Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329092186

Professional Ethics for Indonesian Architects (Indonesian version)

Conference Paper · November 2018

CITATIONS READS

0 250

1 author:

Robby Dwikojuliardi
Bandung Institute of Technology
2 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Strategy Towards the Green Building Rating Tools on Existing Building in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Robby Dwikojuliardi on 21 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KODE ETIK DAN TATA LAKU PROFESI ARSITEK
Robby Dwikojuliardi, IAI (6978)

Kode Etik dan Tata Laku Profesi akan menjadi penting dalam Organisasi Profesi, Arsitek

khususnya. Dalam praktiknya tidak serta merta mudah dalam penyelenggaraannya. Banyak hal

yang bersifat kompromi yang rentan bagi etika menjadi ‘pudar’. Pemahaman terhadap Profesi

Arsitek Dalam Peraturan Negara dan Peran Arsitek Dalam Industri Konstruksi berikut ini

diharapkan dapat menjadi pengantar bagi Arsitek agar dapat menjadi evaluasi diri dalam

berpraktik.

PROFESI ARSITEK DALAM PERATURAN NEGARA

Praktik dalam bidang arsitektur dilaksanakan oleh seorang yang berprofesi sebagai Arsitek.

Sesuai makna yang tercantum dalam Undang – Undang Republik Indonesia no. 6 tahun 2017

tentang Arsitek. Seluruh penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya arsitektur yang

meliputi perencanaan, perancangan, pengawasan, dan/ atau pengkajian untuk bangunan gedung

dan lingkungannya yang terkait dengan kawasan maupun perkotaan.

Arsitek memiliki pengakuan atas kompetensinya melalui capaian penilaian uji kompetensi

profesi yang terukur dan objektif dibidang arsitektur. Sedangkan bukti tertulisnya berupa Surat

Tanda Registrasi Arsitek (STRA), serta surat Lisensi menjadi bentuk tanggung jawab praktik

profesi Arsitek dalam penyelenggaraan perizinan terkait bangunan gedung dan lingkungan

(ART IAI 2018: Bab I Pasal 1). Khusus untuk bangunan gedung sederhana dan bangunan

gedung adat memiliki pengecualian tanpa diperlukan STRA (UURI no. 6/2017: Bab IV Pasal

6 Ayat 2). Sebagai bentuk dokumentasi (logbook) kinerja profesi Arsitek harus memelihara

1 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
kompetensinya secara berkesinambungan melalui kegiatan – kegiatan Pengembangan

Keprofesian Berkelanjutan/ Continuing Professional Development (PKB/ CPD).

Azas – azas dalam praktik Arsitek berupa profesionalitas; integritas; etika; keadilan;

keselarasan; kemanfaatan; keamanan & keselamatan; kelestarian dan keberlanjutan (UURI no.

6/2017: Bab II Pasal 2). Sedangkan lingkup layanan yang juga dapat diselenggarakan bersama

dengan profesi lain berupa studi/ pengkajian arsitektur; perancangan, pelestarian dan penataan

bangunan gedung dan lingkungannya; penyusunan dokumen rencana teknis; serta pengawasan

dalam tahap konstruksi. Untuk layanan praktiknya berupa rencana kota & tata guna lahan;

manajemen proyek & konstruksi; pendampingan masyarakat; dan/ atau konstruksi lain (UURI

no. 6/2017: Bab III Pasal 4 ayat 2 & 4). Arsitekpun memiliki standar kinerja kemampuan dalam

menghasilkan produk berupa dokumen gambar perancangan; rencana kerja & syarat;

perhitungan volume pekerjaan; serta pengawasan berkala (UURI no. 6/2017: Bab III Pasal 5).

Dalam hal perlindungan hukum, UURI no. 6/ 2017 Bab VI Pasal 21 menyebutkan bahwa

Arsitek berhak memperoleh jaminan perlindungan hukum selama berpraktik; memperoleh

informasi, data & dokumen terkait dari Pengguna Jasa; mendaftarkan hak kekayaan intelektual

atas karyanya; menerima imbal jasa sesuai perjanjian kerja; serta mendapat pembinaan dan

peningkatan kompetensi profesi.

