Anda di halaman 1dari 11

Anatomi Palpebra

Palpebra secara anatomis dibagi menjadi palpebra superior dan inferior. Beberapa
lapisan yang menyusun palpebra dari anterior ke posterior adalah kulit, jaringan
subkutis, otot protraktor, septum orbita, lemak, otot retraktor, tarsus, dan konjungtiva.
Lamella anterior terdiri dari kulit, jaringan subkutis, dan otot protaktor. Lamella
media merupakan septum orbital dan lamella posterior terdiri dari tarsus dan
konjungtiva.

Gambar 1. Anatomi Palpebra


Kulit palpebra merupakan kulit yang sangat tipis dan mudah di gerakan dengan
jaringan subkutis yang sedikit. Pada kulit palpebra terdapat kelenjar sebasea, kelenjar
keringat, dan folikel rambut. Lalu pada palpebra juga terdapat otot protraktor atau otot
orbikularis yang berfungsi untuk menutup kelopak mata yang di persarafi oleh cabang
saraf fascialis. Selain itu terdapat juga septum orbital yang merupakan jaringan
fibrosa tipis yang berasal dari arkus marginalis rima orbital. Di bagian dalam palpebra
superior, septum orbital berjalan ke inferior untuk bersatu dengan aponeurosis levator
2-5 mm di atas tarsus palpebra superior, sedangkan pada bagian inferior menyatu
dengan ligamentum kapsulopalpebra untuk melekat di tepi bawah tarsus palpebra
inferior. Pada palpebra terdapat juga lemak orbita yang mengisi bagian orbita yang
tidak terisi oleh bola mata. Lemak orbita terletak pada posterior septum orbita yang
merupakan batas untuk operasi atau rekonstruksi palpebra.
Otot retraktor palpebra terdiri dari muskulus levator palpebra dan muskulus Muller
untuk palpebra superior serta ligmentum kapsulopalpebra dan muskulus tarsalis
inferior untuk palpebra inferior. Muskulus palpebra superior dipersarafi oleh saraf
kranial III.
Tarsus merupakan jaringan fibrosa padat yang memberikan bentuk kepada palpebra
dan mengandung 30 kelenjar meibom. Konjungtiva merupakan membran mukosa
yang transparan dan sangat tipis. Konjungtiva dibagi menjadi konjungtiva palpebral,
forniks, dan bulbi.
Vaskularisasi palpebra superior dan inferior berasal dari arteri karotis interna dan
arteri karotis eksterna. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika dan
cabang-cabangnya yaiti arteri supraorbitalis dan arteri lakrimalis, sedangkan arteri
karotis eksterna bercabang menjadi arteri angularis dan arteri temporalis. Vena dibagi
menjadi dua aliran yaitu aliran pretarsal dan posttarsal. Jaringan pretarsal didrainase
melalui vena angularis dan vena temporalis superfisial. Jaringan post tarsal didrainase
melalui vena orbitalis dan cabang-cabang anterior vena fasialis serta pleksus
pterygoid. Lalu untuk aliran getah bening 2/3 lateral palpebra menuju nodus limfe
preaurikular, nodus limfe parotid superfisial, kemudian ke nodus limfe servikal yang
lebih dalam, sedangkan untuk 1/3 bagian medial palpebra menuju ke nodus limfe
submandibula.
Saraf kranial yang mempersarafi kelopak mata dan orbita adalah nervus okulomotor
(CN III), nervus troklearis (CN IV) dan nervus abdusen (CN VI) yang mempersarafi
otot-otot ekstraokular dan muskulus levator palpebra.

Anatomi Orbita

Orbita tersusun atas tulang-tulang yang membentuk bangunan seperti piramid berisi
empat dengan dasar menghadap ke anterior. Terdapat 7 tulang yang membentuk
orbita yaitu tulang maksillaris, zigomatikus, frontalis, ethmoidalis, lakrimal,
sfenoidalis dan palatinus. Tinggi vertikal rima orbita adalah 35 mm dengan lebar
horizontal 40 mm. Atap orbita berbentuk segitiga dan dibentuk ole htulang frontalis
dan ala parva tulang sfenoidalis. Dinding lateral orbita merupakan bagian orbita yang
paling tebal dan kuat dan terdiri dari tulang zigomatikus dan ala magna tulang
sfenoidalis. Dasar orbita merupakan bagian orbita yang sangat tipis dibentuk oleh
tulang zigomatikus, tulang maksillaris serta tulang palatinus dan menyusun bagian
atap sinus maksillaris. Dinding medial orbita dibentuk oleh tulang ethmoidalis, tulang
frontalis, tulang lakrimalis, dan tulang sfenoidalis, pada bagian ini terdapat ftulangsa
lakrimalis yang merupakan tempat sakus lakrimal.

