Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau

binatang sebagai perawatan dan pengobatan, bahkan sebagai pencegahan terhadap

gangguan kesehatan.

Pemberian obat pada pasien dapat dilakukan dengan beberapa cara

diantaranya oral, intrakutan, subkutan, intravenalangsung, bolus, melalui selang

intravena, intramuscular, melalui rectum, melalui vagina, mata, kulit, telinga dan

hidung.

Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati penyakit local pada

area anorektal juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternativedari

pemberian oral. Obat-obat yang mengalami metabolismelintas pertama ketika

diberikan oral, masalah ini dapat diatasi dengan pemberian obat tersebut melalui rute

rektal. Formulasi penghantaran obat melalui rektal terdapat dalam berbagai

bentuk sediaan, antara lain supositoria, gel, aerosol, busa (foam), krim maupun

controlled release. Meskipun pemberian obat secara rektal tidak dapat menjadi rute

pemberian yang umumnya diterima, penggunaan teknologi penghantaran obat rektal

untuk penggunaan tertentu dan masalah terapeutik tertentu memberikan rute

penghantaranobat alternativeyang dapat sukses diterapkan dalam terapi obat.

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana mekanisme formulasi rektal?

b. Bagaimana keuntungan penghantar obat rektal?

c. Bagaimana kerugian penghantar obat rektal?

1
d. Bagaimana mekanisme pelepasan obat melalui rectum?

e. Bagaimana absorpi obat melalui rectum?

f. Apa saja jenis zat terapeutik yang diberikan rektal?

C. Tujuan

a. Memahami tentang mekanisme formulasi rektal yang tersedia.

b. Memahami keuntungan penghantar obat.

c. Memahami kerugian penghantar obat.

d. Memahami mekanisme pelepasan obat melalui rectum.

e. Memahami absorpi obat melalui rectum.

f. Memahami apa saja jenis zat terapeutik yang diberikan rektal.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Rektum

Panjang rectumkira-kira 15 cm, berakhir di anus. Tanpa adanya bahan fekal,

rectum mempunyai sejumlah kecil cairan (kurang lebih 2 ml) dengan pH sekitar 7.

Rektum diperfusi oleh vena hemorrhoid superior, tengah dan inferior. Vena

hemorrhoid inferior (dekat dengan sfinkter anal) dan vena hemorrhoid tengah masuk

ke dalam vena kava dan kembali ke jantung. Vena hemorrhoid superior bergabung

dengan sirkulasi mesenterika, masuk ke dalam vena porta hepatika dan kemudian ke

liver.

Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.Biasanya

rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon

desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka

timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum

karena penumpukan material dialam rektum akan memicu sistem saraf yang

menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi untuk

periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.dalam rektum akan

memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi.

Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di

mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk

periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.

3
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Supositoria

Supositoria padat merupakan bentuk sediaan konvensional yang paling sering

digunakan untuk pemberian obat rektal. Bentuk sediaan supositoria merupakan

98 % bentuk sediaan rektal yang tersedia di pasaran, bentuk sediaan lainnya

termasuk enema rektal, larutan dan krim rektal. Supositoria memberikan banyak

keuntungan dibandingkan sediaan oral dan parenteral, antara lain pencegahan

metabolism lintas pertama, dapat digunakan pada pasien yang sulit menelan, anak-

anak dan orang tua, kemudian kurang menimbulkan nyeri. Namun supositoria padat

yang konvensional sering menimbulkan rasa kurang nyaman bagi pasien dan

penolakan dari pasien untuk menggunakannya. Selain itu, jika pada

pemberian supositoria padat tanpa sifat mukoadhesif, sediaan mencapai ujung

kolon, maka obat akan mengalami metabolism lintas pertama.