Sedangkan terkait kewajiban, dalam UURI no. 6/ 2017 Bab VI Pasal 22, praktik Arsitek harus

sesuai dengan keahlian, kode etik profesi, kualifikasi dan baku kinerja; menyelesaikan

pekerjaan sesuai perjanjian; menjalankan profesi tanpa SARA; menjunjung tinggi nilai budaya;

memutakhirkan pengetahuan melalui PKB/ CPD; mengutamakan kaidah keselamatan,

kesehatan & kelestarian lingkungan; mengupayakan inovasi & nilai tambah dalam berpraktik;

mengutamakan pemanfaatan sumberdaya dan produk dalam negeri; melayani kepentingan

2 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
sosial tanpa biaya; melakukan rekam kerja profesi; berpraktik sesuai ketentuan & perundangan;

dan mengikuti baku kinerja profesi dan patuh pada ketetapan organisasi.

Dalam UURI no. 6/ 2017 Bab VII Pasal 28, disebutkan bahwa Organisasi Profesi memiliki

tugas pembinaan; menetapkan dan menegakkan kode etik profesi; menyelenggarakan &

memantau pelaksanaan PKB/ CPD; melakukan komunikasi, pengaturan, & promosi kegiatan

praktik profesi; memberi masukan kepada Pendidikan Tinggi Arsitektur tentang praktik

profesi; memberi masukan Kementerian terkait layanan Praktik Arsitek; pengembangan

arsitektur & pelestarian nilai – nilai budaya; serta melindungi Pengguna Jasa Arsitek.

Sedangkan kewenangan organisasi sesuai UURI no.6/ 2017 Bab VII Pasal 29, disebutkan harus

menyelenggarakan pendidikan & pelatihan bagi anggota; memberikan advokasi bagi

anggotanya; memberi penghargaan kepada anggota; mengenakan sanksi kepada anggota atas

pelanggaran kode etik profesi arsitek; serta menyiapkan basis data untuk proses registrasi

Arsitek.

Secara umum bahwa UURI no. 6/ 2017 menekankan bahwa dari sekian banyak bidang keahlian

di bidang jasa konstruksi adalah keahlian Arsitek yang dapat memberikan manfaat dalam

perancangan bangunan gedung dan lingkungan, pemanfaatan fungsi penataan ruang, dan

pelestarian sumber daya alam serta seni budaya dalam peningkatan kualitas hidup yang dapat

dipertanggungjawabkan. Tentu ini harus disertakan dengan pangakuan melalui sertifikasi

keahlian keprofesian (UUJK no. 18/ 1999 Bab III Bag. Kedua Pasal 9, UUJK no. 2/ 2017 Bab

VII Bag. Ketiga dan Keempat, serta PPRI no. 28/ 2000 Bab I Pasal 1 ayat 4 – 6 dan Bab III

Bag. Pertama Pasal 15).

PERAN ARSITEK DALAM INDUSTRI KONSTRUKSI

UUJK no. 18 tahun 1999 Bab I Pasal 1, menjadi acuan bagi pelaksanaan penyelenggaraan

pembangunan bangunan gedung dan lingkungan. Wujud rangkaian kegiatan perencanaan,

3 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
pelaksanaan dan pengawasan menjadi sebuah mekanisme rantai layanan pekerjaan dan jasa

konstruksi. Selanjutnya adalah penyelenggaraan dokumen yang akan mengatur hubungan kerja

secara hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang melengkapi pengaturan hukum

dalam bentuk Kontrak Kerja Konstruksi.

Penyedia jasa dimaksud adalah ahli profesional yang dinyatakan melalui Surat Registrasi

berdasarkan kompetensi profesi keahlian dan ketrampilan, baik perorangan maupun badan

usaha sesuai kualifikasi dan klasifikasi yang diterbitkan. Dalam hal dampak penyimpangan

atas ketidaksempurnaan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi ditahap paska serah terima

hasil pekerjaan, maka akan terjadi Kegagalan Bangunan.

