03 BAB I - Daftar Pustaka-1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Retardasi mental menerapkan keadaan fungsi intelektual umum bertaraf

subnormal yang dimulai dalam masa perkembangan individu yang

berhubungan dengan terbatasnya kemampuan belajar maupun penyesuaian dari

proses pendewasaan individu tersebut atau kedua-duanya (Nelson, 2000).

Angka kejadian pada retardasi mental ini cukup banyak terutama din

Negara yang cukup berkembang dan merupakan dilema atau penyebab

kecemasan keluarga, masyarakat, dan Negara. Diperkirakan kejadian retardasi

mental berat di Negara yang sedang berkembang sekitar 0,3% dari seluruh

populasi dan hampir 3% mempunyai IQ dibawah 70. Sebagian sumber daya

tentunya mereka tidak bisa dimanfaaatkan karena 0.1% dari kelompok anak ini

memerlukan perawatan, bimbingan, serta pengawasan sepanjang hidupnya

(Swaiman dalam Tumbang anak, Soetjiningsih, 1994).

Hasil penelitian Triman Prasedio (1980) menegemukakan angka

pravalensi retardasi mental di Indonesia adalah 3%, hasil penelitian ini

diperkirakan suatu angka yang tinggi. Sebagian perbandingan di prancis angka

prevalensinya adalah 1,5-8,6% dan di Inggris 1-8% (laporan WHO yang

dikutip Triman Prasedio). Statistic menunjukkan bahwa di Indonesia di

dapatkan 10-30 dari 1.000 penderita yang mengalami tuna grahita, terdapat

1
1.750.000-5.250.000 jiwa menderita tuna grahita. Melalui data demologi

dilaporkan bahwa 34,39% pengunjung puskesmas berusia 5-15 tahun

menunjukkan gangguan mental emosional.

Masalah retardasi mental ini terkait dengan semua belah pihak terutama

keluarga atau orangtuanya. Keluarga merupakan tempat tumbuh kembang

seseorang individu, maka keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh

kualitas dari individu yang terbentuk dari normal yang di anut dalam keluarga

sebgai patokan berperilaku setiap hari. Lingkungan keluarga secara langsung

berpengaruh dalam mendidik anak karena pada saat lahir dan untuk masa

berikutnya yang cukup panjang anak memerlukan bantuan dari keluarga

danorang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Keluarga yang mempunyai

anak cacat akan memberikan suatu perlindungan yang berlebihan pada anaknya

sehingga anak mendapatkan kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan

pengalaman yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Semakin bertambahnya umur anak tertadasi mental maka para orangtua

harus mengadakan penyesuaian teutama dalam pemenuhan kebutuhan anak

tersebut sehari-harinya. Agar nantinya mereka tidak mempunyai

ketergantungan yang berkepanjangan sehingga akan menimbulkan

permasalahan seperti isolasi social yang tidak menyenangkan. Pada keluarga

secara optimal diharapkan dapat memandirikan anak retardasi mental dalam

hal memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah konsep medis dari retardasi mental?

2
2. Bagaimana konsep keperawatan yang berkaitan dengan retardasi mental?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

a. Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan pada klien retardasi

mental.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu mengidentifikasi konsep medis, meliputi: definisi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang

dan penatalaksanaan medis.

b. Mampu mengidentifikasi konsep keperawatan, meliputi: pengkajian,

diaganosa, dan intervensi.

3
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi Retardasi Mental

Retardasi mental adalah suatu kondisi yang di tandai oleh intelegensi

yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan

beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang di anggap

normal (Soetjiningsih, 1994).

Anak tidak mampu belajar dan beradaptasi karena intelegensi yang

rendah, biasnya IQ di bawah 70. Anak dengan retardasi mental akan

mengalami gangguan perilaku adaptasi sosial, yaitu dimana anak mengalami

kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya, tingkah laku

kekank-kanakan tidak sesuai dengan umurnya.

