Anda di halaman 1dari 23

Makalah

Polisitemia Vera
(Diajukan sebagai prasyarat tugas pada Mata Kuliah Biomedik 1 yang diampuh oleh Ibu
dr. Irmawati, M.Kes)

OLEH:
KELAS C
KELOMPOK 3
1. Indeks S. Keku 811418029
2. Oktaviana Panigoro 811418108
3. Novriyanti Adam 811418099
4. Sofyan Abdullah 811418102
5. Sartika Nusi 811418107
6. Mutiyah S. Lamunte 811418023
7. Sabna Hipi 811418027
8. Nurdiana L. Papeo 811418103
9. Siti Khairun Nimah Ishak 811418032
10. Chairunnisa Mbata 811418172
11. Fitria Nur 811418113

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTAO
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena ridha dan
rahmat-nya, kami dapat mengerjakan tugas tugas karya illmiah dengan judul ” Polisitemia
Vera”. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Biomedik.
Semoga dengan ditulisnya makalah ini, kami serta khalayak ramai bisa mengetahui
segala sejarah dari kependudukan itu sendiri.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu kami
bersedia di beri saran dan kritik untuk kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini.
Demikianlah makalah ini, kami harap para pembaca makalah ini akan mendapatkan
banyak informasi dan pengetahuan yang baru dari makalah ini.

Gorontalo, April 2019


DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 5
BAB II..................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 6
A. Definisi........................................................................................................................................ 6
B. Epidemiologi ............................................................................................................................... 7
C. Etiologi........................................................................................................................................ 7
D. Patogenesis.................................................................................................................................. 7
E. Manifestasi Klinis ....................................................................................................................... 9
F. Diagnosis................................................................................................................................... 11
G. Diagnosis banding ..................................................................................................................... 13
H. Penatalaksanaan ........................................................................................................................ 14
I. Komplikasi dan Faktor Risiko .................................................................................................. 18
J. Prognosis ................................................................................................................................... 19
BAB III ................................................................................................................................................. 21
PENUTUP ............................................................................................................................................ 21
KESIMPULAN ................................................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Polisitemia vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk hematopoetik
dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut dan volume darah total, biasanya
disertai leukositosis, trombositosis dan splenomegali.

Polisitemia vera dapat mengenai semua umur, sering pada pasien berumur 40-60
tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita 2 : 1, di Amerika Serikat angka
kejadiannya ialah 2,3 per 100.000 penduduk dalam setahun. Sejarah polisitemia vera dimulai
tahun 1982 ketika Louis Hendri Vaquez pertama kali menjelaskan polisitemia vera pada
pasien dengan eritrositosis dan hepatosplenomegali. Kemudian tahun 1951 William
Dameshek mengklasifikasikan polisitemia vera, trombositosis esensial dan mielofibrosis
idiopatik sebagai penyakit mieloproliferatif.

Etiopatogenesis polisitemia vera belum sepenuhnya dimengerti, suatu penelitian


sitogenetik menemukan adanya kelainan molecular yaitu adanya kariotip abnormal di sel
induk hematopoiesis, yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi 8, trisomi 9. Pada tahun
2005 ditemukan mutasi JAK2V617F yang dipercaya merupakan hal penting pada
etiopatogenesis polisitemia vera.

Manifestasi klinis polisitemia vera terjadi karena peningkatan jumlah total eritrosit
yang akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan penurunan
kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan laju transport
oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai
gejala dapat timbul yaitu iskemia/infark di otak, jantung, paru dan ekstremitas.

Polisitemia vera sering menimbulkan keluhan yang tidak spesifik seperti sakit kepala,
kelelahan, vertigo, gangguan penglihatan, dan rasa terbakar di epigastrium. Keluhan lain juga
ditemukan seperti nyeri perut, pruritus, demam, dan melena.4 Komplikasi penyebab
morbiditas dan mortalitas utama pada pasien penderita polisitemia vera adalah timbulnya
komplikasi kardiovaskular akibat trombosis. Pada trombosis, mutasi Jak2 menyebabkan
aktivasi dan interaksi leukosit dan trombosit yang menyebabkan inflamasi sehingga
menyebabkan disfungsi endotel pembuluh darah. Sedangkan eritrositosis menyebabkan
hiperviskositas darah yang memicu thrombosis.
Komplikasi lain yaitu perdarahan dan risiko berkembangnya penyakit menjadi
keganasan mieloid akut (AML/Acute Myeloid Leukemia).

