Anda di halaman 1dari 12

Oleh: Fuhair Annahdhi

(21191200000032)

A. PENDAHULUAN
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala permasalahan yang
berkaitan dengan hukum fiqh bisa langsung dijawab dengan perantara
wahyu Allah SWT.1 Para sahabat selalu bertanya kepada rasul apabila ada
sesuatu yang tak dipahami, misalnya saja tentang tayammum.2
Setelah rasul wafat, perkembangan masalah hukum fiqh semakin
kompleks sehingga menyebabkan para sahabat banyak yang berijtihad untuk
memecahkan setiap permasalahan yang timbul. Di antara para sahabat yang
berijtihad adalah Usman bin Affan tentang penambahan adzan dalam shalat
jum'at. Pada masa rasul shalat jum'at dilaksanakan hanya dengan satu kali
adzan, kemudian pada kekhalifahan Usman bin Affan ditambahkan menjadi
dua kali adzan dengan alasan semakan banyaknya penduduk dan jauhnya
pemukiman dari tempat shalat dikhawatirkan tertinggalnya umat muslim
dalam melaksanakan shalat jum'at.3

1
‫( ىوهلا نع قطني امو‬٣) ‫ىحوي يحو لاإ وه نإ‬

"Dan tidaklah yang diucapkan Muhammad itu karena menurut keinginannya. Akan
tetapi ia adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS An Najm : 3-4)

2
Kisah lengkapnya sebagai berikut:

‫لاق هيبأ نع ىزبأ نب نمحرلا دبع نب ديعس نع انأ ركذت امأ‬: ‫؛باطخلا نب رمع ىلإ لجر ءاج‬
‫تيلصف تكعمتف انأ امأو‬، ‫لاقف يبنلل تركذف‬: ‫ءاملا بصأ ملف ت نب جأ ينإ‬، ‫باطخلا نب رمعل رساي نب رامع لاقف‬:
‫ملسو هيلع ه لا ىلص يبنلا‬: ‫اذكه كيفكي ناك امنإ‬، ‫لصت ملف تنأ امأف ؛تنأو انأ رفس يف انك برضف‬،
‫ضرلأا هيفكب ملسو‬، ‫ههجو امهيف خفنو‬، ‫ملسو هيلع ه لا ىلص هيفكو ههجو امهب حسم مث‬، ‫لاقف‬
‫" هيلع ه لا ىلص يبنلا‬Seorang datang kepada Umar bin Al-Khatthab r.a. dan bertanya: Saya
berjunub
lalu tidak mendapat air. Ammar r.a. berkata kepada Umar:. Apakah anda tidak ingat ketika
aku bersamamu dalam bepergian lalu kita berdua berjanabat, adapun anda tidak
sembahyang, sedang aku berguling-guling di tanah lalu shalat, lalu hal itu saya ceritakan
kepada Nabi saw. lalu Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya cukup bagimu berbuat begini,
lalu
Nabi saw. memukulkan kedua tapak tangan ke tanah, lalu ditiup kemudian diusapkan
mukanya dan kedua tapak tangannya". Lihat Al-Bukhari, Shahih Bukhari, i. 175

2
3
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, 2 (Cairo: Dar El-Hadith, 2004), 452

3
Zaman sahabat berakhir berganti zaman para tabi'in, pada masa ini
timbul berbagai cara istinbath. Ada beberapa faktor penyebab para
mujtahid4 berbeda pandangan dalam beristinbath yaitu kondisi sosio-
kultural, sosio- historis, dan letak geografis yang beraneka ragam. Oleh
sebab itu, timbullah kaidah-kaidah ushul fiqh guna mengistinbatkan suatu
problema yang ada di masyarakat, selain itu pula agar para mujtahid tidak
salah dalam menetapkan suatu hukum seperti ada dalil dzanni-qath'i,
muhkam-mutasyabih, dan nasikh-mansukh sehingga para mujtahid tepat
pembentukan suatu hukum syariat.