Berdasarkan tingkatan dalam retardasi mental dapat dibagi menjadi 4

kelompok retardasi mental diantaranya:

1. Retardasi mental ringan dengan taraf IQ: 50-70

2. Retardasi mental sedang dengan taraf IQ: 35-49

3. Retardasi mental berat dengan taraf IQ: 20-30

4. Retardasi mental sangat berat dengan taraf IQ: kurang dari 20

B. Etiologi Retardasi Mental

Secara garis besar faktor penyebab dapat di bagi menjadi 4 golongan

yaitu (Soetjiningsih, 1994):

4
1. Faktor genetik

Akibat kelainan kromosom:

a. Kelainan jumlah kromosom, misalnya trisomi-21 atau dikenal

dengan Mongolia atau down syndrome.

b. Kelainan bentuk kromosom

2. Faktor prenatal

Dimaksudkan adalah keadaan tertentu yang telah diketahui ada

sebelum atau pada saat kelahiran, tetapi tidak dapat dipastikan sebabnya.

3. Faktor perinatal

a. Proses kelahiran yang lama misalnya plasenta previa, rupture tali

umbilicus.

b. Posisi janin yang abnormal seperti letak bokong atau melintang,

anomali uterus, dan kelainan bentuk jalan lahir.

c. Kecelakaan pada waktu lahir dan distress fatal.

4. Faktor pascanatal

a. Akibat infeksi (meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, dan

infeksi)

b. Trauma kapitis dan tumor otak.

c. Kelainan tulang tengkorak

d. Kelaianan endokrin dan metabolik, keracunan pada otak, serta

faktor sosio-budaya.

5
C. Patofisiologi Retardasi Mental

Istilah reterdasi mental merujuk pada keterbatasan nyata fungsi hidup

sehari-hari. Reterdasi mental ini merupakan kelemahan atau ketidakmampuan

kognitif yang muncul pada masa kanak-kanak (sebelum usia 18 tahun) yang

ditandai dengan fungsi kecerdasan dibawah normal (IQ 70-75 atau kurang) dan

disertai keterbatasan-keterbatasan lain pada sedikitnya dua area fungsi adaptif:

berbicara dan berbahasa, keterampilan merawat diri, kerumahtanggan,

keterampilan sosial, penggunaan sarana-sarana komunitas, pengarahan diri,

kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, bersantai, dan bekerja

(American Association on Mental Retardation [AAMR] 1992). Definisi yang

lebih baru tentang retardasi mental ini menggunakan pendekatan fungsional,

bukan terminiologi yang dulu menjelaskan tingkat retardasi mental dengan

ringan, ,berat, dan sangat berat.

Penyebab retardasi mental dapat digolongkan menjadi penyebab prenatal,

perinatal, dan pasca natal. Penyebab prenatal termasuk penyakit kromosom

(trisomi 21 [syndrome down], findrome fragile-X) gangguan syndrome

(distrbabofi otot duchenne, neurofibromatosis [tipe1]), dan gangguan

metabolisme sejak lahir (fenilketonuria). Penyebab perinatal dapat digolongkan

menjadi yang berhubungan dengan masalah intrauterine seperti abrupsio

plasenta, diabetes maternal, dan kelahiran prematur serta kondisi neonatal

termasuk meningitis dan perdarahan intrakranial. Penyebab pasca natal

mencakup kondisi-kondisi yang terjadi karena cedera kepala, infeksi, dan

ganguan degeneratif dan demielinisdasi (AAMR, 1992). Syndrome fragile-X,

6
syndrome down, dan syndrome alkohol fetal merupakan sepertiga individu-

individu yang menderita retardasi mental. Munculnya masalah-masalah, seperti

paralysis serebral, defisit sensoris, gangguan psikiatrik, dan kejang

berhubungan dengan retardasi mental yang lebih berat. Diangnosis retardasi

mental ditetapkan secara dini pada masa kanak-kanak. Prognosis jangka

panjang pada akhirnya ditentukan oleh seberapa jauh individu tersebut dapat

berfungsi mandiri dalam masyarakat (mis. bekerja, hidup mandiri, dan

keterampilan sosial).

D. Manifestasi Klinis Retardasi Mental

Anak retardasi mental lebih tinggi dibandingan dengan anak yang

pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal optimal. Anak retardasi

mental dapat dikenal dari tanda sebagai berikut:

1. Penampilan fisik tidak seimbang misalnya kepala terlalu kecil/besar,

mulut melongo, mata sipit/mongoloid, badan bungkuk.