B. Rumusan Masalah

Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah


sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam makalah ini. Perumusan
masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang berarti ringkasan atau
kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang menunjukkan jarak antara rencana
dengan pelaksanaan, antara harapan dengan kenyataan. Perumusan masalah dalam makalah
ini berisikan antara lain mengetahui tentang Polisitemia vera.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Polisitemia berasal dari bahasa Yunani dimana poly berarti banyak, cyt berarti sel dan
hemia berarti darah sedangkan vera berarti benar. Polisitemia vera adalah kelainan pada
sistem mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk
(hemopoetic stem cells) dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors yang berbeda
untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Peningkatan sel
darah merah pada polisitemia vera lebih mengarah pada jumlah sel, bukan pada peningkatan
masa kehidupan dari sel.

Polisitemia rubra vera atau polisitemia vera dikenal juga dengan istilah polisitemia
primer, Vaquez disease, Osler disease, Osler-Vaquez disease, dan eritremia.

Meningkatnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi darah, menaikkan viskositas
darah total, suatu peristiwa yang menyebabkan melambatnya aliran darah dan merupakan
penyebab dari banyak manifestasi patofisiologi penyakit ini. Meningkatnya viskositas darah
mengakibatkan peningkatan volume darah dan selanjutnya diikuti dengan meningkatnya
beban kerja jantung, vasodilatasi serta meningkatnya suplai oksigen ke jaringan.

Penyakit ini melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang yang awalnya
diam-diam tetapi progresif. Polisitemia vera tidak membutuhkan eritripoetin untuk proses
pematangannya, hal ini jelas membedakannya dari eritrositosis atau polisitemia sekunder
dimana eritropoetin tersebut meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas kebutuhan
oksigen yang meningkat atau secara non fisiologis sebagai sindrom paraneoplastik yang
dijumpai daripada manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin. Kadar
eritropoetin pada polisitemia vera biasanya rendah atau tidak ada dan produksi normalnya
ditekan oleh naiknya hematokrit dan saturasi oksigen pada hakekatnya normal.

Polisitemia vera berkaitan dengan massa eritrosit, basofil dan trombosit yang
bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju kearah fibrosis sumsum tulang. Fibrosis
sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik jaringan ikat.
B. Epidemiologi
Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berusia 40-60 tahun, rasio perbandingan
antara pria dan perempuan antara 2:1 dan dilaporkan insiden polisitemia vera adalah 2,3 per
100.000 populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia vera ditegaskan bahwa
faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,5-3 tahun sedang yang
dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.

C. Etiologi
Terdapat penelitian yang menyebutkan kelainan molekul mungkin bisa menjadi salah
satu penyebab. Salah satu penelitian sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe abnormal di
sel induk hemopoisis pada pasien dengan polisitemia vera dimana tergantung dari stadium
penyakit, rata-rata 20% pada pasien polisitemia vera saat terdiagnosis sedang meningkat 80%
setelah diikuti lebih dari 10 tahun. Beberapa kelainan tersebut sama dengan penyakit
mielodisplasia sindrom, yaitu deletion 20q (8,4%), deletion 13q (3%), trisomi 8 (7%), trisomi
9 (7%), trisomi 1q (4%), deletion 5q atau monosomi 5 (3%), deletion 7q atau monosomi 7
(1%).

D. Patogenesis
Adanya reaktivitas berlebihan pada sinyal Janus Kinase yaitu tirosin kinase yang berperan
dalam proses hematopoetik menyebabkan proliferasi berlebih pada sel-sel hematopoetik dan juga
menstimulasi proses inflamasi pembuluh darah.

