Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus
yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun, di mana
proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan
kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang
mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal
atau mati rasa.
Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya
tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut,
kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase
penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun.
Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada
beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap.
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara
1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum
begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di
Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita
laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dari pada
laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan
bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.
Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda
yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang juga menyerang pada
usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2
tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan
tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu.
Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan
dan kemarau. (1, 2, 3). Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Guillain –
Barre Syndrome.
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun demikian Guillain –
Barre Syndrome memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan

1
(gejala sisa) cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang dapat menimbulkangagal
napas akibat kelemahan otot pernapasan dan bisa berlanjut pada kematian (1, 2). Oleh
karena itu, penderita Guillain – Barre Syndrome memerlukan pengawasan dan
perawatan yang baik untuk mempercepat pernyembuhan dan mencegah komplikasi.
Pengetahuan dan keterampilan perawat khususnya asuhan keperawatan pada penderita
Guillain – Barre Syndrome sangat penting untuk meningkatkan asuhan keperawatan
yang profesional.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mendapatkan gambaran lebih
jelas tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan.

B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mampu memahami konsep klinis Guillain – Barre Syndrome dan
pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan
dengan masalah utama Guillain – Barre Syndrome.
b. Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan konsep dasar Guillain – Barre Syndrome meliputi
definisi, penyebab, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik,
dan penatalaksanaan umum.
2. Mampu menjelaskan konsep asuhan keperawatan Guillain – Barre Syndrome
meliputi pengkajian data fokus, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul,
dan rencana keperawatan.
3. Mampu melakukan asuhan keperawatan klien dengan Guillain –Barre
Syndrome dengan pendekatan proses keperawatan meliputi: pengkajian,
diagnosa, dan rencana keperawatan.

2
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sindrom Guillain-Barre (GBS) adalah sindrom klinik yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti yang menyangkut saraf perifer dan cranial (Brunner dan
Suddart, 2002).
Sindrom Guillain-Barre (GBS dilafalkan ghee-yan bahray) adalah suatu
demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu
polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi akut.
Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan segala
gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam
saraf perifer, final common pathway untuk gerakan motorik juga. (Sylvia A. Price,
2006)
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan
difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf
kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.
Parry mengatakan bahwa GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis
yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis.

B. Etiologi
Penyebab yang pasti pada Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini belum
diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi virus. Virus
merubah sel dalam system syaraf sehingga sistem imun mengenali sel tersebut
sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan magrofag akan
menyerang myelin. Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit B untuk menghasilkan
antibody yang menyerang bagian tertentu dari selubung myelin yang menyebabkan
kerusakan myelin (NINDS, 2000).

3
Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah virus yang
menyerang sistem pernapasan (influenza), Measles, Cytomegalovirus (CMV), HIV
dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri yang paling sering
oleh Campylobacter jejuni. Selain beberapa factor diatas ada beberapa factor
predisposisinya yaitu :
a) Imunisasi
b) Tindakan pembedahan

C. Manifestasi Klinis
1. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat
timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai
28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
2. Gejala Klinis
a. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga
muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota
gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota
gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau
arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat
dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih
berat dari bagian proksimal.
b. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa
dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya
minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan.
Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktifitas fisik.
c. Saraf Kranialis

4
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral,
sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa
dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV
atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa
sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan
pernafasan karena paralisis n. laringeus.
d. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya
keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin
jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu
atau dua minggu.
e. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh
paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada
10-33 persen penderita.
f. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi
cairan otak berkurang.

D. Patofisiologi
Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput
(nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan
ekstraseluler. Membran sangat permeabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi
menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat
hanya pada nodus ranvier, sehingga impuls-impuls saraf sepanjang serabut bermielin
dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi salsatori) dengan cukup kuat.

5
Pada GBS, selaput mielin yang mengelilingi akson hilang. Selaput mielin
cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik,
hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vaskular, dan reaksi imunologi. Demielinasi
adalah respons umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merugikan ini.
Kehilangan serabut mielin pada Guillain – Barre Syndrome membuat konduksi
salsatori tidak mungkin terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (proses respon antibodi
terhadap virus atau bakteri) yang menimbulkan kerusakan pada syaraf tepi hingga
terjadi kelumpuhan.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului GBS akan timbul
autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer. Infeksi-
infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis,
dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik
penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan
pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena
tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang
berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan
lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh
karena itu kelumpuhan LMN paling seringdijumpai pada otot-otot anggota gerak,
kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut

6
bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot
anggota gerak. Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang
dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel
infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula,
makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel
plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi
ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang
saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya
permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut.
Perjalanan penyakit
Perjalanan alamiah GBS, skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasiantara berbagai penderita GBS. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase,
yaitu :
1. Fase progresif
Dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung
beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase plateau
Kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek
selama 2 hari, aling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.
3. Fase rekonvalesen
Ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit GBS ini
berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam
jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf
tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag
yang telah menelan (fagositosis) antigen/ terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T

7
(CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan
pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E
selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan
berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak
protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

E. Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kelemahan atau paralisis pada otot-
otot pernafasan, kardiovaskuler dan kelumpuhanm otot yang menetap. Komplikasi
lain meliputi disritmia jantung, trombosis vena profunda dan emboli paru. (Buku Saku
Patofisiologi. Elizabeth J. Corwin. 2009)

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan
otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam
cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul
hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma
Inapproriate Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan
hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang
kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada
segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis
pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit
: bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit
lebih lama dan tidak sembuh sempurna.

G. Penatalaksanaan
8
Guillain Barre Syndrom (GBS) dipertimbangkan sebagai kearuratan medis
dan pasien diatasi di unit perwatan intensif. Pasien yang mengalami masalah
pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama.
Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam
sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi
keadaan yang memburuk pada pasien dan dimielinasi. Diperlukan pemantauan EKG
kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Distrimia
jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang di obati dengan
propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk
menghindari episode bradikardia selama pengisapan endotrakheal dan terapi fisik.
Terapi
Sampai saat ini belum ada pengotan spesifik untuk GBS, pengobatan terutama
secara simtomatis, tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan
memperbaiki prognosisnya.
a. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada
perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan
trakea.infeksi paru dan saluaran kencing harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan
gas darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada
tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera di bantu dengan
pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di perlukan untuk waktu yang
lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara teratur
untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki
lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk
mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi
di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase
rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan
meningkatkan kekuatan otot.
b. Pertukaran plasma
Pertukaran plasma ( plasma excange) bermanfaat bila di kerjakan
dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
di keluarkan per excange adalah 40-50 ml/kg. dalam waktu 7-14 hari x
excahange.

9
c. Kortikostiroid
Walaupun telah melewati 4 dekade pemakaian kortikostiroid pada
GBS masih di ragukan manfaatnya. Namun demikian bahwa pemakaian
kortikostiroid pada vase dini penyakit mungkin bermanfaat.

10
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
1) Gejala : adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat
ke arah atas, hilangnya kontrol motorik halus tangan.
2) Tanda : kelemahan otot, paralysis plaksid (simetris), cara berjalan tidak
mantap.
b. Sirkulasi
Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi), disritmia,
takikardia/brakikardia, wajah kemerahan, diaforesis.
c. Integritas Ego
1) Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi.
2) Tanda : tampak takut dan bingung.
d. Eliminasi
1) Gejala : adanya perubahan pola eliminasi.
2) Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus)
atau berkemih dan refleks sfingter.
e. Makanan/cairan
1) Gejala : kesulitan dalam mengunyah dan menelan.
2) Tanda : gangguan pada refleks menelan atau refleks gag.
f. Neurosensori
1) Gejala: kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan terus
naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri,
sensasi suhu, perubahan dalam ketajaman penglihatan.
2) Tanda : hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam, hilangnya tonus
otot, adanya masalah dengan keseimbangan, adanya kelemahan pada
otot-otot wajah, terjadi ptoris kelopak mata, kehilangan kemampuan
untuk berbicara.
g. Nyeri/kenyamanan

11
Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri (terutama
pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hiposensitif terhadap

sentuhan.

h. Pernafasan
1) Gejala : kesulitan dalam bernafas.
2) Tanda : pernafasan perut, menggunakan otot bantu nafas, apnea, penurunan
bunyi nafas, menurunnya kapasitas vital paru, pucat/sianosis, gangaun refleks
gag/menelan/batuk.
i. Keamanan
1) Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran pernafasan atas)
kira-kira dua minggu sebelum munculnya tanda serangan, adanya riwayat
terkena herpes zoster, sitomegalovirus.
2) Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu
lingkungan), penurunan kekuatan/tonus otot, paralysis/parestesia.
j. Interaksi Sosial
Tanda: kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.
B. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. DS: Infeksi pernafasan ringan atau nyeri
- Laporan secara verbal
infeksi GI,pembedahan,
DO:
- Posisi untuk menahan imunisasi, penyakit Hodgkin,
nyeri
limfoma, lupus Eritematosus.
- Tingkah laku berhati-
hati
- Gangguan tidur (mata
Proses inflamasi
sayu, tampak capek,
sulit atau gerakan
kacau, menyeringai)
Reaksi sel imuno
- Terfokus pada diri
sendiri
- Fokus menyempit
Menyerang meilin
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses berpikir,
GBC
penurunan interaksi
dengan orang dan
lingkungan)
B3: brain
- Tingkah laku
distraksi, contoh :

