesinambungan dalam hal pemberantasan korupsi
di Indonesia.
Semestinya KPK dapat mencontoh ICAC dalam hal ini sejak awal masa
pembentukannya. Namun yang terjadi, baru di tahun 2011 hal ini dirancang.
Meskipun demikian, keterlambatan masih lebih baik daripada tidak sama sekali.
Yang harus dilakukan sekarang oleh pimpinan KPK adalah memastikan bahwa
strategi jangka panjang yang telah disusun tersebut akan dijalankan oleh periode
kepemimpinan berikutnya. Jika melihat dari jangka waktunya, maka setidaknya
akan terjadi dua kali lagi pergantian ketua dan wakil ketua KPK. Dengan
demikian, apabila nanti Abraham Samad kembali terpilih, masih ada satu periode
lagi di saat Abraham tidak dapat memegang jabatan ketua KPK untuk ketiga
kalinya, dan saat itu akan muncul ketua baru.
Universitas Indonesia
Dari tabel perbandingan di atas dapat terlihat bahwa ICAC memiliki pola
penindakan yang sesuai dengan rencana strategis yang telah ditetapkan di awal.
ICAC memaparkan program-program yang telah dilakukan yang semuanya
didasari oleh rencana strategis. Sementara itu, KPK pada laporan tahunannya
lebih banyak memaparkan tentang bagaimana KPK berkoordinasi dengan penegak
hukum lain di dalam sistem peradilan. Selain itu KPK juga lebih banyak
memaparkan laporan penindakan seperti penyidikan dan penuntutan, serta
menonjolkan informasi mengenai kegiatan supervisi yang telah dilakukan
terhadap Kejaksaan dan Kepolisian.
Mengenai strategi yang dijalankan, terdapat kesamaan yakni misalnya
peningkatan optimalisasi pelacakan kasus, yang dicerminkan dari quick respond
team dan kerjasama dengan kontak tertentu di sektor privat dan publik di ICAC
dan online monitoring system di KPK. Keduanya adalah pola penindakan yang
dilakukan untuk melacak terjadinya kasus secara cepat. Kemudian, dalam hal
Universitas Indonesia
4.4.1.2 Pencegahan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dari tabel hasil laporan pencegahan yang telah dilakukan oleh kedua
lembaga, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga sama-sama
memiliki program-program pencegahan yang serupa. Tiga poin penting yang
menjadi inti dari pencegahan oleh kedua lembaga adalah adanya kerjasama
dengan sektor privat, publik, serta dengan lembaga internasional, adanya
pengkajian atas penyebab korupsi di berbagai sektor, serta adanya kontrol dan
follow up dari lembaga terhadap hasil rekomendasi yang telah diberikan pada
sasaran pencegahan.
Secara garis besar, kedua lembaga sudah memiliki pola yang sama dalam
hal pencegahan. Akan tetapi, karena KPK memiliki satu tambahan tugasyang
tidak dimiliki oleh ICAC yakni fungsi trigger mechanism, maka KPK banyak
memiliki program tambahan dalam kaitannya dengan optimalisasi fungsi
tambahan tersebut.
Masalah yang dapat dilihat pada umumnya sama dengan yang telah
dibahas sebelumnya yakni mengenai pola keterjangkauan. Pencegahan adalah
sektor yang penting, dan sangat membutuhkan adanya keterjangkauan terhadap
seluruh lapisan elemen dan wilayah di negaranya jika ingin mendapatkan hasil
yang efektif dan progresif. Di Hong Kong, tentu saja penanganannya dilakukan
secara menyeluruh mengingat ICAC memiliki tujuh buah kantor cabang, dan luas
wilayahnya pun cukup kecil sehingga memudahkan untu dijangkau. KPK tidak
memiliki kelebihan itu semua sehingga dapat dilihat dari laporan tahunan bahwa
program-program pencegahan KPK hanya mampu berjalan pada beberapa
institusi saja. Sebagai gambaran, lihatlah program SPAK dan PIAK. Kedua
program tersebut sangat bagus untuk diterapkan sebagai bagian dari pola
pencegahan. Akan tetapi, jumlah instansi publik maupun swasta yang dijadikan
sasaran masih sangat terbatas. Ini dikarenakan masih adanya keterbatasan KPK
dalam keterjangkauan. Dari ratusan badan publik serta privat/swasta, jumlah yang
berhasil dijalankan program SPAK dan PIAK dapat dihitung dengan jari. Tentu
saja pencegahan dengan pola kuantitas yang amat minim seperti ini tidak banyak
memberikan dampak secara makro.
