Anda di halaman 1dari 29

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)


DI RUANG HEMODIALISA RS SITI KHODIJAH MUHAMMADIYAH CABANG
SEPANJANG
“ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK”

Oleh Kelompok3:
1. M. Nafhan Syafi’i (20194663080)
2. Hikmatul Hasanah (20194663049)
3. I’in Masfiyah (20194663050)
4. Aprilia Rizky Anas (20194663038)
5. Teguh Prayogo (20194663072)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok bahasan : Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik (CKD)


Sasaran : Pasien dan keluarga pasien
Tempat : Ruang Hemodialisa
Hari, tanggal : Jum’at, 4 Oktober 2019
Alokasi waktu : 60 menit
Metode : ceramah, tanya jawab dan diskusi
1. Latar Belakang
Perkembangan zaman juga tak bisa menghindarkan kesibukan
masyarakat baik perkotaan maupun pedesaan. Hal ini mempengaruhi masyarakat
tidak peduli akan kesehatannya, termasuk mengenai penyakit ginjal kronik ini.
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik yaitu dengan mengurangi minum, operasi
dan cuci darah ( hemoliadisa ).
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PGK adalah
anemia (Suwitra, 2006). Anemia dapat terjadi melalui berbagai mekanisme
(defisiensi besi, asam folat, vitamin B 12; perdarahan saluran cerna;
hiperparatiroid berat; inflamasi sistemik dan memendeknya waktu hidup eritrosit.
Penyebab terpentingnya terjadinya anemia pada PGK adalah menurunnya
produksi eritropoetin (Thomas, et al, 2012)
Berdasarkan penelitian dari National Health and Nutritions Examination
Survey (NHANES) tahun 2007-2010, prevalensi anemia pada pasien PGK dua kali
lebih banyak (15,4%) dibandingkan populasi umum (7,6%). Prevalensi anemia
meningkat pada pasien PGK dari 8,4% pada stadium 1 sampai 53,4% pada stadium
5 (Staufferet et al., 2014). Menurut National institute for health and care excellence
(NICE) tahun 2011. Prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronik sebesar
12 %.
A. Tujuan Instruksional
1. Tujuan umum
Setelah dilakukan penyuluhan selama 1x60 menit diharapkan sasaran mampu
mengetahui tentang Anemia pada penyakit Ginjal Kronik.
2. Tujuan khusus
Setelah mendapat penyuluhan tentang “Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik”,
diharapkan peserta mampu:
a. Mengetahui pengertian Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
b. Mengetahui tentang penyebab terjadinya Anemia pada Penyakit Ginjal
Kronik
c. Mengetahui tanda dan gejala Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
d. Mengetahui pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya
Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
e. Mengetahui penatalaksanaan Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik

B. Materi Penyuluhan
1. Pengertian Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
2. Penyebab terjadinya Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
3. Tanda dan gejala Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
4. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya Anemia pada
Penyakit Ginjal Kronik
5. Penatalaksanaan Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
6. Sasaran
Sasaran penyuluhan adalah pasien dan keluarga yang dirawat di ruang Hemodialisa
7. Metode
Metode yang digunakan adalah ceramah, diskusi tanya jawab
8. Media
Media yang digunakan adalah leaflet, dan power point
9. Kegiatan Penyuluhan