12
jalan-jalan, menemui Gangguan fungsin saraf cranial
orang lain dan/atau
aktivitas, aktivitas
berulang-ulang) Pelepasan reseptor nyeri Bradikinin
- Respon autonom
Prostaglandin
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
Nyeri
nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam
rentang dari lemah ke
kaku)
- Tingkah laku
ekspresif (contoh :
gelisah, merintih,
menangis, waspada,
iritabel, nafas
panjang/berkeluh
kesah)
- Perubahan dalam
nafsu makan dan
minum
2. DS: Infeksi pernafasan ringan atau Ketidak efektifan
- Dyspnea
infeksi GI,pembedahan, pola napas
- Nafas pendek
DO: imunisasi, penyakit Hodgkin,
- Penurunan tekanan
limfoma, lupus Eritematosus.
inspirasi/ekspirasi
- Penurunan pertukaran
udara per menit
Proses inflamasi
- Menggunakan otot
pernafasan tambahan
- Orthopnea
Reaksi sel imuno
- Pernafasan pursed-lip
- Tahap ekspirasi
berlangsung sangat
Menyerang meilin
lama
- Penurunan kapasitas
vital
GBC
- Respirasi: < 11 – 24 x
/mnt
B1: breathing

Gangguan saraf perifer

13
Paralisis otot pernapasan

Insufisiensi pernapasan

Ketidak efektifan pola napas


3. Infeksi pernafasan ringan atau Gangguan
DS: infeksi GI,pembedahan, perfusi jaringan
- Nyeri dada
imunisasi, penyakit Hodgkin, kardiopulmonal
- Sesak nafas
DO limfoma, lupus Eritematosus.
- AGD abnormal
- Aritmia
- Bronko spasme Proses inflamasi
- Kapilare refill > 3 dtk
- Retraksi dada
Penggunaan otot-otot Reaksi sel imuno
tambahan
Menyerang meilin

GBC

B2: blood

Disfungsi system saraf otonom

Penumpukan vaskuler

Penurunan aliran darah balik vena

Gangguan perfusi jaringan

C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan reseptor nyeri bradikinin prostaglandin
2. Ketidak efektifan pola napas berhubungan dengan insufisiensi pernapasan
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah balik
vena

14
D. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnos Rencana Keperawatan
Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
1 Nyeri NOC : NIC :
 Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri
berhubungan
 pain control, secara komprehensif
dg pelepasan  comfort level termasuk lokasi,
Setelah dilakukan tinfakan karakteristik, durasi,
reseptor nyeri
keperawatan selama …. Pasien frekuensi, kualitas dan faktor
bradikinin tidak mengalami nyeri, dengan presipitasi
kriteria hasil:  Observasi reaksi nonverbal
prostaglandin
 Mampu mengontrol nyeri (tahu dari ketidaknyamanan
penyebab nyeri, mampu  Bantu pasien dan keluarga
menggunakan tehnik untuk mencari dan
nonfarmakologi untuk menemukan dukungan
mengurangi nyeri, mencari  Kontrol lingkungan yang
bantuan) dapat mempengaruhi nyeri
 Melaporkan bahwa nyeri seperti suhu ruangan,
berkurang dengan pencahayaan dan kebisingan
menggunakan manajemen nyeri  Kurangi faktor presipitasi
 Mampu mengenali nyeri (skala, nyeri
intensitas, frekuensi dan tanda  Kaji tipe dan sumber nyeri
nyeri) untuk menentukan intervensi
 Menyatakan rasa nyaman  Ajarkan tentang teknik non
setelah nyeri berkurang farmakologi: napas dala,
 Tanda vital dalam rentang relaksasi, distraksi, kompres
normal hangat/ dingin
 Tidak mengalami gangguan  Berikan analgetik untuk
tidur mengurangi nyeri: ……...
 Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi tentang
nyeri seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
 Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
2 Ketidak NOC: NIC:
Respiratory status : Ventilation  Posisikan pasien untuk
efektifan pola
Respiratory status : Airway memaksimalkan ventilasi
napas patency  Pasang mayo bila perlu
Vital sign Status  Lakukan fisioterapi dada
berhubungan
jika perlu
dengan Setelah dilakukan tindakan  Keluarkan sekret dengan
keperawatan selama batuk atau suction