Dalam melakukan porsi pencegahan, KPK juga masih membatasi diri pada
pencegahan di sekitar badan atau instansi milik pemerintah. Sektor privat yang
Universitas Indonesia
menjadi sasaran juga masih berkutat pada BUMN dan belum menyentuh pihak
swasta secara murni. Padahal, pihak swasta juga harus diberikan pemahaman yang
baik agar tidak mencoba-coba bermain dengan pejabat di sektor publik. Ini hal
yang penting karena secara umum, korupsi harus diberantas secara sistem tanpa
ada satu bagian pun yang dilewatkan. Melihat kondisi saat ini, rupanya KPK
masih belum mampu menjalankannya secara menyeluruh.
Universitas Indonesia
Dari segi pendidikan masyarakat, ICAC dan KPK memiliki banyak sekali
kemiripan program. Mulai dari program penyuluhan pada berbagai kalangan,
penggunaan media massa sebagai cara sosialisasi, serta penggalangan dukungan
masyarakat melalui acara-acara bertemakan anti korupsi. ICAC dan KPK bahkan
juga sama-sama memiliki kendaraan yang berfungsi sebagai sosialisator nilai-nilai
anti korupsi. Tidak perlu lagi rasanya secara spesifik membahas satu persatu
perbandingan program-program yang telah dijalankan karena sangat serupa.
Akan tetapi, sama seperti permasalahan yang telah dibahas sebelumnya
pada sisi penindakan dan pencegahan, keterjangkauan KPK terhadap keseluruhan
sektor dan lapisan masih amat minim. KPK tidak mampu menjangkau seluruh
wilayah di Indonesia secara intensif dan berkesinambungan karena masih
terkendala jarak dan keterbatasan. Seandainya KPK memiliki cabang-cabang di
daerah, maka tentu KPK akan mampu melaksanakan program-programnya secara
lokal dan intensif seperti yang dilakukan oleh ICAC.
Tujuan dari pendidikan anti korupsi salah satunya adalah meningkatkan
awareness masyarakat mengenai tindak pidana korupsi di sekitarnya dan
menumbuhkan semangat bersama pemberantasan korupsi karena pemberantasan
korupsi tidak mungkin dilakukan tanpa adanya dukungan dari masyarakat. Karena
KPK tidak melakukan pendidikan anti korupsi yang dapat menjangkau seluruh
lapisan masyarakat secara intensif dan berkesinambungan, maka tujuan tersebut
tidak tercapai secara baik. Hal ini dapat dilihat misalnya dari atensi masyarakat
pada acara-acara bertemakan anti korupsi yang diselenggarakan, misalnya pada
perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia pada 9 Desember. Di Hong Kong, acara
semacam ini dihadiri oleh ribuan warga yang antusias. Sedangkan di Indonesia,
jumlah pengunjung yang memadati jauh lebih sedikit. Ini menunjukkan bahwa di
Universitas Indonesia
masyarakat belum terbentuk sikap kepedulian pada isu anti korupsi secara penuh
dan belum semua percaya dengan kapabilitas KPK dalam menangani korupsi.