Dari sudut pandang industri, supositoria padat juga cukup sulit untuk

diproduksi dan ditangani karena membutuhkan proses pemanasan untuk

melelehkan supositoria dan pengisiannya ke dalam wadah. Untuk mengatasi

masalah-masalah dari bentuk sediaan rektal yang konvensional seperti supositoria

padat maka dikembangkan sistem penghantaran obat rektal yang baru seperti

supositoria cair yang membentuk gel pada suhu tubuh dan memiliki sifat

mukoadhesif maupun supositoria sustained release (SR) untuk mempertahankan kadar

obat dalam darah. Reanmongkol dkk (2011) meneliti tentang sifat fisikokimia,

pelepasan in vitro dan in vivo serta evaluasi dari supositoria tramadol HCl dan

gel rektal tramadol HCl. Supositoria tramadol dibuat dengan dua formula

4
dengan basis yang berbeda yaitu Witepsol dan PEG, sedangkan gel rektal

tramadol dibuat dua formulasi menggunakan basis poloxamer dan basis

hidroksietilselulosa. Hasil pengujian in vitro pelepasan obat, supositoria

Tramadol dengan basis PEG menunjukkan pelepasan Tramadol yang cepat

dan sempurna, dalam waktu 15 menit sedangkan basis Witepsol pelepasan

Tramadol 93% dalam waktu 120 menit. Pelepasan Tramadol dari gel rektal

sangat cepat dan sempurna baik dengan basis poloxamer dan hidroksietilselulosa,

waktu pelepasan obat adalah 15 menit untuk kedua basis hal ini disebabkan

karena baik Tramadol HCl dan basis larut dalam air sehingga pelepasannya

cepat. Gel rektal menggunakan poloxamer memiliki kekuatan gel yang

lebih baik dibandingkan hidroksietilselulosa. Supositoria dalam bentuk cair harus

memiliki kekuatan gel yang sesuai sehingga tidak bocor atau keluar dari anus

setelah pemberian. Poloxamer memiliki gaya mukoadhesif yang lebih besar

terhadap membrane mukosa rektal dibandingkan hidroksietilselulosa. Hal ini

mengindikasikan sediaan dengan poloxamer memiliki kontak yang lebih kuat

terhadap membran mukosa rektal.

Gambar Rektum Manusia

5
Beberapa produk suppositoria komersial

1. Dulcolax (bisacodyl)

2. canasa (mesalamine)

3. numorphan (oxymorphane)

4. anusol hc (hydrocortisone)

6
5. panadol (parasetamol)

B. Keuntungan penghantaran obat rektal

a. Bentuk sediaan relatif besar dapat ditampung dalam rektum.

b. Rute rektal aman dan nyaman bagi pasien usia lanjut dan mudah.

c. Pengenceran obat diminimalkan karena volume cairan residu rendah.

d. Rektum umumnya kosong. Adjuvant absorpsi memiliki efek lebih jelas daripada di

saluran pencernaan bagian atas.

e. Enzim degradatif dalam lumen rektal beradapadakon sentrasi yang relatif rendah.

f. Terapi dapat dengan mudah dihentikan.

g. Eliminasi lintas-pertama (first-pass elimination) obat oleh hati dihindari sebagian

Rute rektal sering digunakan ketika pemberian bentuk sediaan melalui mulut

tidak sesuai, misalnya, dengan adanya mual dan muntah, pada pasien tidak sadar,

jika menderita penyakit pada pencernaan bagian atas yang dapat

mempengaruhi absorpsi obat, atau jika rasa obat tidak menyenangkan atau

tidak stabil oleh asam.

C. Kerugian penghantaran obat rektal

a. Kurangnya keterterimaan dan kepatuhan pasien Pemberian supositoria yang

kurang nyaman bagi pasien menurunkan kepatuhan pasien.

b. Potensi untuk hilangnya obat Setidaknya ada dua masalah umum yang dapat

menyebabkan hilangnya obat pada pemberian rektal. Pertama, untuk

7
absorpsi yang efektif, sediaan harus tertahan dalam rektum, sehingga jika

sediaan atau bagiannya hilang dari rektum, absorpsi obat akan menurun.

Kedua, terdapat kemungkinan obat atau beberapa eksipien penting berinteraksi

dengan isi rektum seperti feses atau cairan rektum. Hal ini dapat

menurunkan absorpsi obat dan mengurangi keefektifan obat.

c. Terbatasnya cairan dalam rektum Jumlah cairan rektum sekitar 3 ml, jumlah

yang kecil jika dibandingkan dengan jumlah cairan di saluran

gastrointestinal ketika obat diberikan secara oral. Volume cairan yang sedikit

tersebut dapat membatasi pelarutan obat, khususnya yang memiliki kelarutan

dalam air yang rendah. Hal ini juga menjadi masalah apabila pelarutan

pembawa merupakan rate determining step pada pelepasan obat dari pembawa.

d. Formulasi Terdapat begitu banyak variabel dan pertimbangan formulasi yang

dapat menyebabkan kesulitan dalama absorpsi obat melalui rektal, termasuk

pelelehan dan sifat pencairan pembawa. Kelarutan obat dalam pembawa,

ukuran partikel obat, kapasitas penyebaran pembawa, viskositas pembawa dan

eksipien pada suhu rektum, dan kemungkinan retensi obat oleh eksipien, semua

itu dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan dan selanjutnya absorpsi obat.