15
insufisiensi ………..pasien menunjukkan  Auskultasi suara nafas, catat
keefektifan pola nafas, adanya suara tambahan
pernapasan
dibuktikan dengan kriteria hasil:  Berikan bronkodilator :
Mendemonstrasikan batuk -…………………..
efektif dan suara nafas yang …………………….
bersih, tidak ada sianosis dan  Berikan pelembab udara
dyspneu (mampu Kassa basah NaCl Lembab
mengeluarkan sputum, mampu  Atur intake untuk cairan
bernafas dg mudah, tidakada mengoptimalkan
pursed lips) keseimbangan.
Menunjukkan jalan nafas yang  Monitor respirasi dan status
paten (klien tidak merasa O2
tercekik, irama nafas,  Bersihkan mulut, hidung
frekuensi pernafasan dalam dan secret trakea
rentang normal, tidak ada  Pertahankan jalan nafas
suara nafas abnormal) yang paten
Tanda Tanda vital dalam  Observasi adanya tanda
rentang normal (tekanan darah, tanda hipoventilasi
nadi, pernafasan)  Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
 Monitor vital sign
 Informasikan pada pasien
dan keluarga tentang tehnik
relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas.
 Ajarkan bagaimana batuk
efektif
 Monitor pola nafas

3 Gangguan NOC : NIC :


 Cardiac pump Effectiveness  Monitor nyeri dada
perfusi
 Circulation status (durasi, intensitas dan
jaringan  Tissue Prefusion : cardiac, faktor-faktor presipitasi)
periferal  Observasi perubahan
berhubungan
 Vital Sign Statusl ECG
dengan Setelah dilakukan asuhan  Auskultasi suara jantung
selama………ketidakefektifan dan paru
penurunan
perfusi jaringan kardiopulmonal  Monitor irama dan jumlah
aliran darah teratasi dengan kriteria hasil: denyut jantung
 Tekanan systole dan  Monitor angka PT, PTT
balik vena
diastole dalam rentang yang dan AT
diharapkan  Monitor elektrolit
 CVP dalam batas normal (potassium dan
 Nadi perifer kuat dan magnesium)
simetris  Monitor status cairan
 Tidak ada oedem perifer dan  Evaluasi oedem perifer
asites dan denyut nadi
 Denyut jantung, AGD,  Monitor peningkatan
ejeksi fraksi dalam batas kelelahan dan kecemasan
normal  Instruksikan pada pasien

16
 Bunyi jantung abnormal untuk tidak mengejan
tidak ada selama BAB
 Nyeri dada tidak ada  Jelaskan pembatasan
 Kelelahan yang ekstrim intake kafein, sodium,
tidak ada kolesterol dan lemak
 Tidak ada  Kelola pemberian obat-
ortostatikhipertensi obat: analgesik, anti
koagulan, nitrogliserin,
vasodilator dan diuretik.
 Tingkatkan istirahat
(batasi pengunjung,
kontrol stimulasi
lingkungan)

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan
sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan.
B. Saran
1. Keilmuan
Kelumpuhan pada penderita GBS memerlukan penatalaksanaaan yang baik untuk
mencegah komplikasi dan meningkatkan prognosa, salah satunya latihan gerak
pasif. Perlu adanya penelitian tentang efektivitas latihan gerak pada GBS.
2. Perawat
Perawat hendaknya senantiasa mengembangkan diri dan menambah pengetahuan
dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan GBS
terutama tentang perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya. Penderita GBS
memerlukan perawatan yang baik untuk meningkatkan kesembuhan dan
mencegah komplikasi. Kelumpuhan pada GBS memerlukan latihan gerak pasif
yang sebaiknya dilakukan sesuai batas toleransi klien untuk mencegah kontraktur
dan paralisis lebih lanjut. Keterlibatan keluarga dalam intervensi hendaknya
ditingkatkan sehingga tujuan yang ingin dicapai klien juga ikut benar-benar
berperan dan berusaha mencapai tujuan yang direncanakan.
3. Klien dan keluarga
Klien dan keluarga hendaknya berpartisipasi aktif dalam pemberian intervensi
yang direncanakan sebagai upaya penyembuhan serta bekerjasama mematuhi
terapi yang diberikan. Semangat klien untuk sembuh akan membantu keberhasilan
intervensi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta
Japardi, Iskandar. Sindrom Guillain Barre.
Http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf . FK
USU. Di akses pada 14 Desember 2013.

Nugroho, Dito. Jurus Ampuh Mengenali SGB.


www.kabarindonesia.com. akses pada 14 Desember 2013.

Sidharta P. 2000. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: EGC.


Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.
Vol.3 Edisi 8. EGC :Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai