DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
TAHUN 2013-2014
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH:
AHMAD NABIL ATIYYUL JALIL
1112103000076
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat
dan inayah-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan judul “Profil
Pasien Pneumonia Komunitas di RSUD Cengkareng Tahun 2013-2104”.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, dalam
kesempatan kali ini kami ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-
tingginya dan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. DR. Arif Sumantri, SKM, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Achmad Zaki, M.Epid, SpOT selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter.
3. dr. Sayid Ridho, Sp.PD, FINASIM dan dr. Dwi Tyastuti, MPH, PhD
selaku dosen pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan kami dalam penyusunan
penelitian ini.
4. dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS selaku penanggung jawab
riset mahasiswa PSPD 2012.
5. Kepala Rekam Medik Rumah Sakit Daerah Cengkareng Bu Gadis yang
telah mengizinkan kami untuk melakukan penelitian ini.
6. Kedua Orang tuaku tercinta, Aminin dan Mufarokhah yang selalu
mencurahkan kasih sayangnya, mendukung dalam suka dan duka, dan
selalu mendoakan yang terbaik untuk putra-putrinya.
7. Kepada adik yang tercinta Khobiroh Li Ilmillah dan Qonita Izzati yang
telah banyak mendukung, semangat dan do’anya, sehingga tugas ini
dapat diselesaikan.
v
8. Kelompok riset Ahmad Sofyan, Alwi Muarif, Muhammad Aulia Fahmi
dan Najib Askar yang selalu bekerja sama dalam suka maupun duka
untuk menyelesaikan penelitian ini.
9. Teman-teman Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2012, dan
semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat
terselesaikan.
Saya sadari penyusunan laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi
kesempurnaan penelitian ini.
vi
ABSTRAK
Ahmad Nabil Atiyyul Jalil. Program Studi Pendidikan Dokter. Profil Pasien
Pneumonia Komunitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Tahun
2013-2014.
Pneumonia komunitas merupakan penyakit infeksi parenkim paru yang terjadi pada
masyarakat atau di luar lingkungan rumah sakit. Di Indonesia pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6. Hal ini menjadikan diagnosis dini
pneumonia sangat penting untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil penyakit pneumonia komunitas.
Jenis penelitian yang digunakan adalah potong lintang yang menggunakan sampel
sebanyak 97 pasien yang dirawat di RSUD Cengkareng dari bulan Januari 2013
sampai Desember 2014. Dari hasil penelitian didapatkan, jenis kelamin laki-laki
berjumlah 47 pasien (48,5%) dan jenis kelamin perempuan 50 pasien (51,5%).
Dengan kelompok umur remaja akhir (17-25 tahun) sebanyak 11 pasien (11,3%),
kelompok umur dewasa (26-45 tahun) 31 pasien (32%), dan kelompok umur
pertengahan (45-59 tahun) 55 pasien (56,7%). Gambaran gejala klinis yang
menonjol, sesak napas 76 keluhan (78,4%), batuk 75 keluhan (77,3%), dahak 52
keluhan (53,6%), demam 54 keluhan (55,7%), nyeri dada 21 keluhan (21,6%), suara
napas ronkhi 46 keluhan (47,4%), mual 72 keluhan (74,2%), muntah 43 keluhan
(44,3%), lemas 42 keluhan (43,3%), dan nyeri perut 27 keluhan (27,8%). Penyakit
penyerta tersering adalah penyakit paru kronik 30,9% pasien. Sedangkan angka
mortalitas penelitian adalah sebanyak 16 pasien (16,5%).
Kata kunci : Pneumonia komunitas, Gambaran klinis
ABSTRACT
Ahmad Nabil Atiyyul Jalil. Medical Student Program. Profile of Community-
Acquired Pneumonia at the General Hospital of Cengkareng period 2013-
2014.
Community-acquired pneumonia is an infectious disease of lung parenchym that
occurs in the community or outside the hospital environment. In Indonesia
pneumonia is the sixth leading cause of death. It makes early diagnosis of CAP is
critical to reduce morbidity and mortality. This study was conducted to determine
the profile of community-acquired pneumonia. This is cross-sectional research with
samples were 97 patients who admitted to Cengkareng Hospital. From the results,
the male gender amounts to 47 patients (48.5%) and female gender of 50 patients
(51.5%). At the end of the adolescent age group (17-25 years) of 11 patients
(11.3%), adult age group (26-45 years) 31 patients (32%), and the middle age group
(45-59 years) 55 patients ( 56.7%). Most common clinical manifestation are,
dyspneu 76 complaints (78.4%), cough 75 complaints (77.3%), sputum 52
complaints (53.6%), fever 54 complaints (55.7%), chest pain 21 complaints
(21.6%), ronchi breath sound 46 complaints (47.4%), nausea 72 complaints
(74.2%), vomiting 43 complaints (44.3%), fatigue 42 complaints (43.3%), and 27
complaints of abdominal pain (27.8%). The most common comorbid disease is
chronic lung disease 30,9% patients, while the mortality rate of the study was 16
patients (16.5%).
Keywords: Community-acquired pneumonia, Clinical manifestation
vii
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ................................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah ...........................................................................................2
1.3.Tujuan Penelitian ............................................................................................3
1.3.1. TujuanUmum......................................................................................3
1.3.2. TujuanKhusus.....................................................................................3
1.4.ManfaatPenelitian ...........................................................................................3
1.4.1. Bagi Peneliti ......................................................................................3
1.4.2. Bagi Masyarakat ................................................................................3
1.4.3. Bagi Institusi......................................................................................3
viii
2.1.6.6. Mual dan Muntah................................................................33
2.1.7. Diagnosis ...........................................................................................36
2.1.7.1. Diagnosis Klinis .................................................................36
2.1.7.2. Diagnosis Etiologi ..............................................................37
2.1.8. Prognosis ...........................................................................................39
2.1.9. Pencegahan ........................................................................................39
2.2. Kerangka Teori ..............................................................................................41
2.3. Kerangka Konsep ..........................................................................................42
2.4. Definisi Operasional ......................................................................................43
ix
Subjek Penelitian ...............................................................................86
4.4.4. Karakteristik Pemeriksaan Sputum Penyerta Subjek Penelitian .......86
4.5. Karakteristik Pengobatan Antibiotik Subjek Penelitian.................................87
4.6. Karakteristik Status Akhir Subjek Penelitian.................................................89
x
DAFTAR TABEL
xi
(PSI)...................................................................................................86
Tabel 4.17. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Pemeriksaan Sputum.......................86
Tabel 4.18. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Pengobatan Antibiotik.....................87
Tabel 4.19. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Status Akhir.....................................89
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR GRAFIK
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
DAFTAR SINGKATAN
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui profil pasien pneumonia komunitas di Rumah Sakit Umum
Daerah Cengkareng tahun 2013-2014.
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Institusi
Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan institusi
mengenai profil pasien dengan pneumonia komunitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Orang dewasa memiliki 10 sampai 100 juta bakteri per millimeter sekret
orofaring dan dapat meningkat sampai 50% ketika tidup terlelap melalui
aspirasi sekret faring. Sekret orofaring teraspirasi lebih sering pada kondisi
koma, kejang, kejadian cerebrovaskular, peminum alkohol dan overdosis obat
penghambat SSP.
Pneumonia komunitas terdiri dari dua kata, yaitu pneumonia dan komunitas.
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru.