2. Kecerdasan terbatas.

3. Tidak dapat mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang lain sesuai usia.

4. Arah minat sangat terbatas kepada hal-hal terbatas dan sederhana saja.

5. Perkembangan bahasa/bicara lambat.

6. Tidak ada/kurang sekali perhatian terhadap lingkungan ( pandangan

kosong) dan perhatiannya labil, sering berpindah-pindah.

7. Koordinasi gerakan kurang, gerakan kurang terkendali.

8. Daya ingatannya lemah, emosi sangat miskin dan terbatas, apatis, dan

acuh tak acuh terhadap sekitarnya

7
9. Sering ngiler/keluar cairan dari mulut.

E. Komplikasi Retardasi Mental

Menurut Betz, Cecily R (2002) komplikasi retardasi mental adalah :

1. Serebral palsi

2. Gangguan kejang

3. Gangguan kejiwaan

4. Gangguan konsentrasi atau hyperaktif

5. Devisit komunikasi

6. Konstipasi (karena penurunan motilitas usus akibat obat-obatan anti

konvulsi, kurang mengkonsumsi makanan berserat dan cairan).

F. Pemeriksaan Penunjang Retardasi Mental

Beberapa pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang

menderita retardasi mental, yaitu dengan:

1. Kromosomal kariotipe

a. Terdapat beberapa kelaianan fisik yang tidak khas

b. Anamnesis ibu tercemar zat-zat teratogen

c. Terdapat beberapa kelainan kongenital

d. Genetalia abnormal

2. EEG (Elektro Ensefalogram)

a. Gejala kejang yang dicurigai

b. Kesulitan mengerti bahasa yang berat

3. CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI (Magnetik Resonance

Imaging)

8
a. Pembesaran kepala yang progresif

b. Tuberous sklerosis

c. Dicurigai kelainan otak yang luas

d. Kejang lokal

e. Dicuriga adanya tumor intrakranial

4. Titervirus untuk infeksi kongenital

a. Kelainan pendengaran tipe sensori neural

b. Neonatal hepatosplenomegali

c. Petechie pada periode neonatal

d. Chorioretinitis

e. Mikroptalmia

f. Klasifikasi intrakranial

g. Mikrosefali

5. Serum asam urat (urit acid serum)

a. Gout

b. Sering mengamuk

6. Laktat dan piruvat darah

a. Asidosis metabolik

b. Kejang miokronik

G. Penatalaksanaan Medis Retardasi Mental

Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan

sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penanganan

multidisiplin merupakan jalan yang terbaik. Sebaiknya dibuat rancangan suatu

9
strategi pendekatan bagi setiap anak secara individual untuk mengembangkan

potensi anak tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu melibatkan psikologi

untu menilai perkembangan mental anak terutama kemampuan kognitifnya,

dokter anak untuk memeriksa fisik anak, menganalisi penyebab, dan mengobati

penyakit atau kelainan yang mungkin ada. Juga kehadiran pekerja sosial

kadang-kadang diperlukan untuk menilai situasi keluarganya. Atas dasar itu

maka dibuatlah strategi terapi seringkali lebih melibatkan lebih banyak ahli

lagi, misalnya ahli syaraf bila anak juga menderita epilepsi, palsi serebral, dll.

Psikiater, bila anaknya menunjukkan kelaianan tingkah laku atau bila

orangtuanya membutuhkan dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis,

bila diperlukan untuk merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya.

Ahli terapi wicara, untuk memperbaiki gangguan bicaranya atau untuk

merangsang perkembangan bicaranya. Serta diperlukan guru pendidikan luar

biasa untuk anak-anak yang reterdasi mental ini.

Pada orangtuanya perlu diberi penerangan yang jelas mengenai kedaan

anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-

kadang diperlukan waktu yang lama untuk meyakinkan orangtua mengenai

keadaan anaknya. Bila orangtua belum dapat menerima keadaan anaknya,

maka perlu konsultan pula dengan psikolog atau psikiater.