Dalam UUJK no. 18/ 1999 Bab III Bag. Kedua Pasal 9, UUJK no. 2/ 2017 Bab VII Bag. Ketiga

dan Keempat, PPRI no. 28/ 2000 Bab I Pasal 1 ayat 4 – 6 serta ART IAI 2018 Bab I Pasal1,

mensyaratkan bahwa Perencana Konstruksi dan Pengawas Konstruksi orang perseorangan

harus memiliki sertifikat Keahlian, sehingga akan menghasilkan hasil kerja yang dapat

dipertanggungjawabkan (UUJK no. 18/ 1999 Bab III Bag. Ketiga Pasal 11). Sedangkan dalam

UUJK no. 2/ 2017 Bab I Pasal 1 menegaskan kembali bahwa Jasa Konsultansi merupakan

layanan Jasa Konsultansi Konstruksi dan atau Pekerjaan Konstruksi, dan Konsultansi

Konstruksi adalah layanan seluruh atau sebahagian kegiatan pengkajian, perencanaan,

perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi. Sedangkan lingkup

layanan Praktik Arsitek dalam ART IAI 2018 Bab I Pasal 1 berupa penyusunan studi awal

Arsitektur, perancangan bangunan gedung & lingkungannya, pelestarian bangunan gedung dan

lingkungannya, perancangan tata bangunan dan lingkungannya, penyusunan dokumen

perencanaan teknis, dan atau pengawasan aspek Arsitektur pada pelaksanaan konstruksi

bangunan gedung dan lingkungannya.

4 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
Dalam UUJK no. 2/ 2017 Bab IV Bag. Kesatu, dijelaskan bahwa kerja Konsultansi Konstruksi

dengan klasifikasi usaha yang bersifat umum adalah arsitektur, rekayasa, rekayasa terpadu serta

arsitektur lansekap & perencanaan wilayah, sedangkan yang bersifat spesialis adalah

konsultansi ilmiah & teknis, serta pengujian & analisis teknis. Kemudian bentuk layanan yang

bersifat umum adalah pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan atau

manajemen penyelenggaraan konstruksi. Dan untuk yang bersifat spesialis adalah survei,

pengujian teknis, dan analisis. Dan dalam PPRI no. 28/ 2000 Bab II Pasal 5 ayat 1, lingkup

Jasa Perencanaan kerja konstruksi adalah survei, perencanaan umum studio makro dan mikro,

studi kelayakan proyek, industri & produksi, perencanaan teknik, operasi & pemeliharaan, serta

penelitian. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat 1 menjelaskan Bidang Usaha Arsitektural meliputi

arsitektur berteknologi sederhana, berteknologi menengah, berteknologi tinggi, ruang dalam

bangunan (interior), lansekap serta perawatannya.

Lebih lanjut dalam UUJK no. 18/ 1999 Bab IV Bag. Kedua Pasal 17 dan UUJK no. 2/ 2017

Bab V Bag. Kedua, tentang pengikatan antar pihak (Penyedia Jasa dengan Pengguna Jasa)

dapat dilakukan penetapannya melalui pelelangan, atau penunjukan langsung. Kedua pihak

akan menindaklanjuti penetapan tersebut dengan sebuah Kontrak Kerja. Sedangkan bila terjadi

pengubahan atau pembatalan penetapan yang dilakukan oleh Penyedia Jasa atau Pengguna Jasa

yang membuat kerugian bagi salah satu pihak maka yang mengubah atau membatalkan wajib

dikenai ganti rugi atau dituntut secara hukum (Bab IV Bag. Kedua Pasal 19).

Dalam hal Kegagalan Bangunan, UUJK no. 18/ 1999 Bab VI Pasal 25 – 27 dan UUJK no. 2/

2017 Bab VI Bag. Kedua, menjelaskan bahwa hasil pekerjaan konstruksi terhitung selambatnya

10 tahun usai serah terima akan menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa (Perencana, Pelaksana

& Pengawas) yang ditetapkan oleh pihak Ketiga selaku Penilai Ahli. Hal tersebut akan

berdampak pada masalah Penyelesaian Sengketa (UUJK no. 18/ 1999 Bab IX) diranah

5 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
pengadilan maupun di luar pengadilan melalui kompromi/ kesepakatan dan atau musyawarah.