B. DEFINISI AL-QAWAID AL-USHULIYYAH AL-TASYRI'IYYAH


Al-Qawaid Al-Ushuliyyah Al-Tasyri'iyyah merupakan kaidah-kaidah
pembentukan hukum yang diambil oleh ulama ushul fiqh dari penelitian
hukum-hukum syar'iyyah, penelitian illat-illatnya dan berbagai hikmah
pembentukan hukumnya, serta dari berbagai nash yang menetapkan
berbagai dasar-dasar pembentukan hukum secara umum dan prinsip-prinsip
hukum secara umum.5
Term al-qawaid al-ushuliyyah al-tasri'iyyah terbagi kepada tiga kata,
yaitu al-qawaid adalah bentuk jama' dari al-qa'idah yang berarti kaidah,
akar, pondasi,6 Secara etimologis, kaidah berarti aturan, patokan, alas
bangunan atau undang-undang.7 Sementara secara terminologis, kaidah
adalah aturan yang bersifat universal (kulliy) yang diikuti oleh aturan-
aturan juz'i untuk mengetahui hukum-hukumnya.8
Al-Ushuliyyah adalah bentuk jama' dari al-ashl yang berarti pangkal,
asal, sumber, pokok, pusat, asas, dasar, sebab.9 Sedangkan kata al-
tasyri'iyyah seakar dengan kata syariat. Ia adalah masdar dari fi'il sulasi
mazid satu huruf setimbang tal'it dengan arti membuat atau menetapkan
syariat. Bila syariat itu dikatakan hukum atau tata aturan yang ditetapkan

4
Ada empat mujtahid yang terkenal, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi'I, dan Imam Ahmad bin Hanbal
5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Cairo, Dar El-Qalam, 1956), 197
6
Qutb Mushtafa Sanu, Mu’jam Musthalahat Ushul Al-Fiqh, (Damaskus, Dar AI-Fikr,
2000), 327
7
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta, Mahmud Yunus wa
Dzaurriyyah, 2007), 351

8
Op.cit, Qutb Musthtafa Sanu, 327
9
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 2007), h. 28.

Pengertian lain al-ashl adalah suatu pondasi yang berdiri di atas pondasi
tersebut. Lihat Ibrahim Madkur, Al-Mu'Jam At-Washith, (Cairo, 1972), 40

3
Allah yang menyangkut tidak tanduk manusia, maka tasyri' adalah
penetapan hukum dan tata aturan tersebut.10
Dengan demikian dapat diartikan bahwa al-qawaid al-ushuliyyah al-
tasri'iyyah adalah kaidah dasar atau metode atau pendekatan teori untuk
menetapkan suatu hukum syariat yang telah Allah turunkan terhadap
manusia demi kemaslahatan. Dengan kata lain, kaidah ushuliyah
merupakan instrumen penting untuk memelihara keadilan dan kemaslahatan
masyarakat setiap masa.

C. IDENTIFIKASI AL-QAWAID AL-USHULIYYAH AL-


TASYRI'IYYAH
Kaidah-kaidah ushuliyyah tasyri'iyyah berfungsi untuk memperoleh hukum
dengan cara lebih mempertimbangkan aspek maqashid asy-syari'ahnya. Ada lima
kaidah ushul dalam pembentukan hukum, sebagai berikut:11
1. Tujuan Umum dari Pembentukan Hukum
Tujuan umum syari'12 dalam pembentukan hukum adalah mewujudkan
kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, dengan mendatangkan manfaat,
dan menghindarkan bahaya dari mereka. Karena sesungguhnya kemaslahatan
manusia di dunia ini terdiri dari hal-hal yang dharuri bagi mereka (kebutuhan
primer), hal-hal yang hajiyyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat (kebaikan-
kebaikan bagi manusia).13 Apabila ketiganya telah terpenuhi, maka
kemaslahatan mereka telah terwujud.
Para ulama merumuskan kaidah-kaidah dalam menggapai kemaslahatan
masyarakat baik bersifat dharuri, hajiyyat, dan tahsiniyyat diantaranya yaitu:
a. Adh-dhararu yuzalu (kemudharatan itu harus dihilangkan) 14
b. Adh-dhararu Laa Yuzalu bidh-darar (kemudharatan tidak boleh
dihilangkan dengan kemudharatan) 15
c. Adh-dharuratu tubihu al-mahzhurat (kemudharatan itu membolehkan
sesuatu yang dilarang)

10
Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara,
1992), 13
11
Loc.cit, Abdul Wahab Khalaf, 198
12
Yang dimaksud syari' disini adalah Allah
13
Dharuri adalah tercapainya kemaslahatan agama dan dunia (dunia dan
akhirat). Hajiyyat adalah meringankan beban yang teramat berat. Tahsiniyyat adalah
melakukan kebiasaan yang bernilai baik dan menjauhkan perbuatan yang kotor. Lihat Al-
Syatibi, Al- Muwaffaqat fii Ushul Al-Syari'ah, jilid ii, 9
14
Kaidah tersebut berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw :
‫رارض لو ررض ل‬
t"idak boleh membuat kemudharatan pada diri sendiri, dan kepada orang lain",
(HR. Ibnu Majah). Lihat Ahmad Allampuniy dan Amin Sholeh, Kajian Ushul Fiqih
dan Kaidah-kaidah Ilm Fiqih, (Bandung, Cahaya Ilmu, 2013), 48
15
Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nazha'ir fi Al-Furu', (Libanon, Dar El-
Kutub Al-'Ilmiyah, 1983), 86
4
d. Maa ubiha lidh-dharurati yuqaddaru biqadriha (pa yang dibolehkan
karena adanya kemudharatan diukur sesuai kemudharatannya)