Tahap Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta Metode media

Pembukaan 5 menit 1. Membuka kegiatan 1. Menjawab Ceramah microphone


dengan
salam
mengucapkan
salam. 2. Mendengarkan
2. Memperkenalkan
penjelasan
diri.
3. Menjelaskan penyaji
maksud dan tujuan
dari penyuluhan.
4. Kontrak waktu
Penyajian 45 1. Menggali 1. Mendengarkan Ceramah, ppt
menit pengetahuan peserta dan Tanya
memperhatikan jawab
sebelum diberi 2. Memberikan
penyuluhan. tanggapan dan
2. Menjelaskan pertanyaan
tentang: mengenai hal
- Pengertian yang kurang
Anemia pada dimengerti.
Penyakit Ginjal 3. Mencatat hal-
Kronik hal penting
- Penyebab
terjadinya
Penyakit Ginjal
Kronik
- Tanda dan gejala
Penyakit Ginjal
Kronik
- Pemeriksaan
yang dilakukan
untuk mengetahui
adanya Penyakit
Ginjal Kronik
- Penatalaksanaan
pada Penyakit
Ginjal Kronik
Penutup 10 1. Mengulang 1. Mendengarkan Ceramah, Leaflet
menit informasi yang dan bertanya, diskusi,
penting. serta menjawab tanya
2. Menggali pertanyaan. jawab
pengetahuan peserta 2. Memberikan
setelah dilakukan tanggapan balik.
penyuluhan dalam
bentuk tanya jawab.
3. Meyimpulkan hasil
kegiatan
penyuluhan.
4. Menutup dengan
salam

C. Setting Tempat

Keterangan :
= peserta penyuluhan = Moderator = Observer

= pemateri = Fasilitator
D. Pengorganisasian
a. Moderator : M. Nafhan Syafi’i
b. Pemateri : Hikmatul Hasanah
c. Fasilitator : Teguh Prayogo, I’in Masfiyah
d. Observer : Aprilia Rizky Anas
E. Rencana Evaluasi :

Tahap Evaluasi Indikator Keberhasilan


Evaluasi proses: a. Sasaran mengikuti kegiatan penyuluhan dengan baik
b. Sasaran terlibat aktif dan kooperatif dalam kegiatan
penyuluhan
c. Sasaran aktif bertanya
d. Sasaran aktif dan antusias dalam mengikuti kegiatan
penyuluhan
Evaluasi hasil a. 60% Peserta berada ditempat sesuai waktu yang telah
ditentukan
b. 60% peserta tetap mengikuti kegiatan penyuluhan
sampai selesai.
c. 60% Peserta kooperatif dan aktif dalam penyuluhan
dengan memperhatikan materi yang disampaikan dan
bertanya pada penyuluh mengenai hal-hal yang belum
dimengerti.
d. Jumlah peserta penyuluhan minimal 5 peserta
e. Media yang digunakan adalah leaflet
f. Waktu penyuluhan adalah 60 menit
g. Tidak ada peserta yang meninggalkan ruangan saat
kegiatan penyuluhan berlangsung
h. Peserta aktif dan antusias dalam megikuti kegiatan
penyuluhan
Hasil a. Sasaran mampu memahami tentang pengertian Anemia
pada Penyakit Ginjal Kronik
b.Sasaran mampu memahami tentang penyebab terjadinya
Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
c. Sasaran mampu memahami tentang tanda dan gejala
Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
d.Sasaran mampu memahami tentang pemeriksaan yang
dilakukan untuk mengetahui adanya Anemia pada
Penyakit Ginjal Kronik
e. Sasaran mampu memahami tentang penatalaksanaan
Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
LAMPIRAN MATERI
1.1 Pengertian Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi
hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dengann < 12,0
gr/dl pada wanita lainnya. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien
penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada
wanita premenopause dan pasien prepubertas, dan < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada
laki-laki dewasa dan wanita postmenopause.
1.2 Penyebab Anemia
Anemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik
normokrom, yang khas selalu terjadi pada sindrom uremia. Bisanya hematokrit
menurun hingga 20-30% sesuai derajat azotemia. Komplikasi ini biasa ditemukan pada
penyakit ginjal kronik stadium 4, tapi kadang juga ditemukan sejak awal stadium 3.
Lebih jelasnya perhatikan Gambar 1 dan Tabel 2. 1,3
Tabel 2. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik1
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt) Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LGF ≥90 -
normal
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 - Tekanan darah mulai naik
penurunan LGF ringan
3 Penurunan LGF sedang 30-59 - Hiperfosfatemia
- Hipokalsemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistinemia
4 Penurunan LGF berat 15-29 - Malnutrisi
- Asidosis metabolik
- Cenderung hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 - Gagal jantung
- Uremia
Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah
kurangnya produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahan
termasuk kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan
penggunaan zat besi (anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat dengan
konsekuensi fibrosis sumsum tulang, pendeknya masa hidup eritrosit akibat kondisi
uremia. Selain itu kondisi komorbiditas seperti hemoglobinopati dapat memperburuk
anemia. Untuk lebih lengkapnya, perhatikan Tabel 3