Gambar 1. Aktivasi berlebihan pada rantai Janus Kinase

Proliferasi berlebih pada sel-sel hematopoetik akan menimbulkan abnormalitas pada


penilaian klinis pasien seperti abnormalitas hitung darah lengkap dan inflamasi akan memicu
timbulnya gejala klinis pada pasien.
Saat ligan terikat ke reseptor sitokin akan memicu dimerisasi. Jaks yang terikat pada
reseptornya melalui domain SH2, mengalami transposforilasi dan setelah itu memposforilasi
STAT / Signal Transducer and Activator of Transcription. STAT yang teraktivasi akan
berdimerisasi dan bertranslokasi ke nukleus, dengan cara mengaktivasi promotor gen. STAT
juga bisa diaktivasi secara langsung oleh Src kinase. Pada gambar dibawah, Jaks
memposforilasi reseptor dan menciptakan binding site untuk STAT. Saat itu juga, reseptor
sitokin juga mengaktivasi jalur sinyal tambahan yang melibatkan protein seperti Akt dan
ERK.

Gambar 2. Sinyal yang diperantarai oleh Jaks

Klasifikasi pada pasien dengan eritrositosis adalah sebagai berikut :


1. Eritrositosis relative atau polisitemia (pseudoeritrositosis)
1) emokonsentrasi
2) Polisitemia spurious (Sindrom Gaisbok)
2. Polisitemia (eritrositosis absolut)
a. Polisitemia primer
 Polisitemia vera
 Polisitemia familial primer
b. Polisitemia sekunder
 Sekunder oleh karena penurunan oksigenisasi pada jaringan (Phisiologically
appropriate polycythemia atau hypoxia erytrhocytosis)
 High-altitude erythrocytosis (Monge disease)
 Penyakit paru (contoh : cor pulmonal kronik, sindrom Ayerza)
 Cyanotic congenital heart disease
 Sindrom hipoventilasi
 Hemoglobin abnormal
 Polisitemia familial
 Sekunder oleh karena penyimpangan respon atau produksi eritropoetin
(physiologically inappropriate polycythemia)
 Polisitemia idiopatik2

E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pada polisitemia vera terbagi dalam 3 fase, yaitu :
1. Gejala awal (early symptom)
Gejala awal dari polisitemia vera minimal dan tidak selalu ditemukan kelainan
walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal yang terjadi biasanya sakit
kepala (48%), telinga berdenging (43%), mudah lelah(47%), gangguan daya ingat , susah
bernapas (26%), darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (3l%), rasa panas pada tangan
atau kaki (29%), gatal (pruritus) (43%), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung
(stomach ulcers) (24%) atau sakit tulang (26%).

2. Gejala akhir (later symptomps) dan Komplikasi


Sebagai penyakit progresif, pasien dengan polisitemia vera mengalami perdarahan
(hemorrhage) atau trombosis. Trombosis adalah penyebab kematian terbanyak dari
polisitemia vera. Komplikasi Iain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10%
berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus pepticum (10%).

3. Fase splenomegali
Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada tase ini terjadi
kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan transfusi meningkat,
liver dan limpa membesar.

Beberapa hal yang berhubungan dengan manifestasi klinis, yaitu :


1. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total ertirosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian
akan menyebabkan :
 Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan menimbulkan
eritrostasis sebagai akibat dari penggumpalan eritrosit, dan
 Penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan
terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya
oksigenasi target organ (iskemia/infark) seperti di otak, penglihatan, pendengaran,
jantung, paru, ekstremitas.
2. Penurunan kecepatan aliran (shear rate)
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer yaitu
agregasi trombosit pada endotel hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan,
walaupun jumlah trombosit > 450 ribu/ml. Perdarahan terjadi pada 10-30% kasus polisitemia
vera manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan gastrointestinal.

3. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).


Trombositosis dapat menimbulkan trombosis, pada polisitemia vera tidak ada korelasi
trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau tromboflebitis dengan emboli terjadi
pada 30-50% kasus polisitemia vera.

4. Basofilia (hitung basofil >65/mL).


Lima puluh persen kasus polisitemia vera datang dengan gatal (pruritus) di seluruh
tubuh terutama setelah mandi airpanas, dan beberapa kasus polisitemia vera datang dengan
urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah
sebagai akibat dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena
peningkatan kadar histamin.

5. Splenomegali.
Splenomegali tercatat pada sekitar 70% pasien polisitemia vera. Splenomegali ini
terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular.

6. Hepatomegali.
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira sejumlah 40% polisitemia vera. Sebagaimana
halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder dari hiperaktif
hemopoesis ekstra medular.

7. Laju siklus sel yang tinggi.


Sebagai konsekuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali adalah
sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian maka produksi asam urat
darah akan meningkat, disisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan shear
rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia vera.
8. Defisiensi vitamin B12, dan asam folat.
Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan
vitamin B12, hal ini dijumpai pada 30% kasus polisitemia vera karena
penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak
tersaturasi pengikat vitamin B12 (UB12 - Protein binding capacity) dijumpai meningkat pada
>75% kasus. Seperti diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peran dalam
timbulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.Optikus, serta psikosis.

F. Diagnosis
1) Manifestasi Klinis
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera pada saat perjalanan penyakit ini,
peninggian massa eritrosit haruslah didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6
juta/ml pada pria dan >5,5 juta/ml pada perempuan, dan sediaan apus eritrosit biasanya
normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis
menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit.

b) Granulosit
Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus PV, berkisar antara 12-25
ribu/ml tetapi dapat sampai 60 ribu/mL. Pada dua perliga kasus ini juga terdapat basofilia.

c) Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL, bahkan dapat >1 juta/ml.
Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.

d) B12 Serum
B12 serum dapat meningkat hal ini dijumpai pada 35% kasus dan dapat pula menurun
hal ini dijumpai pada 30% kasus, dan kadar UB12BC meningkatpada >15% kasus polisitemia
vera.

e) Pemeriksaan Sumsum Tulang


Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali ada kecurigaan terhadap
penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitungjenis leukosit. Sitologi
sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier
dari seri eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi sumsum tulang
adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis
merupakan petanda patognomonik polisitemia vera.

f) Pemeriksaan Sitogenetika
Pada pasien polisitemia vera yang belum mendapat pengobatan P53 atau kemoterapi
sitostatika dapat dijumpai karyotip (lihat etiologi). Variasi abnormalitas sitogenetika dapat
dijumpai selain tersebut di atas terutama jika telah mendapatkan pengobatan P53, atau
kemoterapi sitostatika sebelumnya.
Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif, polisitemia vera dapat memberikan kesulitan
dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan berbagai keadaan polisitemia lainnya
(polisitemia sekunder). Karena kompleksnya penyakit ini, International Polycythemia Study
Group menetapkan 2 kriteria pedoman dalam menegakkan diagnosis polisitemia vera dari 2
kategori diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria:
1. Dari kategori: A1,+A2+A3, atau
2. Dari kategori: A1+A2+ 2 kategori B.
1. Kategori A
 Meningkatnya massa sel darah merah, hal ini diukur dengan krom-radioaktif Cr5r. Pada
pria > 36 ml/kg, dan pada perempuan > 32 ml/kg.
 Saturasi oksigen arterial > 92%. Eitrositosis yang terjadi sekunder terhadap penyakit
atau keadaan lainnya juga disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah satu
pembeda yang digunakan adalah diperiksanya saturasi oksigen arterial, di mana pada
polisitemia vera tidak didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien tersebut
berada dalam keadaan:
 Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi pO2 akan bergeser ke kiri, dan
 Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen meningkat sehingga kurva pO, juga akan
bergeser kekiri.
 Spenomegali.

2. Kategori B
1) Trombositosis: trornbosit > 400,000/mL,
2) Leukositosis: leukosit > 12.000/mL (tidak ada infeksi).
3) Neutrophil alkaline phosphatase (NAP) score meningkat lebih dari 100 (tanpa adanya
panas atau infeksi).
4) Kadar vitamin B12 >900 pg/ml dan atau UB12BC dalam serum> 2200 pg/ml.
Dalam beberapa literatur disebutkan usulan modifikasi kriteria diagnostik PV sebagai
berikut:
1. Kategori A
1) Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas rata-rata angka normal atau Packed
Cell Volume pada laki-laki >0,6 atau pada perempuan 0,56
2) Tidak ada penyebab polisitemia sekunder
3) Splenomegali yang teraba
4) Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)