Sedangkan komunitas menurut KBBI adalah kelompok orang yang hidup dan
saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Adapun definisi dari pneumonia
komunitas itu sendiri adalah suatu infeksi pada parenkim paru yang terjadi di
7
komunitas bukan di rumah sakit, fasilitas perawatan intensif, atau kontak dengan
fasilitas kesehatan lain. Meskipun penyebab pneumonia sudah diketahui baik
diakibatkan oleh infeksi bakteri, virus maupun mikroorganisme lainnya, seringkali
pneumonia tidak terdiagnosis atau tidak terobati dengan optimal, karena gejala
klinis pneumonia hampir serupa dengan penyakit infeksi saluran napas bawah
lainnya.3
a. Kongesti
Lobus yang terinfeksi menjadi berat, merah, dan kotor.
Gambaran histologinya, terlihat kongesti pada pembuluh darah
dengan cairan proteinaceous, sebaran neutrofil, dan banyak bakteri
di dalam alveolus.
b. Hepatisasi merah
Lobus yang terinfeksi memiliki konsistensi yang mirip dengan
liver, ruang alveolus terisi dengan neutrofil, sel darah merah, dan
fibrin
c. Hepatisasi abu-abu
Lobus menjadi kering, abu-abu, dan padat, karena adanya lisis
pada sel darah merah. Dibarengi dengan eksudat fibrinospuratif di
alveolus.
d. Resolusi
Terjadi ketika pneumonia tidak mengalami komplikasi. Adanya
proses enzimatik mencerna eksudat alveolus untuk menghasilkan
granular. Debris-debris cairan juga diserap dan dicerna melalui
makrofag, batuk, atau fibroblast.
10
B. Bronkopneumonia
Disebabkan infeksi bakteri akut yang mengenai bronkiolus terminal,
memiliki ciri eksudat purulent, yang meluas ke sekitar alveolus melalui rute
endobronkial, yang menghasilkan gambaran konsolidasi. Hal ini sering
terlihat pada usia lanjut usia yang berhubungan dengan kelemahan kronik.
Etiologi penyebabnya biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, B
Haemolytic streptococci, Haemophilus influenza, Klebsiella pneumonia dan
Pseudomonas.
C. Pneumonia Intersisial
Proses inflamasi yang disebabkan oleh infeksi virus atau mikoplasma,
dapat mengakibatkan terjadinya pneumonia intersisial tanpa eksudat
alveolar. Karakteristik tipe pneumonia ini adalah adanya edema pada septal
alveolar dan infiltrat mononuklear. Etiologinya disebabkan oleh
Mycoplasma pneumonia, virus sinsitial sistem pernapasan, virus influenza,
adenovirus, citomegalovirus, Chlamydia, dan Coaxiella.
12
2.1.3. Epidemiologi
2.1.4. Etiologi
Tanda dan gejala dari patogen atipikal dan patogen tipikal dapat dibedakan
berdasarkan gambar berikut:
16
Tabel 2.4. Perbedaan Tanda dan Gejala dari Pneumonia Atipik dan
Pneumonia Tipik3
Penyebab paling sering dari pneumonia bakteri, baik yang didapat dari
komunitas (sekitar 75% dari seluruh kasus) maupun dari rumah sakit.
Patogenesisnya berawal dari bakteri pneumokokus mencapai alveoli melalui
18
percikan mukus atau saliva. Paru bawah menjadi lokasi tersering karena efek gaya
gravitasi. Setelah masa inkubasi, dalam 4 – 12 jam awal terjadi kongesti yakni
eksudat sukrosa dari pembuluh darah yang vasodilatasi keluar menuju alveoli. 48
jam berikutnya, hepatisasi merah yakni paru tampak merah karena sel-sel darah
merah, fibrin dan PMN mengisi alveoli. Setelah 3-8 hari, hepatisasi kelabu akibat
fibrin dan leukosit mengisi alveoli. Terakhir, terjadi resolusi dalam waktu 7 – 11
hari akibat eksudat mengalami lisis dan reabsoprsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali utuh seperti semula. 6,9,10,11,12,,13
Pada kondisi yang terakhir, lebih rentan terhadap infeksi karena limpa
mengandung sel imun dalam jumlah besar dan juga limpa merupakan organ yang
dapat mendegradasi pneumokokkus dari darah. Selain itu, limpa juga merupakan
organ penting yang memproduksi antibodi melawan polisakarida , di mana
polisakarida merupakan kapsul yang melapisi bakteri. Pemeriksaan pewarnaan
Gram sputum adalah pemeriksaan penting untuk mendiagnosis pneumonia
komunitas ini. Adanya sejumlah neutrofil dan gambaran khas Gram-positif, bentuk
batang diplokokkus merupakan bukti adanya pneumonia pneumokokkus. Akan
tetapi, yang perlu diingat, S. pneumonia juga merupakan flora normal endogen,
sehingga sewaktu-waktu hasil pemeriksaan dapat menjadi positif palsu.
Pemeriksaan lebih spesifik, yaitu isolasi terhadap pneumokokkus. Pada fase awal
sakit, kultur darah mungkin postif sampai 20-30% pada pasien dengan pneumonia.
Ketika hasilnya merupakan patogen S. pneumonia, maka pemberian antibiotik
harus spesifik. Adapun pencegahan terhadap penyakit ini, berupa vaksin
pneumokokkus yang berisi kapsul polisakarida yang diambil dari beberapa serotype
19
bakteri, dan hasilnya efektif, terutama pada pasien yang memiliki risiko terhadap
14,15
infeksi pneumokokkus.
A. Kapsul Polisakarida
B. Pili Pneumokokkus
C. Biofilm
D. Hidrogen Peroksida
Selain itu, piruvat oksidase dapat bertindak sebagai sensor status oksigenasi
dari lingkungan mikroba, pengatur asupan gizi dan ketebalan kapsul anti-
fagosit.
E. Protein Permukaan
a. Autolisin
e. Neuraminidase
f. Hialuronidase
g. Pneumolisin
Pneumonia merupakan hasil dari reaksi antara imun host terhadap bakteri
yang berpoliferasi di alveolar paru. Jalur tersering masuknya infeksi ke saluran
napas bawah adalah melalui aspirasi sekret orofaring, maka nasofaring dan
orofaring berkontribusi sebagai pertahanan lini pertama untuk mencegah infeksi.
Mikroorganisme dapat mencapai saluran pernapasan bawah melalui berbagai cara,
namun umumnya mikroorganisme ini masuk dengan cara aspirasi orofaring via
droplet, dalam jumlah yang sedikit dan tersering pada saat pasien sedang tidur
(khususnya pasien tua) dan pada pasien yang mengalai penurunan kesadaraan. Jalur
infeksi lain adalah melalui inhalasi udara yang sudah tercemar dengan
mikroorganisme ketika penderita lain batuk, bersin, atau berbicara, atau juga
25
inhalasi air aerosol yang terkontaminasi dari peralatan terapi respirasi. Jalur infeksi
ini merupakan jalur utama pada pneumonia viral, mikobakterial, dan wabah
Legionella. Selain itu, walaupun jarang terjadi pneumonia juga dapat muncul dan
menyebar melalui peredaran darah (seperti pneumonia dari endokarditis trikuspid),
penyebaran infeksi yang berasal dari infeksi pleura dan ruang mediatinum, atau
penggunaan obat-obatan intravena.
Pada individu yang sehat, patogen yang masuk ke paru akan dieliminasi
oleh mekanisme pertahanan tubuh. Jika mikroorganisme tersebut mampu melewati
pertahanan tubuh saluran napas atas, seperti reflex batuk dan klirens mukosiliar, lini
pertahanan selanjutnya adalah sel epitel saluran napas. Sel epitel saluran napas
dapat mengenali beberapa patogen secara langsung (seperti P. aeruginosa dan S.
aureus). Tetapi sel pertahanan tubuh utama pada saluran napas bawah adalah
makrofag alveolus. Makrofag ini dapat mengenali patogen melalui reseptor
pengenal yaitu Toll-like receptors (TLR) yang dapat mengaktivasi respon imun
bawaan dan didapat. Pelepasan TNF-α dan IL-1 dari makrofag berkontribusi untuk
penyebaran inflamasi paru dengan merekrut neutrofil polimorfonuklear (PMN).