2. Hak Allah dan Hak Mukallaf


Yang dimaksudkan dengan hak Allah adalah suatu hak masyarakat, artinya
hukum yang disyariatkan bersifat umum (untuk kepentingan masyarakat).
Sedangkan yang dimaksud dengan hak mukallaf adalah suatu hak perseorangan
yang bersifat khusus yakni hanya untuk dirinya sendiri.
Adapun suatu hak murni bagi Allah, maka berdasarkan penelitian terbatas
apada hal-hal berikut ini:
a. Ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji serta hal-hal yang
menjadi dasar ibadah berupa iman dan islam. Hikmah pentasyri'an
setiap ibadah-ibadah tersebut adalah untuk kemaslahatan umum bukan
semata- mata untuk mukallaf saja.
b. Ibadah yang di dalamnya terdapat pembiayaan, seperti zakat fitrah.
Bahwa zakat ini ditinjau dari segi untuk mendekatkan diri kepada Allah
melalui bersedekah kepada fakir miskin. Zakat dalam kategori ini bukan
termasuk kategori yang pertama, yaitu ibadah murni. Sebab zakat
merupakan ibadah yang mengandung pengertian pajak harta untuk
tetapnya dan pemeliharaannya.
c. Pajak yang dikenakan secara wajib atas tanah pertanian, baik berbentuk
sepersepuluh maupun pungutan pajak. Yang dimaksudkan dengan
pungutan tersebut adalah pembelanjaannya untuk kemaslahatan umum
yang dituntut oleh tetapnya tanah tersebut ditangan pemiliknya dan
perkembangannya, seperti untuk perbaikan jalan, membuat jembatan,
dan sebagainya.
d. Pungutan yang diwajibkan berkenaan dengan harta yang dirampas
dalam peperangan di jalan Allah, dan sesuatu yang ditemukan dalam
perut bumi, berupa harta karun maupun pertambangan.
e. Berbagai macam uqubah (hukuman yang sempurna), yaitu had zina,
pencurian, musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, dan perusak bumi.
Hukuman ini adalah untuk kemaslahatan masyarakat seluruhnya.
f. Bentuk hukuman yang terbatas, yaitu penghalangan pembunuh
menerima
bagian warisan dari korban. Hukuman ini bersifat negatif yang mana
pembunuh tidak dikenakan hukuman badan atau penggantian harta.
g. Uqubah (hukuman) yang mengandung makna ibadah, seperti kaffarat
bagi orang yang melanggar sumpahnya.

Adapun suatu hak bagi mukallaf adalah penggantian rugi orang yang
merusakkan harta orang lain. Hal ini merupakan hak murni bagi si pemilik
harta, jika ia menghendaki , ia meminta ganti rugi atau membebaskannya.16

16
Loc.cit, Abdul Wahab Khallaf, 210-212
5
3. Kelayakan dalam berijtihad17
Ada empat syarat dalam kelayakan untuk berijtihad yaitu:
a. Memahami ilmu bahasa arab, cara-cara dalalah, susunan kalimatnya,
dan satuan-satuan katanya. Mempunyai rasa dalam memahami uslub-
uslubnya yang diperoleh dari kepintarannya. Harus juga mempunyai
pandangan yang luas tentang adabul lughah dann astar kefasihannya,
baik berupa prosa, syair, maupun lainnya.
b. Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur'an. Maksudnya harus
mengetahui hukum-hukum syari'yyah yang terdapat dalam Al-Qur'an
dan ayat-ayat yang menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-
cara mengambil dan menyimpulkan hukum itu dari ayat-ayatnya.
c. Harus mengetahui sunnah, yakni ia harus mengetahui hukum-hukum
syara' yang disebut oleh sunnah Nabi Muhammad saw.
d. Mengetahui segi-segi qiyas. Misalnya mngetahui tentang illat, dan
hikmah pembentukan hukum. Harus juga mengetahui hal ihwal manusia
dan muamalahnya, sehingga ia dapat mengetahui suatu kasus yang tidak
ada nashnya dengan melihat illatnya.18