Tabel 3. Etiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik3


Etiologi Penjabaran etiologi
Penyebab utama - Defisiensi relatif dari eritropoietin
Penyebab tambahan - Kekurangan zat besi
- Inflamasi akut dan kronik
- Pendeknya masa hidup eritrosit
- Bleeding diathesis
- Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang
Kondisi komorbiditas - Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan,
penyakit HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif

Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik


termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi
eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.
1) Defisiensi Eritropoetin
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien
penyakit ginjal kronik.
CKD menyebabkan turunnya kadar eritropoetin (EPO), hormone yang
dihasilkan oleh ginjal yang sehat untuk memproduksi sel darah merah. Apabila tubuh
kekurangan kadar oksigen maka ginjal yang sehat akan melepas hormone EPO yang
akan merangsang sumsum tulang (bone marrow) untuk memproduksi lebih banyak sel
darah merah. CKD menyebabkan anemia berat yang secara bertahap mempengaruhi
kemampuan normal, penampilan diri, dan aktivitas sosial pasien. Hal ini akan
menyebabkan turunnya kualitas hidup secara umum.
2) Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk
alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin
pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan
kapasitas sistem transport besi.
3) Kehilangan Darah
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah
oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada
pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan
defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.
Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari sehingga kehilangan besi pada pasien-
pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
4) Pemendekan masa hidup eritrosit
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis
5) Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah,
saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang
bermanifestasi dengan tingginya serum feritin.
1.3 Patofisiologi
Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu,
termasuk fungsi endokrinnya (Gambar 4). Anemia pada penyakit ginjal kronik
dikaitkan dengan konsekuensi patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya
transfer oksigen ke jaringan dan penggunaannya, peningkatan curah jantung, dilatasi
ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.3
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain
yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis
mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling
utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan
penyakit ginjal yang berat. Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia
pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel
peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring
dengan progresivitas penyakit ginjalnya. Selanjutnya pada penelitian terdahulu
menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan
pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal
menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi
kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi
erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan
pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien
dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif. Defisiensi
eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan
fungsi glomerulus. Satu studi mengatakan bahwa untuk mempertahankan kemampuan
untuk meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara tinggal pada daerah yang tinggi.
Selain itu, telah terbukti juga bahwa racun uremik juga dapat menginaktifkan
eritopoietin atau menekan respon sumsum tulangterhadap eritropoietin.2,5
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor
eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak
adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses
ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal
terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah
merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan
kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain
poliamin, spermin, spermidin, dan PTH. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya
meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada
eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis. Karena
ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik
dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi
yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik. Kadar PTH
meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih
kontroversi jika dikatakan bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada
eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan
peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada
hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek
langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat
yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sumsum tulang dan penurunan masa
hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroid dan
anemia pada gagal ginjal.6
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah
oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada
pasien-pasien ini adalah dari hemodialisis. Pada suatu penelitian, dibuktikan pasien-
pasien hemodialisis dapat kehilangan darah rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah
melalui saluran cerna, sering diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan defisiensi
asam folat juga dapat menyebabkan anemia. Kekurangan asam folat bisa bersamaan
dengan uremia, dan bila pasien mendapatkan terapi hemodialisis, maka vitamin yang
larut dalam air akan hilang melalui membran dialisis. Kecendrungan terjadi perdarahan
pada uremia agaknya disebabkan oleh gangguan kualitatif trombosit dan dengan
demikian menyebabkan gangguan adhesi.5,6
Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah dan absorbsi
saluran cerna yang buruk (antasida yang diberikan pada hiperfosfatemia juga mengikat
besi dalam usus). Selain itu, proses hemodialisis dapat menyebabkan kehilangan 3 -5
gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari (Gambar 3),
sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.5,6

Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan
yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada
penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan
kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan
untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal
kronik.6
Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa
hidup eritrosit normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh
kelainan lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri.
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis
kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel
darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang
ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel
darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat
memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma
pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit
diperkirakan merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan
fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase,
dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses
hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk
melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga
menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang
utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM
manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler.
Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2
mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan
kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek
langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap
eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan
Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia.2,6
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang
mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler
(hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral,
dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate
(DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksai dari prosedur dialisis atau dari
interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk
menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan
jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas
kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak
mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, penghambatan hexose
monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan
tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan
biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenisme
merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi,
fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi
sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis
seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan
berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses
patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan
periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.2,6
Penyebab lain yang mempengaruhi eritropoiesis pada pasien dengan gagal ginjal
terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh
konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang
mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar
feritin serumnya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia
pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium.
Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang
menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan
sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi
eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat
transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi
antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.2,6

Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi
transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi
dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di
sirkulasi seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap
pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.7

1.4 Manifestasi klinis Anemia


Manifestasi klinis yang biasa ditemukan:11
- Kelemahan umum/malaise, mudah lelah
- Nyeri seluruh tubuh/mialgia
- Gejala ortostatik ( misalnya pusing, dll )
- Sinkop atau hampir sincope
- Penurunan toleransi latihan
- Dada terasa tidak nyaman
- Palpitasi
- Intoleransi dingin
- Gangguan tidur
- Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
- Kehilangan nafsu makan
Temuan fisik:11
- Kulit (pucat)
- Neurovaskular (penurunan kemampuan kognitif)
- Mata (konjungtiva pucat)
- Kardiovaskular (hipotensi ortostatik, takiaritmia)
- Pulmonary (takipnea)
- Abdomen (asites, hepatosplenomegali)

Anemia mulai muncul stage ke 3 CKD ketika GFR < 60 ml/menit, jauh sebelum
dialysis dibutuhkan. Anemia semakin memburuk seiring dengan progesivitas CKD.
1. Onset anemia pada CKD yaitu Hb menurun, merasakan kelelahan dan kelemahan
atau merasa kurang tidur. Pasien dengan anemia krang memiliki energy dan
antusiasme
2. Tekanan darah pada anemia biasanya rendah dengan tanda awal tekanan darah
menurun ketika pasien berdiri, dan relative normal ketika pasien duduk atau
berbaring.
3. Konjungtiva anemis
4. Pusing khususnya ketika berdiri
5. Sulit untuk focus dan berkonsentrasi
6. Pada pasien gagal jantung, nafas pendek dan kelebihan cairan mungkin akan
tampak. Gagal jantung awal dapat berhubungan dengan batuk kering, kesulitan
berbaring dengan posisi datar, atau nafas pendek.
1.5 Pemeriksaan Diagnostik Anemia
Pemeriksaan awal berupa anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan darah rutin dan hapusan darah selalu harus dilakukan. Pada pemeriksaan
darah ditemukan anemia normositik, normokrom, dan terdapat sel burr pada anemia
berat, leukosit dan trombosit masih dalam batas normal, retikulosit biasanya menurun.
Evaluasi anemia dimulai Hb < 10 g/dl, Ht < 30%. Diagnosis laboratorium anemia yaitu
a) Hemoglobin, hematrokrit
b) Status besi : saturasi transferin : saturasi transferin menujukkan jumlah beredar
dalam sirkulasi. Nilai normal saturasi transferin adalah >20%.
c) TIBC : kadar normal adalah 300-360 ug/dl
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya
berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat
dijadikan diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan
eritrosit lainnya. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10% atau
hematokrit ≤ 30%.1,2,3,12
Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi
penambah eritrosit, yaitu :
- Darah lengkap
- Pemeriksaan darah tepi
- Hitung retikulosit
- Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin,
serum feritin)
- Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
- Kadar vitamin B12
- Hormon paratiroid
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan
apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini
bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr cell.
Perubahan morfologi sel darah merah menampilkan proses hemolitik primer,
mikroangiopati atau hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit secara umum menurun.
Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi B 12 dan
pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volume menurun pada pasien dengan
thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminium yang berat.3,12
Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO), penilaian
terhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat
diperlukan. Pada keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit
inflamasi , penyakit hati, atau respons yang buruk dari rHuEPO, feritin serum
merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh. Jika simpanan menurun, nilai
feritin serum menurun sebelum saturasi transferin. Walaupun penyakit kronik dapat
menurunkan besi dan transferin, pasien dengan saturasi transferin kurang dari 20% dan
feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi defisiensi besi. Di sisi lain pasien
memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal berespons terhadap replacement besi harus
diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau hemoglobinopati. Walaupun
serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan spesifisitas, untuk memastikan
penyebabnya membutuhkan berbagai jalur kehilangan besi pada pasien tersebut
termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood loss / hari atau 5 ml kehilangan besi/
hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana mungkin disebabkan karena
antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan kembali dialister yang buruk),
flebotomi yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi besi pada terapi rHuEPO.12
1.5 Penatalaksanaan Anemia
a. Terapi Besi dan Pemantauan Status Besi
Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi besi terlebih dahulu sebelum
diberikan terapi EPO
1) Terapi besi intravena
Merupakan cara pemberian besi yang paling baik. Stimulasi
eritropoiesis yang kuat pada terapi EPO menyebabkan kebutuhan besi
meningkat dengan cepat yang tidak tercukupi oleh asupan besi oral. Contoh
preparat besi untuk suntikan intravena : iron Dextran, Sodium ferric gluconate
complex, iron hydroxysaccharate.
2) Terapi besi oral
Preparat oral masih bermanfaat terutama pada anemia defisiensi besi
yang tidak mendapat terapi EPO. Akan tetapi sering hasilnya tidak seperti yang
diharapkan karena berbagai hal seperti absorpsi besi yang tidak adekwat pada
pasien hemodialisis dan kurangnya kepatuhan minum obat akibat rasa mual.
Banyak penelitian yang menunjukan bahwa terapi besi oral tidak memadai pada
pasien yang mendapat EPO, namun demikian tetap saja dapat diberikan bila
preparat IV dan IM tidak tersedia. Dosis minimal 200 mg besi elemental perhari,
dalam dosis terbagi 2-3x/hari.
Efek samping terapi besi intravena dan intramuskuler adalah reaksi
alergi dan syok anafilaktik. Obat-obat emergensi untuk mengatasi keadaan ini
harus disediakan sebelum terapi dimulai. Kontraindikasi terapi besi antara lain
bila terdapat hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat dan kandungan besi
tubuh berlebih (iron overload).
3) Terapi Eritropoietin
Indikasi terapi EPO bila Hb >10 ug/L dan ST > 20%) dan tidak ada
infeksi berat. Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas
terhadap EPO dan pada keadaan hipertensi berat. Hati- hati pada keadaan
hipertensi yang tidak terkendali, hiperkoagulasi dan keadaan overload cairan.
Terapi induksi EPO. Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis
subkutan, selama 4 minggu, Target respons yang diharapkan adalah Ht naik 2-
4% dalam 2-4 minggu atau Hb naik 1-2g/dL dalam 4 minggu. Kadar Hb dan Ht
dipantau setiap 4 minggu. Bila target respons tercapai, pertahankan dosis EPO
sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL). Bila target belum tercapai naikkan dosis
EPO 50 %. Namun bila Hb naik terlalu cepat, 8 g/dL dalam 4 minggu turunkan
dosis EPO 25 %. Selama terapi induksi EPO ini status besi di pantau setiap
bulan.
Terapi pemeliharaan EPO. Diberikan bila target Hb sudah tercapai > 10
g/dL atau Ht > 30%. Angka ini lebih rendah dibanding panduan DOQI (Dialysis
Outcomes Quality Initiative) yang menargetkan Hb 11-12 g/dL dan Ht 3336%.
Dosis pemeliharaan EPO yang dianjurkan 1-2 kali 2000 IU/minggu. Selama
terapi pemeliharaan Hb/Ht diperiksa setiap bulan dan status besi setiap 3 bulan.
Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb mencapai >12 g/dL , dosis EPO
diturunkan sebanyak 25%.
4) Transfusi Darah
Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan
penularan penyakit seperti Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV dan potensi
terjadinya kelebihan cairan (overload). Disamping itu transfusi yang dilakukan
berulangkali menyebabkan penimbunan besi pada organ tubuh. Karena itu
transfusi hanya diberikan pada keadaan khusus, yaitu:
a) Perdarahan akut dengan gejala hemodinamik
b) Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO atau yang
telah dapat terapi EPO tapi respons belum adekuat, sementara preparat besi
IV/IM belum tersedia. Untuk tujuan mencapai status besi yang cukup sebagai
syarat terapi EPO, transfusi darah dapat diberikan dengan hati-hati. Target
pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi tidak sama dengan target
pencapaian Hb pada terapi EPO. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian tranfusi sampai Hb 10-12 g/dl tidak terbukti bermanfaat dan
menimbulkan peningkatan mortalitas
5) Pengaturan Makanan (Diet)
Untuk orang penderita anemia pada penyakit ginjal pengaturan makanan antara
lain :
a. Semua sayuran dapat dikonsumsi kecuali yang tinggi kalium dibatasi,
seperti buncis, bayam, seledri, daun pepaya muda, kangkung, dll.
b. Semua buah-buahan dapat dikonsumsi kecuali yang tinggi kalium dibatasi,
seperti apel, apukat, jeruk, pisang, pepaya, dll.
c. Makanan yang mengandung sumber protein hewani dan nabati dibatasi ,
seperti daging, ayam, telur, ikan ,hati, tempe, tahu, oncom, kacang-
kacangan, dll.

6) Manajemen Aktivitas
a. Olahraga ringan secara teratur dapat meningkatkan latihan dan
memanajemen tenaga
b. Mintalah bantuan orang jika aktivitas yang akan dilakukan membutuhkan
tenaga lebih

Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan


Ht > 30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan
terapi konservatif, target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO.
Dampak anemia pada gagal ginjal terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan
menggambarkan halangan yang besar terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal.
Walaupun demikian efek anemia pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang pada
pasien uremia dengan penurunan afinitas oksigen dan peningkatan cardiac output saat
hematokrit dibawah 25 %. Walaupun demikian banyak pasien uremia memiliki
hipertensi dan miokardiopati. Karena tubuh memiliki kemampuan untuk
mengkompensasi turunnya kadar hemoglobine dengan meningkatnya cardiac output.
Selain itu banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner yang berat dan walaupun
anemia dalam derajat sedang dapat disertai dengan miokardial iskemik dan angina.
Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui
transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal.
Transfusi darah hanya memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap
infeksi (virus hepatitis dan HIV) dan hemokromatosis sekunder. Peran dari transfusi
sebagai pengobatan anemi primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat
dialisis dan penelitian serologic telah menjadi lebih canggih. Transplantasi ginjal pada
banyak kasus, harus menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien
dialisis memenuhi syarat.2,3,12-14
Variasi terapi anemia pada penyakit ginjal kronik adalah sebagai berukut :
1. Suplementasi eritropoetin

2. Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen dengan


terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.
3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
4. Mengkoreksi hiperparatiroid
5. Terapi Androgen
6. Mengurangi iatrogenic blood loss
7. Suplementasi besi
8. Suplementasi asam folat
9. Transfuse darah

1) Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan
recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti
yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin,
human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa,telah
dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan
untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah berakhir pada pasien
bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Penelitian membuktikan
bahwa, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa,
pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu
dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi
rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek
samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin
yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis.
Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat. 2,3,12-14
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah
tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan
dengan tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok
investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek
stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu
trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum
predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan
berkurangnya efisiensi dializer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan
karena peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh
eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan
peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant
human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan
bahwa kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak
meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human
eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia.
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO
1. Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab
lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%
b. Tidak ada infeksi yang berat
2. Kontraindikasi:
a. Hipersensitivitas terhadap EPO
b. Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
· Hipertensi tidak terkendali
· Hiperkoagulasi
· Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup.
Terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:
a. Anemia dengan status besi cukup

b. Anemia defisiensi besi:


- Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L

- Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L


- Saturasi Transferin < 20 %
1.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi
Tujuan:
Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4
minggu.

b. Target respon yang diharapkan :


Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.
c. Pantau Hb, Ht tiap 4 minggu

d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10
g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%
g. Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan panduan
terapi besi.

1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan2,14


a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL).
- Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu

- Pantau Hb dan Ht setiap bulan


- Periksa status besi setiap 3 bulan
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup)
maka dosis EPO diturunkan 25%

Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping diantaranya:


a. Hipertensi:

- Tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase
koreksi
- Pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis obat
antihipertensi
- Peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak
berhubungan dengan kadar Hb.
b. Kejang:
- Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi
- Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak
terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekuat. Respon EPO tidak
adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian
EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekwat
yaitu:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)

b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE, AIDS)


c. Kehilangan darah kronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekwat
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan
vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).
Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yang
berupa pemberian14:
a. Asam folat : 5 mg/hari

b. vitamin B6: 100-150 mg


c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yang
mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi
besi intravena
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)
- Dapat mengurangi kebutuhan EPO

- Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati
- Tidak dianjurkan pada wanita

2) Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis


Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnya
dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat
membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain
itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangannya lebih cepat daripada
menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal
merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk
menghilangkannya. Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi detoksifikasi pada
uremia dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi
dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya,
tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuangan
jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran
selulosa yang kecil, merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal
ginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), juga merupakan
terapi dengan pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan
dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak
jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor
eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPD meningkatkan produksi
eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan karena oleh itu meningkatkan eritropoesis.
Walaupun mekanismenya belum diketahui.13,14

3) Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine


Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi dapat
selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia dengan gagal ginjal
selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal atau
peningkatan feritin serum pada pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan
dengan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik oral
maupun dialisat, gejala intoksikasi aluminium seperti ensefalopati, penyakit tulang
aluminium, dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator
deferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau
hemofiltrasi atau CAPD. Range dosis 0,5 – 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi
aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang dengan terapi
dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi , toksisitas okular,
komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek samping ini
berespons terhadap pemberhentian terapi sementara waktu, pengurangan dosis atau
pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis menyebabkan
perubahan nilai hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH
pada pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan
terapi pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan
feritin. Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada nilai diatas
normal, hemoglobine meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium
menurun.10,14

4) Mengkoreksi hiperparatiroidisme
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan
merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid
dengan 1,25- dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan peningkatan
anemia.10,14

5) Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek yang
positif yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi
eritropoetin yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron
propionat, enanthane, cypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone,
oxymetholone, methyltestosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone
dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia
dengan gagal ginjal. Responnya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4
minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 x
seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus dibatasi karena efek sterilitas yang
besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio anabolik: androgenik yang paling
tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan hirsutisme serta paling aman untuk pasien
wanita. Fluoksimesterone dapat menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit
Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan
lebih sering pada 17 methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah
yang progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun,
komponen 17- methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan
dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat menimbulkan gejala
prostatisme atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara
seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada terapi ini.2,3,10,14

6) Mengurangi iatrogenic blood loss


Sudah tentu penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal terminal juga termasuk
pencegahan dan koreksi terhadap faktor iatrogenik yang memperberat. Kehilangan darah
ke sirkulasi darah ekstrakorporeal dan dari pengambilan yang berlebihan haruslah dalam
kadar yang sekecil mungkin.10,14

7) Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi pada usus. Monitoring
penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun
merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi
oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki
defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan
dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi
intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi
parenteral. Untuk mengurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di
tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan
untuk replinish penyimpanan besi dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500 mg
dalam 5-10 menit setiap harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline
diberikan 5% iron dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.3,14
Terapi besi fase pemeliharaan3,10,14:
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama terapi EPO

b. Target terapi:
- Feritin serum > 100 mcg/L – < 500 mcg/L,

- Saturasi transferin > 20 % – < 40 %


c. Dosis
· IV :
- iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu
- iron dextran : IV : 50 mg/minggu

- iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu


· IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu

· Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari


· Status besi diperiksa setiap 3 bulan
· Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis
pemeliharaan.
· Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%, suplementasi besi
distop selama 3 bulan.
· Bila pemeriksaan setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan saturasi transferun
< 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.

