Anda di halaman 1dari 12

Kongsie Langfong/Republik Lanfang

Kongsie Langfong/Republik Lanfang (Hanzi tradisional: 蘭芳共和國, Hanyu


Pinyin: Lánfāng Gònghéguó) adalah sebuah negara Hakka di Kalimantan
Barat, Indonesia yang didirikan oleh Low Fang Pak (Luo Fangbo) (羅芳伯) pada tahun
1777 sampai akhirnya dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1884.
Sultan-sultan di Kalimantan Barat yang mendatangkan buruh yang berasal dari
China pada abad ke-18 untuk bekerja dalam pertambangan emas atau timah terdapat
sejumlah komunitas pertambangan (kongsi) yang menikmati beberapa otonomi politik
dan Lanfang dikenal oleh sejarah berdasarkan tulisan oleh Yap-Yoen Siong, menantu
Kapitan terakhir kongsi Lanfang, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada
tahun 1885.

 Sejarah Kongsi
Kongsi adalah perkumpulan pertambangan Cina di wilayah barat Pulau Borneo /
Kalimantan. Pertambangan-pertambangan yang dikerjakan oleh orang-orang China ini
adalah tambang-tambang emas yang tersebar di pesisir utara Wilayah Kalimantan
sebelah barat ini. Sebagian besar tambang-tambang emas itu berada di wilayah
kekuasaan Kesultanan Sambas. Orang-orang China yang mengerjakan tambang-
tambang emas itu pertama kali datang ke wilayah Kalimantan Barat ini adalah pada
tahun 1740 M yang didatangkan oleh Raja Panembahan Mempawah yaitu Opu Daeng
Manambon. Kemudian pada sekitar tahun 1750 M Sultan Sambas ke-4 yaitu Sultan
Abubakar Kamaluddin juga mendatangkan orang-orang China untuk pertama kali
wilayah Kesultanan Sambas untuk mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah
Kesultanan Sambas yaitu di daerah Montraduk, Seminis dan Lara. Dalam hal ini status
orang-orang China ini adalah pekerja-pekerja tambang yang bekerja pada Sultan
Sambas. Sebagian hasil tambang itu disisihkan untuk upah para pekerja tambang emas
itu dan sebagian lagi adalah merupakan penghasilan bagi Kesultanan Sambas sebagai
pemilik negeri.
Seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan pertambangan emas di
wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas, pada sekitar tahun 1764 M terjadi gelombang
besar-besaran orang-orang China yang didatangkan oleh Sultan Sambas ke-5 yaitu
Sultan Umar Aqamaddin II ke wilayah Kesultanan Sambas menyusul begitu banyaknya
ditemukan tambang-tambang emas baru di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas ini.
Pada sekitar tahun 1767 M jumlah orang-orang China yang mengerjakan
tambang-tambang emas di wilayah barat Pulau Kalimantan ini khususnya di
wilayah Kesultanan Sambas sudah mencapai hingga belasan ribu orang.
Karena jumlah orang-orang China yang semakin besar ini dan mereka
berkelompok-kelompok berdasarkan wilayah pertambangan masing-masing, maka
pada sekitar tahun 1768 M, kelompok-kelompok ini kemudian mendirikan semacam
perkumpulan usaha tambang masing-masing yang disebut dengan nama Kongsi.
Kongsi-kongsi ini (yang saat itu berjumlah sekitar 8 Kongsi) menyatakan tunduk
kepada Sultan Sambas namun Kongsi-kongsi itu diberi keleluasaan secara terbatas oleh
Sultan Sambas untuk mengatur Kongsinya sendiri seperti pengangkatan pemimpin
Kongsi dan pengaturan kegiatan pertambangan masing-masing. Sedangkan mengenai
hasil tambang emas, disepakati bahwa Kongsi-kongsi berkewajiban secara rutin
menyisihkan sebagian hasil tambang emas mereka untuk diserahkan kepada Sultan
Sambas bagi penghasilan Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Pada saat itu Sultan
Sambas menerima bagi hasil dari Kongsi-Kongsi China itu sebanyak 1 kg emas murni
setiap bulannya, belum termasuk penerimaan oleh Pangeran-Pangeran penting di
Kesultanan Sambas dari Kongsi-kongsi itu.
Pada tahun 1770 M mulai timbul semacam pembangkangan dari kongsi-kongsi
China yang ada di wilayah Kesultanan Sambas ini terhadap Sultan Sambas.
Pembakangan ini berupa penolakan mereka untuk memberikan sebagian hasil tambang
emas kepada Sultan Sambas yaitu sebesar 1 kg emas murni setiap bulannya. Para kongsi
itu hanya bersedia memberikan bagi hasil tambang emas sebesar setengah kg atau
separuh dari kesepakatan sebelumnya padahal saat itu kegiatan pertambangan emas di
wilayah Kesultanan Sambas ini semakin berkembang.
Hal ini kemudian membuat Sultan Sambas marah apalagi kemudian terjadi
pembunuhan oleh orang-orang China Kongsi terhadap petugas-petugas pengawas
Kesultanan Sambas (yang adalah orang-orang Dayak) yang ditugaskan oleh Sultan
Sambas untuk mengawasi kegiatan tambang emas Kongsi itu, sehingga kemudian Sultan
Sambas saat itu yaitu Sultan Umar Aqamaddin II mengirimkan pasukan Kesultanan
Sambas menuju daerah kongsi-kongsi yang melakukan makar dan pembakangan itu.
Setelah gerakan pasukan Kesultanan Sambas telah berlangsung selama sekitar 8 hari
dan belum sempat terjadi pertempuran besar antara pasukan Kesultanan Sambas
dengan pihak kongsi, kemudian pihak kongsi itu ketakutan hingga kemudian mengakui
kesalahannya dan bersedia untuk tetap membayar bagi hasil tambang emas kepada
Sultan Sambas sesuai dengan kesepakatan sebelumnya yaitu sebesar 1 kg emas setiap
bulannya.
Versi lain mengungkapkan bahwa sebenarnya ada kerja sama erat antara
Kesultanan Pontianak dan Sambas dengan kongsi tetapi pada perkembangannya
Kesultanan Pontianak ditekan oleh Belanda agar turut memusuhi kongsi. Akibatnya
kerajaan2 menurunkan pasukannya menyerang kongsi.
Semakin lama jumlah Kongsi yang ada semakin bertambah dan pada sekitar
tahun 1770 M, telah ada sekitar 10 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas dan saat itu
terdapat 2 Kongsi yang terbesar yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong.
Pada tahun 1774 M terjadi pertempuran antara kedua buah kongsi terbesar di
wilayah Kesultanan Sambas yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong. Kongsi Thai
Kong kemudian berhasil mengalahkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong
bubar.

 Kedatangan Lo Fang Pak


Lo Fang Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan
Barat saat ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang
menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalbar (Wilayah
Kesultanan Sambas) pada usia sekitar 41 tahun yaitu pada sekitar tahun 1774 M.
Kedatangan orang-orang China dari daratan China ini adalah atas permintaan
sultan-sultan Melayu saat itu yang mendatangkan para pekerja tambang emas dari
daratan China yaitu untuk melakukan kerja-kerja tambang yang memang keahlian dan
kesulitan pekerjaan tambang saat itu hanya dapat dilakukan dengan ketekunan dari
orang-orang China. Permintaan pekerja tambang dari China daratan saat itu merupakan
satu trend yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, yang dimulai oleh kerajaan
Melayu yang ada di Semenanjung Melayu kemudian kerajaan Melayu di pesisir utara
dan timur Sumatra lalu Kerajaan Melayu Brunei (yaitu pada masa Sultan Omar Ali
Saifuddin I) baru kemudian disusul oleh Kerajaan-Kerajaan Melayu yang berada di
pesisir wilayah Pulau Kalimantan bagian barat.
Kerajaan Melayu di pesisir barat Pulau Kalimantan yang pertama mendatangkan
pekerja tambang dari daratan China adalah Panembahan Mempawah yang waktu
Rajanya adalah Opu Daeng Manambung yaitu pada sekitar tahun 1740 M. Kebijakan
Panembahan Mempawah ini kemungkinan atas saran dari Adik Opu Daeng
Manambung yaitu Opu Daeng Celak yang saat itu sedang menjabat sebagai Raja Muda di
Kesultanan Riau yang telah lebih dahulu mendatangkan pekerja dari China daratan
untuk tambang timah di Kesultanan Riau dan berhasil dengan baik. Namun demikian
saat itu Panembahan Mempawah mendatangkan orang-orang China untuk pekerja
tambang (emas) pertama kali adalah berjumlah 20 orang (kemungkinan para pakar
mencari emas) yang sebelumnya telah bekerja di Kesultanan Brunei.
Setelah itu didirikanlah pertambangan emas yang dikerjakan oleh orang-orang
Cina yaitu di daerah Mandor yang saat itu merupakan wilayah Panembahan
Mempawah. Setelah beberapa tahun mengerjakan tambang emas di Mandor ini, para
pakar pencari emas dari Cina ini kemudian mengindikasikan satu tempat tak begitu
jauh dari Mandor yang disinyalir banyak mengandung emas. Namun wilayah itu adalah
wilayah kekuasaan dari Kesultanan Sambas yaitu daerah yang bernama Montraduk.
Maka kemudian utusan pekerja tambang emas Cina ini menghadap Sultan Sambas
mengenai potensi emas di Montraduk ini. Mendengar hal demikian Sultan Sambas
kemudian mengijinkan untuk membuka tambang emas di Montraduk oleh orang-orang
Cina dengan syarat bagi hasil yaitu sebagian hasil emas adalah untuk pekerja tambang
dari Cina ini dan sebagian hasil yang lain adalah untuk Sultan Sambas sebagai pemilik
Negeri. Maka kemudian dibukalah tambang emas di Montraduk pada sekitar tahun
1750 M yaitu tambang emas kedua setelah di Mandor.
Sungguh di luar dugaan bahwa potensi emas di wilayah Kesultanan Sambas ini
sangat melimpah ruah. Setelah Montraduk berturut-turut dibuka lagi tambang emas di
Seminis, Lara, Lumar yang semuanya di wilayah Kesultanan Sambas dan memberikan
hasil emas yang sangat memuaskan. Sebagai dampaknya gelombang kedatangan orang-
orang China semakin melimpah ke wilayah Kalimantan Barat ini khususnya di wilayah
Kesultanan Sambas. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian keluarga, sekampung
halaman atau sesama kumpulan sehingga kemudian pada sekitar tahun 1770 M telah
