A. BUYA HAMKA
Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Februari 1908 M/13
Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama. Gelar Buya
dari kata abi atau abuya yang dalam bahasa Arab berarti ayahku, atau seseorang
yang dihormati. 1
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut Haji
Rasul bin Syehk Muhammad Amarullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdul
1
Baidatul Raziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), 188.
Saleh. Beliau adalah pelopor dalam gerakan Islam kaum muda di Minangkabau
Mekkah.2Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w.
1934). Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang
Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur
ibunya.3
Buya Hamka adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai
orang yang mempunyai integritas tinggi dalam bidang moral dan keilmuwan.
Beliau adalah seorang cendekiawan dan ulama terkemuka di Indonesia. Selain itu
dengan pemikirannya, Buya Hamka juga dikenal sebagai seorang yang mampu
dalam beberapa bidang keilmuan, antara lain tafsir, tasawuf, fiqh, sejarah, filsafat,
dan sastra.4
Pada tahun 1914, Abdul Malik, nama panggilan Hamka sewaktu kecil,
2
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, jilid IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 532.
3
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 15.
4
Abd Haris, Etika Hamka (Yogyakarta: LKiS, 2010), 1,2.
5
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Mas,1990), 34.
sekitar 3 tahun-dan malamnya belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam.
Sejak kecil ia juga sangat senang nonton film. Bahkan karena hobinya ini, ia
pernah “mengicuh” guru ngajinya karena ingin menonton Eddie Polo dan Marie
umpamanya, tiap film yang berputar terus diikutinya. Melalui film-film itu, kerap
orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika
yang kawin lebih dari satu. Sebab hal tersebut dapat merusak ikatan dan
Padang Panjang dan di Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi
diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat ini
sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja, kapur, dan
klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya.
waktu ini, sistem hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan
pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf Arab dan
latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari-dengan membaca-
temannya yang fasih membaca kitab, akan tetapi tidak bisa menulis dengan baik.
Meskipun tidak puas dengan sistem pendidikan waktu itu, namun ia tetap
hanya ingin mengunjungi kakak iparnya, A.R. St. Mansur dan kakaknya Fathimah
berkembang saat itu. Akan tetapi, karena melihat demikian besar keinginan
anaknya untuk menambah ilmu pengetahuan dan yakin anaknya tidak akan
dengan beberapa ulama’ waktu itu, seperti Ki Bagus Hadi Kusumo (tafsir), R.M.
6
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 15-21.
Soeryopranoto (sosiologi), K.H. Mas Mansur (filsafat dan tarikh Islam), Haji
3. Karir Organisasi
Pada tahun 1927, Buya Hamka bekerja sebagai guru agama di Perguruan
Tebing Tinggi, Medan dan pernah menjadi guru agama di Padang Panjang pada
tahun 1929. Beliau kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta
dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga 1958.
Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga 1960,
beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia,
menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syura Muslimin
Indonesia.7
1928 sampai dengan 1950, beliau mulai mengetuai dan memimpin kegiatan
Padang Panjang, Makasar, Sumatra Barat, dan Yogyakarta. 8 Pada tahun 1928,
beliau mejadi ketua cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929,
Buya Hamka mendirikan pusat latihan dakwah Muhammadiyah dan dua tahun
7
Baidatul Raziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), 191.
8
Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: Mizan, 2009), 19.
terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh
Pada tahun 1953, Buya Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali melantik beliau sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia (MUI) tetapi
pada tahun 1981, beliau meletakkan jabatan tersebut karena nasihatnya tidak
dalam hutan di Medan. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Buya Hamka
pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antar bangsa
Universitas Al-azhar Kairo pada tahun 1958, Doktor Honoris Causa, Universitas
Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974, dan gelar Datuk Indono dan Pengeran
4. Karya-karya
2) Si Sabariah. (1928)
Bundar.
1950.
45) Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
1950).
59) Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
60) Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982
69) Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan
1970.
70) Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
di Padang).
B. M. Quraish Shihab
gagasan Islam modern. Ayahnya ini, selain seorang guru besar dalam bidang
tafsir, juga pernah menduduki jabatan Rektor IAIN Alauddin, dan tercatat sebagai
9
“Metode Tafsir Al-Azhar”, http://hamkamodern.blogspot.com/2009/07/metode-tafsir-al-
azhar.html, diakses tanggal 21 September 2013.
10
Baidatul Raziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), 269.
2. Latar Belakang Pendidikan
pesantren Darul Hadits al-Fiqhiyyah di kota yang sama. Tidak diketahui dengan
pasti tentang faham keagamaan (Islam) yang dianut dan berlaku di pesantren
ada cukup alasan untuk menduga bahwa corak faham keberagaman yang
Quraish Shihab “nyantri” itu adalah faham Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, yang
lingkungan al-Azhar inilah untuk sebagian besar karir intelektualnya dibina dan
dimatangkan selama lebih kurang 11 tahun. Pada tahun 1967, dalam usia 23
tahun, dia berhasil meraih gelar Lc. (Licence, Sarjana Strata Satu) pada fakultas
Ushuluddin, jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar Kairo. Dia kemudian
melanjutkan studinya pada Fakultas yang sama, dan dua tahun berikutnya, tahun
1969, dia berhasil meraih gelar M.A. (Master of Art) dalam spesialisasi bidang
Pandang. Tidak hanya itu, beliau juga diserahi jabatan lain, baik di dalam kampus,
Selain itu, dia juga menulis sebuah makalah berjudul “Korelasi antara al-Qur’an
dan Ilmu Pengetahuan”, yang ditulis sebagai kuliah umum yang disampaikan di
IAIN Alauddin Ujung Pandang tahun 1972. Selama periode pertama tugasnya
sebagai staf pengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang, M. Quraish Shihab belum
kepada masyarakat Sulawesi Selatan umumnya. Pada tahun 1980 dia kembali
sana, dan pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul Nizm ad-Durar li al-Biqa’i:
11
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung; Mizan, 1994), 6.
Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an
Azhar (di sini termasuk masa studinya pada tingkat Sanawiyah dan Aliyah)
selama sekitar 13 tahun. Hampir dapat dipastikan bahwa iklim dan tradisi
keagamaan beliau. Karena itu, untuk dapat memperoleh pemahaman yang lebih
maka perlu dicermati, meskipun hanya secara garis besar, iklim dan tradisi
3. Karir Organisasi
antara lain, Ketua Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Pusat pada tahun 1984,
Anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an Agama sejak tahun 1989, Ketua Lembaga
Pengembangan Al-Qur’an.
12
M. Quraish Shihab, Membumikan Kalam di Indonesia (Yogyakarta:PustakaPelajar, 2010), 63-74.
Ia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain;
Quraish Shihab duduk sebagai Menteri Agama. Tetapi kabinet itu hanya berusia
dua bulan dan jatuh pada tanggal 21 Mei 1998. Kemudian pada tahun 1999 dia
diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh untuk Mesir. Di
4. Karya-karya
Alauddin, 1984)
13
Baidatul Raziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), 270.
14
M. Quraish Shihab, Membumikan Kalam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 73.
9) Yang Tersembunyi; Iblis, Setan dan Malaikat (Jakarta;Lentera Hati, 1998)
23) Wawasan al-Qur’an tentang dzikir dan do’a (Jakarta: Lentera Hati, 2006).
15
Ibnu Bahr, “Al-Azhar Vs Al-Mishbah”, http://ibnubahr.wordpress.com/2012/09/06/al-azhar-vs-
al-misbah/, diakses tanggal 21 September 2013.