8) Suplementasi asam folat


Asam folat hilang masuk ke dialisat dari darah. Oleh karena itu, defisiensi asam folat dan
anemia makrositik dapat terjadi pada pasien dengan asupan protein yang rendah sejak
diet dari pasien dialisis reguler yaitu bebas dan biasanya mengandung asam folat yang
cukup, defisiensi asam folat dan kebutuhan untuk suplementasi asam folat oral tidak
diperlukan. Akhirnya, dokter harus lebih hati-hati dalam terapi darah ekstrakorporeal
yang membawa resiko potensial yang didominasi oleh darah yang terkontaminasi dan
kompartemen dialisat seperti logam dan kimia, yang dapat menyebabkan kerusakkan sel
darah merah dan hemolisis.3,10,14

9) Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah:
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL
- Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
- Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum
tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak sama dengan target
Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya
overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan
bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan
penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal,
pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko
penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi
transfusi.10,14

G. Resistensi ESA
Resistensi terhadap ESA bisa disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktivitas sel T dan
monisit, dan juga bersamaan dengan terjadinya produksi sitokin-sitokin proinflamasi di
sumsum tulang. Sitokin-sitokin ini dapat bereaksi secara lokal untuk melawan kerja dari
ESA pada tingkat seluler, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi terhadap terapi
ESA.
Peningkatan produksi sitokin pro inflamasi oleh sel T yang teraktivasi dapat
menyebabkan respon yang rendah pada ESA. Probabilitas yang rendah terhadap respon
awal ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi untuk segera mengkoreksi kegagalan
terapi. Strategi yang potensial terhadap terapi masa depan adalah penggunaan terapi anti
sitokin adjuvan yang spesifik.10,14
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM,
Setiati S, editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5nd ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009.p.1035-40.
2. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39:
suppl 1, 2002.
3. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of internal medicine. 18th ed. United States of America: The McGraw-Hill
Companies, Inc; 2012.
4. Sibernagl S, Lang F. Color athlas of pathophysiologi. Stuttgart Germany: Gorg
Thema Verlag; 2000.
5. Wilson LM. Penyakit ginjal kronik. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani
DA, editors: Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6nd ed. Jakarta:
EGC; 2012.p. 912-45.
6. Singh AK. Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am 2008; vol. 3: 3-6.
7. National institute for Healt and Care Excellence. Anemia management in people
chronic kidney disease. Manchester: NICE clinical guideline 114. 2011.
8. National Kidney Foudation. Anemia and chronic kidney disease (stages 1-4). New
York: NKF. 2010.
9. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. American Journal
of Kidney Disease May 2006; 47 (5): SUPPL 3.
10. International Society of Nephrology. Kindey disease improving global outcome:
Clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney
International Supplements 2012; 2: 283-335.
11. Lerma EV. Anemia of chronic disease and renal failure [seria online] 2013 Oct 28
[cited 2014 Jan 28]; [11 screens]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview#showall
12. MacGinley RJ, Walker RG. International treatment guidelines for anaemia in chronic
kidney disease: what has changed?. MJA 22 July 2013; vol 199 (2).
13. Locatelli F, Covic A, Eckardt KU, Wiecek A, Vanholder R. Anemia management in
patients with chronic kidney disease: a potion statement by the anemia working
group of European renal best practice (ERBP). Nephrol Dial Transplant 2009; 24:
348-354.
14. Singh AK, Szczech L, Tang KL, Barnhart H, Sapp S, Wolfson M, et al. Correction
of anemia with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J Med 2006; 355:
2085-98.

Anda mungkin juga menyukai