ada sekitar lebih dari 20.000 orang-orang Cina pekerja tambang emas di wilayah
Kalimantan Barat ini yang sekitar 70 % dari jumlah pekerja tambang emas itu adalah
berada di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.
Pada sekitar tahun 1775 M datang pemuka masyarakat Hakka dari China yang
bernama Lo Fong Pak ke daerah Kongsi yang ada di Wilayah Kesultanan Sambas.
Pada Tahun 1776 M 14 buah Kongsi yang ada di wilayah Kalimantan Barat ini
yaitu 12 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk dan 2 buah
Kongsi di wilayah Panembahan Mempawah yang berpusat di Mandor menyatukan diri
dalam wadah lembaga yang bernama Hee Soon yaitu untuk memperkuat persatuan di
antara mereka dari ancaman pertempuran antara sesama Kongsi seperti yang telah
terjadi antara Kongsi Thai Kong dan Lan Fong pada tahun 1774 M yang lalu. Salah satu
dari 14 Kongsi itu adalah Kongsi Lanfong yang dihidupkan lagi oleh Lo Fong Pak dengan
Lo Fong Pak sendiri yang menjadi ketuanya.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 1777 M Lo Fong Pak memindahkan lokasi
Kongsi Lan Fong ke lokasi lain dimana lokasi Kongsi Lan Fong yang baru ini tidak lagi
diwilayah Kesultanan Sambas tetapi adalah di wilayah Panembahan Mempawah yaitu
Mandor (Tung Ban Lut).
Walaupun telah mempunyai Kelompok Induk yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi ini
tetap menyatakan tunduk dibawah Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah dimana
12 Kongsi tunduk dibawah naungan Sultan Sambas dan 2 Kongsi tunduk dibawah
naungan Panembahan Mempawah. Namun Kongsi-Kongsi diberi kewenangan untuk
mengangkat pemimpin Kongsi dan mengatur pertambangan serta wilayah sekitarnya
sesuai dengan lokasi tambangnya (semacam daerah otonomi distrik).
Di Mandor, Lo Fong Pak, Ketua Kongsi Lan Fong kemudian menyatukan orang-
orang Hakka yang ada di wilayah Mandor dalam organisasi yang bernama San Shin Cing
Fu (karena di wilayah Mandor saat itu juga terdapat orang-orang Cina selain Suku
Hakka / Khek yaitu orang Thio Ciu, berbeda dengan Kongsi-kongsi Cina yang ada di
wilayah Kesultanan Sambas yang seluruhnya adalah dari Suku Hakka / Khek) yang
berarti danau gunung berhati emas, dan mendirikan kota Mem-Tau-Er sebagai markas
besar dari group perusahaannya.
Pada tahun 1778 M terjadi peninggkatan derajat kekuasaan di daerah Muara
Sungai Landak dimana Syarif Abdurrahman Al Qadri yang tadinya Ketua dari Kampung
Pontianak (terbentuk pada tahun 1771 M) yang terletak di Muara Sungai Landak
kemudian pada tahun itu mengangkat dirinya menjadi Sultan pertama dari Kesultanan
Pontianak. Berdirinya Kesultanan Pontianak di Muara Sungai Landak ini kemudian
menimbulkan protes keras dari Raja Kerajaan Landak karena secara historis wilayah
muara Sungai Landak adalah merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Landak. Namun
VOC Belanda karena kepentingan ekonomi terhadap daerah muara Sungai Landak ini
kemudian berdiri di belakang Kesultanan Pontianak sehingga membuat Raja Landak
mengendurkan protes kerasnya.
Berkuasanya Sultan Syarif Abdurrahman di muara Sungai Landak sedikit banyak
membuat Kongsi Lan Fong bergantung pada aktivitas di muara sungai itu sehingga
inilah salah satu yang kemudian membuat Lo Fong Pak lebih dekat kepada Sultan
Pontianak dibandingkan kepada Panembahan Mempawah padahal Kongsi Lan Fong
saat itu masih dibawah naungan dari Panembahan Mempawah.
Pada tahun 1789 M, Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda melakukan
serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah
Panembahan Mempawah. Untuk mendukung serangan ini Sultan Pontianak saat itu juga
mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong untuk ikut serta dalan serangan kepada
Panembahan Mempawah ini dan Kongsi Lan Fong kemudian juga mengirimkan
pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Menghadapi serangan ini,
Panembahan Mempawah kalah yang kemudian Raja Panembahan Mempawah yaitu
mengundurkan dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap disana.
Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) dengan Sultan Pontianak
menjadi semakin kuat dan dekat sehingga kemudian Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong)
diberikan kewenangan yang lebih luas lagi (semacam daerah otonomi khusus) namun
tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia
Lo Fong Pak mencapai usia 57 tahun yaitu pada sekitar tahun 1793 M.
Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan saat itu menurut pemahaman zaman
sekarang ini adalah sangat demokratis yaitu Ketua Kongsi dipilih melalui pemilihan
umum oleh seluruh warga Kongsi. Karena cara pemilihan ini sehingga oleh sebagian
orang yang menterjemahkan tulisan Yap Siong Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan
Fang yang terakhir) dan tulisan J.J. Groot (sejarawan Belanda) mengenai Kongsi Lan
Fang yang di interpretasikan terlalu jauh sehingga Kongsi Lan Fang diartikan adalah
"Republik Lan Fang" padahal di dalam kedua-dua tulisan itu tidak ada kata Republik.
Disamping itu kata Republik adalah untuk sebutan bagi suatu negara/wilayah yang
merdeka sedangkan Kongsi Lan Fang saat walaupun mendapat status otonomi khusus
namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak sehingga bukan
merupakan suatu negara merdeka. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai "Republik
Lan Fang" itu tidak pernah ada, yang ada adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat status
otonomi khusus dari Sultan Pontianak.
Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui sistem pemilihan umum untuk
menjabat sebagai Ketua Daerah Otonomi Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar dalam
bahasa Mandarin "Ta Tang Chung Chang" atau Kepala Daerah Otonomi. Peraturan
Kongsi Lan Fong menyebutkan bahwa posisi Ketua dan Wakil Ketua Kongsi Lan Fong
harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.
Pusatnya tetap di Mandor dan Ta Tang Chung Chang (Ketua Kongsi) dipilih
melalui pemilihan umum. Menurut aturannya, baik Ketua maupun Wakil Ketua Kongsi
harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu.
Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa
Mandarin "Lan Fang Ta Tong Chi". Bendera Lo Fong Pak (Ketua Kongsi Lan Fong)
berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan "Chuao" (Jenderal). Para pejabat
tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Tionghoa, sementara pejabat yang lebih
rendah memakai pakaian gaya barat. Kongsi Lan Fong mencapai keberhasilan besar
dalam ekonomi dan stabilitas keamanan selama 19 tahun kepemimpinan Lo Fang Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat
dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun
jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou
dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Kongsi
Lan Fong sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada
Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).