Anak dengan retardasi mental memerlukan pendidikan khusus, yang

disesuaikan dengan taraf IQ-nya, mereka digolongkan yang mampu dididik

untuk golongan retardasi mental ringan, dan yang mampu latih untuk anak

dengan retardasi mental sedang. Sekolah khusus untuk anak reterdasi mental

10
ini adalah SLB-C. Disekolah ini diajarkan juga keterampilan-keterampilan

dengan harapan mereka dapat hidup mandiri dikemudian hari. Diajarkan pula

tentang baik buruknya suatu tindakan tertentu, sehingga mereka diharapkan

tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji, seperti mencuri, merampas,

kejahatan seksual, dll. Semua anak yang retardasi mental ini juga memerlukan

perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring

terhadap tumubuh kembangnya. Anak-anak ini sering juga disertai dengan

kelainan fisik yang memerlukan penanganan khusus.

11
BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas klien

Nama harus lengkap dan jelas, umur harus dipertanyakan untuk

interpretasi tingkat perkembangan anak yang sudah sesuai sesuai dengan

umur dan jenis kelamin. Anak laki-laki lebih sering sakit daripada anak

perempuan, tetapi tidak memiliki definisi yang pasti. Nama orang tua

harus diketahui agar tidak keliru dengan orang lain. Alamat untuk

memudahkan komunikasi, Masalah Lingkungan, dan komunitas untuk

mengetahui epidemiologi (orang, tempat, dan waktu). Usia, pendidikan,

dan pekerjaan untuk memperoleh anamnesis dalam memperoleh data yang

akurat, menilai status sosial dan pola asuh, asah, dan asih. Agama dan suku

berpendapat tentang keschatan dan penyakit yang berkaitan dengan

kebiasaan dan tradisi yang dapat menunjang atau menghambat perilaku

sehat.

2. Riwayat pretenatal, perinatal dan pascanatal.

a. Pretenetal: Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah

dialami, serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya,

berapa kali perawatan antenatal, dan kebiasaan miaum jamu-jamuan

serta obat yang pernah diminum dan kebiasaan sclama hamil.

12
b. Perinatal : Tanggal, pagi, tempat pertolongan persalinan, siapa yang

menolong, cara persalian (spontan, ekstraksi vaku, ekstraksi forcep,

bagian secaria, dan gamelli), presentasi kepala, dan komplikasi atau

kelainan kongenital. Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari

pertama setelah lahir, masa kehamilan cukup, kurang, atau lebih

bulan.

c. Pascanatal : Lama diterjemahkan di rumah sakit, masalah-masalah

yang berkaitan dengan sistem, masalah gizi, perubahan berat badan,

warna kulit, pola penghapusan dan respons lainnya. Selama nconatal

perlu dikaji ada asfiksia, trauma, dan infeksi.

3. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan

Timbang berat badan serta pengukuran lingkar kepala, lingkar

lengan kiri atas, dan lingkar dada. Tingkat perkembangan yang telah

dicapai anak-anak yang memiliki kemampuan motorik kasar dan halus,

kemampuan bersosialisasi, dan kemampuan bahasa.

4. Sejarah kesehatan keluarga

Sosial; perkawinan orang tua; kesejahteraan dan ketentraman; rumah

tangga yang harmonis dan asah, asih, dan asuh; ekonomi dan adat istiadat;

Membantu dalam pengelolaan lingkungan dan eksternal yang dapat

memengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan serta

keterampilan anak. Di samping itu juga berkaitan dengan persiapan dan

pengadaan bahan makanan, sandang, dan papan.

13
Pada saat pengkajian lain anak retardasi mental dapat dikenali dari tanda

sebagai berikut:

1. Penampilan fisik tidak scimbang, misalnya kepala terlalu kecil, mulut

melongo, mata sipit / mongoloid, badan bungkuk.

2. Kecerdasan terbatas.

3. Tidak dapat mengatur diri sendiri tanpa bantuan orang lain sesuai dengan

usia.

4. Arah rekreasi sangat terbatas untuk hal-hal yang terbatas, sederhana saja.

5. Perkembangan bahasa/ bahasa lambat.

6. Tidak ada / kurang perhatian terhadap lingkungannya (pandangan kosong)

dan perhatiannya labil, sering berpindah-pindah.

7. Koordinasi gerakan kurang, gerakan kurang terkendali.

8. Daya ingatannya lemah, emosi sangat miskin dan terbatas, apatis dan acuh

tak acuh terhadap sekitarnya.