Foramen atau fisura pada dinding orbita:

- Kanalis optik: terletak di bagian ptulangterior di dalam ala parva tulang

2
sfenoid dilalui oleh nervus optik, arteri oftalmika dan serabut saraf simpatis.
- Fisura orbitalis superior: terletak di antara ala parva dan ala magna tulang
sfenoid yang dilalui oleh saraf kranial IV, cabang lakrimal dan frontal dari
saraf kranial V1, vena oftalmika superior dan inferior, dan saraf kranial III,
cabang nastulangiliaris saraf kranial V1 dan VI
- Fisura orbitalis inferior: terletak di antara dasar orbita dan dinding lateral yang
dilewati oleh cabang maksila saraf kranial V, cabang infraorbital arteri
masilaris, dan vena oftalmika inferior.
- Foramen ethmoid anterior dan ptulangterior: terletak di antara tulang ethmoid
dan frontal. Pada foramen ethmoid anterior dilalui oleh arteri ethmoid anterior,
saraf ethmoid anterior, cabang saraf nasosiliaris, dan foramen ethmoidalis
posterior dilalui oleh arteri ethmoid posterior.
- Foramen supraorbital: tertelak pada tulang frontal yang dilalui oleh nervus,
arteri, dan vena supraorbital.
- Foramen infraorbital: terletak pada tulang maksila yang dilalui oleh nervus,
arteri, dan vena infraorbital.
- Kanalis nasiolakrimal: terletak pada tulang maksila
- Foramen zigomatik: terletak pada tulang zigoma yang dilalui oleh cabang
zigomatikofasial dari nervus zigomatikus.

Gambar 2. Tulang-tulang penyusun orbita

Definisi

Selulitis preseptal atau selulitis periorbital merupakan infeksi pada bagian anterior
kelopak mata termasuk kulit dan jaringan lunak disekitarnya sampai dengan septum
orbital.2

3
Etiologi

Penyebab selulitis preseptal adalah adanya infeksi yang dapat tejadi melalui beberapa
mekanisme yaitu penyebaran infeksi rhinosinusitis terutama ethmoiditis, infeksi
saluran pernasapan, infeksi akibat trauma lokal, infeksi kulit sekitar, infeksi telinga,
gigitan serangga, adanya dakrosistitis, hordeolum, konjungtivitis, dan penyebaran
secara hematogen.

Pada orang dengan imunokompeten maka mikroorganisme yang menyebabkan infeksi


biasanya disebabkan oleh bakteri adalah Staphylococcus aureus, Staphyloccocus
epidermidis yang sering ditemukan apabila disebabkan oleh trauma kulit sekitar mata,
Streptococcus pneumoniae dan B-hemolytic streptococci yang sering ditemukan bila
disebabkan oleh penyebaran infeksi yang berasal dari sinus atau nasofaring,
Haemophilus influenzae B sering ditemukan pada anak-anak, dan beberapa organisme
lainnya seperti Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Acinetobacter
species Nocardia brasiliensis, Bacillus anthracis, Pseudomonas aeruginosa,
Neisseria gonorrhoeae, Proteus spp, Pasteurella multocida, Mycobacterium
tuberculosis, dan Trichophyton spp. Pada orang dengan imunokompromis maka dapat
berasal dari infeksi jamur Aspergillosis dan Mucormyocis.2,3

Epidemiologi

Selulitis preseptal dapat terjadi pada semua usia, akan tetapi lebih sering terjadi pada
anak-anak dibawah 10 tahun yaitu sebanyak 80%. Selulitis preseptal harus segera
dibedakan dengan selulits orbital karena memiliki tatalaksana dan komplikasi yang
sangat berbeda.