PMN akan bermigrasi dari kapiler paru ke alveolus. PMN juga memiliki fungsi
fagosit yang dapat membunuh mikroba melalui pembentukan fagolisosom yang
terisi enzim degradatif, protein antimikroba, dan radikal oksigen toksik. PMN juga
dapat menginduksi protein neutrophil extracellular trap (NET) yang dapat
menangkap dan membunuh bakteri yang belum terfagositosis. Sayangnya banyak
patogen, seperti pneumokokkus, dapat melepaskan DNase yang dapat memecah
NET sehingga dapat melepaskan diri dari pertahanan PMN. Sebagai tambahan,
untuk mengaktivasi PMN, makrofag juga menyajikan antigen infeksius ke system
imun adaptif yaitu dengan aktivasi sel T dan sel B yang nantinya menginduksi
imunitas selular dan humoral. Pelepasan mediator inflamasi dan kompleks imun
dapat merusak membrane mukus bronkus dan membrane alveolokapiler, yang
menyebabkan asinus dan bronkiolus terminal terisi dengan debris infeksius dan
eksudat. Sebagai tambahan, beberapa mikroorganisme dapat melepaskan toksin
dari dinding selnya yang menyebabkan kerusakan paru lebih lanjut. Akumulasi
eksudat di asinus dapat menyebabkan sesak napas dan hipoksemia.
26
Tetapi, saat semua sistem pertahan di atas hilang atau ketika terdapat
mikroorganisme berukuran sangat kecil terinhalasi ke dalam alveolar, maka akan
terjadi reaksi dari makrofag residen alveolar terhadap mikroorganisme. Makrofag
diaktifkan oleh protein lokal (seperti protein surfaktan A dan D) yang memiliki
kemampuan opsonisasi terhadap bakteri, antibakteri, antiviral. Setelah dilemahkan
oleh makrofag bakteri akan dieliminasi melalui bersihan mukosiliar atau melalui
sistem limfatik. Manifestasi pneumonia timbul hanya ketika jumlah makrofag yang
melawan mikroorganisme lebih banyak sehingga memicu timbulnya reaksi
inflamasi yang menjadi respon umum pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pelepasan
mediator inflamasi seperti interleukin (IL)-1 dan tumor nekrosis faktor (TNF), akan
menimbulkan gejala klinis berupa demam. Chemokins, seperti IL-8 dan granulosit
colony-stimulating factor akan menstimulasi pelepasan neutrofil ke paru dan
menyebabkan leukosistosis perifer dan meningkatkan sekresi cairan purulen.
Mediator inflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil yang baru
membuat bocornya kapiler alveolar yang serupa dengan acute respiratory distress
syndrome (ARDS), walaupun pada pneumonia kebocoran ini terlokalisir. Saat
terjadi kebocoran, eritrosit dapat melewari membran alveolar-kapiler, dengan
gejala klinis berupa hemoptisis. Dari gambaran radiologi, kebocoran ini akan
tampak sebagai gambaran infiltrat dan pada auskultasi akan terdengar rales, serta
hipoxemia akibat dari pengisian alveolar.
dan suara yang mudah dikenali. Batuk merupakan gejala paling umum pada
gangguan respirasi, yang mana memiliki fungsi pertahanan saluran napas dari
substansi asing, dan menjaga patensi jalan napas dengan mengeluarkan sekret dari
jalan udara.
Efek dinamis dari batuk adalah pembentukan kecepatan aliran udara pada
jalan napas yang cukup kuat untuk mengeluarkan secret yang terakumulasi di
permukaan mukosa. Mesikpun pada umumnya batuk merupakan reflek volunteer,
namun terkadang batuk dapat menjadi reflek fisiologis. Reflek batuk diperantarai
oleh lengkung reflek pada reseptor sensori yang akan terus berjalan ke serabut saraf
aferen, sistem saraf pusat, serabut saraf eferen, dan otot efektor.
Tekanan intrapulmonari yang sangat tinggi yang dihasilkan pada dua fase
terakhir menghasilkan aliran udara yang sangat cepat dari paru-paru setelah glottis
terbuka. Selain itu, perbedaan tekanan antara bagian luar dan dalam jalur udara
intrathorak selama fase ke-4, menyebabkan kompresi yang dinamis dan adanya
penyempitan. Kombinasi dari aliran udara yang tinggi dan saluran napas yang
menyempit menghasilkan aliran udara dengan kecepatan linier dan terkadang
mendekati kecepatan suara.
Karakteristik suara batuk dihasilkan akibat adanya getaran pada pita suara,
lipatan mukosa atas, dan bawah glottis, serta akumulasi secret. Perbedaan pada
suara batuk dikarenakan beberapa faktor, yaitu sifat dan kuantitas sekret, perbedaan
anatomi, dan perubahan patologi laring dan jalur napas lain, serta adanya gaya
paksa batuk. Getaran batuk ini juga berguna untuk meluruhkan secret yang berada
di dinding jalan napas.
Reflek batuk ini memiliki peran penting dalam membersihkan secret yang
berada pada jalan napas perifer di mana kerja dari klirens mukosiliar terganggu.
Terdapat mekanisme bagaimana batuk dapat membersihkan secret pada jalan napas
perifer yaitu dengan mekanisme “milking”. Mekanisme ini terjadi pada jalan napas
terkecil sehingga secret akan terperas ke atas melewati bronkus.
Batuk akut adalah batuk yang pulih dalam waktu 2-3 minggu setelah onset
penyakit atau pulih dengan penanganan pada penyakit yang mendasarinya.
Sedangkan batuk kronik adalah batuk yang menetap dalam waktu lebih dari 3
minggu, mesikpun penelitian lain berpendapat 7-8 minggu. Pada pneumonia
komunitas lebih sering pada batuk akut, namun dapat timbul batuk kronik jika
pasien memiliki riwayat merokok.
sel atau jaringan nekrosis, muntah yang teraspirasi, atau partikel asing lain.
Penampakan kasar dan pemeriksaan fisik lain pada sputum, tergantung pada
material yang terdapat pada sputum. Sputum mukoid biasanya jernih dan kental,
hanya mengandung sedikit elemen mikroskopis. Sedangkan sputum purulent
biasanya berwarna, seperti kuning atau hijau, dan keruh. Ini menandakan adanya
sel darah putih dalam jumlah besar, khususnya granulosit neutrofil.
a. Inhalasi mikroorganisme.
b. Aspirasi bakteri dari saluran napas atas.
c. Penyebaran dari tempat infeksi lain.
d. Penyebaran hematogen.
Pada reaksi inflamasi, ruang udara alveolus akan terisi dengan cairan
eksudasi kaya protein. Sel-sel inflamasi (pada fase akut neutrofil, kemudian
makrofag, dan limfosit pada fase kronik) akan secara bertahap menginvasi dinding
alveolus. Akibat adanya akumulasi eksudasi inflamasi ini pada ruang alveolus,
sehingga membuat dinding alveolus menjadi tebal, yang mengakibatkan terjadinya
gangguan difusi oksigen dan karbondioksida di alveolus. Gangguan difusi ini
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia pada pembuluh darah arteri
disertai penurunan pH. Ketika terjadi hipoksemia, maka kemoreseptor yang berada
di badan aorta dan badan karotis akan teraktivasi, sehingga merangsang pusat
pernapasan di medulla. Di medulla terdapat dua kelompok neuron, yang dikenal
sebagai kelompok respiratorik dorsal (KRD) dan ventral (KRV). Pada hipoksemia
akan teraktivasi KRV yang mana akan memperkuat ventilasi, sehingga pada pasien
pneumonia akan terlihat frekuensi pernapasan meningkat. KRV ini akan
merangsang neuron motorik yang menyarafi otot-otot abdomen dan interkosta,
sehingga kebutuhan oksigen tercukupi. Keadaan hiperkapnia pun juga merangsang
peningkatan ventilasi melalui peningkatan H+ yang dihasilkan oleh
karbondioksida. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan kelebihan CO2, jika tidak
maka kelebihan CO2 dapat mengakibatkan kematian dan juga asidosis respiratorik.
Mekanisme kompensasi lainnya yaitu vasodilatasi jaringan pembuluh darah dan
juga peningkatan frekuensi nadi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung
sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki.
32
Pada infeksi pneumokokkus, kerusakan juga terjadi pada sel alveolus tipe II
dan menempel pada dinding alveolus, sehingga terjadi penyampuran eksudasi, sel
darah merah, sel darah putih, dan fibrin. Hal ini yang menyebabkan eksudasi
menjadi padat atau yang lebih dikenal konsolidasi. Sehingga memperparah
gangguan proses difusi pada kapiler alveolus. Eksudasi pada alveolus juga
merupakan tempat yang tepat untuk terjadinya multiplikasi bakteri dan penyebaran
infeksi melalui pori Kohn ke jaringan sekitarnya.
2.1.6.5. Demam18
untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakidonat. Asam arakidonat yang
dikeluarkan akan merangsang pengeluaran prostaglandin (PGE2). Prostaglandin
inilah yang akan mempengaruhi kerja dari thermostat hipotalamus untuk
meningkatkan patokan thermostat. Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu di
tingkat yang baru dan tidak mempertahankannya di suhu normal tubuh. Setelah
suhu baru tercapai maka suhu tubuh diatur sebagai normal dalam respons terhadap
panas dan dingin tetapi dengan patokan yang lebih tinggi.
Muntah adalah pengeluaran isi lambung dengan kekuatan secara aktif akibat
adanya kontraksi abdomen, pilorus, elevasi kardia, disertai relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah dan dilatasi esofagus. Muntah merupakan respon somatik
refleks yang terkoordinir secara sempurna oleh karena bermacam-macam
rangsangan, melibatkan aktifitas otot pernapasan, otot abdomen dan otot diafragma.
a. Nausea (Mual)
b. Retching
c. Ekspulsi
Sumber. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, dkk. Infectious diseases society of
america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults. CID.2007;44:S54.
36
Sumber. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, dkk. Infectious diseases society of
america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults. CID.2007;44:S54.
2.1.7. Diagnosis2,3,21
Pada pasien yang terpasang intubasi atau dirawat di ICU, samel dapat
diambil dari bronkoskopi atau non-bronkoskopi yang dimasukkan ke
bronkoalveolar pasien. Sampel tersebut memiliki hasil yang lebih akurat ketika
dalam pengiriman ke laboratorium mikrobiologi secepat mungkin. Manfaat yang
paling utama dan terbesar, seorang dokter melakukan pemeriksaan pewarnaan
Gram dan kultur sputum adalah untuk tetap berhati-hati terhadap pathogen yang
tidak diduga sebelumnya dan pathogen yang resisten. Sehingga membutuhkan
modifikasi dalam terapinya.
B. Kultur Darah
C. Tes Antigen
tersebut dapat dipercaya. Tes antigen yang lain termasuk tes rapid virus influenza
dan tes antibodi fluorescen direk virus influenza dan virus sinsitial respiratori,
memiliki sensitif yang rendah.
D. PCR
E. Serologi
Pada kondisi di antara akut dan fase sembuh, terdapat peningkatan titer
antibodi IgM spesifik sebesar empat kali, maka pada kondisi sampel serum tersebut,
dapat dipertimbangkan diagnosis infeksi pathogen. Tes serologi pada zaman
dahulu, digunakan untuk mengidentifikasi pathogen atipikal. Namun sekarang,
jarang digunakan, karena membutuhkan waktu dalam mendapatkan hasil akhir
untuk sampel fase sembuh.
2.1.8. Prognosis3
2.1.9. Pencegahan3,6,10,21
tidak terproteksi dari komplikasi, dianjurkan untuk diberikan vaksin segera dan
pemberian kemoprofilaksis dengan oseltamivir dan zanamivir untuk 2 minggu,
sampai vaksin menginduksi antibody sudah signifikan tinggi. Pada perokok yang
bahkan tanpa penyakit paru obstruktif, harus ditekankan untuk berhenti merokok,
karena risiko tinggi untuk infeksi pneumococcus.
Evaluasi pasien
pneumonia komunitas
< 60 tahun
Penatalaksanaan
Antibiotik
Status akhir
43
diantaranya
Instansi Gawat
Darurat (IGD) dan
Poli Umum.
9. Lama Hari Lama pasien Rekam Baca Kategorik Kategori:
Inap dirawat inap Medis Ordinal 0-5 hari=1
dalam hari dari 5-10 hari=2
pertama kali 11-15=3
masuk rawat inap 16-20=4
sampai terakhir
dirawat.
10. Indeks Massa Indikator Rekam Baca Kategorik Kategori:
Tubuh (IMT) sederhana dari Medis Ordinal ≤18,5=1,
korelasi berat Underweight
badan dan tinggi 18,5-24,9=2,
badan, dengan Normal
mengukur berat 25-29,9=3,
badan dan tinggi Pre-obesitas
badan pasien yang 30-34,9=4,
tercantum di Obesitas
rekam medis derajat I
dengan rumus 35-39,9=5,
IMT=BB(kg)/ Obesitas
TB(m)2.26 derajat II
≥40=6,
Obesitas
derajat III
11. Batuk Refleks penting Rekam Baca Kategorik Kategori:
yang membantu Medis Nominal Tidak=0,
membersihkan Tidak ada
jalan napas ketika batuk
terdapat sejumlah
47
pneumonia Trombosit:
komunitas. 7 >100.000/mm
3
=0
<100.000/mm
3
=1
Leukosit
>4.000/mm3
=0
<4.000/mm3
=1
30. Analisis Gas Suatu Rekam Baca Kategorik Kategori PSI:
Darah pemeriksaan Medis Ordinal pH arteri:
melalui darah >7,35 =0
arteri dengan <7,35 =1
tujuan p02:
mengetahui >60mmHg =0
keseimbangan <60mmHg =1
asam dan basa Sa02:
dalam tubuh, >90% =0
mengetahui kadar <90% =1
oksigen dan
karbondioksida
dalam tubuh. 10
31. Riwayat Kebiasaan, Rekam Baca Kategorik Kategori:
Pribadi dan perilaku atau Medis Nominal Merokok:
Sosial pajanan yang Tidak =0, jika
mempengaruhi tidak merokok
penyakit Ya =1, jika
pneumonia merokok
komunitas baik Alkohol:
dari faktor Tidak=0, jika
internal maupun
53
Neoplasma:
Tidak =0
Ya =1
33. Pemeriksaan Suatu tindakan Rekam Baca Kategorik Kategori:
Radiologi pemeriksaan Medis Nominal Infiltrat:
radiologi foto Tidak ada =0
rontgen regio Ada =1
thorak yang Orientasi:
dilakukan untuk Kanan =1
membantu dokter Kiri =2
dalam Kanan dan
menegakkan Kiri =3
diagnosis Lokasi:
pneumonia Basal =1
komunitas Mediobasal=2
berdasarkan, Lapang Atas
keberadaan =3
infiltrat, orientasi Perihilar =4
dan letaknya. Laterobasal=5
Basal dan
Perihilar =6
Lapang Atas
dan
Mediobasal=7
Kategori PSI:
Efusi Pleura:
Tidak =0
Ya =1
34. Infiltrat Infiltrat adalah Rekam Baca Kategorik Kategori:
gambaran pada Medis Nominal Tidak=0, jika
parenkim paru tidak ada
yang solid infiltrat
55
Ya =1
Micostatin,
Tidak =0
Ya =1
Alprazolam,
Tidak =0
Ya =1
Cetirizine,
Tidak =0
Ya =1
37. Meninggal Meninggal adalah Rekam Baca Kategorik Kategori:
sudah Medis Nominal Tidak
menghilangnya Meninggal=0
nyawa atau tidak Meninggal=1
hidup lagi.28
38. Gagal napas Gagal napas Rekam Baca Kategorik Kategori:
adalah sindrom Medis Nominal Tidak =0, jika
yang ditandai oleh masih hidup
peningkatan atau
permeabilitas meninggal
membran bukan akibat
alveolar-kapiler gagal napas
terhadap air, Ya =1, jika
larutan dan meninggal
protein plasma. 7 akibat gagal
napas.