Lebih jauh lagi, pKa obat, pH cairan rektum, adanya dapar, dan kapasitas dapar

pada cairan rektum juga koefisien partisi dari obat mempengaruhi absorpsi

obat dan harus dipertimbangkan saat memformulasi supositoria atau bentuk

sediaan rektal yang lain. Suhu penyimpanan, waktu dan kondisi

penyimpanan ditemukan memberikan efek baik pada stabilitas dan sifat

pelepasan obat dari bentuk sediaan rektal. Setiap pertimbangan faktor-faktor

di atas menyebabkan kesulitan dalam formulasi, pembuatan dan distribusi

dari sediaan rektal.

8
e. Biaya Supositoria dan bentuk sediaan rektal lain memerlukan biaya yang

lebih banyak untuk penyiapan dan pencampuran dibandingkan tablet sederhana.

D. Mekanisme Pelepasan Obat Melalui Rektum

Bagian obat yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung

mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta. Keuntungan pemberian

melalui rektal (juga sublingual) adalah mencegah penghancuran obat oleh enzim usus

atau pH dalam lambung. Supositoria, yang dipakai secara rektal mengandung

zat aktif yang tersebarkan (terdispersi) di dalam lemak yang berupa padatan pada

suhu kamar tetapi meleleh pada suhu sekitar 35ºC, sedikit di bawah suhu badan.

Jadi setelah disisipkan ke dalam rektum sediaan padat ini akan meleleh dan

melepaskan zat aktifnya yang selanjutnya terserap dalam aliran darah.

Secara rektal supositoria digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat

diserap oleh mukosa dalam rektum. Aksi kerja awal dapat diperoleh secara cepat,

karena obat diabsorpsi melalui mukosa rektal langsung masuk kedalam

sirkulasi darah, serta terhindar dari pengrusakan obat dari enzim didalam

saluran gastro-intestinal dan perubahan obat secara biokimia didalam hepar. Obat

yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dahulu

hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang mengakibatkan

obat terhindar dari tidak aktif.

Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:

a. lewat pembuluh darah secara langsung.

b. lewat pembuluh getah bening.

c. lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.

9
Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara langsung lewat

inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena

iliaca ke vena cava inferior. Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan

dimulai dari vena haemorrhoidalles inferior terutama vena haemorrhoidalles

superior menuju vena porta melalui vena mesentricum inferior. Saluran getah

bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu melalui saluran toraks yang

mencapai vena subclavula sinistra. Menurut Fabre dan Regnier pengaruh tersebut

hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.

E. Absorpsi Obat Melalui Rectum

Terdapat beberapa faktor yang harus diatasi untuk obat dapat diserap

setelah pemberian rektal. Jika obat diberikan dalam bentuk supositoria, pelelehan

atau pencairan basis harus terjadi dan hal ini akan menentukan penyebaran

dosis ke seluruh rektum. Obat juga harus melarut pada cairan rektal yang

jumlahnya terbatas, antara 1 ml sampai 3 ml. Jumlah obat yang tersedia untuk

diserap bisa dikurangi oleh isi lumen, adsorpsi isi lumen dan defekasi. Obat

kemudian harus berdifusi melewati air dan lapisan mucus menuju epithelium. Obat

bisa diserap melalui sel epitel atau melalui tight junction, dengan mekanisme

Transport pasif. Vena balik dari kolon dan vena di rektum atas merupakan vena portal

menuju ke hati. Jika obat diberikan pada bagian atas rektum, maka obat akan

diangkut ke sistem portal dan akan mengalami metabolisme lintas pertama

di hati. Satu-satunya cara menghindari metabolisme lintas pertama adalah

memberikan obat pada bagian bawah rektum.

10
Metode utama yang digunakan untuk memperbaiki absorpsi rektal dari obat

termasuk :

a. Modifikasi formulasi untuk memperbaiki tahap pelarutan dari obat-

obat yang kelarutannya dalam air kurang baik.

b. Modifikasi fungsi barrier dari mukosa membran rektal.

c. Modifikasi kimia dari obat untuk meningkatkan koefisien partisi.