Patofisiologi

Terdapat tiga jalur penyebaran infeksi pada jaringan periorbital yaitu yang pertama
melalui inolukasi langsung setelah mengalami trauma, pasca bedah, dan infeksi dari
gigitan serangga. Kedua, penyebaran dari struktur periorbital yaitu sinus paranasal
terutama sinus ethmoid. Ethmoiditis akut adalah rinosinusitis paling
umum yang menyebabkan selulitis preseptal dan orbital. Infeksi
yang berasal dari sinus ethmoid cepat progresif, terutama karena
lamina papyracea adalah satu-satunya perbatasan antara sinus
ethmoid dan orbit. Lamina ini sangat tipis dengan perforasi dan
fenestrasi, yang disebut dehiscence Zuckerkandl, yang
memungkinkan lewatnya saraf dan pembuluh darah. Ini
memungkinkan penyebaran infeksi yang mudah dari sinus
ethmoid ke daerah periorbital dan orbital. Selain itu, adanya
chalazion atau hordeolum, dakriosistitis, dakrioadenitis, infeksi virus herpes zoster,
dan endopthalmitis juga termasuk dalam penyebaran struktur periorbital. Ketiga,

4
penyebaran secara hematogen yaitu yang terjadi bila ada infeksi pernapasan dan
telinga. Aliran vena dari palpebra, orbita, dan sinus akan mengalir ke vena orbital
superior dan inferior lalu mengalir ke sinus kavernosus, vena ini tidak memiliki katup
sehingga infeksi dengan mudah dapat menyebar ke daerah preseptal dan posteptal,
dan juga dapat menyebabkan trombosis sinus kavernosa dan memungkinkan
penyebaran ke struktur intrakranial.
Septum orbital merupakan lembaran membran yang menjadi pembatas yang
menentukan infeksi preseptal/ periorbital atau postseptal/ orbital. Infeksi yang terjadi
di bagian anterior dari septum orbital disebut selulitis preseptal sedangkan di bagian
posterior septum orbital disebut selulitis postseptal. Dibandingkan dengan selulitis
preseptal, selulitis postseptal lebih berhaya dan dapat menyebabkan komplikasi yang
serius. Tatalaksana yang tidak sesuai dengan selulitis preseptal akan berkembang
menjadi selulitis postseptal dan menyebabkan komplikasi berupa gangguang
penglihatan, kebutaan, dan penyebaran intrakranial.

Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya selulitis preseptal adalah terdapat


lesi pada kelopak
mata berupa Hordeolum, Kalazion, Gigitan serangga, lesi terkait
trauma, pasca prosedur bedah. Selain itu juga dapat
meningkatkan resiko bila terkena infeksi saluran pernafasan,
dnan rhinosinusitis. Penyakit lainnya yang dapat menjadi faktor
resiko adalah varisela, asma, polip nasal, dan neutropenia.
(eyewiki)

Manifestasi klinis
Pasien dengan selulitis preseptal pada umumnya memiliki
keluhan berupa nyeri pada sebelah pada, kelopak mata yang
membengkak, kemerahan, Patients with preseptal cellulitis
typically present with unilateral ocular pain, eyelid swelling, and
erythema (picture 1).
Chemosis (conjunctival swelling) may occasionally occur in
severe cases of preseptal cellulitis. Leukocytosis may also occur
in patients with preseptal cellulitis, but is not a sensitive indicator
of this infection. The clinical manifestations of preseptal cellulitis
should be distinguished from those of orbital cellulitis (table 2

5
and table 3), which are discussed in greater detail separately.
(See "Orbital cellulitis", section on 'Clinical manifestations'.)
Serious complications are rare in preseptal cellulitis. Reported
complications include eyelid necrosis and amblyopia associated
with delayed resolution of periorbital swelling [8,21]. It is unclear
whether untreated preseptal cellulitis can progress to orbital
cellulitis; such cases may have been initially misdiagnosed as
preseptal rather than orbital cellulitis. Therefore, clinicians must
be vigilant for features suggesting possible misdiagnosis. (See
'Diagnosis' below and "Orbital cellulitis", section on 'Diagnosis'.)

Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakan untuk menentukan grup infeksi
periorbital dan orbital dapat menggunakan klasifikasi Chandler:

Group 1 Selulitis preseptal Inflamasi dan edema pada


bagian anterior septum
orbital.

Group 2 Selulitis orbital Inflamasi sampai pada


posterior septum orbital.

Group 3 Subperiosteal abscess Terdapat cairan


mukopurulen diantara
tulang dinding orbital dan
periorbital.

Group 4 Abses orbital Terdapat cairan


mukopurulen pada orbital

Group 5 Thrombosis sinus Flebitis retrograde dan


kavernosus kongesti vaskular sampai
sinus kavernosis yang
menyebabkan defisit
ophthalmic bilateral.

6
Diagnosis

Selulitis preseptal pada umumnya merupakan diagnosis klinis yang akan dibuat

berdasarkan hasil anamnesis. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk kasus-

kasus yang tidak pasti. Pada anamnesis pada umumnya ditemukan


keluhan berupa bengkak, nyeri, dan kemerahan pada kelopak
mata, bersifat unilateral, dan demam pada beberapa kasus. Hal
yang perlu ditanyakan adalah riwayat trauma pada daerah mata,
infeksi sekitar mata, gigitan serangga, infeksi saluran
pernapasan atas, dan riwayat sinusitis pada pasien. Pasien
dengan preseptal selulitis menyangkal adanya nyeri saat
menggerakan bola mata, dan gangguan penglihatan. Jika pasien
mengeluhkan hal serupa maka pasien mengalami selulitis
postseptal atau orbital.
Pada pemeriksaan fisik saat inspeksi ditemukan adanya edema
dan eritema pada palpebra, dapat juga ditemukan tanda-tanda
trauma lokal, dakriosistitis, atau dakrioadenitis. Pemeriksaan
visus dan refleks pupil wajib dilakukan untuk seluruh pasien
dengan inflamasi pada palpebra. Pada preseptal selulitis, tidak
ada kelainan pada visus dan refleks pupil, bila ditemukan
adanya kelainan, maka infeksi sudah menyebar melebihi septum
orbital. Pada pemeriksaan gerakan bola mata, ditemukan tidak
ada kelainan dan tidak ada proptosis. Desmarres retractor dapat atau
spekulum mata dapat digunakan untuk memeriksa mata lebih jelas apakah
terdapat chemosis atau tidak dan melihat pergerakan bola mata. Pada
umumnya pasien dengan selulitis jarang sekali memiliki chemosis dan tidak
ada kelainan dalam pergerakan bola mata. Pada pemeriksaan funduskopi
dapat dilakukan untuk menilai tanda pembengkakkan nervus optic dan
pembesaran vena. Pemeriksaan lainnya dapat dilakukan palpasi sinus
paranasal dan kelenjar getah bening untuk mencari sumber infeksi.

7
Gambar 3. Manifestasi klinis selulitis preseptal
Pada pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yang
pertama adalah pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap
dan pada beberapa kasus ditemukan peningkatan jumlah sel
darah putih ESR, dan CRP. Pemeriksaan laboratorium tidak
wajib di lakukan pada semua kasus preseptal selulitis. Pada
kasus tertentu yaitu pada pasien anak-anak disertai demam dan
kemungkinan untuk terjadinya selulitis orbital yang tidak bisa di
eksklusi dapat dilakukan kultur darah. Pemeriksaan lain yang
dapat dilakukan adalah CT scan orbital dan sinus dengan
kontras untuk membedakan selulitis preseptal dan postseptal.
Indikasi untuk dilakukannya CT scan kontras bila disertai
dengan kondisi pembengkakan mata yang semakin memburuk,
demam, leukositosis, atau infeksi yang tidak membaik setelah
diberikan antibiotik yang sesuai dalam 24 sampai 28 jam. CT
scan selulitis preseptal akan menunjukkan pembengkakan
kelopak mata, tidak ada untaian lemak pada komponen orbital,
tidak ada proptosis dan tidak ada keterlibatan otot ekstraokular.
Selain itu, salah satu studi menemukan bahwa 41% pasien
dengan selulitis preseptal ditemukan sinusitis pada CT scan.
Pada kasus yang dicurigai terdapat abses, maka CT scan kepala
juga diperlukan untuk menyingkirkan keterlibatan intrakranial.

8
Gambar 4. CT scan orbita pada selulitis preseptal

Tatalaksana
Tatalaksana untuk selulitis preseptal diberikan antibiotik empirik
berdasarkan mikroorganisme penyebab yang paling sering yaitu
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, other
streptococci dan bakteri anaerobik. Hal ini disebabkan karena
kultur darah pada pasien dengan selulitis preseptal jarang
menunjukan hasil yang positif dan sulit untuk kultur yang diambil
dari periorbital.
Pasien dewasa dan anak diatas usia satu tahun dengan selulitis
preseptal ringan dan tidak ada tanda gangguan sistemik dapat
di rawat jalan dan diberikan antibiotik oral dengan pengawasan.
Anak usia dibawah satu tahun yang tidak koperatif saat
pemeriksaan dan selulitis preseptal berat harus di rawat inap.
Pilihan antibiotik kombinasi yang dapat diberikan
Trimethroprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) dengan dosis
8 - 12mg/kg/hari, dapat dibagi menjadi 2 dosis. Dosis untuk
dewasa adalah 1-2 tablet 160 mg TMP dan 800 mg SMX setiap
12 jam atau klindamisin dengan dosis 30-40 mg/kg/hari dibagi
menjadi 3-4 dosis dengan pemberian maksimal 1.8 g / hari pada
anak dan dengan dosis 300 mg setiap 8 jam pada dewasa,
ditambah dengan amoksisilin dengan dosis 45 mg/ kg / hari
dibagi menjadi 2 dosis, bila dicurigai disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae maka dapat diberikan dengan dosis
80-90 mg/ kg/ hari dibagi menjadi 2 dosis dan dengan dosis 875
mg setiap 12 jam atau
Cefpodoxime dengan dosis 10 mg/ kg/ hari dibagi setiap 12 jam
dengan dosis maksimal 200 mg pada anak dibawah 12 tahun,
400 mg setiap 12 jam pada anak dengan usia diatas 12 tahun
dan pada dewasa.