39. Sepsis Sepsis adalah Rekam Baca Kategorik Kategori:
respons sistemik Medis Nominal Tidak =0, jika
pejamu terhadap masih hidup
infeksi di mana atau
patogen atau meninggal
toksin dilepaskan
58
BAB III
METODE PENELITIAN
n=
( . ) . .
n= ( . )
n = 385
60
Keterangan:
n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan
Zα = Derajat kepercayaan
p = Proporsi pasien pneumonia seluruh Indonesia
q = 1-p (proporsi pasien tidak pneumonia seluruh Indonesia)
d = Limit dari error atau presisi absolut
Kriteria Inklusi:
Kriteria Eksklusi:
Pasien balita (0-5 tahun), anak-anak (6-11 tahun), dan remaja awal (12-
16 tahun) (DEPKES 2009).
Rekam medis yang tidak tertera diagnosa pneumonia komunitas di
bawah usia 60 tahun.
3.4.1. Alat
Lembar penelitian
Program software SPSS 22
Alat tulis
3.4.2 Bahan
Persiapan penelitian
Perizinan kepada
pihak administrasi di
RSUD Cengkareng
Memeriksa rekam
medik pasien
pneumonia komunitas
di bawah usia 60 tahun
Identifikasi pasien
pneumonia komunitas
di bawah usia 60 tahun
Pengambilan data
Pengolahan
Kesimpulan
3.7. Variabel
Variabel bebas
Data yang telah terkumpul akan diolah dengan beberapa tahapan, meliputi:
Cleaning
Data dipilah terlebih dahulu dari rekam medis, mana data yang
diperlukan dan yang tidak diperlukan
Editing
Kelengkapan data diperiksa
Coding
Data yang sudah didapatkan dirubah menjadi kode yang mana akan
memudahkan untuk memasukkan data.
Entry
Data yang sudah diubah menjadi kode akan dimasukkan ke dalam
komputer untuk diolah dan dianalisa.
65
BAB IV
Pada penelitian ini, diketahui data jumlah jenis kelamin pada penderita
pneumonia komunitas di bawah usai 60 tahun. Di mana jenis kelamin perempuan
yang berjumlah 50 pasien (51,5%) mendominasi daripada jenis kelamin laki-laki
yang berjumlah 47 pasien (48,5%). Rasio kasus pneumonia komunitas di RSUD
Cengkareng antara laki-laki dan perempuan sekitar 1:1,1. Lebih tingginya frekuensi
jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki pada penderita pneumonia
komunitas, didukung oleh penelitian lain yang menyebutkan hal serupa. Penelitian
Viegi (2006) yang membahas epidemiologi pneumonia komunitas pada dewasa di
Italia, mendapatkan bahwa perempuan lebih banyak sebesar 53,3% dibandingkan
laki-laki yang berjumlah 46,7%.33
pajanan merokok dan alkohol yang merupakan salah satu faktor risiko pneumonia
komunitas.31,36
Akan tetapi dari data penelitian Malik (2012) bahwa walaupun ada
perbedaan dalam frekuensi jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pasien pneumonia komunitas terhadap jenis kelamin.31
Dari data penelitian ini, diketahui frekuensi pekerjaan yang paling tinggi
adalah karyawan swasta sebanyak 33 pasien (34%), diikuti ibu rumah tangga
sebanyak 31 pasien (32%). Berdasarkan data hasil penelitian ini, sosio-ekonomi
populasi pasien berada pada golongan yang masih rendah, sehingga menjadi risiko
terhadap penyakit pneumonia komunitas. Hal ini sesuai dengan penelitian Abdul
(2012) dan Loeb (2004), yang menyatakan adanya keterkaitan frekuensi penderita
pneumonia komunitas terhadap status sosio-ekonomi populasi. Pada penelitiannya
didapatkan, pada status sosio-ekonomi yang rendah menggambarkan frekuensi
yang tinggi terjadinya pneumonia komunitas (68,75%). Sehingga hubungan antara
frekuensi pneumonia komunitas dan status sosio-ekonomi berbanding terbalik. 36,41
Hal ini kemungkinan disebabkan, pada golongan sosio-ekonomi rendah tidak
mampu membayar biaya pengobatan sehingga memperberat penyakit dan
mempercepat kematian.36
Dari tabel 4.7, diketahui bahwa pasien yang dirawat paling lama adalah pada
rentang 6-10 hari dengan frekuensi 52 pasien (53,6), kemudian 0-5 hari 30 hari
(30,9%), 11-15 hari 12 pasien (12,4%), dan 16-20 hari 3 pasien (3,1%). Pada jurnal
American Thoracic Society (ATS) terapi minimum untuk antibiotik adalah 5 hari,
namun pada British Thoracic Society (BTS) terapi antibiotik minimum 7 hari. 36,37
Pada penelitian Ghazipura (2013) dikatakan bahwa tidak ada bukti yang signifikan
untuk perbedaan pemberian antibiotik baik yang diberikan lebih dari 7 hari maupun
kurang.45 Hal serupa juga terdapat pada penelitian Dimopoulus (2008) bahwa tidak
ada perbedaan efektivitas dan keamanan dari lamanya pemberian antibiotik pada
pasien pneumonia komunitas dewasa. 46
73
Pada tabel 4.8., hasil indeks masa tubuh (IMT) pada pasien CAP di RSUD
Cengkareng tahun 2013 hingga 2014, didapatkan dari 97 pasien yang memiliki data
antropometri (BB dan TB), terdapat jumlah yang lebih banyak pada pasien yang
normal 54,6% (53 pasien) di ikuti pasien yang IMT underweight 18,6% (18 pasien),
pasien pre-obesitas/overweight 10,3% (10,3 pasien), pasien obesitas derajat I 1,0%
(1 pasien) dan pasien obesitas derajat II 1,0% (1 pasien).
25
20
15
10
5
1
0
Merokok Alkohol
Gaya hidup seseorang dapat menjadi faktor risiko terhadap suatu penyakit
termasuk kebiasaan merokok dan minum-minuman alkohol. Pada hasil penelitian
ini diketahui frekuensi pasien dengan kebiasaan merokok sebesar 28 pasien (28,9%)
75
dan minum-minuman alkohol sebesar 1 pasien (1%). Jumlah yang tidak merokok
masih lebih banyak (71,1%) dibandingkan yang merokok. Hal serupa juga
didapatkan pada penelitian Zalacain (2003) pada populasi pneumonia komunitas di
Spanyol, frekuensi yang tidak merokok lebih banyak daripada yang merokok.27
Namun pada penelitian Abdullah (2012) di India frekuensi pasien pneumonia
komunitas yang merokok lebih banyak sebesar 74%.36 Merokok dapat menjadi
faktor risiko pneumonia komunitas berkaitan dengan efekya pada epitel saluran
napas dan klirens bakteri. Sehingga menyebabkan tidak berfungsinya sistem
pernapasan secara maksimal. Sedangkan alkohol dapat menekan sistem imun
bawaan dan didapat, sehingga dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya infeksi.