Dalam bentuk Gugatanpun masyarakat berhak melakukannya (UUJK no. 18/ 1999 Bab IX Bag.

Ketiga dan UUJK no. 2/ 2017 Bab X Pasal 86) akibat dari penyelenggaraan pekerjaan

konstruksi yang mengganggu kehidupan sosial kemasyarakatan.

KASUS – KASUS ETIKA PROFESI

Penjelasan – penjelasan diatas menjadi dasar penguatan pemahaman terhadap posisi dan

kinerja Arsitek yang berpraktik secara profesional, walau tidak semua peraturan – peraturan

negara tersebut dapat diselenggarakan dengan sebagaimanamestinya. Masih banyak hal yang

bersifat kompromi dalam menyelenggarakannya, bahkan cenderung menjadi ‘abai’ dalam

menghadapi kondisi yang ada.

Bahwa Arsitek telah memiliki tanggungjawab dan berada diposisi kerja konstruksi dalam tahap

perencanaan dan pengawasan. Bahkan sangat rentan terhadap pelanggaran etika profesi,

disadari maupun tidak disadari.

1. Saksi Ahli/ bantuan advokasi teknis :

- (2015) Arsitek ‘Rb’ oleh pak ‘Ha’ (masyarakat) diminta membantu sebagai Saksi Ahli

dalam kasus Penyelenggaraan Konstruksi di Kota Bandung. Proses permohonan

tersebut sudah melalui prosedur, dan ini menjadi wujud perhatian & pengawasan oleh

masyarakat yang disampaikan kepada Organisasi Profesi (IAI Jabar). Arsitek ‘Rb’ ikut

berproses dalam pengadilan untuk memberikan pemahaman terkait pekerjaan

konstruksi maupun mekanisme perizinan yang berlaku. Ini menjadi kasus pertama yang

Arsitek ‘R’ lakukan untuk mewakili Organisasi Profesi di ranah hukum.

- Implikasi :

Dalam bentuk Gugatanpun masyarakat berhak melakukannya (UUJK no. 18/ 1999 Bab

IX Bag. Ketiga dan UUJK no. 2/ 2017 Bab X Pasal 86) akibat dari penyelenggaraan

6 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
pekerjaan konstruksi yang mengganggu. Bahwa disini benar pengakuan oleh

masyarakat umum Arsitek dianggap paham dan mengerti tentang penyelenggaraan

bangunan gedung, maka perlu sekiranya Organisasi Profesi (IAI) memiliki lembaga

formal yang menangani kasus – kasus dengan pelaporan sejenis, baik berskala nasional

maupun daerah.

2. Pengikatan Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa :

- (2015) Arsitek ‘Ah’ mendapat tugas pekerjaan perencanaan pemerintah untuk

menyelesaikan pekerjaan RTBL di kota Bandung. Yang berlanjut kepada tahap DED.

Kontrak selesai hanya dalam tahap pekerjaan RTBL, tidak sampai pada tahap DED.

DED yang dimaksud adalah pekerjaan Revitalisasi Alun – Alun Ujung Berung.

Berakhir tanpa kejelasan pengikatan (kontrak kerja) serta jasa bagi Penyedia Jasa.

Sedangkan Pengguna Jasa adalah Kepala Daerah (Walikota). Bisa saja ini menjadi

kegiatan pro-bono. Apakah dibenarkan ? Jelas tidak sesuai dengan peraturan UUJK no.

18/ 1999, UUJK no. 2/ 2017, PPRI no. 28/ 2000, serta UURI no. 2/ 2017.

- (2016) Terdapat pengikatan Kerja Konstruksi Perencanaan swasta/ privat, berupa

Dokumen Kontrak pekerjaan perencanaan (multi-use land) Hotel, Apartemen &

Ballroom di Batam yang ditandatangani kedua belah pihak (Penyedia Jasa dan

Pengguna Jasa). Jelas tertera waktu, lingkup pekerjaan dan nilai jasa perencanaan. Serta

Dokumen Kontrak sudah didaftarkan ke Notaris setempat oleh Arsitek ‘Rb’ sebagai

bentuk pengakuan dan penguatan kontrak jika timbul permasalahan dikemudian hari.

Waktu dalam kontrak disebut selama 6 bulan (2016), dan pekerjaan sudah berjalan

tahun ketiga saat ini (September 2018). Dalam keadaan progress 75% (produk dan jasa)

klien berdalih dengan alasan kesibukan sehingga komunikasi relatif melambat.

- Implikasi :

7 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
Arsitek seolah tidak memiliki kekuatan dalam kerja profesionalismenya. Hubungan

kerja yang diselenggarakan sudah mengikuti prosedur namun disisi lain mekanisme

pengikatan bukan menjadi hal yang bersifat menguatkan di kategori pekerjaan swasta/

privat, bahkan pemerintah sekalipun. Lebih lanjut dalam UUJK no. 18/ 1999 Bab IV

Bag. Kedua Pasal 17 dan UUJK no. 2/ 2017 Bab V Bag. Kedua, tentang pengikatan

antar pihak (Penyedia Jasa dengan Pengguna Jasa) kedua belah pihak menindaklanjuti

kesepakatan dengan sebuah Kontrak Kerja. Sedangkan bila terjadi pengubahan atau

pembatalan penetapan yang dilakukan oleh Penyedia Jasa atau Pengguna Jasa yang

membuat kerugian bagi salah satu pihak maka yang mengubah atau membatalkan wajib

dikenai ganti rugi atau dituntut secara hukum (Bab IV Bag. Kedua Pasal 19).

Kewenangan organisasi sesuai UURI no.6/ 2017 Bab VII Pasal 29, disebutkan harus

memberikan advokasi bagi anggotanya, dan dalam hal perlindungan hukum, UURI no.

6/ 2017 Bab VI Pasal 21 menyebutkan bahwa Arsitek berhak memperoleh jaminan

perlindungan hukum selama berpraktik.

3. Sertifikasi Profesi :

- (2015) Pemahaman bersama bahwa Arsitek sebagai manajer (Team Leader) Bangunan

Gedung sudah diakui melalui sertifikasi dan kompetensinya. Lintas disiplin ilmu

konstruksi menjadi sebuah tim kerja yang saling melengkapi. Namun dikesempatan lain

sampai saat ini masih banyak dalam proyek pemerintah sebagai Team Leader diberikan

kepada Ahli Teknik Sipil Bangunan Gedung, bukan Arsitek. Sehingga posisi Arsitek

sebagai anggota Team, bukan sebagai manajer/ Team Leader. Pengakuan Arsitek

sebagai ahli dalam tata kelola dan penyelenggaraan bangunan gedung menjadi

diabaikan. Dan Arsitek ‘Rb’ mendapatkan penugasan dalam kondisi tersebut sebagai

anggota tim.

8 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
- (2012) Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbit menjadi sesuatu yang

masih lemah, masih bisa berpraktik tanpa pengakuan kerja profesional. Sampai saat ini

(2018) Arsitek ‘Rb’ masih dimintakan bantuan pinjam-pakai sertifikat dengan dibayar

tanpa harus terlibat. Bahkan hanya sekedar untuk membantu berhadapan dengan TABG

atas pekerjaan yang dihasilkan oleh Arsitek yang tidak bersertifikat. Tentu saja diakhiri

dengan penolakan – penolakan yang diberikan kepada peminjam. Dan ini

membuktikan bahwa masih banyak Arsitek yang tidak bersertifikat yang berpraktik

tidak sesuai dengan pengakuan profesionalismenya.

- Implikasi :

Dalam peraturan jelas disebutkan bahwa lingkup layanan diselenggarakan bersama

dengan profesi lain (UURI no. 6/2017: Bab III Pasal 4 ayat 2 & 4). Arsitek memiliki

standar kinerja kemampuan dalam menghasilkan produk dokumen perencanaan (UURI

no. 6/2017: Bab III Pasal 5). Secara umum bahwa UURI no. 6/ 2017 menekankan

bahwa dari sekian banyak bidang keahlian di bidang jasa konstruksi adalah keahlian

Arsitek yang dapat memberikan manfaat dalam perancangan bangunan gedung dan

lingkungan dalam peningkatan kualitas hidup yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan

ini disertakan dengan pangakuan melalui sertifikasi keahlian keprofesian (UUJK no.