F. Zat Terapeutik yang diberikan rektal

1. Antikonvulsan

Sebelum ini satu-satunya metode yang tersedia untuk memperoleh efek

terapi segera dari obat antikonvulsan untuk epilepsi hanya melalui rute

intravena. Namun pemberian intravena memiliki beberapa masalah teknis dalam

pemberiannya sehingga bentuk sediaan rektal menjadi alternatif rute pemberian

obat. Diazepam sangat cepat diserap dari larutan yang diberikan rektal dalam

pembawa propilenglikol-air-etanol pada sukarelawan sehat. Formulasi

supositoria diazepam efektif dan aman untuk pencegahan kejang pada anak-

anak sehingga formulasi dengan pelepasan yang tidak segera bisa digunakan

untuk terapi profilaksis. Pada pasien epilepsi dewasa, 10 mg diazepam

dalam 2 ml larutan intravena diberikan secara rektal dan konsentras obat

dalam serum sebanding dengan pemberian oral dari tablet 10 mg.

Bioavailabilitas rektal mencapai 81 %. Klonazepam, diberikan secara rektal

dalam bentuk suspensi 2,2 sampai 3,8 ml dalam campuran propilenglikol-

air, juga mengandung asam asetat,etanol dan benzilalkohol (Rivotril)

menunjukkan absorpsi yang sangat cepat. Natrium valproat diserap sempurna,

meskipun tidak cepat, dengan pemberian mikroenema aqueous (waktu

maksimum = 2,2 jam) pada sukarelawan sehat. Bioavailabilitas rektal natrium

11
valproat lebih baik dibandingkan sediaan tablet salut enteric. Suspensi

yang mengandung 200 mg karbamazepin yang mengandung 30 % sorbitol

menunjukkan bioavailabilitas rektal 80 % yang relative sama dengan suspensi

oral.

2. Analgetik dan antiarthritis

Pemberian oral analgesik narkotik untuk pengobatan paska operasi dan nyeri

pada kanker sering menyebabkan mual dan muntah atau kondisi pasien yang

buruk. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa morfin yang diberikan

rektal memiliki bioavailabilitas yang bervariasi dibandingkan injeksi

intramuscular, 30-70 % jika diberikan dalam gel yang mengandung amilum,

dan 40-88 % dari supositoria padat berlemak. Peningkatan pH dari

mikroenema rektal morfin dari 4,5 menjadi 7,4 secara signifikan meningkatkan

jumlah aborpsi obat. Hidrogel juga digunakan sebagai pembawa untuk

morfin, menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih rendah dan tertahan

dibandingkan pemberian intramuskular.

3. Antiemetik

Antiemetik yang diberikan oral memiliki banyak kekurangan sehinggal

pemberian rektal dari alizaprid, prometazin dan metoklorpramid diteliti.

Pemberian rektal alizaprid dalam bentuk supositoria menghasilkan rata-rata

bioavailabilitas 61 % dibandingkan bolus intravena. Baik alizaprid dan

prometazin memiliki profil absorpsi yang lebih lambat pada pemberian rektal

dibandingkan pemberian oral dan intramuscular. Prometazin juga meyebabkan

iritasi rektal yang cukup signifikan. Pada manusia, mikroenema aqueous

memberikan absorpsi yang sangat cepat dan bioavailabilitas absolute

12
sempurna. Keuntungan lain dari pemberian metoklorpramid secara rektal

adalah tidak terjadinya metabolisme lintas pertama.

4. Zat Antibakteri

Metronidazol digunakan luas untuk profilaksis dan pengobatan

infeksi bakteri anaerob. Untuk alasan praktis dan ekonomi,

dikembangkan formulasi rektal metronidazol. Obat ini diserap dengan sangat

cepat tetapi tidak sempurna dalam formulasi suspensi. Ampisilin

penyerapannya tidak baik pada rektum dan dapat menyebabkan iritasi mukosa

dan diare.

5. Xantin

Absorpsi teofilin dari larutan rektal sama dengan larutan oral,

danumumnya terjadi sangat cepat dan sempurna. Meskipun demikian,

absorpsi dari supositoria bisa bervariasi dan tidak sempurna. Menariknya,

teofilin sangat baik diabsorpsi ketika diberikan melalui rectal osmotic

delivery device, meskipun jumlah air yang tersedia di rektum sangat rendah.

6. Obat-obat pada penyakit inflammatory bowel disease

Mesalazine adalah zat yang aktif secara local dari sulfasalazin yang digunakan

dalam pengobatan inflammatory bowel disease. Obat ini dilepaskan dari bentuk

sediaan oral di kolon oleh bakteri yang memecah ikatan azo. Obat ini sering

diberikan dalam bentuk enema, umumnya pada pasien dengan penyakit ulcerative

colitis pada kolon.

7. Obat kardiovaskular

Penghantaran obat kecepatan terkontrol dari nifedipin oleh osmotic

delivery device pada sukarelawan sehat menghasilkan konsentrasi plasma

tunak, dengan penurunan tekanan darah tanpa menyebabkan takikardia reflex.

13
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penghantaran obat rektal bertujuan antara lain untuk mencegah kerusakan obat

di saluran gastrointestinal, menghindari efek metabolisme lintas pertama dan

untuk pasien yang kesulitan untuk menelan. Formulasi untuk penghantaran obat

rektal antara lain supositoria padat, enema, larutan, suspensi, gel, salep dan

sediaan controlled releasePenghantaran obat rektal bisa menjadi alternatif

pemberian obat untuk meningkatkan absorpsi dan bioavailabilitas obat.Nasib obat

dalam tubuh ketika diberikan dalam bentuk sediaan supositoria padat adalah

basis supositoriameleleh atau melarut dan melepaskan zat aktif, kemudian zat

aktif melarut dalam cairan rektum, kemudian diserap pada membranmukosa

rectum menuju sirkulasi sistemik atau memberi efek lokal. Dalam bentuk

supositoria cair, penambahan poloxamer akan membuat supositoria berbentuk gel

ketika masuk ke dalam rectum karena peningkatan suhu sehingga mencegah

terjadinya kebocoran dan mencegah sediaan mencapai ujungatas kolon, gel melarut

dalam cairan rectum kemudian obat dilepaskan melalui mekanisme difusi.

Sediaan supositoria sustained release dimaksudkan untuk meningkatkan

absorpsi dan memperpanjang efek farmakologi obat. Supositoria SR dapat dibuat

dengan polimer mukoadhesif, teknologi proniosomal dalam basis hidrofilik atau

emulsifikasi basis lemak dengan surfaktan non ionicyang bekerja dengan

penjebakan obat pada lapisan ganda yang terbentuk yang memperlambat

pelepasan obat.Absorpsi pada penghantaran obat rektal bergantung pada faktor

fisiologis seperti isirektumdan pH juga faktor fisikokimia obat dan basis seperti

14
koefisien partisi, kelarutan, ukuran molekular, danmuatan. Untuk meningkatkan

dan mengoptimalkan absorpsi pada penghantaran obat rektal bisa dilakukan

melalui modifikasi formulasi untuk memperbaiki tahap pelarutan dari oba-obat

yang kelarutannya dalam air kurang baik, modifikasi fungsi barrier dari mukosa

membranrektal, modifikasi kimia dari obat untuk meningkatkan koefisien

partisi.Penambahan surfaktan dan polimer mukoadhesif dapat mengubah

kecepatan pelepasan obat tergantung tipe surfaktan, polimer serta basis yang

digunakan.

B. SARAN

Pemberian obat yang tepat dan sesuai dengan dosis adalah salah satu tanggung

jawab penting bagi seorang perawat. Terutama bila dilakukan perawatan dan proses

penyembuhan yang dilakukan di tempat pelayanan kesehatan seperti hal nya rumah

sakit dan puskesmas. Meskipun obat bermanfaat bila digunakan sesuai dengan dosis

serat aturan paki , namun bukan berarti tanpa reaksi yang merugikan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Z. Aditya,N.,Swamy, N. 2013. Fabrication and in vitro Evaluation of

Mucoadhesive, Thermoreversible, in situ Gelling Liquid Suppository of

Chloroquine Phosphate.Indian Journal of Novel Drug Delivery.

Diaksesdari http://www.ijndd.com/apr-jun2013/1.%20Research%20article

IJNDD%20Apr-Jun%202013_60-70_SWAMY%20NGN.pdf pada tanggal 3 Mei

2018

Aulton, M. 2007. Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design. Churchill

Livingstone. London

Baviskar, P.dkk. 2013. Drug Delivery on Rectal Absorption : Suppositories.

International Journal of Pharmaceutical Science Review and Research.

Diakses dari http://www.mdpi.com/1422-0067/15/1/342/pdf pada tanggal 3 Mei

2018

Eman,G.dkk. 2012. Sustained Release Rectal Suppositories as Drug Delivery

Systems for Atenolol. Journal of American Science 2012. Diakses dari

http://www.jofamericanscience.org/journals/amsci/am0812/046_12416am0812_323_

332.pdfpada tanggal 3 Mei 2018

16

Anda mungkin juga menyukai