9. Sering dikeluarkan liur atau cairan dari mulut.

B. Diagnosis Keperawatan

Berikut ini adalah beberapa diagnosa keperawatan yang bisa muncul

pada pasien dengan retardasi mental (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017):

1. Gangguan Tumbuh Kembang berhubungan dengan kelainan fungsi

kognitif

Kode: D.0106

Definisi: Kondisi individu mengalami gangguan kemampuan bertumbuh

dan berkembang sesuai dengan kelompok usia.

14
Penyebab:

a. Efek ketidakmampuan fisik

b. Keterbatasan lingkungan

c. Inkonsistensi respon

d. Pengabaian

e. Terpisah dari orang tua dan/atau orang terdekat

f. Defisiensi stimulus

Gejala dan Tanda Mayor

a. Subjektif:

(Tidak Tersedia)

b. Objektif:

1) Tidak mampu melakukan keterampilan atau perilaku khas sesuai

usia (fisik, bahasa, motorik, psikososial)

2) Pertumbuhan fisik terganggu

Gejala dan Tanda Minor

a. Subjektif:

(Tidak Tersedia)

b. Objektif:

1) Tidak mampu melakukan perawatan diri sesuai usia

2) Efek datar

3) Respon sosial lambat

4) Kontak mata terbatas

5) Nafsu mkan menurun

15
6) Lesu

7) Mudah marah

8) Regresi

9) Pola tidur terganggu (pada bayi)

2. Gangguan Komunikasi Verbal berhubungan dengan lambatnya

keterampilan ekspresi dan resepsi bahasa

Kode: D.0119

Definisi: Penuruan, perlambatan, atau ketiadaan kemampuan untuk

menerima, memproses, mengirim, dan/atau mengganggu sistem simbol.

Penyebab:

a. Penuruan sirkulasi serebral

b. Gangguan neuromuskuler

c. Gangguan poendengaran

d. Gangguan musculoskeletal

e. Kelainan palatum

f. Hambatan fisik (mis. terpasang trakheostomi, intubasi, krikotiroidektomi)

g. Hambatan individu (mis. ketakutan, kecemasan, merasa malu, emosional,

kurang privasi)

h. Hambatan fisikologis (mis. gangguan psikotik, gangguan konsep diri,

harga diri rendah, gangguan emosi)

i. Hambatan lingkungan (mis. ketidakcukupan informasi, ketiadaan orang

terdekat, ketidaksesuaian budaya, bahasa asing).

Gejala dan Tanda Mayor

16
a. Subjektif:

(Tidak Tersedia)

b. Objektif:

1) Tidakmampuan berbicara atau mendengar

2) Menunjukkan respon tidak sesuai

Gejala dan Tanda Minor

a. Subjektif:

(Tidak Tersedia)

b. Objektif:

1) Afasia

2) Dispasia

3) Apraksia

4) Disleksia

5) Disartria

6) Afonia

7) Dislalia

8) Pelo

9) Gagap

10) Tidak ada kontak mata

11) Sulit memahami komunikasi

12) Sulit mempertahankan komunikasi

13) Sulit menggunakan ekpresi wajah atau tubuh

14) Tidak mampu menggunakan ekpresi wajah atau tubuh

17
15) Sulit menyusun kalimat

16) Verbilisasi tidak tepat

17) Sulit mengungkapkan kata-kata

18) Disorientasi orang, ruang, waktu

19) Defisit penglihatan

20) Delusi

3. Resiko Cedera berhubungan dengan perilaku agresif/koordinasi gerak tidak

terkontrol

Kode: D.0136

Definisi: Beresiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang

menyebabkan seseorang tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam kondisi

baik.

Faktor Risiko:

Eksternal

a. Terpapar pathogen

b. Terpapar zat kimia toksik

c. Terpapar agen nosokomial

d. Ketidakmampuan transportasi

Internal

a. Ketidaknormalan profil darah

b. Perubahan orientasi afektif

c. Perubahan sensasi

d. Disfungsi autoimun

18
e. Disfungsi biokimia

f. Hipoksia jaringan

g. Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh

h. Malnutrisi

i. Perubahan fungsi psikomotor

j. Perubahan fungsi kognitif

4. Gangguan Interaksi Sosial berhubungan dengan kesulitan bicara/kesulitan

adaptasi sosial

Kode: D.0118

Definisi: Kuantitas dan/atau kualitas hubungan sosial yang kurang atau

lebih.

Penyebab:

a. Defisiensi bicara

b. Hambatan perkembangan/maturasi

c. Ketiadaan orang terdekat

d. Perubahan neorologis (mis. Kelahiran premature, distress fatal,

persalinan cepat atau persalinan lama)

e. Disfungsi sitem keluarga

f. Ketidakteraturan atau kekacauan lingkungan

g. Penganiayaan atau pengabaian anak

h. Hubungan orang tua-anak tidak memuaskan

i. Model peran negatif

j. Imfulsif

19
k. Perilaku menentang

l. Perilaku agresif

m. Keenggangan berpisah dengan orang terdekat

Gejala dan Tanda Mayor

a. Subjektif:

1) Merasa tidak nyaman dengan situasi sosial

2) Merasa sulit menerima atau mengkomunikasikan perasaan

b. Objektif:

1) Kurang responsif atau terkait pada orang lain

2) Tidak berminat melakukan kontak emosi dan fisik

Gejala dan Tanda Minor

a. Subjektif:

1) Sulit mengungkapkan kasih sayang

b. Objektif:

1) Gejala cemas berat

2) Kontak mata kurang

3) Ekpresi wajah tidak responsif

4) Tidak koorperatif dalam bermain dan berteman dengan sebaya

5) Perilaku tidak sesuai usia

C. Intervensi

Berikut ini adalah intervensi yang dirumuskan untuk mengatasi masalah

keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik (Tim Pokja SIKI DPP

PPNI, 2018):

20
1. Gangguan Tumbuh Kembang berhubungan dengan kelainan fungsi

kognitif

a. Intervensi utama:

Perawatan Perkembangan

Kode: I.10339

Defenisi: Mengidentifikasi dan merawat untuk memfasilitasi

perkembangan yang optimal pada aspek motorik halus, motorik kasar,

bahasa, kognitif, sosial, emosional, di tiap tahapan usia anak.

Tindakan:

Observasi

1) Identifikasi pencapaian tugas perkembangan anak

2) Identifikasi isyarat perilaku dan fisiologis yang ditunjukkan bayi

(mis. lapar, tidak nyaman)

Terapeutik

1) Pertahankan sentuhan seminimal mungkin pada bayi prematur

2) Berikan sentuhan yang bersifat gentle dan tidak ragu-ragu

3) Minimalkan nyeri

4) Minimalkan kebisingan ruangan

5) Pertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan optimal

6) Motivasi anak berinterkasi dengan anak lain

7) Sediakan aktivitas yang memotivasi anak berinteraksi dengan anak

lainnya

8) Fasilitasi anak berbagi dan bergantian/bergilir

21
9) Dukung anak mengekspresikan dari melalui penghargaan positif atau

umpan balik atau usahanya

10) Pertahankan kenyamanan anak

11) Fasilitasi anak melatih keterampilan pemenuhan kebutuhan secra

mandiri (mis. makanan, sikat gigi, cuci tangan, memakai baju)

12) Bernyanyi bersama anak lagu-lagu yang disukai

13) Bacakan cerita atau dongeng

14) Dukung partipasi anak di sekolah, ektrakurikuler dan aktivuitas

komunitas

Edukasi

1) Jelaskan orang tua dan/atau pengasuh tentang milistone

perkembangan anak dan perilaku anak

2) Anjurkan orang tua menyentuh dan menggendong bayinya

3) Anjurkan orang tua berinteraksi

4) Anjurkan anak keterampilan berinteraksi

5) Anjurkan anak teknik asertif

Kolaborasi

1) Rujuk untuk konseling, jika perlu

2. Gangguan Komunikasi Verbal berhubungan dengan lambatnya

keterampilan ekspresi dan resepsi bahasa

a. Intervensi utama:

Promosi Komunikasi: Defisit Bicara

Kode: I.13492

22
Defenisi: Menggunakan teknik komunikasi tambahan pada individu

dengan gangguan bicara.

Tindakan:

Observasi

1) Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume, dan diksi bicara

2) Monitor proses kognitif, anatomis, dan fisiologis yang berkaitan

dengan bicara (mis. pendengaran, dan bahasa)

3) Monitor prustasi, marah, depresi, atau hal lain yang mengganggu

bicara

4) Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk komunikasi

Terapeutik

1) Gunakan metode komunikasi alternatif (mis. menulis, mata berkedip,

paparan komunikasi dengan gambar dan huruf, isyarat tangan, dan

komputer)

2) Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan (mis. berdiri didepan

pasien, dengarkan dengan seksama, tunjukkan satu gagasan atau

pemikiran sekaligus, bicaralah dengan perlahan sambil menghindari

teriakan, gangguan komunikasi tertulis, atau meminta bantuan

keluarga untuk memahami ucapan pasien)

3) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bantuan

4) Ulangi apa yang disampaikan pasien

5) Berikan dukungan psikologis

6) Gunakan juru bicara, jika perlu

23
Edukasi

1) Anjurkan berbicara perlahan

2) Anjurkan pasien dan keluarga proses kognitif, anatomis, dan

fisiologis yang berhubungan dengan kemampuan berbicara

Kolaborasi

1) Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis

3. Resiko Cedera berhubungan dengan perilaku agresif/koordinasi gerak tidak

terkontrol

a. Intervensi utama:

Manajemen Keselamatan Lingkungan

Kode: I.14513

Definisi: Mengidentifikasi dan mengelola lingkungan fisik untuk

meningkatkan keselamatan.

Tindakan:

Observasi

1) Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis. kondisi fisik, fungsi

kognitif dan riwayat perilaku)

2) Monitor perubahan status keselamatan lingkungan

Terapeutik

1) Hilangkan bahaya keselamatan limngkungan (mis. fisik, biologi, dan

kimia), jika memungkinkan

2) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko

24
3) Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis. commode chair dan

pegangan tangan) gunakan perangkat pelindung (mis. pengekangan

fisik, rel samping, pintu terkunci, pagar)

4) Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas (mis.

puskesmas, polisi, damkar)

5) Fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman

6) Lakukan program skrining bahaya lingkungan (mis. timbal)

Edukasi

1) Ajarkan individu, keluarga dan kelompok risiko tinggi bahaya

lingkungan

4. Gangguan Interaksi Sosial berhubungan dengan kesulitan bicara/kesulitan

adaptasi sosial

a. Intervensi utama:

Modifikasi Perilaku Keterampilan Sosial

Kode: I.13484

Definisi: Mengubah pengembangan atau peningkatan keterampilan sosial

interpersonal.

Tindakan:

Observasi

1) Identifikasi penyebab kurangnya keterampilan sosial

2) Identifikasi fokus pelatihan keterampilan sosial

Terapeutik

1) Motivasi untuk berlatih keterampilan sosial

25
2) Beri umpan balik positif (mis. pujian atau penghargaan) terhadap

kemampuan sosiolisasi

3) Libatkan keluarga selama latihan keterampilan sosial, jika perlu

Edukasi

1) Jelaskan tujuan melatih keterampilan sosial

2) Jelaskan respons dan konsekuensi keterampilan sosial

3) Anjurkan mengungkapkan perasaan akibat masalah yang dialami

4) Anjurkan mengevaluasi pencapaian setiap interaksi

5) Edukasi keluarga untuk dukungan keterampilan sosial

6) Latih keterampilan sosial secara bertahap

26
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Retardasi mental adalah suatu kondisi yang di tandai oleh intelegensi

yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan

beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang di anggap

normal (Soetjiningsih, 1994).

Berdasarkan tingkatan dalam retardasi mental dapat dibagi menjadi 4

kelompok retardasi mental diantaranya:

1. Retardasi mental ringan dengan taraf IQ: 50-70

2. Retardasi mental sedang dengan taraf IQ: 35-49

3. Retardasi mental berat dengan taraf IQ: 20-30

4. Retardasi mental sangat berat dengan taraf IQ: kurang dari 20

Secara garis besar faktor penyebab dapat di bagi menjadi 4 golongan

yaitu (Soetjiningsih, 1994): faktor genetik; faktor prenatal; faktor perinatal; dan

faktor pascanatal.

B. Penutup

Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai yang menjadi

bahasan makalah ini. Kami yakin, makalah ini masih begitu banyak

kekurangan. Maka dengan itu, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya dan

terimakasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

27
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Aziz Alimul Hidayat. (2014). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.


Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafani. Jakarta: Salemba Medika.
Sayidati, Fina. (2015). Retardasi Mental.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
(2007). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

28

Anda mungkin juga menyukai