18/ 1999 Bab III Bag. Kedua Pasal 9, UUJK no. 2/ 2017 Bab VII Bag. Ketiga dan

Keempat, serta PPRI no. 28/ 2000 Bab I Pasal 1 ayat 4 – 6 dan Bab III Bag. Pertama

Pasal 15). Dalam UUJK no. 18/ 1999 Bab III Bag. Kedua Pasal 9, UUJK no. 2/ 2017

Bab VII Bag. Ketiga dan Keempat, serta PPRI no. 28/ 2000 Bab I Pasal 1 ayat 4 – 6,

mensyaratkan bahwa Perencana Konstruksi orang perseorangan harus memiliki

sertifikat Keahlian, sehingga akan menghasilkan hasil kerja yang dapat

dipertanggungjawabkan (UUJK no. 18/ 1999 Bab III Bag. Ketiga Pasal 11).

4. Kekuasaan :

9 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.
- (2016) TABG seharusnya menjadi pihak yang berwenang untuk memberikan

rekomendasi penyelenggaraan bangunan gedung di Kabupaten dan Kota di Indonesia.

Memperhatikan bahwa menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Daerah, dengan ketua

team adalah Arsitek ‘Wr’ dan Kepala Daerah adalah rekan sejawat yakni Arsitek ‘Rk’

membuat team ini menjadi dilemahkan. Ada sebuah bangunan yang sudah terlanjur

sebagai ikon kota Bandung (gedung BCH), banyak hal pelanggaran secara teknis

maupun syarat keruangan (building codes), khususnya kajian struktur, sempadan dan

evakuasi kebakaran. TABG tidak terbitkan rekomendasi, namun tetap diwujudkan,

selesai dibangun dan sudah beroperasi saat ini. Semua terwujud atas kekuasaan Arsitek

‘Rk’ diposisi Kepala Daerah sebagai pemilik Bangunan Gedung Negara tersebut.

- Implikasi :

Keputusan sepihak menjadi penekanan dalam hal ini. Sehingga penerbitan diskresi

sebagai sebuah aturan yang melemahkan keputusan formal bersama menjadi proses

yang harus dilakukan walau akan menimbulkan masalah, khususnya building codes.

Azas – azas dalam praktik Arsitek harus profesional; integritas; etika; keadilan;

keselarasan; kemanfaatan; keamanan & keselamatan; kelestarian dan keberlanjutan

(UURI no. 6/2017: Bab II Pasal 2). Dalam hal Kegagalan Bangunan, UUJK no. 18/

1999 Bab VI Pasal 25 – 27 dan UUJK no. 2/ 2017 Bab VI Bag. Kedua, menjelaskan

bahwa hasil pekerjaan konstruksi terhitung selambatnya 10 tahun usai serah terima akan

menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa (Perencana, Pelaksana & Pengawas) yang

ditetapkan oleh pihak Ketiga selaku Penilai Ahli. Hal tersebut akan berdampak pada

masalah Penyelesaian Sengketa (UUJK no. 18/ 1999 Bab IX) diranah pengadilan

maupun di luar pengadilan melalui kompromi/ kesepakatan dan atau musyawarah.

______________ e_robby@outlook.com / robby.dwikojuliardi@gmail.com / robby_dj@ar.itb.ac.id _____________

Sumber :
UUJK no. 18 tahun 1999, UUJK no. 2 tahun 2017, UURI no. 6 tahun 2017, PPRI no. 28 tahun 2000, dan AD-ART IAI 2018

10 | 10
*Diserahkan sebagai bentuk Tugas Makalah ‘Training of Trainer’ Penatar Kode Etik dan Tata Laku Profesi IAI,
yang dilaksanakan pada 20 September 2018 dalam rangkaian acara Munas IAI XV di Bandung.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai