Anda di halaman 1dari 124

RUMAH SAKIT “PATIENT”

&
PERAWAT “HOSPITAL”(itas)

Editor:
• Budi Susanto, SJ.
• Windarto  Fidelis • Saverin
• Sisilia • Baskoro • Lando

Penerbit
Universitas Sanata Dharma

Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Lembaga Studi Realino


RUMAH SAKIT “PATIENT”
& PERAWAT “HOSPITAL”(itas)

Copyright © 2013

Diterbitkan oleh:

ASOSIASI PERGURUAN TINGGI KATOLIK


Penerbit Universitas Sanata Dharma
Jl. Jend. Sudirman No. 51, Jakarta 12930, Indonesia
Jl. STM Pembangunan (Mrican) 1A,
Telp. : 021 - 5703306 ext 240, 357;
Gejayan Yogyakarta 55281
021 - 5706059; 021-57951407
Telp. (0274) 513301, 515253;
Fax : 021 – 5706059
Ext.1527/1513
E-mail : sekretariat@aptik.or.id
Fax (0274) 562383
e-mail: publisher@usd.ac.id

Editor:
Budi Susanto, SJ.
Windarto
LEMBAGA STUDI REALINO
Fidelis Jl. STM Mrican, Gejayan, Sanata Dharma,
Saverin Yogyakarta 55002, Indonesia
Sisil Telp. : 0274-565751; HP: 0274-7407837
Baskoro Fax. : 0274-542502
Lando Email : realino@mail.usd.ac.id

Desain Sampul:
Baskoro
Tata Letak:
Windarto

Cetakan Pertama
124 hlm.; 155 x 225 mm.
ISBN: 978-602-9187-46-5
EAN: 9-786029-187465

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun,
termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
DAFTAR ISI

AWAL KATA-KATA

MANAJEMEN HOSPITALITAS (ke)PERAWAT(an)


PARTISIPATIF
Chatarina Dwiana Wijayanti / 25

PRODUKSI CERDAS ASI “BUDAN CERIA”


Regina Vidya Trias Novita, dkk. / 33

TANGGUH MENGHADAPI IBU PRE-EKLAMPSIA


Wahyuny Langelo / 49

HOSPITALITAS KELUARGA DAN PETANGGUH SAKIT


KANKER
Lina D. Anggraeni / 63

HOSPITALITAS BERSAMA PENDERITA KHAWATIR


KANKER
Jesika Pasaribu / 71
KOMUNIKASI TERAPEUTIK BERSAMA LANSIA
DEPRESIF
Maria Manungkalit / 79

ANTI BAKTERI “ORAL CARE” UNTUK PASIEN TURUN


KESADARAN
Ni Luh Widani / 85

PIJAT CERDAS DEMI KESEHATAN PEMBULUH DARAH


BAWAH
Y. D. W. Werdani / 95

KECERDASAN EMOSI (EQ) PARA PERAWAT


Yuni Kurniawaty / 107

DAFTAR PUSTAKA / 115

TENTANG PENULIS / 124


AWAL KATA-KATA

Dalam pertemuan awal dari para penulis buku bunga


rampai ini, September 2011, apa arti sesungguhnya dari Menara
Gading segera dipertanyakan dan diperbincangkan. Pertanyaan
yang sering dijadikan sorot pandangan mata warga masyarakat
sesama mereka yang berada di luar kampus. Salah satu jawaban
yang dipaparkan yaitu bahwa Menara Gading tidaklah terlalu
berbeda dengan menara atau bangunan tinggi yang lain. Dengan
memanfaatkan gagasan Heidegger bahwa berada di sebuah batas
pada ketinggian tertentu—seperti bangunan menara—bukan berarti
berada pada titik di mana seseorang atau sesuatu berhenti,
melainkan (justru) adalah titik dari mana seseorang atau sesuatu
tersebut memulai kehadiran dan perannya1.
Berikut ini adalah buku bunga rampai kumpulan karangan
dari sejumlah 52 dosen yang berasal dari berbagai Perguruan
Tinggi Swasta yang bernaung di bawah APTIK (Asosiasi
Perguruan Tinggi Katolik) di Indonesia. Saat mulai berkumpul
untuk menjalankan lokakarya, mulai meneliti, mengkaji hasil riset,
dan menulis karangan mereka (akhir 2012), para penulis yang
dimaksud sedang atau sudah menyelesaikan studi pasca sarjana
dalam jenjang S2. Tersedia empat buku bunga rampai sebagai salah

1
Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di sebuah Koloni, h.103.
8

satu cara untuk menyebar-luaskan hasil penelitian para pemukim


Perguruan Tinggi—semoga—yang sudah dengan lebih jernih
memahami apa artinya hidup di sebuah saat dan tempat “tinggi
“yang menjadi sorotan orang banyak tersebut. Keempat buku ini
dengan memanfaatkan berbagai sumber yang tersedia di internet
menggunakan gambar-gambar yang terkait dengan Menara
(Gading) sebagai sampul halaman depan. Terima kasih untuk
ketersediaan akses internet public tersebut. Ada empat buku bunga
rampai yang di(m)ajukan oleh para dosen APTIK tersebut, dengan
judul: Nasionalitas Kamp(ung) Teknologi, Nasionalitas Indonesia
(di)Indah-indah(kan), Nasionalitas Penelitian IpTek Kerakyatan,
dan Rumah Sakit “Patient” & Perawat “Hospital”(itas).
Sebagaimana diharapkan oleh pimpinan dan warga APTIK
pada umumnya, dan secara khusus oleh para penulisnya--semoga
juga bagi para pembaca - seluruh proses dan pengalaman sampai
terbit dan penyebar-luasan buku-buku tersebut dapat memberi kata-
kata, gagasan dan pikiran tentang bagaimana dapat secara lebih
tulus dan adil dalam meneliti, menafsir dan mengungkap berbagai
kehidupan dan kebudayaan yang dialami, dihayati dan diingat
masyarakat post-kolonial di Indonesia. Cara bekerja dan bergerak
yang diwakil-i-kan oleh para dosen dan penulis buku bunga rampai
ini adalah:
* Membentuk suatu komunitas akademik lintas-ilmu yang
mempunyai sikap independen dan altruis demi membela
9

massa rakyat “yang terlupakan dan dilupakan.”


* Membentuk suatu jaringan data informasi, komunikasi dan
aksi komunitas akademik di Indonesia - dan di luar negeri -
untuk membuahkan gagasan baru yang dapat
membangkitkan kesadaran sejarah akademik yang lebih
progresif, tajam, toleran dan inklusif; dan melawan
kesenjangan dan ketidak-adilan sosial dan pelanggaran hak
asasi manusia.
* Menghasilkan gagasan-gagasan baru yang berdasarkan data
konkret, pengetahuan lokal, dan pikiran kritis dengan
memanfaatkan kajian dekonstruksi dan rekonstruksi.
* Membimbing peserta dalam penelitian terfokus yang
bersinggungan dengan sejarah, kesadaran sejarah dan
kebudayaan akademik dalam masyarakat Indonesia yang
beragam, toleran dan demokratik.
Pada awal pertemuan lokakarya mereka di Lembaga Studi
Realino - Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta, pada paruh kedua
tahun 2011, para penulis ini sadar bahwa sebagaimana masyarakat
banyak telah mengetahui bahwa sejumlah tak lebih dari sepuluh
perusahaan-perusahaan besar lintas nasionalitas yang dengan
IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang mereka kuasai
mampu mengajukan dan/atau memajukan cara dan gaya hidup kita
sehari-hari. Maka bukan sebuah kebetulan kalau buku pegangan
pokok untuk berpikir ulang, mengamati ulang, dan mengkaji ulang
10

pergulatan dengan IPTEK para dosen peneliti penyumbang tulisan


bunga rampai ini, adalah memanfaatkan buku tulisan Rudolf
Mrázek berjudul, Engineers of Happy Land: Technology and
Nationalism in a Colony (Princeton Studies in Culture/Power/
History, Princeton Univ. Press, 2002). Tanpa banyak perubahan
dalam hal judul—perlu, dan mungkinkah?—buku yang dimaksud
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, Engineers of
Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di
sebuah Koloni. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia,
di Jakarta pada tahun 2006.
Sebagaimana diujarkan oleh penulisnya dalam bagian awal
(Sekapur Sirih), buku ini memberi sebuah cara yang tidak biasa-
biasa saja untuk mempelajari kebudayaan, identitas, dan
kebangsaan pada saat abad ke-20. Tempatnya di kepulauan Hindia
Belanda yang mengalami banyak invasi budaya dan perlawanan.
Mrázek juga mengharapkan bahwa pembacaan terhadap bukunya
mengenai sebuah koloni—Hindia Belanda, kini Republik
Indonesia—juga membantu membuka pikiran pembaca tentang hal
dan masalah yang sama, seluas dunia2.
Pada pertemuan awal pada tahun 2011, sesudah membaca
buku Mrázek dengan teliti—dengan lumayan kebingungan—para
penulis buku ini melakukan perbandingan dan penafsir terkait

2
Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di sebuah Koloni, h.xv.
11

antara hal dan masalah IPTEK yang “membahagiakan” yang telah


dibaca, dengan situasi lapangan dan konteks masyarakat (modern)
di kota Jogja. Dengan pengalaman lapangan singkat tersebut, para
dosen APTIK sempat dengan saat dan tempat tepat untuk
mendengar, menghirup, mencecap, menyentuh dan melihat—juga
dengan kamera—sesama warga masyarakat kota Jogjakarta, dan
bangsa Indonesia; yang sedang berada di berbagai “happy land,”
dalam berbagai mall, plaza, supermarket, jalan Malioboro, istana
kediaman sultan “Pemangku Dunia” (kraton Hamengku Buwana)
dan juga pasar tradisional.
Pengalaman—dengan nilai-nilai dan/atau kesimpulan
pemikiran—para peserta selama di Jogjakarta tersebut, dituangkan
dalam hasil akhir tulisan para peneliti yang sekarang tersaji di
hadapan para pembaca budiman. Tentu saja, para penulis buku
bunga rampai ini—para pendamping lokakarya, dan para editor—
sadar akan (per)ingatan yang diajukan Mrázek bahwa para cerdik
pandai dalam hal IPTEK, para “insinyur” atau ahli reka-reka, atau
pakar rekayasa, adalah tetap, termasuk dalam kalangan kelas
pekerja, tetapi kelas “pekerja yang lebih atas,” yang superior. Tulis
Mrázek,

Mereka itu percaya pada cara berbahasa mereka sendiri, seperti


sebagaimana biasa setiap orang juga percaya pada bahasa mereka
masing-masing. Akan tetapi, merasa lebih dari yang bukan
kelompoknya, para insinyur tersebut percaya diri bahwa bahasa
dan hal-hal lainnya selalau saja dapat dibongkar dan dirangkai
kembali—dan dibongkar lagi—demi manfaat kegunaan bahasa
itu sendiri maupun segala sesuatu yang lain yang terkait
12

dengannya.
Para insinyur tersebut sama seringnya dengan kita dalam hal
bermimpi dan merencanakan sesuatu. Tetapi merasa lebih dari
sesamannya, mereka sering mengkalkulasi dan yakin bahwa
sama saja antara apa yang disebut perencanaan dan bermimpi itu.
Mereka para insinyur tersebut menjadi sekedar lebih
mengesankan kepada kita-kita lainnnya, (tetapi juga) menjadi
lebih tragis dan lebih (mem)berbahaya(kan). Ketika mereka
mencapai ujung batas , sebagaian dari mereka dan menurut kata-
kata dari seseorang dari mereka yang mungkin paling tragis,
bahkan boleh jadi berani memaklumkan diri sebagai kalangan
“pereka-yasa jiwa manusia.” Tentu saja, harap diingat, bahwa
selalu saja juga ada seseorang insinyur seperti itu dalam diri kita
masing-masing3.

Harapannya, seperti dilakukan oleh (peminat sejarah)


Mrázek, para penyumbang buku bunga rampai ini−sampai batas-
batas tertentu−dan juga pembaca budiman dapat mulai ikut
waspada dan jeli dalam memperhatikan, menyapa, dan hidup
ber(se)sama−bahkan dalam meneliti atau berkegiatan lain-lainnya
yang terkait dengan IPTEK−di dalam maupun di luar kampus
perguruan tinggi. Seperti sudah mengalami sendiri ketika para
penulis mempercakapkan bukunya, Mrázek memberi contoh bahwa
dirinya dapat memperhatikan hal dan masalah yang kelihatannya
remeh-temeh dalam IPTEK dari masa lalu, tetapi sesungguhnya
mampu memaparkan dan mengkaji-ulang secara mendalam
mengapa dan bagaimana yang (di)tersembunyi(kan), yang

3
Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di sebuah Koloni, h.xvii.
13

(di)samar-samar(kan) dalam kegiatan (dan kebudayaan) hidup


kerakyatan sehari-hari dalam masa kini.
Nasionalitas−kebangsaan−yang dipahami oleh para penulis
dari empat buku bunga rampai ini merujuk kepada gagasan
Benedict Anderson4 yang mengatakan,

bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota


bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan tak akan kenal
sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan
mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar
tentang mereka. Namun toh di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan
mereka.

Para penulis empat buku bunga rampai berikut ini−kurang


lebih−juga membuka topeng atau samaran, dan memaparkan
berbagai taktik dan strategi IPTEK yang dimimpi-mimpikan,
direncanakan, dan direkayasakan secara berlebih-lebihan sebagai
hal yang seakan-akan membahagiakan sesamanya dari para
insinyur termaksud. Orientasi pada nasionalitas seperti digagas
oleh Anderson di atas, memungkinkan para penulis mengkaji-ulang
jejak-langkah “perkembangan teknologi dan nasionalisme di
sebuah koloni” sebagaimana disediakan dalam buku rujukan utama
yang ditulis oleh Mrázek. Dalam segala keterbatasannya, para
penulis bunga rampai ini yang−semoga−segera melanjutkan
jenjang studi dan penelitiannya untuk jenjang doktoral mereka,

4
Benedict Anderson, Imagined Communities. Reflections on the Origin and
Spread of Nationalism, (New York: Verso, 1995), p.6, revised edition.
14

mengungkap mengapa dan bagaimana IPTEK yang bermula dalam


rangka kolonisasi Hindia Belanda (sekarang Republik Indonesia)
adalah hal yang rawan dan rapuh−langsung maupun tidak
langsung−untuk dibengkak-bengkokkan atau ditelikung(kan) demi
kepentingan sepihak. Penelikungan tersebut masih terus
berlangsung sampai ke dalam kehidupan bangsa negara Indonesia,
dan bahkan warga dunia global masa kini.
Tentu saja, selanjutnya, sebagaimana dipahami dalam
masyarakat dan kebudayaan Barat−sebagai asal-usul IPTEK dan
para perekayasa tertentu yang terkait−keadaan dan peran para
cerdik pandai dari komunitas Perguruan Tinggi juga perlu
diperhatikan. Apakah para para cerdik pandai dalam bidang
IPTEK−termasuk para penulis buku ini−akan berperan seperti
seorang penjinak singa (lion tamer) yang diperlengkapi dengan
kursi tinggi dan cambuk kuat seperti sering kita lihat dalam
tontonan (tuntunan) sebuah sirkus hewan? Atau, para cerdik
cendekiawan-cendekiawati Perguruan Tinggi sekedar seperti
seorang peniup seruling (snake charmer) yang sedang bertugas
menjaga agar si ular berbisa dapat sibuk lenggak-lenggok
5
meneruskan tarian mautnya Atau, kalau dalam konteks “bahasa
aspal” dari gagasan Mrázek, para ahli IPTEK yang kurang waspada
dan jeli akan hanya suka mengandalkan peralatan dan gadget

5
Pierre Marthinus, “Public intellectuals or policy architects?” dalam The Jakarta
Post, July 15, 2010.
15

modern mereka−pesawat, kereta api, radio, mikroskop, teleskop,


kamera, dll.−untuk menyoroti, mengamat(amat)i sesama mereka
sebagai sesuatu (sic.) yang lain, yang eksotik, yang molek−dari
kejauhan. Apa yang disebut “menara (gading)” adalah ibarat
tempat yang menyediakan sarana dan suasana pengamatan yang
jelas, dan memberi rasa (ny)aman kepada para penghuninya−yang
mungkin saja dianggap akan membahayakan negeri bahagia (happy
land) yang mereka bayang(bayang)kan.

***

RUMAH SAKIT “PATIENT” &


PERAWAT “HOSPITAL”(itas)

Sembilan penulis dalam buku bunga rampai berikut ini


memulai karir kerja mereka sebagai perawat rumah sakit.
Selanjutnya, mengikuti (tuntutan) perkembangan IPTEK (Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi) modern dalam bidang kesehatan,
mereka juga perlu lulus pendidikan tinggi yang dinamakan
STIKES (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan). Ketika “tuntutan”
masyarakat nasional, internasional maupun global mengenai tolok
ukur pelayanan rumah sakit (bahasa Belanda: zieken huis) atau
“hospital” (bahasa Inggris) harus dipenuhi, mereka juga perlu
mempunyai ilmu pengetahuan berkaitan dengan kesehatan yang
setara sekolah pasca-sarjana. Menarik bahwa para penulis ini
adalah para ahli—antara lain, menjadi dosen berbagai STIKES di
16

Indonesia—yang berangkat dari pengalaman, dan kemudian


berusaha menyebar-luaskan nilai-nilai yang di dunia Barat
berkaitan dengan sebuah hospital dan “keramah-tamah”
(hospitalitas) bagi masyarakat.
Para perawat penulis berikut ini mengharap dan memahami
bahwa para pasien (bahasa Inggris: “patient” = orang yang
menghargai nilai tentang kesabaran) bukanlah sekedar para
“korban” (victim), tetapi adalah para petangguh (survivor) ketika
menghadapi berbagai jenis penyakit. Pemahaman seperti itu
menjadi penting bagi masyarakat Indonesia masa kini , mengingat
bahwa sejak dari masa lalu penemuannya, IPTEK (peralatan)
kesehatan terus bergerak dengan cara seperti “menyebar-luaskan
pengertian kekuasaan yang dipahami terutama sebagai sesuatu
yang bersifat mekanis. Kekuasaan seperti itulah - seperti
dipaparkan Mrazek - menolong melonggarkan ikatan-ikatan antara
derau (noise) dengan suara (voice), antara kata (word) dengan
perbuatan (deed)” dalam praktek hidup sehari-hari masyarakat6.
Ada sebuah pengalaman menarik dari seorang bidan di
Semarang. Bagi bidan termaksud yang sudah berpengalaman lebih
dari dua puluh tahun merawat bayi, tangis seorang bayi yang baru
lahir bukan sekedar derau atau bunyi yang keluar dari mulut (dan
pikiran) manusia. Dalam wawancara, bagi bidan ini, biasanya
setelah membersihkan rambut si bayi yang baru lahir, dia lalu

6
Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di sebuah Koloni, h.261.
17

menyiapkan kain-kain yang berguna untuk menggedong


(membungkus) si mungil. Dengan cepat sang bidan membungkus
sambungan tali pusat dengan kasa, sesudah itu si bayi mulai
digedong. Belum sampai menyelesaikan lapisan kain pertama, sang
bidan akan menanyakan kepada perawat yang lain apakah bayi
sudah berak atau belum. Karena ternyata belum, bidan akan segera
mengambil termometer dan memasukkan pada dubur, lubang
pembuangan sisa-sisa makanan dan minuman si bayi. Sadar atau
tidak sadar pada syarat dan hakekat kemanusiaan—bahwa manusia
mempunyai panca-indera dengan sembilan lubang7 pengekspresian
yang sesuai—bidan berpengalaman termaksud mampu
“mendengarkan” suara atau (budi)bahasa komunikasi sesamanya
yang baru saja hadir di tengah-tengah dunia ramai. Seorang bayi
tentu saja belum mampu menguasai dan menikmati lancar dan
mulusnya (budi)bahasa yang—seperti teknologi mesin—senantiasa
dapat direka-reka8. Kelalaian untuk mengerjakan hal yang nampak
remeh-temeh, akan berakibat fatal bagi kehidupan manusia mungil
tersebut. Baru kemudian si bidan menyelesaikan gedong yang biasa
membuat nyaman si bayi.
Para penulis ahli keperawatan ini—bersama rekan-rekan
sarjana dalam bidang ilmu yang lain—mewaspadai bahwa selama

7
Tradisi nilai-nilai kebudayaan Jawa memahaminya sebagai babahan nawa
sanga (sembilan jalan keluar hasrat jasmani manusiawi) yang perlu dirawat dan
dihormati sepantasnya dalam kelahiran dan kematian.
8
Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di sebuah Koloni, h.58.
18

ini kemajuan IPTEK (peralatan) kesehatan—sudah sejak masa


kolonial Hindia Belanda—cenderung kurang berdasar pada rencana
tepat-guna, tetapi malah berlebih-lebihan mendasarkan diri pada
fantasi dan imajinasi—demi keuntungan pihak tertentu. Lebih
parah lagi kalau fantasi dan imajinasi tentang beberapa penyakit
berujung kematian—berkat penggunaan teknologi seperti
mikrokoskop, daktiloskop, MRI (Magnetic Resonance Imaging),
atau berbagai peralatan sejenis teleskop yang lain—dapat
ditanggulangi secepat mujijat. Mrázek, ahli dan pengamat sejarah
(kolonisasi) Indonesia, sudah melaporkan bahwa,

Sama dengan kereta api dan pesawat udara, teleskop adalah


seperti sebuah bunker penyelamat yang (ny)aman. Peralatan
teknologis tersebut memungkinkan seorang pengamat menjadi
asyik dan mengawasi Hindia Belanda yang molek, dunia yang
membahagiakan, gemerlap bintang-bintang di angkasa;
kesemuanya itu di tempat sama, jelas, dan (ny)aman. Kalaupun
yang diamati tersebut ternyata adalah hal-hal mencurigakan,
menakutkan, atau membahayakan (menular, tidak antiseptik)—
bahkan lengkap dengan data statistiknya—akan tetap saja
9
dirasakan aman karena berjarak, berada di sebalik kaca .
Lima penulis pertama dalam buku bunga rampai berikut
ini—belajar dari cara berpikir Mrázek—sepenuhnya menyadari
bahwa mengurus kesehatan dengan hanya berbekal data jenis
penyakit, rasa sakit, dan bahkan jumlah kematian—tanpa
penanaman nilai-nilai hospitalitas kepada perawat maupun

9
Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di sebuah Koloni, h.164, 167.
19

“patient” —akan justru membenarkan bahwa rekayasa IPTEK


(peralatan) kesehatan adalah memang sekedar “memperluas pasar.”
Baru-baru ini, Asisten Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk
tujuan pembangunan millenium (MDG), Diah Saminarsih,
mengatakan,

ada tiga target tujuan pembangunan millennium yang sangat sulit


dicapai pada tahun 2015, yaitu menurunkan angka kematian ibu
melahirkan, menurunkan penyebaran virus HIV/AIDS serta
mengakses air bersih dan sanitasi dasar. Untuk mencapai tujuan
MDG mengenai kesehatan ibu, Indonesia harus menurunkan
angka kematian ibu saat melahirkan menjadi 102 per 100.000
kelahiran hidup pada 2015, dari angka saat ini yaitu 228 per
100.000 kelahiran. Pencapaian target MDGs terkait HIV AIDS
kata Diah juga sulit dicapai oleh Indonesia pada tahun 2015
karena dalam lima tahun terakhir jumlah penderita HIV AIDS di
Indonesia terus bertambah. Saat ini ada sedikitnya 6.300 kasus
AIDS dan 20.000 kasus HIV sejak 1987, menurut data
Kementerian Kesehatan. Angka-angka ini menurut para ahli
merupakan puncak gunung es karena jumlah sebenarnya diyakini
10
lebih besar dari itu.
Setiap tahun tidak kurang dari 15.000 kasus kanker serviks
terjadi di Indonesia. Itu membuat kanker serviks disebut sebagai
penyakit pembunuh wanita nomor 1 di Indonesia. Label itu tidak
berlebihan karena tiap hari di Indonesia dari 40 wanita yang
terdiagnosa menderita kanker serviks, 20 wanita diantaranya
meninggal karena kanker serviks. Tingginya kasus kanker serviks
di Indonesia membuat WHO menempatkan Indonesia sebagai

10
www.voaindonesia.com, Jumat, 15 Februari 2013 Waktu Washington, DC:
23:33
20

negara dengan jumlah penderita kanker serviks terbanyak di dunia.