2. Kategori B
1) Trombositosis >400000 per mm3
2) Jumlah neutropil >10 x 10 9/ L dan bagi perokok >12,5 x 109/L
3) Spleenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi
4) Penurunan serum ertropoietin atau BFU-E growth yang karakteristik

Diagnosis polisitemia vera adalah :


1. Kategori : Al + A2 dan A3 atau A4 atau
2. Kategori :A1 +A2 dan 2 kriteria kategori B.2

G. Diagnosis banding
Mutasi Jak2 tidak hanya terjadi pada penyakit polisitemia vera, namun juga terjadi
pada keganasan mieloproliferatif lain seperti Esensial Trombositemia (ET)6 dan
Mielofibrosis (MF). Sehingga ketiga penyakit ini mempunyai keterkaitan yang unik. Mutasi
Jak2 positif pada penderita polisitemia vera sekitar 95%-100% sementara pada keganasan
lain ET dan MF ± 50-60%. Meskipun erirositosis bisa membedakan PV dari ET dan MF,
namun tidak semua pasien dengan gejala eritrositosis dengan mutasi Jak2 akan berkembang
menjadi PV.
Untuk membedakan polisitemia vera dan penyakit mieloproliferatif lain bisa dinilai
dari proporsi manifestasi klinis dan komplikasi yang ditimbulkan, seperti terlihat pada
gambar berikut.
Gambar 6. Proporsi manifestasi klinis dan komplikasi pada keganasan mieloproliferatif
positif Jak2

H. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan pada polisitemia vera adalah
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol
eritropoesis dengan flebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum terkontrol.
3. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment).
4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor radioaktif atau kemoterapi sitostatika
pada pasien diatas 40 tahun bila didapatkan:
 Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, terutama jika disertai gejala trombosis.
 Leukositosis progresif.
 Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik.
 Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan
berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Diagnosis PV

Flebotomi untuk Ya Terapi mielosupresi dengan 32 P (atau


mempertahanka busulfan atau gen alkylating lain) aspirin
n hematocrit < dosis rendah jika ada riwayat trombosis
0,45

Umur > 70 tahun


Tidak

Adanya riwayat atau Terapi mielosupresi


thrombosis ada
atau flebotomi yang Ya hydroxiurea dengan (pertimbangka
seringkali atau jumlah trombosit interferon atau n anagreid pada
>400.000 atau splenomegaly yang pasien muda) dan aspirin sebagai
progresif profilaksis
Tidak

Tanpa mielosupresi
 Pertimbangkan kembali jika
ada komplikasi
 Aspirin sebagai profilaksis
Jenis pengobatan polisitemia vera adalah sebagai berikut :

1. Flebotomi.
Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia
selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi
adalah
 Polisitemia sekunder fisiologis hanyaa dilakukan jika Ht >55% (target Ht ≤55%).
 Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan,shear rate, atau sebagai
penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik.

Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah mempertahankan hematokrit ≤42%


pada perempuan, dan ≤47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan
penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan
penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.

Prosedur flebotomi :
1. Pada permulaan, 250-500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection set
standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular
aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh dilakukan dengan prinsip isovolemik
yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma
(coloid/plasma expander) setiap kali, untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral
atau jantung karena hipovolemik
2. Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 cc darah (normal total body iron ± 5 g)
Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan flebotomi berulang. Gejala
defisiensi besi seperti glositis, keilosis, disfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan
pemberian preparat besi.

2. Fosfor radioaktif (P32)


Pengobatan dengan fosfor radioaktif ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah
untuk pasien yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi yang tidak
memungkinkan untuk berobat secara teratur. P32 perlama kali diberikan dengan dosis sekitar
2-3 mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%.
Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama:
1) Mendapatkan hasil, re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan
tetapi hal ini jarang dibutuhkan;
2) Tidak mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, dan
diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.

Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada sekitar 80% pasien untuk jangka
waktu sekitar l-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang
serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah
keadaan stabil. Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiperagregasi) atau
terbukti menimbulkan thrombosis masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis
dapat terkontrol.