 Zaman keemasan
Lo Fang Pak dalam masa pemerintahannya telah menjalankan system
perpajakan, dan mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan system
pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan
mengusahakan ketahan ekonomi berdikari lengkap dengan perbankannya. Sistem
pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan, seperti diketahui bahwa
Lo Fang Pak sendiri asalnya memang seorang guru.
Republik Lan Fang bukan hanya disegani kekuatan militernya tapi juga keahlian
mereka dalam mengusir buaya di kawasan muara kapuas. Ini membuat para
bumiputera dan hoakiau menaruh hormat kepada Presiden Lo Fang Pak.
Kun Tien atau lazimnya disebut Pontianak sekarang yang mana terletak di muara
sungai Kapuas merupakan daerah niaga yang di kuasai oleh Sultan Abdulrachman.
Sedangkan hulu sungai Kapuas di pegang oleh Kelompok Dayak. Kesultanan yang
berbatasan dengan Kun Tien adalah Mempawah. Sultan Kun Tien mencoba membangun
istana agak ke hulu sungai yang mana dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah
dan ini memicu perang antara kedua kesultanan. Dalam perang ini (1794) Sultan Kun
Tien dibantu oleh Lan Fang Kongsi karena kedekatan diantara mereka.
Sultan Mempawah kalah dalam perang lalu bergabung dengan Dayak dan
melakukan serangan balasan. Lo Fang Pak kembali mematahkan kekuatan Sultan
Mempawah, malah kali ini Sultan Mempawah didesak terus ke utara sampai
Singkawang, kemudian berakhir dengan Sultan Singkawang dan Sultan Mempawah
menandatangani perjanjian perdamaian dengan Lo Fang Pak. Segera setelah kejadian
itu popularitas Lo Fang Pak melesat dramatis, ketika itu beliau berusia 57 tahun.
Setelah itu, rakyat, dan orang Tionghoa didaerah itu bergabung dengan Lo Fang
Pak untuk mencari perlindungan, dan Sultan Kun Tien menyadari bahwa dia tidak
sanggup melawan kekuatan militer Lo Fang Pak, maka Sultan sendiri meminta
perlindungan dari Lo Fang Pak. Presiden Lo Fang Pak wafat pada tahun 1795, beliau
sempat tinggal di Borneo selama lebih dari 20 tahun.

 Kejatuhan Lan Fong Kongsi


Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua dideklarasikannya Daerah
Otonomi Khusus tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan lebih dari 20 tahun. Pada
usia ke 47 berdirinya Kongsi Lan Fong tersebut, yaitu pada masa pemerintahan Ketua
Kongsi kelima, Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi
di Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh
Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani kesepakatan kerjasama dengan
Belanda. Penandatanganan kesepakatan tersebut kemudian membuat Kongsi Lan Fong
dalam pengaruh Belanda. Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin
melemahkan Kongsi Lan Fang. Kongsi Lan Fang kemudian kehilangan otonomi dan
beralih dari daerah dibawah naungan Sultan Pontianak menjadi sebuah daerah
protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak dan
mengendalikan sepenuhnya Kongsi Lan Fong dengan melantik Ketua Kongsie
sebagai regent.
Pada tahun 1884 M Kongsi Thai Kong yang berpusat di Montraduk menolak
diperintah oleh Belanda, sehingga Kongsi Thai Kong diserang oleh Belanda. Belanda
berhasil menduduki Thai Kong Kongsi, namun kongsi tersebut mengadakan perlawanan
selama 4 tahun. Perlawan Kongsi Thai Kong terhadap Belanda ini juga kemudian
melibatkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong kemudian juga diserang Belanda
dan ditaklukkan Belanda, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), Ketua
Kongsi Lan Fong yang terakhir. Sebagian warga Kongsi Lan Fong kemudian mengungsi
ke Sumatera. Takut akan reaksi keras dari pemerintahan Ching di Tiongkok,
menyebabkan Belanda tidak pernah menyatakan menguasai Lan Fang, maka dibiarkan
salah satu dari keturunan Lan Fang menjadi pemimpin disana. Baru setelah
terbentuknya Republik of China (Cung Hwa Ming Kuok) 1911, maka pada tahun 1912
Belanda secara resmi menyatakan menguasai daerah itu.
Orang orang Lan Fang yang lari ke Sumatra bergabung lagi di Medan. Dari sana
mereka menyebar ke Kuala Lumpur dan Singapura.Disana mereka juga membentuk
masyarakat, mengadopsi peraturan dan tata tertib kongsi Lan Fang yang sudah teruji
baik. Cukup banyak keturunan dari kongsi Lan Fang ini yang kemudian menetap dan
beranak pinak di Singapura. Salah satu keturunannya adalah mantan Perdana Menteri
Singapura Lee Kuan Yew.

Tambahan Catatan!!!
 Tentang Republik Lanfang
Lan Fang lokasinya ada di Pontianak, Kalimantan Barat. Republik kecil ini
sebenarnya biasa saja kalau tidak karena waktu terbentuknya. Republik Lan Fang
berdiri sekitar tahun 1777 dan menggunakan system yang sifatnya demokratis. Saat itu
bangsa Roma, Yunani atau Cina sekalipun masih memakai sistem Kerajaan atau
Monarki, tapi Lan Fang sudah menggunakan system yang relatif demokratis.
Sebenarnya tak ada tulisan yang menyebutkan negeri Lan Fang itu berbentuk
republik secara resmi. Tata pemerintahan yang demokratis dibandingkan negeri lain
saat itu, membuat Lan Fang mendapat julukan republik.
Negeri kongsi Lan Fang sempat diketuai 10 orang pemimpin (Jendral) yang
dipilih secara demokratis lewat pemilihan umum. Selain memiliki pemerintahan resmi,
penduduk dan wilayah yang sah, Lan Fang juga memiliki sistem perekonomian,
perbankan, dan Hukum sendiri. Penduduknya memiliki kedudukan yang sama dalam
hokum, bahkan termasuk para pemimpinnya. Republik ini mampu bertahan hidup
selama 107 tahun. Tentunya tidak pernah ada pengakuan internasional kepada republik
yang awalnya dipimpin Lo Fang Pak tersebut.
Sistem pemerintahannya relatif demokratis.Pilihan itu yang dianggap paling
sesuai, karena secara historis mereka masih sangat terikat pada budaya China, dimana
yang boleh menjadi pimpinan tertinggi adalah sang Kaisar titisan dewa.
Di negeri Lan Fang, kedudukan mereka seimbang. Semua penduduk adalah
perantau dari China. Maka pemilihan pemimpin pun dilakukan dengan kesepakatan
atau pemungutan suara.
Jangan disangka negeri Lan Fang itu hanya terdiri dari orang China. Pada awal
kedatangan di Kalimantan Barat, hanya kaum pria yang diijinkan tinggal dan
menambang emas disana. Akibatnya dalam waktu singkat terjadi perkawinan campur
dengan wanita asli Kalimantan barat, maupun pendatang lain. Penghuni negeri Lan
Fang saat itu, benar-benar bhineka tunggal ika.
Bendera Republik Lan Fang berbentuk persegi panjang berwarna kuning dengan
tulisan “Lan Fang Ta Tong Chi”. Presiden disebut sebagai “Chuao” (Jenderal). Pejabat
tingginya berpakaian ala Tiongkok kuno, sedangkan yang berpangkat lebih rendah
mengenakan pakaian ala barat.
Sosok yang dianggap pendiri negeri ini adalah seorang guru yang bernama Lo
Fang Pak (atau dalam ejaan yang berbeda menjadi Lo FanBo). Ia menjadi pencetus
sekaligus Jendral pertama negeri Lan Fang. Tokoh ini dianggap sangat berpengaruh dan
punya visi kenegaraan luar biasa.
Negeri Lan Fang memiliki kitab undang-undang hukum, sistem pendidikan
pertanian dan pertambangan. Mereka memiliki system ekonomi yang berlandaskan
iuran wajib sesuai pekerjaan, sangat mirip dengan pajak. Bahkan ada juga system
simpan pinjam perbankan. Kongsi Lan Fong sendiri setiap tahun membayar upeti pada
Dinasti Qing. Dalam tarikh di Dinasti Qing mencatat sebuah tempat dimana orang Ka
Yin bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri dan
setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Tauciu untuk berdagang. Catatan
tersebut dianggap bukti keberadaan negeri kongsi Lan Fang.
Pemimpin Lan Fang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Kisah
itu ada di dalam tulisan Yap Siong Yoen, anak tiri pemimpin kongsi Lan Fang terakhir.
Akibat tulisan J.J. Groot, seorang sejarawan Belanda mengenai Kongsi Lan Fang, muncul
sebutan Republik Lan Fang. Hakikatnya yang disebut Republik Lan Fang adalah sebuah
negeri yang berbasiskan kongsi dagang Lan Fang. Kenyataannya,
syarat terbentuknya republik telah terpenuhi. Tak cuma punya rakyat dan wilayah,
Kongsi ini juga mengadakan pemilihan umum untuk memilih pemimpinnya.
Negeri Lan Fang sangat disegani karena kemampuannya mengusir buaya di
muara Kapuas. Perlahan tapi pasti, walau masih membayar upeti ke kesultanan local,
negeri Lan Fang membentuk tenaga keamanan sendiri yang semakin lama semakin
kuat. Bahkan saat terjadi bentrokan antara Sultan Kun Tien melawan Kesultanan
Mempawah dan kelompok Dayak, negeri Lan Fang bisa memberikan bantuan berharga.
Namun kisah negeri ini belum berakhir begitu saja. Kisah sejarah Republik Lan
Fang sudah mulai dirapikan oleh berbagai pihak. Berbagai pameran tentang Kongsi
Unik yang mampu membuat negaranya bertahan selama 107 tahun ini telah masuk
menjadi agenda rutin Singapore Art Fest.. Mulai dari peninggalan sejarah, uang, lukisan-
lukisan dan foto zaman dahulu. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga
Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah.