9
• Atau cefdinir dengan dosis 14 mg/ kg/ hari dibagi setiap 12 jam
dengan dosis maksimal 600 mg / hari pada anak-anak dan
300 mg 2 kali sehari pada dewasa.

Pilihan lain adalah monoterapi dengan amoksisilin-klavulanat,


cefpodozime, atau cefdinir terbukti dapat memberikan hasil yang
baik. Akan tetapi mikroorganisme methicillin-resistant S. aureus
(MRSA) saat ini sudah banyak ditemukan dan regimen antibiotic
diatas tidak dapat mengatasinya, maka dari itu dibutuhkan
antibiotik TMP-SMX and klindamisin. Di sisi lain, TMP-SMX tidak
efektif untuk mengatasi Streptococcal group A dan klindamisin
tidak efektif untuk H. influenzae type b sehingga ini menjadi
alasan bahwa pemberian antibiotik kombinasi lebih disarankan.
and thus each is given in combination with an agent that is. Bila
MRSA resisten terhadap klindamisin, dapat juga diberikan
doksisiklin untuk MRSA akan tetapi tidak boleh diberikan untuk
anak-anak. Pemberian antibiotik topikal tidak terbukti efektif
untuk selulitis preseptal.
Pemberian antibiotik dapat diberikan selama 5-7 hari akan tetapi bila
gejala belum membaik dapat diberikan sampai gejala hilang. Pasien
dengan grup 3,4, atau 5 dari klasifikasi Chandler, maka dibutuhkan
operasi untuk dilakukan drainase.

Respon terapi selulitis preseptal pada umumnya cepat membaik bila diberikan
antibiotik yang tepat. Pasien rawat jalan yang memiliki keluhan semakin berat dalam
24 jam pertama atau tidak membaik setelah diberikan antibiotik dalam waktu 24-48
jam harus segera ditatalaksana pada rumah sakit dengan pemberian antibiotik
spectrum luas intrabena dan dilakukan CT scan orbital untuk mengevaluasi selulitis
orbital dan komplikasinya.

10
Komplikasi

Selulitis preseptal jarang menyebabkan komolikasi yang serius. Beberapa komplikasi

yang dilaporkan dapat berupa nekrosis palpebra dan abses lokal. Komplikasi yang

lebih serius dapat berupa perluasan menjadi selulitis orbital, abses orbital, abses

subperiosteal, trombosis sinus kavernosa dan keterlibatan infeksi sistem saraf pusat

berupa meningitis, dan abses serebri. Komplikasi yang dapat terjadi karena infeksi

yang disebabkan oleh Streptococcus β-hemoliticus adalah fasciitis nekrotikan yang

merupakamn selulitis progresif cepat dengan batas tepi yang tidak jelas dan

perubahan warna kulit karena nekrosis dan menyebabkan sindrom syok toksik.

Prognosis selulitis preseptal baik juga diberikan tatalaksana yang sesuai. Namun bila
tatalaksana yang diberikan tidak sesuai, komplikasi dapat terjadi dengan cepat. pada
beberapa kasus walaupun sangat jarang terjadi selulitis preseptal dapat berulang yang
dengan definisi selulitis preseptal yang berulang sebanyak 3 kali yang terjadi dalam 1
tahun, berjarak minimal 1 bulan setelah pemulihan. Bila terjadi selulitis preseptal
yang berulang maka harus di lakukan evaluasi lebih lanjut mengenai kemungkinan
terjadinya abnormalitas anatomi sinus karena penting untuk menurunkan angka
kejadian komplikasi pada selulitis preseptal.

11

Anda mungkin juga menyukai