Survei yang dilakukan oleh KPK (Survei Persepsi Masyarakat) sendiri
menunjukkan bahwa masyarakat tidak secara bulat memiliki kepercayaan pada
KPK. Padahal di Hong Kong, hasil survei tahunan telah menunjukkan bahwa
masyarakat mendukung ICAC hampir secara bulat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Hasil CPI inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa secara umum, Hong
Kong dipersepsikan sukses menangani masalah korupsi sedangkan di Indonesia
masih belum optimal. CPI yang dikeluarkan oleh lembaga Transparecy
International merupakan salah satu tolak ukur persepsi korupsi yang telah diakui
dan digunakan secara global. Angka penilaian ini menunjukkan perbedaan yang
sangat jauh antara kedua negara. Secara umum, terlihat bahwa peringkat
Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan Hong Kong.
Universitas Indonesia
ICAC KPK
1) Potensi perubahan pola akibat 1) Wacana Pelemahan lembaga KPK dan
pergantian sistem negara 50 tahun “Kriminalisasi” pimpinan KPK
setelah tahun 1997 2) Tidak memiliki kapasitas untuk
2) Potensi terulangnya peristiwa “1990- menindaklanjuti rekomendasi
an” 3) Dianggap kurang maksimal dalam
menangani kasus dengan tersangka
pejabat senior
4) Dianggap kurang maksimal dalam area
pencegahan korupsi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
89 Universitas Indonesia
masing lembaga, sebenarnya ICAC dan KPK memiliki kesamaan pola strategi
yang dijalankan. Namun, yang dilakukan oleh ICAC lebih efektif karena
dilakukan dengan menjangkau seluruh sudut wilayah yurisdiksinya serta
menyentuh seluruh tingkatan masyarakat. KPK tidak mampu melaksanakannya
karena terkendala dengan keterbatasan tingkat keterjangkauan. Selanjutnya, jika
mencermati jumlah anggaran dan jumlah pegawai masing-masing lembaga, maka
ICAC masih berada di atas KPK, dengan jumlah anggaran dan pegawai yang jauh
lebih besar dari KPK.
Berbagai perbedaan pola kerja tersebut pada akhirnya tercermin secara
lugas dari hasil survei CPI oleh Transparency International yang menempatkan
Indonesia di jajaran peringkat bawah negara-negara terkorup dan menempatkan
Hong Kong di jajaran peringkat teratas bersama negara-negara bersih lainnya.
Meskipun begitu, masing-masing tetap memiliki permasalahan dan tantangan
masing-masing yang harus dihadapi serta dipersiapkan jalan keluarnya.
5.2 Saran
Universitas Indonesia
Kedua, karena rencana strategi KPK dinilai masih belum terlalu berfokus
pada satu hal yang konsisten dari waktu ke waktu, maka diperlukan adanya
penyusunan ulang strategi tersebut agar memenuhi paling tidak dua hal, yakni
fokus pada akar permasalahan yang utama yakni pembenahan sistem, serta harus
bersifat jangka panjang dan berkesinambungan antara satu periode kepemimpinan
ke periode selanjutnya.
Ketiga, perlu adanya penyempurnaan pola kelembagaan di dalam tubuh
KPK yakni dalam kaitannya dengan mekanisme akuntabilitas, pengawasan
internal, fasilitas, serta keterjangkauan. Jumlah anggaran dan jumlah pegawai juga
harus ditambah secara realistis sesuai dengan ketersediaan dan kebutuhan.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmasasmita, Romli. Globalisasi dan Kejahatan Bisnis. Jakarta: Kencana, 2010
Brantingham, P and Brantingham, P. Patterns in Crime. New York: Macmillan
Publishing Company, 1984
Djaja, Ermansjah. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi). Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Davidsen, S, Vishnu Juwono, and David G. T. Curbing Corruption in Indonesia
2004-2006. Yogyakarta: Kanisius Printing House, 2006
Hamzah, Fahri. Demokrasi, Transisi, Korupsi: Orkestra Pemberantasan Korupsi
Sistemik. Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012
-----------------.Kemana Ujung Century?: Penelusuran dan Catatan Mantan
Anggota Pansus Hak Angket Bank Century DPR-RI. Jakarta:
Yayasan Faham Indonesia, 2011
Klitgaard, R. Membasmi Korupsi.(diterjemahkan oleh Hermojo). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998.
Klitgaard, R., Maclean-Abaroa, R. and Parris, H.L Penuntun Pemberantasan
Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, (diterjemahkan oleh Masri
Maris). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Manion, Melanie. Corruption by Design: Building Clean Government in
Mainland China and Hong Kong. USA: Harvard University Press,
2004
Mochtar, Akil. Memberantas Korupsi: Efektivitas Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian dalam Gratifikasi. Jakarta: Penerbit Q-Communication,
2006
Parwadi, Redatin. Koruptologi.Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010
Rose-Ackerman, Susan. Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, Akibat,dan
Reformasi, (diterjemahkan oleh Toenggoel P. Siagin) Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2006
Soedarso, Boesono. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2009
Soekardi, Sugriwadi. Dibawah Cengkeraman KPK: Pergulatan Para Korban
Penyalahgunaan Kewenangan KPK. Jakarta: Penerbit CV Ricardo, 2009
Universitas Indonesia
Publikasi Lembaga
Independent Commission Against Corruption (Hong Kong Special Administrative
Region). 2007-2011 Annual Report. Hong Kong: Independent
Commission Against Corruption, 2007-2011
Indonesia Corruption Watch. Independent Report,Corruption Assessment and
Compliance United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)-
2003 in Indonesian Law. Jakarta: Penerbit Indonesia Corruption
Watch, 2008
Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan Tahunan KPK 2007-2011. Jakarta:
Komisi
Pemberantasan Korupsi, 2007-2011
Komisi Pemberantasan Korupsi. Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi,
2006
Komisi Pemberantasan Korupsi. Rencana Stratejik Komisi Pemberantasan
Korupsi 2008- 2011. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi,
2008
Komisi Pemberantasan Korupsi. Rencana Strategis Komisi Pemberantasan
Korupsi 2004- 2007. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi,
2004
Komisi Pemberantasan Korupsi. Rencana Strategis Komisi Pemberantasan
Korupsi Tahun 2011-2015. Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi, 2011
United Nations. United Nations Convention Against Corruption. New York:
Penerbit United Nations, 2004
Universitas Indonesia
Artikel Jurnal
Azra, A. Korupsi Dalam Perspektif Good Governance. Jurnal Kriminologi
Indonesia, Vol. 2 No.1 (Januari 2002): 31-36
Argandona, A. The United Nations Convention against Corruption and Its Impact
on International Companies. Journal of Business Ethics, Vol. 74, No. 4,
Ethics in and of Global Organizations: The EBEN 19th Annual
Conference in Vienna (Sep., 2007): 481-496
Carlson, J.: “Money Laundry and Corruption: Two Sides of the Same Coin”, No
Longer Business as Usual dalam Argandona, A. The United
Nations Convention against Corruption and Its Impact on International
Companies. Journal of Business Ethics, Vol. 74, No. 4, Ethics in and
of Global Organizations: The EBEN 19th Annual Conference in Vienna
(Sep., 2007): 481-496
de Graaf, G. Causes of Corruption: Towards a Contextual Theory of Corruption,
Public Administration Quarterly, vol. 31, No 1/2 (Spring-Summer 2007):
39-86
Skidmore, Max. Promise and Peril in Combating Corruption: Hong Kong’s
ICAC, Annals of the American Academy of Political and Social
Science, Vol. 547, The Future of Hong Kong (Sep., 1996): 118-130
Publikasi Elektronik
Aidilla, Tahta. “Kekurangan Penyidik, KPK Kesulitan Tangani Puluhan Kasus
Nazaruddin”
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/08/17/lq1wpc
-kekurangan- penyidik-kpk-kesulitan-tangani-puluhan-kasus-nazaruddin
(Diakses pada 29 November 2012)
Daniel, Wahyu. “Dirjen Pajak: Korupsi, Penyakit Kronis Sejak Zaman VOC”.
