Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

HAND, FOOT, AND MOUTH DISEASE

Oleh:
Syifa Salsabila
111 2018 2077

Dokter Pembimbing Klinik:


dr. Yati Aisyah Arifin, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa


:
Nama : Syifa Salsabila
Stambuk : 111 2018 2077
Judul : Hand, Foot, and Mouth Disease

Telah menyelesaikan dan mempresentasikan tugas Laporan Kasus dalam


rangka tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran, Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Oktober 2019


Pembimbing,

(dr. Yati Aisyah Arifin, Sp.A)


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Tanggal Lahir : 28 Juli 2012 (7 Tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : BTN Bumi Somba Opu
Suku/Ras : Makassar
Agama : Islam
Nomor RM : 265944
Tgl. Masuk RS : 24 Agustus 2019

B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama: Bercak Kemerahan
 Anamnesis Terpimpin:
Pasien masuk ke RS Haji dengan keluhan bercak kemerahan
diseluruh tubuh dialami sejak kurang lebih 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya bercak kemerahan muncul pada bagian
dada kemudian menyebar ke seluruh tubuh hingga wajah. Bercak
dirasakan gatal. Demam ada dirasakan sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Demam dirasakan naik turun. Riwayat kejang
tidak ada. Batuk ada, berlendir. Pasien saat ini sementara
mengkonsumsi OAT kurang lebih 1 bulan. Sesak tidak ada. Mual
tidak ada, muntah ada frekuensi 3x. Pasien juga mengeluh
adanya nyeri disekitar sendi dan nyeri pada perut. BAB biasa,
BAK lancar. Anak malas makan dan minum. Pasien riwayat
diopname di RS Haji selama 3 hari dengan diagnosa Infeksi
Saluran Kemih 1 minggu yang lalu.

 Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak ketiga. Ibu pasien rutin mengontrol
kehamilan di Puskesmas. Ibu tidak pernah sakit saat masa
kehamilan dan tidak pernah mengonsumsi obat-obatan, ibu
merasa sehat dan tidak ada muntah berlebihan
 Riwayat Persalinan
Pasien lahir melalui persalinan spontan, lahir dengan usia
kehamilan 37 minggu di rumah sakit bersalin dengan pertolongan
dokter. Ibu mengatakan bayi lahir menangis dan tidak biru.
Berat badan lahir 2900 gram dan panjang badan lahir 49 cm.
Diagnosa lahir Bayi Cukup Bulan – Sesuai Masa Kehamilan
(BCB-SMK)
 Riwayat Menyusui
Pasien tidak pernah diberi ASI dan mengkonsumsi susu formula
sejak lahir.
 Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib lengkap.

C. PEMERIKSAAN FISIS (Tanggal 24 Agustus 2018)


 Keadaan umum : Compos mentis
BB 16 kg
TB 112 cm
LK 50 cm
LD 42 cm
LP 44 cm
 Tanda-tanda Vital :
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Heart Rate : 115 x/menit, regular, kuat angkat.
Suhu : 38,7°C
Pernapasan : 28 x/menit
 Kepala : Normocephal, simetris kiri dan kanan, deformitas (-)
 Rambut : Hitam, tidak mudah tercabut
 Ubun-ubun : Sudah menutup, bentuk datar
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), kornea
• jernih, pupil bulat, isokor 2,5 mm/2,5 mm
Telinga : Sekret (-), nyeri tekan di pros. mastoideus (-)
 Hidung : Epistaksis (-), sekret (-)
 Mulut : Sianosis (-), perdarahan gusi (-), stomatitis (-)
 Faring : Hiperemis (-)
 Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), eksudat (-)
 Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
nyeri tekan (-)
 Paru-paru :
Inspeksi : Pengembangan simetris kiri dan kanan, retraksi (-)
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Bunyi pernapasan broncovesicular, rhonki -/-,
wheezing -/-
 Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung atas ICS II linea mid lavicularis
sinistra, batas jantung kanan linea parasternalis dekstra,
batas jantung kiri midaksilaris ICS 5
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni, reguler, bising (-)
 Abdomen :
Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa tumor (-), hepar lien tidak teraba
Perkusi : Tympani.
 Extremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-).
 Kulit : Tampak ruam purpura dan ekimosis pada wajah, tubuh dan
extremitas.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
24 Agustus 2019
Jenis Item Name Result Unit Referensi

Hematologi WBC 11,05 103/uL 5.60-17.50


rutin
Neut# 9,19 103/uL 1.50-7.00

Hb 12.6 g/dl 9.6-15.6

Hematokrit 36.6 % 34,0 - 48,0

RBC 4.84 106/uL 3.40-5.20

MCV 75.6 Fl 76,0 – 92,0

MCH 26.0 Pg 23,0 – 31,0

MCHC 34.4 g/dL 32,0 – 36,0

PLT 425 103/uL 150-450

Kimia SGOT 239 U/L L:<37 P:<31


Darah
SGPT 502 U/L L: <42 P:<32

25 Agustus 2019
Urinalisis

Jenis Item Name Result Nilai normal Referensi

Urin Rutin BJ 1.025 1.005-1.035 Normal

pH 6.0 4.5-8.0 Normal

Leukosit Negatif <10 Negatif


Protein Negatif <10 Negatif

Glukosa Negatif <10 Negatif

Sedimen Epitel 3–4 <10 Normal


Urin
Leukosit 0-3 0-5 Normal

Eritrosit 0– 1 0–2 Normal

28 Agustus 2019
Jenis Item Name Result Unit Referensi

Hematologi WBC 10.57 103/uL 5.60-17.50


rutin
Neut# 5.82 103/uL 1.50-7.00

Hb 11.7 g/dl 9.6-15.6

Hematokrit 34.5 % 34,0 - 48,0

RBC 4.49 106/uL 3.40-5.20

MCV 76.8 Fl 76,0 – 92,0

MCH 26.1 Pg 23,0 – 31,0

MCHC 33.9 g/dL 32,0 – 36,0

PLT 345 103/uL 150-450

E. DIAGNOSIS KERJA
Schonlein Henoch Syndrome
TB Paru
F. PENATALAKSANAAN
IVDF Dextrose 5% 12 tpm
Methylprednisolon 2x17 mg/oral
Urdafalk 2x80 mg/oral
Ketorolac 2x9 mg/iv
Supralysin 1x1cth
OAT

G. PROGNOSIS
Bonam
H. FOLLOW UP
HASIL PEMERIKSAAN, ANALISA DAN TINDAK LANJUT
Tanggal CATATAN PERKEMBANGAN
S (subjective) O P (planning)
(objective)
A (Assesment)
25/08/201 S: demam(+), kejang(+), R/
9 ruam merah seluruh tubuh  IVDF Dextrose 5% 12 tpm
(+) muntah(+), nyeri  Methylprednisoslon
perut, BAB biasa, BAK 2x17mg/oral
lancar, cukup  Supralysin 1x1 cth
O: KU: Compos mentis  Urdafalk 2x80mg/oral
S: 37,80C  Ondancentron 3 mg/12 j/iv
BP: Rh-/- Wh-/-  PCT 180 mg/8j/iv (bila
T>38.50c)
27/08/201 S: demam(-), kejang(-), R/
9 ruam kemerahan (+),  IVDF Dextrose 5% 12 tpm
nyeri dada (+)  Methylprednisoslon
O: KU: Compos mentis 2x17mg/oral
S: 36,50C  Supralysin 1x1 cth
 Urdafalk 2x80mg/oral
 Ketorolac 3x9 mg/iv
 Ranitidine 13mg/12 j/iv
28/08/201 S: demam(-), ruam merah R/
9 seluruh tubuh (+), nyeri  IVDF Dextrose 5% 12 tpm
dada (+)  Methylprednisoslon
2x17mg/oral
O: Ruam makulopapular ext  Supralysin 1x1 cth
inf dan ext sup  Urdafalk 2x80mg/oral
BP : Bronkovesikular Rh-/-  Ketorolac 3x9 mg/iv
Wh-/-  Ranitidine 13mg/12 j/iv
 Ambroxol syr 3x1 ml

29/08/201 S: demam(-), kejang(-),  IVDF Dextrose 5% 12 tpm


9 ruam merah seluruh tubuh  Methylprednisoslon
O: ext sup dan ext inf ruam 2x17mg/oral
makulopapular  Supralysin 1x1 cth
 Urdafalk 2x80mg/oral
 Ketorolac 3x9 mg/iv
 Ranitidine 13mg/12 j/iv
 Ambroxol syr 3x1 ml
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Epidemiologi

Henoch-Schönlein purpura (HSP) adalah vaskulitis pada pembuluh darah kecil


yang dimediasi oleh deposisi kompleks imun immunoglobulin A (IgA). Beberapa
literatur menyebutkan HSP merupakan vaskulitis yang paling sering terjadi pada
anak-anak, disebutkan insidennya bervariasi dari 6,1 sampai 6,5 per 100.000.
Karakteristik dari penyakit ini meliputi vaskulitis pada kulit, sendi, saluran cerna,
dan ginjal.1
HSP lebih sering ditemukan pada anak-anak berusia 5-15 tahun, jarang
ditemukan pada orang dewasa dan bayi. Onset usia menjadi faktor penting untuk
menentukan derajat penyakit dan prognosisnya.2 Gejala klinis sering kali atipikal
pada usia yang ekstrem. Derajat penyakit menjadi lebih berat pada dewasa,
sedangkan pada anak usia di bawah 2 tahun jarang ditemukan nefritis atau
komplikasi pada abdomen. Berdasarkan jenis kelamin, rasionya antara laki-laki dan
perempuan adalah 2:1.3
Penelitian menyebutkan pandangan bahwa infeksi memiliki peran dalam
pathogenesis penyakit ini.4 Sebuah penelitian kohort di Itali disebutkan bahwa
sebanyak dua per tiga dari pasien HSP mengalami infeksi pemicu terjadinya
penyakit ini. 63 dari 150 mengalami infeksi saluran nafas akut dan 37 dari 150 anak
mengalami infeksi lainnya atau demam. Banyak organisme yang dikatakan menjadi
faktor presipitasi HSP, namun Streptococcus hemolytic Grup A dan B menjadi
organisme yang paling banyak ditemukan.4
Organisme lain yang dapat diidentifikasi meliputi hepatitis A dan B,
cytomegalovirus, HIV, adenovirus, Mycoplasma, Herpes simplex, Helicobacter
pylori, Toxacara canis, Human parvovirus B19, varicella, and scarlet fever.
Beberapa obat-obatan juga dikatakan memicu HSP meskipun belum ada penelitian
yang dapat membuktikan hal ini.4
B.Etiopatogenensis
HSP disebutkan sebagai sebuah penyakit yang dimediasi kompleks IgA
meskipun hingga saat ini pathogenesis penyakit masih belum jelas. IgA adalah
immunoglobulin utama yang secara langsung melawan antigen virus dan bakteri
pada sistem imun area mukosa. Kompleks IgA dibentuk dan terdeposisi pada kulit,
usus, dan glomeruli ginjal, memicu respons inflamasi daerah lokal.
Peningkatan konsentrasi serum IgA dapat ditemukan pada lebih dari setengah
pasien dengan HSP. Tingginya serum IgA ini sendiri tidak menjadi faktor
predisposisi pasien menderita HSP. Terdapat dua subklas IgA, yaitu IgA1 dan
IgA2, di mana hanya IgA1 yang terlibat dalam pathogenesis HSP. Hal ini
berhubungan dengan multiple O-linked glycosylation, penyimpangan glikosisasi
yang ditunjukkan pada HSP. Penelitian lebih penting dilakukan untuk mengetahui
apakah penyimpangan glikosilasi IgA merupakan penyebab atau akibat dari HSP.
Glikosilasi IgA yang menyimpang tidak dibersihkan oleh hati dengan baik sehingga
rentan terjadi agregat kompleks makromolekul. Hal ini mengakibatkan akumulasi
pada sirkulasi dan terdeposisi pada dinding pembuluh darah kecil dan mencetuskan
lesi inflamasi melalui jalur alternatif dan lectin komplemen dan aktivasi sel
langusng. Vaskulitis leukositoklastik kemudian terbentuk dan mengakibatkan
nekrosis pembuluh darah kecil. Hal ini mengakibatkan ekstravasasi darah dan
cairan ke jaringan sekitar, yang bermanifestasi sebagai gejala spesifik terhadap
organ yang terlibat.
Semua pasien HSP memiliki kompleks imun IgA1 yang bersirkulasi, namun
hanya pasien dengan manifestasi nefritis yang memiliki imun kompleks bermassa
molekul besar yang mengandung IgA1 dan IgG. Kompleks tersebut diekskresikan
pada urin pada sebagian pasien sehingga berpotensi menjadi marker spesifik
terhadap penyakit ini.
Tumor necrosis factor-α (TNF-α) adalah sebuah sitokin yang diproduksi oleh
makrofag dan T cells saat respon imun berlangsung. Sitokin ini mungkin berkaitan
dengan vaskulitis yang terjadi pada HSP. Penelitian Besbas et al, menunjukkan
bahwa pada fase akut HSP ditemukan level TNF-α yang tinggi pada jaringan dan
plasma. TNF-α memicu reaksi antigen pada sel endothelial yang menyebabkan
meningkatnya afinitas ikatan IgA dan menghasilkan inflamasi vaskuler. Penelitian
lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan antigen spesifik. Level endothelin
secara signifikan lebih tinggi pada fase akut HSP, namun masih diperlukan
penelitian lebih lanjut signifikansi dari peningkatan endothelin tersebut.5

C. Manifestasi Klinis

Ruam di kulit menjadi penanda awal pasien dengan HSP. Keterlibatan organ
lain dapat muncul bersamaan dengan ruam, atau bermanifestasi setelah beberapa
hari atau beberapa minggu. Banyak kasus HSP didahului infeksi saluran pernafasan
akut, oleh karena itu HSP dapat didahului beberapa gejala sistemik seperti demam
dan malaise. Sebuah studi menyebutkan nyeri perut atau arthritis muncul setelah 1-
14 hari ruam muncul

Gejala-gejala ekstrarenal dilaporkan merupakan self-limited disease yang akan


membaik dalam 2 minggu pada 83% pasien, dan hampir seluruh pasien membaik
dalam 6-8 minggu. Kekambuhan seringkali terjadi, meskipun biasanya lebih ringan
dan durasinya lebih singkat dari kejadian primernya. Biasanya kekambuhan
berhenti terjadi setelah 4 bulan.

Dalam sebuah systematic review dari 12 studi, 91% pasien yang mengalami gejala
pada ginjal mengalami kekambuhan dalam 6 minggu setelah gejala pada ginjal
pertama kali muncul, sedangkan 97% pasien dalam 6 bulan. Nefritis cenderung
ringan dan self-limited, namun beberapa anak menjadi penyakit ginjal yang
persisten dan dapat berkembang menjadi end-stage renal disease. Prognosis HSP
baik pada pasien tanpa penyakit ginjal, namun perdarahan saluran cerna atau
intussusepsi dapat menyebabkan komplikasi akut. Pada HSP dengan keterlibatan
ginjal prognosisnya tidak dapat diprediksi, morbiditas jangka panjang pada ginjal
dapat bermanifestasi bahkan hingga bertahun-tahun setelah pemulihan.
 Kulit

Ruam khas HSP adalah palpable purpura yang distribusinya simetris pada
ekstensor, tungkai bawah dan bokong. Beberapa kasus melibatkan lengan, wajah
dan telinga tetapi biasanya hanya sekitar batang tubuh. Purpura HSP dapat berupa
petechiae, ekimosis besar, dan dapat didahului dengan urtikaria atau eritematosa,
makulopapular lesi. Lesi bulosa yang parah jarang terjadi pada anak-anak, hanya
sekitar 2% dari pasien.

 Gastrointestinal

Kejadian keterlibatan gastrointestinal dilaporkan umumnya antara 50-75% dari


kasus dengan presentasi yang paling umum adalah nyeri perut kolik. Gejala lain
termasuk muntah dan perdarahan gastrointestinal bermanifestasi sebagai darah
samar pada tinja atau tampak secara makroskopik. Perdarahan gastrointestinal
masif jarang ditemukan, hanya dilaporkan pada sekitar 2% dari pasien. Gejala
tersebut merupakan hasil dari edema dan perdarahan dinding usus akibat vaskulitis.
Intususepsi juga merupakan komplikasi yang jarang terjadi namun penting untuk
ditegakkan segera karena keterlambatan manajemen dapat mengakibatkan usus
iskemik. Enteropati, pankreatitis, dan hidrops kandung empedu dapat juga terjadi.
Harus diingat bahwa edema sekunder akibat hipoalbuminemia mungkin terjadi
karena sindrom nefrotik atau kehilangan protein pada enteropati atau kombinasi
keduanya.

 Persendian

Arthritis atau athralgia terjadi pada 15-25% kasus namun hingga 82% pasien
mengalami gejala pada persendian selama penyakit berlangsung. Arthritis biasanya
mengenai persendian besar pada anggota gerak bagian bawah termasuk lutut,
pergelangan kaki, tumit, dan panggul. Namun tidak menutup kemungkinan anggota
gerak atas juga terlibat.
 Renal

Keterlibatan ginjal pada HSP dilaporkan terjadi pada 12-92% kasus. Penyakit ginjal
bermanifestasi sebagai hematuria, proteinuria, sindrom nefrotik/nefritis, renal
impairment, dan hipertensi. Kondisi ini berkembang dalam 4 minggu pada 75-80%
kasus dan dalam 3 bulan pada 97-100% kasus. Pada kasus yang tidak khas, insiden
peyakit ginjal yang berat meliputi nefritis akut, sindrom nefrotik, atau renal
impairment 5-7%. Hipertensi dapat terjadi pada kasus yang melibatkan ginjal.
Apabila penyakit ginjal tidak membaik saat HSP membaik, diperlukan investigasi
lebih lanjut.6

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada kasus HSP ditujukan untuk menyingkirkan diagnosis


banding dan mendeteksi komplikasi penyakit HSP. Pemeriksaan penunjang yang
umum dilakukan antara lain:7

- Pemeriksaan kadar IgA dalam serum

Pemeriksaan kadar IgA dalam serum bukan merupakan pemeriksaan spesifik untuk
HSP, namun adanya peningkatan kadar IgA dapat mengarahkan diagnosis penyakit
HSP dibanding tipe vaskulitis lain. Kadar IgA serum yang meningkat dapat ditemui
pada 25 – 50% kasus HSP, namun besarnya peningkatan tidak sebanding dengan
beratnya gejala HSP.

- Pemeriksaan darah lengkap

Pada HSP umumnya didapatkan kadar trombosit yang meningkat. Kadar


hemoglobin yang rendah mungkin ditemui jika terjadi perdarahan saluran cerna
atau hematuria berat akibat komplikasi HSP. Leukositosis dijumpai pada kasus
kasus HSP yang didasari oleh adanya infeksi bakteri.
- Urinalisis

Urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya hematuria ataupun proteinuria yang


menjadi salah satu kriteria diagnosis untuk HSP.

- Pemeriksaan gangguan fungsi pembekuan darah

Pemeriksaan seperti PPT (Plasma Prothrombin Time), APTT (Activated Partial


Thromboplastin Time),dan CT (clotting time) dapat dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan purpura akibat gangguan pembekuan darah. Pada
HSP umumnya ditemui fungsi pembekuan darah yang normal.

- Pemeriksaan laju endap darah

Laju endap darah merupakan pertanda non spesifik dari adanya proses inflamasi.
Pada 60% kasus HSP dapat ditemui laju endap darah yang meningkat.

- Pemeriksaan kadar serum kreatinin (SC) dan kadar urea dalam darah (Blood Urea
Nitrogen / BUN)

Kadar BUN-SC akan meningkat pada beberapa kasus HSP dengan penurunan
fungsi filtrasi glomerulus akibat adanya kerusakan pembuluh darah ginjal.

- Pemeriksaan antineutrofil cytoplasmic antibodies (ANCA)

Pada HSP, tidak ada peningkatan ANCA. Hal ini dapat membedakan HSP dengan
vasculitides tipe ANCA positif.

- Pemeriksaan darah samar

Hasil positif dari Occult faecal blood test mungkin menunjukkan adanya
perdarahan saluran cerna terkait HSP.

E. Diagnosis

Diagnosis HSP dapat ditegakkan melalui gejala klinis berdasarkan kriteria dari
konsensus European League against Rheumatism (EULAR) dan the Pediatric
Rheumatology European Society (PRES) tahun 2008 dengan sensitivitas sebesar
100% dan spesifisitas sebesar 87% untuk diagnosis HSP. Kriteria diagnosis HSP
yaitu adanya purpura atau petekie yang predominan pada tungkai bawah diikuti
dengan salah satu dari tanda berikut: adanya nyeri perut yang menyebar, arthritis /
arthralgia akut, deposisi predominan IgA pada hasil biopsi, dan keterlibatan ginjal
seperti hematuria dan/atau proteinuria.1

F. Diagnosis Banding

Anak – anak dibawah 17 tahun dengan palpable purpura dan keterlibatan


multisistem (gastrointestinal, ginjal dan sendi) tanpa adanya trombositopenia
mengarahkan diagnosis ke HSP. Diagnosis banding untuk HSP antara lain: 1,2

- Immunologic trombocytopenia purpura (ITP). Trombositopenia yang ditemui


pada ITP merupakan pembeda utama ITP dengan HSP dimana kadar trombosit pada
HSP normal atau meningkat.

- Erupsi Obat, Urtikaria dan Eritema Multiformis. Manifestasi kulit pada penyakit
tersebut dapat menyerupai lesi pada HSP. Namun pada HSP, predileksi lesi khas
predominan pada tungkai bawah dan harus disertai salah satu dari kriteria diagnosis
lainnya. Bila diagnosis masih diragukan, diagnosis HSP harus dikonfirmasi dengan
biopsi kulit atau ginjal.

- Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Inflamasi vaskuler sekunder akibat SLE


dapat menyerupai HSP. Pemeriksaan antibodi DNA double stranded dan
antinuklear dapat menyingkirkan diagnosis SLE.

- Cutaneous Leucocytoclastic angiitis. Pada penyakit ini, tidak terjadi vaskulitis


sistemik dan jarang mengenai saluran cerna. Pada hasil biopsi juga tidak tampak
deposisi IgA.

- Granulomatosis Wegener, dibedakan dengan HSP dari pemeriksaan ANCA


dimana pada granulomatosis wegener ditemukan ANCA positif.

- Nefropati IgA. Adanya purpura yang teraba pada HSP dapat menyingkirkan
diagnosis nefropati IgA.

- Chron’s Disease. Pada Chron’s disease terjadi inflamasi pada usus dengan gejala
nyeri perut yang dapat menyerupai nyeri perut pada HSP. Namun pada Chron’s
disease ini tidak terdapat palpable purpura.
G. Penatalaksanaan

HSP dapat membaik dengan sendirinya (self-limiting) pada 94% pasien. Terapi
yang diberikan merupakan terapi simtomatis. Tirah baring dan terapi analgesik
diberikan pada pasien dengan nyeri sendi akut dan nyeri perut. Acetaminophen
dapat menjadi pilihan pengobatan. Pemberian aspirin sebaiknya dihindari. Non
steroidal anti inflammatory (NSAID) sebaiknya dihindari terutama pada pasien
dengan keterlibatan ginjal dan saluran cerna. Cairan intravena dapat diberikan pada
pasien dengan nyeri abdomen hebat dan muntah. 1,2