3. Kemoterapi sitostatika
Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan
menggunakan Hidroksiures salah satu sitostatika golongan obat anti metabolik, sedangkan
penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi
karena efek leukemogenik, dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian FDA masih
membenarkan Chlorambucil dan Busulfon digunakan pada polisitemia vera
Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika:
 hanya untuk Polisitemia rubra primer,
 flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali sebulan.
 trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis,
 urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin,
 splenomegali simptomatik/mengancam rupture limpa.

4. Pengobatan Suportif
 Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien dengan
penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.
 Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin, jika diperlukan dapat diberikan
Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA)
 Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.
 Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan juga dapat
menekan trombopoesis.
5. Pembedahan Darurat
Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau dihindarkan. Dalam keadaan
darurat dapat dilakukan flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan mengganti
plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander lainnya bukan
cairan isotonis atau garam fisiologis, suatu prosedur yang dapat digolongkan sebagai tindakan
penyelamatan hidup (life-saving). Tindakan splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan
pada semua fase polisitemia, dan harus dihindarkan karena dalam perjalanan penyakitnya jika
terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan sebagai pengganti
hemopoesrsnya.

6. Pembedahan Berencana
Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkontrol dengan baik. Lebih
dari 75% pasien dengan polisitemia vera tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami
perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan, kira-kira sepertiga dari jumiah
pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurun jauh jika eritrositosis sudah
di kontrol dengan adekuat sebelum pembedahan. Makin lama telah terkontrol, makin kecil
kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di dapat dari flebotomi
dapat disimpan untuk transfuse autologus pada saat pembedahan.

7. Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif


Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan dengan:
 Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki elastik (elastic stocking) alat
pulsatting boots.
 Heparin dosis rendah jika tidak ada indikasi kontra dapat diberikan. Untuk dewasa,
heparin i.v drip dengan dosis 10-20 iu/kgBB/jam dengan target APTT 40 " -60 "
sampai pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 50-100 iu/kgBB/subkutan
dapat diberikan setiap 8-12 jam sampai pasien kembali ke aktivitas normal.

I. Komplikasi dan Faktor Risiko


Komplikasi yang sering disebabkan oleh penyakit PV antara lain :
1) Trombosis
2) Perdarahan
3) Transformasi menjadi leukemia
Trombosis merupakan komplikasi paling sering (34-39%). Pada trombosis, mutasi
Jak2 menyebabkan aktivasi dan interaksi leukosit dan trombosit yang menyebabkan inflamasi
sehingga menyebabkan disfungsi endotel pembuluh darah. Sedangkan Eritrositosis menyebabkan
hiperviskositas darah yang memicu trombosis. 8

Gambar 5. Mekanisme trombosis melalui proses aktivasi dan inflamasi

Stratifikasi faktor risiko dari penyakit ini bertujuan untuk memperkirakan akan
terjadinya komplikasi thrombosis. Penilaian risiko terdiri dari dua kategori yaitu risiko rendah
tanpa trombositosis ( usia <60 tahun tanpa riwayat thrombosis, risiko rendah dengan
trombosit yang tinggi (>1.000 x 109/L). Risiko tinggi yaitu usia >60 tahun dengan riwayat
thrombosis. Risiko tinggi dengan PV yang refrakter atau intoleran terhadap hydroxyurea.8

J. Prognosis
Polisitemia adalah penyakit kronis dengan survival median pasien sesudah
terdiagnosa tanpa diobati 1,5-3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.
Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah:
1) Trombosis dilaporkan pada 15-60% pasien, tergantung pada pengendalian penyakit
tersebut dan 10-40% penyebab utama kematian.
2) Komplikasi perdarahan timbul 15-35% pada pasien polisitemia vera dan 6-30%
menyebabkan kematian
3) Terdapat 3-10% pasien polisitemia vera berkembang menjadi mielofibrosis dan
pansitopenia
4) Polisitemia vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom
mielodisplasia pada 1,5% pasien dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan
risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan pengobatan klorambusil dan 10,2%
dalam 6-10 tahun pada pasien dengan pengobatan 32P. Terdapat juga 5,9% dalam l5
tahun risiko terjadinya transformasi pada pasien dengan pengobatan hydroxyurea.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Polisitemia adalah suatu keadaan yang menghasilkan tingkat peningkatan sirkulasi sel
darah merah dalam aliran darah. Orang dengan polisitemia memiliki peningkatan hematokrit,
hemoglobin, atau jumlah sel darah merah di atas batas normal melebihi 6 juta/ mm atau
hemoglobinnya melebihi 18 g/dl. Ada dua jenis utama polisitemia: polisitemia vera( primer)
dan polisitemia sekunder. a.Polisitemia vera (yang secara harfiah diterjemahkan sebagai
"polisitemia benar") juga dikenal sebagai suatu jenis polisitemia primer. Primer berarti bahwa
polisitemia tidak disebabkan oleh gangguan lain. Polisitemia Primer: Dalam polisitemia
primer peningkatan sel darah merah adalah karena masalah yang melekat dalam proses
produksi sel darah merah. b. Polisitemia sekunder: polisitemia sekunder umumnya terjadi
sebagai respon terhadap faktor-faktor lain atau kondisi yang mendasarinya atau gangguan,
seperti tumor hati, tumor ginjal atau sindroma Cushing.