http://finance.detik.com/read/2011/12/06/100522/1783593/4/dirjen
-pajak-korupsi- penyakit-kronis-sejak-zaman-voc (Diakses 19
November 2012)
Universitas Indonesia
Gatra, Sandro. “Para Politisi Minta Standar Seleksi Pegawai KPK Diturunkan”.
http://nasional.kompas.com/read/2012/06/21/22553981/Para.Polit
isi.Minta.Standar.S eleksi.Pegawai.KPK.Diturunkan.(diakses 9
Desember 2012)
GovHK. “ICAC budget report 2012”.
www.budget.gov.hk/2012/eng/pdf/head072.pdf (diakses 4 Desember
2012)
GovHK. “ICAC budget report 2011”.
www.budget.gov.hk/2011/eng/pdf/head072.pdf (diakses 4 Desember
2012)
GovHK. “ICAC budget report 2010”.
www.budget.gov.hk/2010/eng/pdf/head072.pdf (diakses 4 Desember
2012)
Independent Commission Against Corruption (Hong Kong). “ICAC Annual
Survey 2011, Executive Summary”.
http://www.icac.org.hk/en/useful_information/sd/sd/index.html
(Diakses 29 November 2012)
Independent Commission Against Corruption (Hong Kong). “History”.
http://www.icac.org.hk/new_icac/eng/abou/history/main_2.html
(diakses 13 November 2012)
Independent Commission Against Corruption (Hong Kong). “Homepage”
http://www.icac.org.hk/en/home/index.html (Diakses 17 November
2012)
Independent Commission Against Corruption (Hong Kong). “Legal
Empowerment” http://www.icac.org.hk/en/about_icac/le/index.html
(Diakses 18 Novermber 2012)
JSSCS GovHK. “Chapter 10 ICAC Overview” www.jsscs.gov.hk/.../gs_ch10.pdf
(diakses 9 Desember 2012)
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. “Pola” http://kbbi.web.id/ (Diakses 3
Desember 2012)
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. “Kerja” http://kbbi.web.id/ (Diakses 3
Desember 2012)
Komisi Pemberantasan Korupsi . “Peluncuran Film’Kita versus Korupsi’:
Kampanye Antikorupsi melalui
Film”http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid =2518
(diakses 2 Desember 2012)
Maharani, Esthi. “Kasus Wisma Atlet dan Hambalang, Kejahatan Terorganisasi”.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/06/24/m6480
Universitas Indonesia
h-kasus-wisma- atlet-dan-hambalang-kejahatan-terorganisasi
(Diakses 24 November 2012)
Maharani, Dian. “Kronologi Penyelidikan Kasus Simulator Versi Polri”
http://nasional.kompas.com/read/2012/08/04/10353221/Kronologi.
Penyelidikan.Kasu s.Simulator.Versi.Polri (Diakses 24 November
2012)
Masduki, Teten. “Corruption Perception Index 2011 Indonesia Masih Berada di
Jajaran Bawah Negara-negara Terbelenggu Korupsi”
http://www.ti.or.id/index.php/publication/2011/12/01/corruption-
perception-index- 2011. (Diakses 19 November 2012)
Merriam-Webster Dictionary. “Pattern”. http://www.merriam-
webster.com/dictionary/pattern (diakses 3 Desember 2012)
Oxford Dictionaries. “Pattern”
http://oxforddictionaries.com/definition/english/pattern?q= pattern
(Diakses 3 Desember 2012)
Oxford Dictionaries. “work”
http://oxforddictionaries.com/definition/english/work?q= work (Diakses
3 Desember 2012)
Santoso, Ferry. “Gaji Penyidik di KPK Lebih Besar 400 Persen”
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/12/15294581/Gaji.Penyi
dik.di.KPK.Lebih.
Besar.400.Persen.utm.source.WP.utm.medium.box.utm.campaign.
Kpopwp (Diakses 11 Desember 2012)
Transparency International. Survey: Putting Corruption Out of Business,
Question 1. http://www.transparency.org/research/bps2011/ (Mei-Juli,
diakses 29 November 2012)
Universitas Indonesia