Kortikosteroid oral diindikasikan pada pasien dengan rash yang berat, edema, nyeri
abdomen hebat tanpa mual muntah, dan keterlibatan ginjal, skrotum serta testis.
Prednison atau methylprednisolone dapat diberikan dengan dosis awal 1-2
mg/kgBB per hari selama satu hingga dua minggu. Selanjutnya, dosis diturunkan
secara bertahap menjadi 0,5 mg/kgBB/hari untuk satu minggu selanjutnya. Steroid
intravena dapat diberikan apabila pasien tidak toleran terhadap steroid oral.

Menurut beberapa studi, terapi steroid dapat meringankan gejala gastrointestinal,


mengurangi rekurensi HSP, dan mengurangi progresivitas kerusakan ginjal. Steroid
juga dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan gastrointestinal atau
intususepsi. Ronkainen et al (2006) melakukan sebuat randomized controlled trial
(RCT) dan prednison daikatakan mampu mengurangi gejala dan durasi nyeri perut
serta gejala sendi dan mempercepat perbaikan nefritis ringan pada pasien HSP.

H. Prognosis

Sebagian besar kasus HSP dapat membaik dengan sendirinya, prognosis umumnya
baik dengan five-year survival rates sebesar 95%. Satu dari tiga pasien mengalami
relaps dengan durasi yang lebih singkat dan gejala yang lebih ringan, umumnya
dalam waktu 4 bulan dan megenai organ yang sama. Prognosis pasien berdasarkan
pada usia saat onset penyakit, keterlibatan organ ginjal, keterlibatan organ kulit,
ketidakseimbangan imunoglobulin, dan keterlibatan neurologis. 1
DAFTAR PUSTAKA
1. Jauloha O, Henoch-Schönlein purpura in children.. Acta Univ. Oul. D 2012; 1151

2. Aalberse J, Dolman K, Ramnath G, Pereira R & Davin J. Henoch-Schönlein


purpura in children: an epidemiological study among Dutch paediatricians on
incidence and diagnostic criteria. Ann Rheum Dis 2007;66:1648–1650.

3. Ozen S, Pistorio A, Iusan S, Bakkaloglu A, Herlin T, Brik R, Buoncompagni A,


Lazar C, Bilge I, Uziel Y, Rigante D, Cantarini L, Hilario M, Silva C, Alegria M,
Norambuena X, Belot A, Berkun Y, Estrella A, Olivieri A, Alpigiani M, Rumba I,
Sztajnbok F, Tambic-Bukovac L, Breda L, Al-Mayouf S, Mihaylova D, Chasnyk
V, Sengler C, Klein-Gitelman M, Djeddi D, Nuno L, Pruunsild C, Brunner J, Kondi
A, Pagava K, Pederzoli S, Martini A & Ruperto N. EULAR/PRINTO/PRES criteria
for Henoch-Schönlein purpura, childhood polyarteritis nodosa, childhood Wegener
granulomatosis and childhood Takayasu arteritis. Ann Rheum Dis 2010;69: 798–
806.

4. Penny K, Fleming M, Kazmierczak D & Thomas A. An epidemiological study


of Henoch-Schönlein purpura. Paediatr Nurs 2010;22: 30–35.

5. Lahita RG. Influence of age on Henoch Schonlein purpura. Lancet


1997;350:1116-7.

6. Tizard EJ, Hamilton-Ayres MJJ. Henoch–Scho¨nlein purpura. Arch Dis Child


Educ Pract Ed 2008;93:1–8.

7. Trapani S, Micheli A, Grisolia F, et al. Henoch-Scho¨nlein Purpura in childhood:


epidemiological and clinical analysis of 150 cases over a 5 year period and review
of literature. Semin Arthritis Rheum 2005;35:143–53.

Anda mungkin juga menyukai