Merokok dan alkohol juga dapat meningkatkan kerentanan pasien untuk menderita
penyakit penyerta. Pada penelitian Torres (2013) mendapatkan adanya hubungan
pada merokok dan minum alkohol dengan pasien penderita pneumonia komunitas.
Di mana pasien yang memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol dapat
meningkatkan faktor risiko pneumonia komunitas dibandingkan dengan yang tidak
memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol.35 Bahkan pada penelitian Baik
(2000) mengatakan pada perokok yang telah berhenti merokok dalam tahun
keduanya, dapat menurunkan risiko pneumonia komunitas, di mana hal ini terjadi
karena adanya normalisasi sistem imun dan perbaikan jaringan paru.49
Dari hasil penelitian ini didapatkan pasien yang memiliki kebiasaan minum
alkohol hanya 1 orang (1%). Sama halnya dengan penelitian di India Abdullah
(2012) frekuensi yang meminum alkohol sedikit yaitu 6%.36 Pada penelitian
Almirall (2008) minum alkohol menjadi faktor risiko penting untuk pneumonia
komunitas, khususnya pada laki-laki dan yang telah mengonsumsi lebih dari 40 gr
setiap hari secara statistik lebih signifikan. Minum alkohol pada wanita tidak
menjadi faktor risiko terjadinya pneumonia komunitas, kemungkinan karena
prevalensi peminum alkohol pada wanita yang rendah.29 Namun pada penelitian
lain Baik (200) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik
pada efek alkohol terhadap pneumonia komunitas. Hal ini kemungkinan terjadi
karena penggunaan statistik yang lemah atau adanya kriteria inklusi untuk peminum
alkohol yang rendah.49
76
pasien (1,0%). Hal ini sesuai dengan penelitian Torres (2013) bahwa penyakit
komorbid tersering adalah penyakit paru kronik 68%. Namun terdapat perbedaan
pada penyakit penyerta tersering selanjutnya, di mana pada penelitian tersebut,
penyakit penyerta tersering setelah penyakit paru kronik adalah penyakit jantung
kronik 47%, diabetes mellitus 33%, penyakit ginjal 27%, dan penyakit liver 20%.35
Namun pada intinya yang paling banyak menjadi penyakit penyerta pasien
pneumonia komunitas adalah penyakit paru kronik. Hal serupa juga terdapat pada
penelitian Almirall (2008), El-Solh (2000), Abdullah (2012), Viegi (2006), dan
Izquierdo (2010). Di mana pada setiap hasil penelitian tersebut mencantumkan
bahwa penyakit paru kronik adalah penyakit penyerta terbanyak.29,33,36,40,50
4.4. Karakteristik Tanda Vital, Gejala Klinis, Pemeriksaan Laboratorium,
dan Pemeriksaan Penunjang Subjek Penelitian
ronkhi, dan leukosit lebih dari 12.000 sel/mm3. Adapun distribusi frekuensi setiap
kriteria dapat dilihat pada tabel 10. Pada kriteria mayor, frekuensi batuk sebanyak
75 pasien (77,3%), dahak 52 pasien (53,6%), dan demam 19 pasien (19,6%).
Sedangkan pada kriteria minor, frekuensi pernapasan lebih dari sebanyak 20
kali/menit 68 pasien (70,1%), frekuensi nadi lebih dari 100 kali/menit 16 pasien
(16,5%), nyeri dada 21 pasien (21,6%), auskultasi suara napas ronkhi 46 pasien
(47,4%), dan leukositosis 61 pasien (62,9%).
lebih dari 30 kali/menit.32 Varibel ini sebenarnya sudah termasuk pada kriteria
Pneumonia Severity Index (PSI) yang akan dibahas kemudian.
Tabel 4.11. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Status Kesadaran dan Tekanan Darah
Berdasarkan hasil dari tabel 4.11., diketahui beberapa tanda-tanda vital dan
distribusinya yang berguna untuk menunjang diagnosis pasien CAP. Dari tabel
tersebut didapatkan pada tanda vital status kesadaran yang terbanyak adalah
compos mentis, yaitu sebanyak 90 pasien (92,8%), diikuti oleh apatis sebanyak 4
pasien (4,1%), somnolen 2 pasien (2,1%), dan coma 1 pasien (1%). Adapun pada
tanda vital tekanan darah menggunakan kriteria JNC 7,53 lebih banyak yang
memiliki tekanan darah dalam batas normal, yaitu 64 pasien (66%). Jumlah
interpretasi lain dalam tekanan darah, yaitu pre-hipertensi didapat sebanyak 9
pasien (9,3%), hipertensi derajat I 10 pasien (10,3%), dan hipertensi derajat II 14
pasien (14,3%).
80
Gejala Klinis
Batuk 22
75
Dahak 45
52
Demam 43
54
Sesak Napas 21
76
Nyeri Dada 76
21
Mual 25
72
Muntah 54
43
Lemas 55
42
Nyeri Perut 70
27
Sulit Tidur 88
9
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Tidak Ya
Dari data grafik 4.2., diketahui distribusi gejala klinis pasien pneumonia
komunitas, didapatkan gejala batuk sebanyak 75 keluhan (77,3%), dahak sebanyak
52 keluhan (53,6%), demam sebanyak 54 keluhan (55,7%), sesak napas sebanyak
76 keluhan (78,4%), nyeri dada sebanyak 21 keluhan (21,6%) dan suara napas
ronkhi sebanyak 46 keluhan (47,4%), sulit tidur sebanyak 9 keluhan (9,3%), dan
BB turun sebanyak 28 keluhan (28,9%).
Gejala lain yang cukup sering adalah gejala dari sistem gastrointestinal,
berupa mual sebanyak 72 keluhan (74,2%), muntah sebanyak 43 keluhan (44,3%),
lemas sebanyak 42 keluhan (43,3%), dan nyeri perut sebanyak 27 keluhan (27,8%).
81
Jumlah keluhan melebihi jumlah pasien, hal ini dikarenakan seorang pasien bisa
memiliki lebih dari satu keluhan.
Pada hasil penelitian ini didapatkan gambaran gejala klinis yang tersering
adalah sesak napas sebanyak 76 pasien (78,4%) diikuti dibelakangnya tidak jauh
berbeda yaitu gejala batuk sebanyak 75 pasien (77,3%). Hal ini sesuai dengan
penelitian El-Solh (2001) yang mendapatkan pada hasil penelitiannya, gejala klinis
yang tersering adalah sesak napas (82%) dan yang tersering kedua adalah batuk
(49%).46 Namun berbeda dengan penelitian Onyedum (2010) gejala tersering
adalah demam (75%), batuk (71,3), sesak napas (55%), dan nyeri dada (50%).34
Berbeda lagi dengan penelitian Abdullah (2012) di India dan Viegi (2006), gejala
yang paling mendominasi adalah batuk (74%) dan (73,3%). Perbedaan-perbedaan
ini kemungkinan diakibatkan adanya variasi gejala dan etiologi penyakit pada
setiap negara.33,36
Warna Dahak
6 (12%)
7 (13%)
4 (8%)
35 (67%)
Adapun pada klinis dahak, dari 52 pasien yang memiliki batuk berdahak,
dapat ditemukan jenis-jenis warna dahak yang dapat dilihat pada grafik 4.2. Di
mana warna dahak dibagi menjadi warna putih sebanyak 34 pasien (35,1%), hijau
sebanyak 4 pasien (4,1%), kuning sebanyak 7 pasien (7,2%), dan kemerahan
sebanyak 6 pasien (6,2%). Selain itu juga dapat ditemukan jenis konsistensi dahak
82
yang dapat dilihat pada grafik 4.3. Di mana konsistensinya dibagi menjadi kental
sebanyak 24 pasien (24,7%), dan encer sebanyak 28 pasien (28,9%).
Konsistensi Dahak
24 (46%)
28 (54%)
Kental Encer
Berdasarkan data pada tabel 4.12., dari 76 pasien dapat ditemukan klinis
pasien yang menggunakan otot bantu napas sebanyak 25 pasien (32,9%), irama
83
yang terbagi dua menjadi teratur sebanyak 18 pasien (23,7%) dan tidak teratur
sebanyak 58 pasien (76,3%), dan kedalaman yang terbagi tiga menjadi normal
sebanyak 45 pasien (59,2%), dalam sebanyak 20 pasien (26,3%), dan dangkal
sebanyak 11 pasien (14,5%).
Dari tabel 4.17., didapatkan hasil pemeriksaan sputum. Dari seluruh rekam
medis yang berjumlah 97 pasien, hanya 26 pasien saja yang diperiksa pemeriksaan
sputum, selebihnya yang berjumlah 71 pasien tidak dilakukan. Dari tabel tersebut,
diketahui bahwa hasil dari pemeriksaan sputum batang Gram (-) seluruhnya positif
26 pasien (26,8%), begitu pula dengan coccus Gram (+) dan epitel seluruhya positif.
Pada hasil jamur didapatkan hasil positif 8 pasien (8,2%) dan negative 18 pasien
(18,6%).
Berdasarkan data pada tabel 4.19., didapatkan status akhir setiap pasien.
Pada pasien yang tidak meninggal sebanyak 81 pasien (83,5%), sedangkan pasien
yang meninggal sebanyak 16 pasien (16,5%). Adapun penyebab pasien meninggal,
disebabkan oleh gagal napas, sepsis, ataupun keduanya. Pasien yang meninggal
karena gagal napas sebanyak 9 pasien (9,3%), sepsis sebanyak 3 pasien (3,1%) dan
keduanya sebanyak 4 pasien (4,1%).
Hal ini sesuai dengan penelitian Abdullah (2012) yang mendapatkan pada
hasil penelitiannya tingkat mortalitas pasien pneumonia komunitas adalah 16%
lebih rendah dari yang tidak meninggal 84%.36 Adapun penyebab kematian sesuai
dengan penelitian Mortensen (2002) yang menemukan bahwa penyebab kematian
tertinggi pada penelitiannya adalah gagal napas 38%, kemudian diikuti dengan
sepsis sebanyak 7%.55 Hal ini menandakan bahwa kemungkinan komplikasi yang
terjadi paling banyak dan yang paling sering menimbulkan terjadinya kematian
adalah gagal napas.
90
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa :
1) Dari 97 pasien pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013-
2014, didapatkan pasien jenis kelamin yang terbanyak adalah jenis kelamin
perempuan yang berjumlah 50 pasien (51,5%) dengan kelompok umur
tersering adalah kelompok umur pertengahan (45-59 tahun) sebanyak 55
pasien (56,7%), disertai tingkat pendidikan akhir terbanyak adalah tingkat
SMA sejumlah 41 pasien (42,3%), dan pekerjaan yang paling banyak
adalah karyawan swasta 33 pasien (34%).
2) Distribusi gejala klinis pasien pneumonia komunitas, didapatkan gejala
tersering adalah sesak napas sebanyak 76 pasien (78,4%) dan batuk
sebanyak 75 pasien (77,3%), mual sebanyak 72 pasien (74,2%), dahak
sebanyak 52 pasien (53,6%), dan demam sebanyak 54 pasien (55,7%).
Adapun karakteristik tanda vital didapatkan pasien pneumonia yang
memiliki status kesadaran yang terbanyak adalah compos mentis, yaitu
sebanyak 90 pasien (92,8%), tanda vital tekanan darah lebih banyak yang
memiliki tekanan darah dalam batas normal, yaitu 64 pasien (66%),
frekuensi pernapasan > 20 kali/menit 68 pasien (70,1%), frekuensi nadi >
100 kali/menit 16 pasien (16,5%), dan demam > 37,80 19 pasien (19,6%).
Sedangkan pasien yang memiliki derajat PSI terbanyak adalah derajat I
sebanyak 43 pasien (44,3%) dan derajat II 23 pasien (23,7%).
3) Karakteristik penyakit penyerta terbanyak pada pasien pneumonia
komunitas adalah penyakit penyerta paru kronik 30 pasien (30,9%), DM
18 pasien (18,6%), dan Congestive Heart Failure (CHF) sebanyak 13
pasien (13,4%)
4) Angka mortalitas pasien dengan pneumonia komunitas di RSUD
Cengkareng tahun 2013-2014 adalah 16 pasien (16,5%) dengan penyebab
kematian terbanyak adalah gagal napas 9 pasien (9,3%).
91
5.2. Saran
Dari penelitian ini, peneliti menyarankan:
1) Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik di penelitian
selanjutnya, maka sebaiknya dilakukan pengambilan sampel dengan rentan
waktu yang panjang dan dengan jumlah sampel yang lebih besar pada
lokasi yang berbeda dengan mengembangkan kriteria inklusi sampelnya
2) RSUD Cengkareng Jakarta sebaiknya lebih melengkapi data pasien
poliklinik, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, baik pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Diharapkan,
dengan begitu, penelitian-penelitian selanjutnya yang akan dilakukan dapat
mencapai hasil berupa gambaran yang lebih optimal dengan jumlah sampel
yang lebih memadai.
5.3. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini didapatkan beberapa faktor keterbatasan dalam proses
pengambilan data. Faktor-faktor keterbatasan tersebut adalah:
1) Pengambilan data sekunder berupa rekam medis dari RSUD Cengkareng,
hanya terbatas dari tahun Januari 2013-Desember 2014, sehingga
membatasi jumlah sampel yang akan diambil. Hal ini dikarenakan, rekam
medis pada tahun di bawah 2013 sedang dalam proses pengarsipan,
sehingga tidak dapat diambil.
2) Pengambilan data sekunder berupa rekam medis dari RSUD Cengkareng,
hanya terbatas pada 10 hari saja. Pihak rekam medis hanya memberikan
waktu 10 hari di mana 1 hari hanya diperbolehkan 10 rekam medis.
3) Pengambilan data sekunder berupa rekam medis dari RSUD Cengkareng,
memiliki mobilisasi yang tinggi, sehingga mengganggu pendataan.
92
DAFTAR PUSTAKA
29. Almirall J, Bolibar I, Serra-Prat M, dkk. New evidence of risk factors for
community-acquired pneumonia: a population-based study. Eur Respir
J;31:1274-1284.2008
30. Almirall J, Bolibar I, Vidal J, dkk. Epidemiology of community-acquired
pneumonia in adults: A population-based study. Eur Respir J;15:757-
763.2000.
31. Malik AS, Khan MI. Profiles of community acquired pneumonia cases
admitted to a tertiary care hospital. Park J Med Sci;28(1):75-78.2012.
32. Nolt BR, Gonzales R, Maselli J, dkk. Vital-sign abnormalities as predictors
of pneumonia in adults with acute cough illness.2007;25:631-636.
33. Viegi G, Pisteli R, Cazzola M, dkk. Epidemiological survey on incidence
and treatment of community-acquired pneumonia in Italy. Respiratory
Medicine.2006;100:46-55.
34. Onyedum CC, Chukwuka JC. Admission profile and management of
community acquired pneumonia in nigeria-5 year experience in a tertiary
hospital. Respiratory Medicine Elsevier;105:298-302.2011.