4. Nasakh Hukum
Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah pembatalan
pemberkuan hukum syar'i dengan dalilyang dating belakangan dari hukum
yang sebelumnya, baik pembatalannya secara terang-terangan atau secara
kandungannya saja.
Kemaslahatan manusia terkadang mengalami perubahan dengan berbedanya
situasi dan kondisi mereka. Terkadang suatu hukum diisyaratkan untuk
mewujudkan kemaslahatan yang dituntut oleh berbagai sebab, maka tidak ada
lagi kemaslahatan bagi tetapnya hukum itu, sebagaimana disebutkan bahwa
sejumlah delegasi dari kaum muslimin dating ke Madinah pada hari Raya Idul
Adha, kemudian Rasul hendak menjamu di antara teman-teman mereka dalam
kelapangan, maka beliau melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban
sehingga para delegaasi itu menemukan kelapangan pada mereka. Lantas
setelah mereka berangkat, maka beliau memperbolehkan kaum muslimin
menyimpan daging kurban lagi.
Berdasarkan kandungan nash, maka nasakh terbagi menjadi dua, yaitu sharih
(jelas), dan dhimni (samar). Nasakh yang sharih ialah syari' menyebutkan
dengan jelas dalam pentasyri'an yang menyusul terhadap pembatalan penetapan
hukumnya yang terdahulu. Sebagaimana firman Allah SWT:

‫نورشع مكنم نكي نإ لاتقلا ىلع نينمؤملا ضرح يبنلا اهيأ اي نيذلا نم افلأ‬
‫اوبلغي ةئم مكنم نكي نإو نيتئام اوبلغي نورباص‬

17
Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dan mengorbankan waktu
dalam mencari hukum syar'i. Lihat Abi Ishaq Ibrahim, Al-Luma' fii Ushul Al-Fiqh,
(Beirut, Dar El-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), 129

6
18
Abdul Wahab Khallaf, 216-221

7
‫( نوهقفي ل موق مهنأب اورفك فلأ مكنم‬65) ‫مكيف نأ ملعو مكنع ه لا ففخ نلْا‬
‫نكي نإو نيتئام اوبلغي ةرباص ةئم مكنم نكي نإف افعض نيرباصلا عم ه لاو‬
‫ه لا نذإب نيفلأ اوبلغي‬
Artinya: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk
berperang, Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, Dan jika ada
seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang
kafir itu kaum yang tidak mengerti, Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan,
Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu
ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah, Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar, (QS. alAnfal [8]: 65-66)
Adapun nasakh dhimni ialah Syari' tidak menyebutkan secara terang-
terangan dalam pensyariatannya yang menyusul terahadap pembatalan
pensyariatannya yang terdahulu, akan tetapi Syari' mensyariatkan hukum baru
yang bertentangan dengan hukum sebelumnya, padahal tidak mungkin ada
kesesuaian antara dua hukum yang saling bertentangan kecuali dengan
membatalkan salah satunya, sehingga nash yang menyusul dianggap
menasakhkan terhadap yang terdahulu secara kandungannya. Misalnya firman
Allah SWT:

7
‫ا ر ي خ ك ر ت ن إ ت و م لا م ك د ح أ ر ض ح ا ذ إ م ك ي ة ي ص و‬
‫لا‬ ‫لع بتك‬
‫ن ي ق ت م ل ا ى ل ع ا ق ح ف و ر ع م ل ا ب ن ي ب ر ق لأ ا و ن ي د‬
‫لا و ل ل‬
Artinya: "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa," (QS. Al-
Baqarah:
180)

Firman di atas menunjukkan bahwa apabila seseorang yang memiliki


harta yang banyak kedatangan tanda-tanda kematian, maka wajib
berwasiat untuk kedua orang tuanya, dan para kerabatnya terhadap harta
peninggalannya dengan cara yang ma'ruf. Dan firman Allah SWT dalam
ayat pembagian warisan:

8
‫مك ي ص و ي‬ ‫ه لا‬ ‫يف‬ ‫مكدلاوأ‬ ‫ركذلل‬ ‫ظح لثم‬ ‫ن يثنلأا‬
Artinya: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)

Firman tersebut menunjukkan bahwa Allah menentukan bahagian


harga peninggalan setiap pemilik harta kekayaan di antara para
pewarisnya sesuai dengan sesuatu yang dituntut oleh hikmahnya, dan
pembahagian tersebut tidak kembali sebagai hak orang yang
mewariskannya sendiri. Hukum ini bertentangan dengan hukum pertama.
Oleh karena inilah, maka hukum yang kedua ini menasakh hukum yang
pertama, menurut pendapat jumhur ulama.

5. Ta'arudh dan Tarjih19


Ta'arudh adalah salah satu dari dua dalil yang menunjukkan pada
hukum suatu peristiwa tertentu, sedangkan dalil lain menunjukkan
hukum yang berbeda dari dengan itu.
Tarjih adalah pada prinsipnya memilih dan mengamalkan dalil atau
alasan yang terkuat ( ‫ )جار‬diantara dalil-dalil yang tampak adanya
perlawanan satu sama lainnya.20
Apabila kita dapati dua nash yang lahirnya berlawanan, wajiblah kita
berusaha mengkompromikan nash-nash itu dari lahirnya, sehingga
tidak terjadi pertentangan satu sama lain di dalam syari'at. Jika mungkin
kita menghilangkan pertentangan lahir itu diantara dua nash, dengan
jalan jama' dan taufiq, hendaklah kita jama'kan dan kita amalkan kedua-
duanya.
Misalnya firman Allah SWT:
‫نهسفنأب نصبرتي اجاوزأ نورذيو مكنم نوفوتي نيذلاو ارشعو‬
‫رهشأ ةعبرأ‬

19
Ta'arudh adalah dua dalil yang saling mencegah (bertentangan).
Tarjih adalah pengunggulan satu dalil atas dalil yang lain. Lihat Ibrahim Madkur, Al-
Mu'jam Musthalahat Ushul Al-Fiqh, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2000), 130

20
M. Idris, Konsep Tarjih dalam Ilmu Ushul Fiqih, Vol 1, No 1 (2008), IAIN KENDARI

8
Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari." (QS. Al-Baqarah: 234)
Pada tempatnya yang lain Allah SWT berfirman:

‫ن ه ل م ح ن ع ض ي ن أ ن ه ل ج أ ل ا م ح لأ ا ت‬
‫ لا و أ و‬Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS.
Ath-
Thalaq: 4)

Kedua ayat ini dapat dikompromikan dengan menetapkan bahwa


wanita hamil yang ditinggal mati suaminya,beriddah dengan iddah yang
terjauh dari dua iddah itu. Jika dia bersalin sebelum empat bulan sepuluh
hari dari hari wafat suaminya , hendaklah ia menunggu cukup empat
bulan sepuluh hari. Dan jika bersalin empat bulan sepuluh hari itu sebelum
dia bersalin, hendaklah dia menunggu sampai bersalin.
Antara jalan-jalan jama' dan taufiq ialah mentakwilkan salah satu dari
pada dua nash itu. Dan memandang salah satunya mentakhsis bagi umum
yang lain atau mentaqyid bagi kemutlakan yang lain itu. Apabila tak
mungkin dikumpulkan dan dikompromikan antara dua nash yang
berlawanan, hendaklah kita mentarjihkan salah satu dalil dengan dalil yang
lain.

D. KESIMPULAN
Al-Qawaid Al-Ushuliyyah Al-Tasyri'iyyah merupakan suatu metode
intinbath hukum yang bersifat mashlahah dengan banyak
mempertimbangkan tujuan kehidupan manusia di muka bumi. Harapan yang
dihasilkan terhadap metode ini adalah tercapainya kemaslahatan dharuri
(bersifat primer), kemaslahatan hajiyyat (bersifat sekunder), dan tahsiniyat
(kebaikan-kebaikan bagi manusia).

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari, Cairo: Dar Al-Hadits. 2008
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fath Al-Bari, 2 Cairo: Dar El-Hadith, 2004
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh, Cairo: Dar El-Qalam, 1956
Sanu, Qutb Mushtafa. Mu'jam Musthalahat Ushul Al-Fiqh Damaskus: Dar Al-Fikr,
2000
Yunus, Mahmud Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzaurriyyah,
2007
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Surabaya: Pustaka Progresif, 2007
Madkur, Ibrahim. Al-Mu']am Al-Washith, Cairo: 1972
Syah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Al-Syatibi, Al-Muwaffaqat fii Ushul Al-Syari'ah, jilid ii, 9
Al-Qazwaini, Muhammad bin Yazid Ibnu Majah. Sunan Ibn Majah, Beirut. Dar Al-
Fikr
Allampuniy, Ahmad. Kajian Ushul Fiqih dan Kaidah-kaidah Ilm Fiqih, Bandung:
Cahaya Ilmu, 2013
As-Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nazha'ir fi Al-Furu', Libanon: Dar El-Kutub Al-
'Ilmiyah, 1983
Ibrahim, Abi Ishaq. Al-Luma' fii Ushul Al-Fiqh, Beirut: Dar El-Kutub Al-Ilmiyah,
2003
M. Idris, Konsep Tarjih dalam Ilmu Ushul Fiqih, Vol 1, No 1 (2008), IAIN
KENDARI

10

Anda mungkin juga menyukai