Adapun perjalanan klinis polisitemia yaitu :


1. Fase eritrositik atau fase polisitemia. Fase ini merupakan fase permulaan. Pada fase ini
didapatkan peningkatan jumlah eritrosit yang dapat bertanggung jawab 5-25 tahun. Pada
fase ini dibutuhkan flebotomi secara teratur untuk menggendalikan viskositas darah
dalam batasan normal.
2. Fase brun out (terbakar habis) atau spent out (terpakai habis ). Dalam fase ini kebutuhan
flebotomi menurun sangat jauh atau pasien memasuki priode panjang yang tampaknya
seperti remisi, kadang-kadang timbul anemia tetapi trombositosis dan leokositosis
biasanya menetap.
3. Fase mielofibrotik Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinis
dan perjalanan klinis menjadi serupa dengan mielofibrosis dan metaplasia mieliod.
Kadang- kadang terjadi metaplasia mieloid pada limpa, hati, kelenjar getah bening dan
ginjal.
4. Fase terminal Pada kenyataannya kematian pasien dengan polisitemia vera diakibatkan
oleh komplikasi trombosis atau perdarahan. Kematian karena mielofibrosis terjadi pada
kurang 19 dari 15%. Kelangsungan hidup rerata (median survival) pasien yang diobati
berkisar anatara 8 dan 15 tahun, sedangkan pada pasien yang tidak mendapatkan
pengobatan hanya 18 bulan. Dibandingkan dengan pengobatan flibotomi saja, resiko
terjadinya leukemia akut meningkat 5 kali jika pasien diberi pengobatan fosfor P32 dan
13 kali jika pasien mendapatkan obat sitostatik seperti klorambusil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Supandiman I, Sumahtri R. Polisitemia Vera. Pedoman Diagnosis dan terapi Hematologi
Onkologi Medik. 2003: 83-90.
2. Prenggono D. Polisitemia Vera Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV.
Penerbit IPD FKUI. 2006: 702-705.
3. Tefferi A. Polycithemia Vera : A Comprehensive Review and Clinical recommendation.
Mayo Clinic Proc. 2003; 78: 174-194.
4. Anunayi J,Motrapu ML,Monasiddiqui, et al.Polycythemia Vera in a Young Adult: A Rare
Case Report. Sch J Med Case Rep 2014;2(4):2.
5. Landolfi, R., L. Di Gennaro.Pathophysiology of thrombosis in myeloproliferative
neoplasms. Haematologica 2011;96(2):183-186.
6. 11. Adel, Aoulia G, Amina D, Yekhlef Aymen Y, Abdel-Hamid BA, Mohie N, et al.
Polycythemia vera and acute coronary syndromes: pathogenesis, risk factors and
treatment. J Hematol Thromb Dis 2013;1(107):2.
7. Marchioli R, Finazzi G, Landolfi R, et al.Vascular and neoplastic risk in a large cohort of
patients with polycythemia vera. Journal of Clinical Oncology2005;23(10):2224-2232.
8. Tefferi A, Rumi E, Finazzi G, et al.Survival and prognosis among 1545 patients with
contemporary polycythemia vera: an international study. Leukemia 2013;27(9):1874-
1881.
9. Moulard O, Mehta J.Epidemiology of myelofibrosis,

Anda mungkin juga menyukai