35. Torres A, Peetermans WE, Viegi G, dkk. Risk factors for community-
acquired pneumonia in adults in Europe: a literature review.2013;68:1057-
1065.
36. Abdullah B, Zoheb M, Ashraf SM, dkk. A study of community-acquired
pneumonias in elderly individuals in bijapur india. ISRN Pulmonolgy.2012.
37. Metersky ML, Fine MJ, Mortensen EM. The effect of marital status on the
presentation and outcomes of elderly male veterans hospitalized for
pneumonia. Chest;142(4):982-987.2012.
38. Schnoor M, Klante T, Beckmann M, dkk. Risk factors for community-
acquired pneumonia in German adults: the impact of children in the
household. Epidemiol Infect.2007;135:1389-1397.
39. Teepe J, Grigoryan L, Verheij TJ. Determinants of community-acquired
pneumonia in children and young adults in primary care. Eur Respir
J;35:1113-1117.2010.
40. Izquierdo C, Oviedo M, Ruiz L, dkk. Influence of socioeconomic status on
community-acquired pneumonia outcomes in elderly patients requiring
95
51. Gennis P, Gallagher J, Falvo C, dkk. Clinical criteria for the detection of
pneumonia in adults: Guidelines for ordering chest roentgenograms in the
emergency department. J Emerg Med.1989;7(3):263-268.
52. Metlay JP, Schultz R, Li YH, dkk. Influence of age on symptoms at
presentation in patients with community-acquired pneumonia. Arch Intern
Med.1997;157(13);1453-1459.
53. JNC 7 Express. The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.
NIH Publication No. 03-5233. December 2003.
54. Albaum MN, Hill LC, Murphy M, dkk. Interobserver reliability of the chest
radiograph in community-acquired pneumonia. CHEST.1996;110:343-350.
55. Mortensen EM, Coley CM, Singer DE, dkk. Causes of death for patients
with community-acquired pneumonia. Arch Intern Med.2012;162(9):1059-
1064.
97
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Data Demografi
Nama: No. Sampel:
Alamat: No. Rekam Medik:
Tidak Tidak
Sesak napas Ya Demam Ya
Tidak Tidak
Suara Napas Ya Nyeri Dada Ya
Ronkhi Tidak Tidak
Mual Ya Muntah Ya
Tidak Tidak
Lemas Ya Nyeri Perut Ya
Tidak Tidak
Sulit Tidur Ya Berat Badan Ya
Tidak Turun Tidak
Riwayat Pasien
Merokok Ya Alkohol Ya
Tidak Tidak
TB Ya Asma Ya
Tidak Tidak
DM Ya Penyakit Ginjal Ya
Tidak Tidak
CHF Ya Penyakit Hati Ya
Tidak Tidak
SLE Ya HIV Ya
Tidak Tidak
Neoplasma Ya
Tidak
Pemeriksaan Laboratorium
Eritrosit: pH:
Hemoglobin: pO2:
Hematokrit: pCO2:
Leukosit: HCO3:
Trombosit: Saturasi O2:
Ureum: Natrium:
100
Penyebab Kematian:
Keterangan Tambahan:
101
Lampiran 3
Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 4
Lembar Data Statistik Penelitian
Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Masa Remaja Akhir 11 11.3 11.3 11.3
Masa Dewasa 31 32.0 32.0 43.3
Masa Pertengahan 55 56.7 56.7 100.0
Total 97 100.0 100.0
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 47 48.5 48.5 48.5
Perempuan 50 51.5 51.5 100.0
Total 97 100.0 100.0
Status Pernikahan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Belum Menikah 14 14.4 14.6 14.6
Menikah 74 76.3 77.1 91.7
Pernah Menikah 8 8.2 8.3 100.0
Total 96 99.0 100.0
Missing System 1 1.0
Total 97 100.0
Tingkat Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tamat SD 18 18.6 22.8 22.8
Tamat SMP 9 9.3 11.4 34.2
Tamat SMA 41 42.3 51.9 86.1
Perguruan Tinggi 11 11.3 13.9 100.0
Total 79 81.4 100.0
Missing System 18 18.6
Total 97 100.0
103
Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Bekerja 2 2.1 2.2 2.2
IRT 31 32.0 33.3 35.5
Karyawan Swasta 33 34.0 35.5 71.0
Pegawai Negeri Sipil 5 5.2 5.4 76.3
Wiraswasta 8 8.2 8.6 84.9
Buruh 8 8.2 8.6 93.5
Petani 1 1.0 1.1 94.6
Pelajar 5 5.2 5.4 100.0
Total 93 95.9 100.0
Missing System 4 4.1
Total 97 100.0
Batuk
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 22 22.7 22.7 22.7
Ya 75 77.3 77.3 100.0
Total 97 100.0 100.0
104
Dahak
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 45 46.4 46.4 46.4
Ya 52 53.6 53.6 100.0
Total 97 100.0 100.0
Warna
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Ada 46 47.4 47.4 47.4
Putih 34 35.1 35.1 82.5
Hijau 4 4.1 4.1 86.6
Kuning 7 7.2 7.2 93.8
Kemerahan 6 6.2 6.2 100.0
Total 97 100.0 100.0
Demam
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 43 44.3 44.3 44.3
Ya 54 55.7 55.7 100.0
Total 97 100.0 100.0
Sesak Napas
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 21 21.6 21.6 21.6
Ya 76 78.4 78.4 100.0
Total 97 100.0 100.0
Irama
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Teratur 79 81.4 81.4 81.4
Tidak Teratur 18 18.6 18.6 100.0
Total 97 100.0 100.0
Kedalaman
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Normal 66 68.0 68.0 68.0
Dalam 20 20.6 20.6 88.7
Dangkal 11 11.3 11.3 100.0
Total 97 100.0 100.0
Nyeri Dada
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 76 78.4 78.4 78.4
Ya 21 21.6 21.6 100.0
Total 97 100.0 100.0
Mual
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 25 25.8 25.8 25.8
Ya 72 74.2 74.2 100.0
Total 97 100.0 100.0
106
Muntah
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 54 55.7 55.7 55.7
Ya 43 44.3 44.3 100.0
Total 97 100.0 100.0
Lemas
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 55 56.7 56.7 56.7
Ya 42 43.3 43.3 100.0
Total 97 100.0 100.0
Nyeri Perut
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 70 72.2 72.2 72.2
Ya 27 27.8 27.8 100.0
Total 97 100.0 100.0
Sulit Tidur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 88 90.7 90.7 90.7
Ya 9 9.3 9.3 100.0
Total 97 100.0 100.0
BB Turun
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 69 71.1 71.1 71.1
Ya 28 28.9 28.9 100.0
Total 97 100.0 100.0
107
Infiltrat
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 32 33.0 33.0 33.0
Ya 65 67.0 67.0 100.0
Total 97 100.0 100.0
Meninggal
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 81 83.5 83.5 83.5
Ya 16 16.5 16.5 100.0
Total 97 100.0 100.0
Gagal Napas
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 84 86.6 86.6 86.6
Ya 13 13.4 13.4 100.0
Total 97 100.0 100.0
Sepsis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 90 92.8 92.8 92.8
Ya 7 7.2 7.2 100.0
Total 97 100.0 100.0
108
Asma
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 87 89.7 89.7 89.7
Ya 10 10.3 10.3 100.0
Total 97 100.0 100.0
Tuberkulosis Paru
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 77 79.4 79.4 79.4
Ya 20 20.6 20.6 100.0
Total 97 100.0 100.0
Diabetes Mellitus
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 79 81.4 81.4 81.4
Ya 18 18.6 18.6 100.0
Total 97 100.0 100.0
Ceftizoxime
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 58 59.8 59.8 59.8
Ya 39 40.2 40.2 100.0
Total 97 100.0 100.0