 Daftar Ketua Kongsi Lanfang

Daftar Ketua Kongsi yang pernah memimpin Daerah Otonomi Kongsi Lanfang (1777 -
1793 ) dan Daerah Otonomi Khusus Kongsi Lanfang dari tahun 1793 - 1884.

Nama Ketua
Periode Keterangan
Kongsi

Pendiri Kongsi Lanfang di Mandor pada


Lo Fangpak 1777-1795
tahun 1777

Kong Meupak 1795-1799 Perang dengan Panembahan Mempawah

Jak Sipak 1799-1803 Konflik dengan orang Dayak dari Landak

Kong Meupak 1803-1811

Sung
1811-1823 Ekspansi tambang di Landak
Chiappak

Liu Thoinyi 1823-1837 Sudah di bawah pengaruh kolonial Belanda

Konflik dengan Panembahan Landak dan


Ku Liukpak 1837-1842
kemerosotan kongsi
Chia Kuifong 1842-1843

Yap Thinfui 1843-1845

Pertempuran dengan orang Dayak dari


Liu Konsin 1845-1848
Landak

Liu Asin[1][5] 1848-1876 Ekspansi tambang ke kawasan Landak

Liu Liongkon 1876-1880

Liu Asin 1880-1884 Kejatuhan Lanfang Kongsi pada tahun 1884

 Rekaman sejarah
Dari catatan sejarah Ching Dynasty, tercatat sbb: ada suatu tempat dimana orang
Ka Yin (dari daerah Mei Hsien), menambang emas, membangun jalan, mendirikan
negaranya, setiap tahun kapal-kapal niaga-nya berlabuh di Guang Zhou dan Chao Zhou.
Dari catatan sejarah Lan Fang Kongsi diketahui mereka setiap tahunnya melakukan
kunjungan kehormatan dengan armada dagangnya kepada Dinasti Ching, seperti yang
dilakukan juga oleh Annan (Vietnam).
Ibu kotanya adalah Che Wan Li. Presiden The Ta Tang (Chon Chang) terpilih
melalui pemilu. Kedua presiden dan wakilnya dari Hakka dari Ka Yin dan daerah Ta Pu.
Benderanya empat persegi panjang berwarna kuning dengan lambang dan kata kata
Lan Fang Ta Tong Chi. Panji kepresidenan berbentuk segi tiga berwarna kuning dengan
kata Chuao (Jenderal). Pejabat tingginya berpakaian ala Tiongkok kuno, sedangkan yang
berpangkat lebih rendah mengenakan pakaian ala barat.
Kabarnya di Pontianak ada prasasti kenangan yang dibuat untuk beliau , Juga di
Mei Shien Tiongkok ada prasasti sejenis disebuah sekolah yang dinamakan San Mei Pei
Cung Shueh.
Sumber:
 id.wikipedia.org/wiki/Republik_Lanfang
 http://sejarah.kompasiana.com/2013/11/08/lnfng-gnghgu-republik-pertama-di-
negeri-kita-606374.html
 https://dreamindonesia.wordpress.com/2012/10/14/jauh-sebelum-republik-
indonesia-ada-ternyata-di-kalimantan-barat-sudah-berdiri-negara-republik/
 https://id-id.facebook.com/notes/10151409353310238/ (Facebook TiongHoa
Indonesia)
 https://toelank.wordpress.com/2013/04/02/sejarah-republik-lanfang-negara-di-
dalam-negara/

Anda mungkin juga menyukai