Sementara kanker payudara, merupakan penyakit dengan kasus
terbanyak kedua setelah kanker serviks. Catatan dari tahun 2007
sudah menunjukkan bahwa penderita kanker payudara di Indonesia
ada sejumlah 8.277 kasus..11
Sebagai perbandingan, data jumlah kematian akibat
kecelakaan lalu-lintas di Indonesia selama ini semakin
mencemaskan. Data POLRI menyebutkan 32.000 korban tewas
setiap tahun karena kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Ada sumber
lain yang mencatat sampai ke angka sekitar 40.000 jiwa tewas
karena kecelakaan lalu lintas. Jika diakumulasi dalam waktu lima
tahun, jumlah itu mendekati jumlah korban tsunami di Aceh tahun
2004, sebanyak 230.000 jiwa melayang. Dalam arus mudik tahun
2012 yang lalu, tercatat ada sejumlah 4.482 kecelakaan lalu-lintas
yang melibatkan sepeda Motor. Sejumlah 1.018 kasus kecelakaan
karena pengemudi mengantuk, dan 17 orang meninggal dunia
selama Arus Mudik Lebaran tahun 2012 yang lalu.12
Mengabaikan hospitalitas perawat, dan melupakan bahwa
mereka yang sedang tidak sehat sesungguhnya adalah para
“patient,” tentu saja memungkinkan terjadinya peristiwa ironis
ketika terbuka kedok atau borok klinik pengobatan TCM
(Traditional Chinese Medicine) di Medan yang nekat memberi

11
Dari berbagai sumber: www.deherba.com, www.kimiafarmaapotek.com dan
www.depkes.go.id
12
Andy Riza Hidayat, Kompas.com , Minggu 12 Februari 2012
21

infus obat pemati-rasa atau steroid dalam dosis tinggi kepada para
penderita kanker dan penyakit parah lainnya.13 Obat kuat bersiasat
menjebak, dan mampu mencegat momok kesakitan dengan cepat,
sesaat dan kilat, dalam arti tertentu, adalah juga hasil binaan (dan
cengkeraman) dari fantasi dan imajinasi dari sebuah (per)ingatan
masa lalu - Tempo Doeloe - yang telanjur menjanji-janjikan sebuah
“negeri bahagia.”
Empat penulis lain dalam buku ini mengemukakan betapa
pentingnya para perawat memahami bahwa bekerja dalam bidang
kesehatan berdasar nilai-nilai hospitalitas (sebagian dari Barat)
perlu jeli memahami perbedaan antara “peng-obat-an” sesaat bagi
para korban yang merasa kesakitan; dengan per-jamu-an bagi para
petangguh yang mencari kesehatan. Para perempuan penjual jamu
(gendong) tradisional, misalnya, yang selama ini masih bertahan,
berkeliling melayani para pelanggannya—sadar atau tak sadar—
mengajari mereka (dari kelas sosial apapun) untuk penuh kesabaran
(patient) merawat kesehatan diri mereka masing-masing.
Pentingnya komunikasi antara perawat dengan yang sedang dirawat
sebagai sejawat sangat mempengaruhi kesehatan warga masyarakat
yang membutuhkan. Warga masyarakat yang—kebetulan—sedang
mengalami sakit, datang ke sebuah “hospital” bukankah
sesungguhnya ingat untuk tidak melupa tentang ketelanjangan
dirinya—sebagai bayi atau sebagai “patient” manusiawi. Seorang

13
Lihat Tempo, 4-10 Februari 2013.
22

perawat “hospital”(itas) tidak menjadikan para patients menjadi


para pesolek yang “takut telanjang” karena tidak berani melepas
dari kamera atau teleskop yang menyuguhkan tontonan bahwa—
14
mengikuti Mrázek yang mengutip Robert Musil —pakaian
mampu berbicara dengan lebih lantang dan jelas karena
mengandaikan tubuh dan jiwa yang mengenakannya adalah sekedar
boneka yang terbuat dari kayu atau tanah liat?
***
Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada: sesama kami, para penulis bunga rampai, para
pendamping: Dr. Eka Priyatma, Monika Eviandaru M.A., Dr. Nani
Nurachman; para fasilitator Prof. Dr. Agustinus Supratiknya, Prof.
Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Dr. Anton Haryono, M.Hum.,
Dr. Budiawan, M.A., Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum.; kelompok
editor: Windarto, Baskoro, Saverin, Lando, Fidelis, Sisilia, dan
Sofia Wahyu Widiwati yang membereskan semua urusan logistik.
Kontinuitas lokakarya para dosen APTIK, sebagian penelitian dan
penerbitan empat kumpulan karangan ini adalah berkat kemurahan
hati pihak Misereor Jerman yang bersedia bekerjasama dengan
Lembaga Studi Realino—Sanata Dharma, dan APTIK. Profesor
DR Bernadette Setiadi dan ibu Rosa yang dengan sabar dan
kemurahan hati mereka telah sangat berjasa besar membantu

14
Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di sebuah Koloni, h.181.
23

sehingga memungkinkan semua hal ini semua terjadi.


Sesungguhnya, gambar-gambar ilustrasi dalam buku ini
tidak terlalu sukar dapat dilihat dengan cara meng-klik tampilan
“gambar” yang disediakan oleh pelayanan mekanis teknologi
informasi “Google.” Kapan saja ribuan orang dapat dengan mudah
memandang(i), dan dipengaruhi secara merdeka dan kreatif -
terimakasih banyak! - oleh gambar-gambar pilihan termaksud,
sesuai dengan gagasan pengguna internet yang bersangkutan. Para
penulis buku ini cukup akrab dengan gambar-gambar unduhan dari
Google tersebut ketika mereka dulu pernah bersama-sama
membaca dan mempercakapkan buku ahli sejarah Rudolf Mrazek
tentang politik teknologi rekayasa suatu “Happy Land.” Gambar
ilustrasi yang disertakan dalam buku ini dimaksudkan agar para
penulis, tim editor, dan para pembaca senantiasa mengingat dengan
waspada dan jeli tentang bagaimana berkata-kata dan bertindak
secara tepat terhadap beragam peristiwa yang (pernah) terjadi di
tempat dan saat tertentu di sekitar kita. Buku ini menawarkan
sebuah sudut pandang baru tentang ingatan manusia bagi
perjalanan negara bangsa Indonesia masa kini.

Jogjakarta, 10, 13-14 Februari 2013


Pada perayaan hari-hari: Imlek, Rabu Abu & Valentine
Editor utama: Budi Susanto, S.J.
MANAJEMEN HOSPITALITAS
(ke)PERAWAT(an) PARTISIPATIF

Chatarina Dwiana Wijayanti


STIK Sint. Carolus Jakarta

Perawat merupakan tenaga kesehatan terbanyak (60%) di


rumah sakit (Gillies, 2006). Oleh karena itu, pelayanan
keperawatan yang bermutu akan memberi kontribusi terhadap
peningkatan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit. Selama 24
jam, perawat berinteraksi langsung dengan pasien. Dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan, perawat dihadapkan pada
pengambilan keputusan klinis pasien sesuai dengan standar asuhan
keperawatan dan standar mutu yang ditetapkan rumah sakit.
Fungsi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan standar
asuhan keperawatan dan standar mutu pelayananan keperawatan
menjadi tanggung jawab perawat clinical care manager. Maka,
perawat clinical care manager diharapkan memiliki kemampuan
untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah operasional
pelayanan keperawatan di unit masing-masing setiap hari. Hal ini
dimaksudkan agar mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal
berdasarkan pengambilan keputusan yang bertumpu pada proses
pemecahan masalah secara ilmiah yang meliputi langkah-langkah:
identifikasi masalah, analisis situasi, eksplorasi alternatif termasuk
26

konsekuensinya, penentuan alternatif yang paling diinginkan,


implementasi, dan evaluasi pelaksanaan (Marriner-Tomey, 1996).
Pelaksanaan pelayanan keperawatan membuat perawat
clinical care manager harus siap menghadapi masalah-masalah
yang lazim ditemui hingga yang serius. Timbulnya masalah bisa
berasal dari proses kerja, hubungan interpersonal, dan bahkan
tindakan bawahan maupun atasan. Masalah itu sendiri dipahami
sebagai situasi provokatif saat individu tidak memiliki kesiapan
respon untuk menghadapinya (Gillies, 2006). Oleh karena itu,
kemampuan untuk menguasai teknik pemecahan masalah yang
mengandalkan pengetahuan baru, ketrampilan, maupun sikap, akan
sangat diperlukan. Pemecahan masalah yang efektif berasal dari
kombinasi antara ide dengan ketrampilan yang dimiliki (Gillies,
2006).
Kemampuan dan sikap profesionalisme diharapkan dimiliki
oleh perawat clinical care manager untuk menjamin pelaksanaan
tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Perawat clinical care
manager minimal telah menempuh pendidikan sarjana keperawatan
agar memiliki landasan ilmu yang kukuh dan landasan profesi yang
mantap sehingga mampu melakukan analisis fenomena klinik
keperawatan secara mendalam (Sitorus, 2006). Akan tetapi, jumlah
tenaga keperawatan yang telah menempuh pendidikan sarjana
keperawatan di seluruh Indonesia hanya 3,40% (Depkes, 2010).
Karena keterbatasan ini, peran clinical care manager di beberapa
27

rumah sakit masih dilaksanakan oleh perawat dengan tingkat


pendidikan D-3 keperawatan. Keadaan ini yang membuat
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab perawat clinical care
manager belum terlaksana dengan optimal.
Untuk mengoptimalkan hal tersebut, metode participatory
problem solving: quality circle bisa menjadi salah satu alternatif
bagi perawat clinical care manager karena bisa diterapkan untuk
mengidentifikasi, mengkaji, dan memecahkan masalah di area kerja
oleh sekelompok individu (Rowland, 2007). Metode ini
memungkinkan setiap anggota untuk memberi kontribusi dalam
mengidentifikasi masalah yang timbul, mencari faktor penyebab
masalah, membuat strategi penyelesaian masalah, memilih strategi
yang akan diimplementasikan, melaksanakan strategi,
mengevaluasi pelaksanaan dan dampaknya. Oleh karena itu,
dampak yang diharapkan dari hasil pemecahan masalah dalam
tataran klinik keperawatan maupun operasional manajemen dapat
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada pasien,
produktivitas kerja, serta motivasi dan moral staf keperawatan.

Peran Perawat Clinical Care Manager


Dalam model praktik asuhan keperawatan profesional,
perawat clinical care manager memiliki tanggung jawab untuk
membimbing, mengarahkan, dan mengevaluasi perawat primer dan
timnya dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.
28

Selain itu perawat clinical care manager diharapkan


mengidentifikasi fenomena keperawatan yang memerlukan
pembuktian sebagai landasan dalam pemberian asuhan
keperawatan yang optimal, serta membuat keputusan klinis asuhan
keperawatan pasien bersama perawat primer dan timnya. Oleh
karena itu, perawat dengan kemampuan yang lebih tinggi untuk
mendukung uraian tugas dan tanggung jawabnya dalam peran
sebagai supervisor klinik keperawatan, sangat diperlukan.

Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan dalam


Keperawatan
Penerapan standar mutu layanan dan standar asuhan
keperawatan menjamin pelaksanaan pelayanan keperawatan yang
optimal kepada pasien. Manajer keperawatan memiliki
kewenangan untuk menyusun dan menerapkan standar mutu dan
standar praktik pelayanan keperawatan. Selain itu, ia juga
bertanggung jawab memantau pelaksanaan dan mengkaji masalah
dan dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan asuhan
keperawatan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan pasien
yang diberikan oleh staf keperawatan.
Dalam pelaksananaan pelayanan keperawatan, manajer
keperawatan dituntut untuk membuat keputusan setiap hari
terhadap operasional pelayanan keperawatan di unit masing-masing
maupun dalam upaya pengembangan staf secara profesional dan
29

personal (Rowland, 2007). Oleh karena itu ketrampilan


pengambilan keputusan yang benar dan pemecahan masalah yang
timbul dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan harus
berdasarkan pada proses analisis ilmiah.

Metode Participatory Problem Solving: Quality Circle


Participatory problem polving: quality circle merupakan
suatu metode pemecahan masalah yang menempatkan sekelompok
orang secara sukarela berkumpul secara berkala untuk
mengidentifikasi, mengkaji, dan menyelesaikan permasalahan yang
timbul di area kerja.

Pelaksanaan metode participatory problem solving: quality


circle ini diharapkan berdampak pada peningkatan kualitas
pelayanan pasien di rumah sakit, produktivitas dan motivasi kerja
karyawan, serta moral karyawan (Rowland, 2007). Metode ini
memungkinkan setiap individu dalam kelompok untuk
berpartisipasi dalam penyelesaian masalah, sehingga dapat
mengasah kreativitas, membangun jenjang karir, dan membantu
bertumbuh secara profesional dan personal.

Komponen dalam Participatory Problem Solving: Quality Circle


 Steering Committee
 Fasilitator
 Pemimpin Kelompok
 Anggota Kelompok
30

Proses Pemecahan Masalah


Langkah-langkah proses pemecahan masalah pada metode
participatory problem solving (Rowland, 2007) meliputi:
 Kelompok mengidentifikasi masalah yang timbul di area
kerja
 Kelompok memilih masalah yang akan dipelajari
 Kelompok menganalisis masalah
 Kelompok mempresentasikan penemuan dan rekomendasi
dalam penyelesaian masalah kepada pihak manajemen
 Manajemen mengkaji ulang hasil presentasi dan memilih
implementasi yang akan dilaksanakan

Berdasarkan keputusan manajemen, kelompok


mengimplementasikan desain strategi yang sudah dibuat untuk
menyelesaiakan masalah.
PRODUKSI CERDAS ASI “BUNDA CERIA”
Regina Vidya Trias Novita, dkk.
STIK Sint Carolus Jakarta

Perdarahan postpartum dapat ditekan dengan kegiatan


menyusui karena membantu rahim berkontraksi secara normal dan
mengurangi jumlah darah yang hilang (Newman, 2008). Wanita
yang melakukan inisiasi dini dan menyusui secara terus menerus
dapat mencegah terjadinya perdarahan setelah melahirkan
(Thompson et al, 2010). Menunda untuk menyusui segera setelah
bayi lahir dapat meningkatkan angka kematian neonatus dimana
16% kematian bayi baru lahir dapat diselamatkan dimulai dari hari
pertama kelahiran dan 22% jika pada jam pertama menyusui
(Edmond, 2006).
Bagi seorang wanita, memberikan Air Susu Ibu (ASI)
kepada bayinya yang baru lahir adalah proses alamiah dan tanpa
bantuan untuk melaluinya namun kenyataannya banyak wanita
mengalami kesulitan menyusui. Hambatan menyusui yang ditemui
setelah wanita melahirkan adalah depresi postpartum, keterbatasan
fisik ibu, kelainan kongenital pada bayi, kelainan puting dan
pembengkakan payudara (Walker, 2006). Hari pertama sampai
dengan hari ke-14 postpartum dari 114 ibu-ibu di Amerika, yang
mengalami persalinan spontan dan seksio sesar mengalami
pembengkakan payudara setelah pulang dari rumah sakit, dan tidak
didokumentasikan dengan baik (Lawrence, 2005).
34

Rasa nyeri pada payudara akibat pembengkakan payudara


dapat menyebabkan rasa tidak nyaman yang dirasakan tidak hanya
oleh ibu tetapi juga bayi. Payudara yang bengkak biasanya diikuti
oleh areola yang tegang karena banyaknya air susu yang mulai
terbentuk dan mengisi jaringan intertitial. Kejadian tersebut
membuat bayi kesulitan untuk melakukan perlekatan sehingga air
susu yang didapat bayi tidak optimal. Ketegangan pada daerah
areola dapat diturunkan dengan melakukan Reverse Pressure
Softening (RPS) sebelum menyusui yaitu teknik menekan daerah
areola sehingga dapat lebih mudah masuk ke mulut bayi. Hisapan
bayi dapat membantu mengalirkan ASI keluar sehingga
pembengkakan payudara pun akan menurun (Cotterman, 2004).
Payudara bengkak berarti payudara terlalu penuh, sebagian
karena ASI dan sebagian lagi karena peningkatan cairan jaringan
dan darah yang mengganggu aliran ASI. Selama ASI statis tidak
bergerak maka protein Feedback Inhibitor of Lactation (FIL) akan
berakumulasi dalam payudara sehingga dapat menurunkan
produksi ASI. FIL juga dapat memicu terjadinya apoptosis
(kematian sel) sehingga terjadi involusi kelenjar susu (Mannel et al,
2008).
Perawatan pada payudara yang bengkak yang selama ini
dilakukan adalah dengan kompres dingin dan hangat, kompres gel
packs, kompres daun kol dingin, akupuntur, pijat payudara,
memerah payudara, penggunaan herbal sampai dengan
35

menggunakan obat-obatan untuk menurunkan rasa nyeri payudara.


Perawatan payudara yang dilakukan tersebut ternyata dapat
mengeluarkan air susu dengan lancar, tanpa mengurangi produksi
ASI (Westdhal, 2006; Ayers, 2000; Walker, 2000).
Kompres daun kol yang berwarna hijau (brassica capitata)
atau gel dari bahan baku kol dengan ditempelkan pada payudara
yang bengkak dapat mengurangi pembengkakan payudara karena
pada daun kol mengandung allylisothiocyanate, minyak mustrad,
magnesiun oxylate, sulphur (Davis, 2009). Pada daun kol memiliki
kandungan zat yang tidak berbahaya sama sekali (Ballering, 2007).
Penelitian oleh Smitri Arora (2008) di India, menemukan
bahwa kompres dingin daun kol sama baiknya dengan kompres
panas dan dingin. Keduanya dapat dipakai sebagai pengobatan
pembengkakan pada payudara namun kompres hangat dan dingin
lebih efektif untuk menurunkan nyeri daripada kompres dingin
dengan kol pada payudara yang mengalami pembengkakan.
Penelitian lain oleh Villarreal et al (2007) tentang komposisi dan
metode untuk mengurangi pembengkakan payudara dengan
minum jus kol dan cream liposome tidak hanya mengatasi
pembengkakan payudara tetapi juga dapat mengatasi nyeri dan
galaktorea. Kegiatan menyusui yang lebih sering ternyata dapat
menurunkan jaringan payudara yang mengeras dibandingkan hanya
menggunakan krim (Walker, 2000).
36

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mengurangi


pembengkakan seperti efektivitas kompres dingin dan atau hangat
karena adanya cairan yang terjebak dalam jaringan yang
menyebabkan tertundanya laktogenesis II, dan adanya nyeri yang
ditimbulkan karena pembengkakan. Kompres dingin daun kol pada
payudara yang bengkak dapat dilakukan bila kulit payudara tidak
ada luka dan ibu tidak alergi terhadap sulpha, pengompresan akan
efektif dan terlihat hasilnya dalam waktu 1-2 jam (Davis, 2009) dan
wanita yang melakukan kompres kol dalam mengurangi rasa
nyerinya akibat pembengkakan payudara dapat menyusui secara
eksklusif, hal tersebut ternyata dapat meningkatkan kepercayaan
diri ibu selama proses menyusui (Walker et al, 2006; Dennis,
2006).
Penelitian lain mengatakan, ibu yang mengalami
pembengkakan setelah menggunakan cold packs dapat menurunkan
rasa nyeri dan penurunan pembengkakan dibandingkan ibu-ibu
yang tidak menggunakannya hanya perawatan rutin di rumah sakit
(Robert KL (1995) dalam Berens (2001)). Perbedaan pada ASI
yang diproduksi dan ASI yang telah dikeluarkan untuk bayi mereka
pun tidak ada (Walker, 2000). Pengompresan payudara
menggunakan daun kol dingin yang berwarna hijau dan gel packs
yang dingin secara signifikan dapat menurunkan rasa nyeri dan
banyak ibu lebih memilih daun kol dingin untuk digunakan karena
nyaman saat digunakan (Robert KL (1998) dalam Snowden, et al
37

(2001)). Penggunaan daun kol dengan suhu ruangan lebih


dianjurkan daripada daun kol dingin, karena tidak ada perbedaan
dalam jumlah produksi ASI yang dihasilkan dan keduanya
memiliki khasiat untuk menurunkan nyeri pada payudara (Smith,
2000; Walker, 2000).
PK. Sint Carolus dalam periode 3 bulan terakhir yaitu bulan
Desember 2010 sampai Februari 2011 tercatat ada 84 persalinan
dengan seksio sesar, sebanyak 35 di antaranya adalah ibu-ibu yang
mengalami pembengkakan payudara di ruang perawatan, dan 175
persalinan normal, 48 di antaranya mengalami pembengkakan
payudara. RSIA Hermina Jatinegara merupakan rumah sakit tipe B,
dalam kurun tiga bulan terdapat 176 persalinan spontan dan 374
seksio sesar. Kedua pelayanan kesehatan ini menunjang sepuluh
LMKM adalah mengadakan penyuluhan tentang perawatan pada
payudara postpartum namun belum teridentifikasi secara jelas
dalam 3 bulan terakhir terjadinya pembengkakan pada ibu
postpartum.
Pembengkakan payudara yang terjadi baik di rumah sakit
maupun rumah tidak dapat diidentifikasi penyebabnya dengan jelas
dan tidak didokumentasikan dengan baik. Pada waktu kontrol
kembali ke rumah sakit kadang kala ibu sudah memberikan
suplemen tambahan karena pembengkakan payudaranya yang tidak
tertangani.
38

Perawatan rutin yang diberikan di rumah sakit adalah


perawatan payudara sedini mungkin setelah melahirkan dengan
menggunakan pijat payudara dan kompres hangat-dingin, sebagai
salah satu tindakan pencegahan pembengkakan payudara. Bagi
beberapa ibu postpartum tindakan tersebut mampu menolong,
namun sebagian ibu merasa sangat nyeri dan tidak nyaman dengan
metode tersebut sehingga nanti akan berpengaruh terhadap ibu
untuk tidak memberikan air susunya.
Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui efektivitas paket
“Bunda Ceria” terhadap rasa nyeri dan produksi ASI pada ibu masa
post partum dengan pembengkakan payudara, dengan melakukan
intervensi kompres kol dan RPS pada ibu post partum yang
mengalami pembengkakan payudara.

Metodologi
Penelitian ini menggunakan quasi experiment dengan pre
dan post test, menggunakan quota sampling dengan 68 responden.
Penelitian dibantu 2 kolektor data dari setiap rumah sakit. Validitas
dan reliabilitas pengumpul data telah melakukan interreter
reliability diperoleh uji kappa yang signifikan. Data dianalisis
menggunakan independent sampel t-test dan chi square. Pada
kelompok intervensi dan kontrol dilakukan intervensi selama 3 hari
mengukur skala nyeri dan pembengkakan payudara dengan
Humenick & Hill scale. Pada kelompok intervensi, responden
39

mengompres payudaranya dengan kol dengan cara : memilih daun


kol yang masih segar, daun kol hijau diambil secara utuh
perlembar, usahakan tidak robek, cuci bersih daun kol, tutupi
semua area payudara yang bengkak dan kulit yang sehat, kecuali
daerah aerola dan puting, kompres payudara berlangsung selama
20-30 menit atau sampai daun kol tersebut layu. (Dapat dilakukan
di dalam bra), lakukan sehari dua kali (pagi dan sore) selama 3
hari.

Setelah kompres selesai lakukan penekanan pada areola,


tindakan ini tidak menimbulkan rasa nyeri, dengan cara: melakukan
RPS yang pertama adalah metode satu tangan Gunakan seluruh
jari melingkar sekitar puting seperti menggenggam puting. Tekan
selama 1-3 menit dengan lembut, lakukan bergantian, gerakkan ini
bisa juga menggunakan 3-4 jari tangan pada kedua tangan
membentuk lingkaran di sekitar puting.
Intervensi pada kelompok kontrol dalam menangani
payudara bengkak sesuai dengan prosedur rumah sakit tempat ibu
40

dirawat setelah melahirkan. Intervensi pada kelompok kontrol dan


intervensi dilakukan oleh peneliti sesuai kriteria inklusi.
Peneliti mengisi lembar observasi dan kuesioner sebelum
dilakukan intervensi dan sesudah intervensi. Evaluasi dilakukan 7
hari kemudian untuk menilai produksi ASI, menggunakan
kuesioner dan observasi menyusui seperti pelekatan bayi saat
menyusu menggunakan IFBAT, perahan ASI, frekuensi : menyusu,
buang air kecil dan besar, jam bayi tidur setelah menyusu, jadwal
menyusui serta variabel confounding meliputi psikologis ibu,
dukungan selama proses menyusui, penggunaan galaktogog.

Hasil Penelitian

95% CI
Variabel N Mean SD SE P Value

Nyeri Payudara
Sebelum 34 6.59 0.98 0.16
Setelah 34 2.76 0.60 0.10 0.0005 3.46 - 4.18
Bengkak Payudara

Sebelum 34 4.97 0.67 0.12


Setelah 34 2.29 0.68 0.12 0.0005 2.37 - 3.01

Tabel 1 Perbedaan Skala Nyeri dan Pembengkakan Payudara Sebelum dan


Sesudah Intervensi Paket “Bunda Ceria” Pada Kelompok Intervensi di PK. Sint
Carolus dan RSIA Hermina Jatinegara Mei –Juni 2011

Tabel 1 memperlihatkan perbedaan skala nyeri dan


pembengkakan payudara pada kelompok intervensi “Paket Bunda
Ceria”. Rata-rata skala nyeri setelah intervensi 2.76 dengan standar
41

deviasi 0.60. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa ada


perbedaan yang bermakna perbedaan skala nyeri sebelum dan
setelah intervensi “Paket Bunda Ceria” (p=0.0005; α=0.05) pada
kelompok intervensi Paket “Bunda Ceria” dipercaya sebesar 95%
jika pengukuran dilakukan di populasi maka perbedaan skala nyeri
antara 3.46 sampai 4.18. Sedangkan perbedaan Perbedaan rata-rata
skala nyeri setelah intervensi 2.29 dengan standar deviasi 0.68.
Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa ada perbedaan yang
bermakna perbedaan skala bengkak sebelum dan setelah intervensi
“Paket Bunda Ceria” (p=0.0005; α=0.05) pada kelompok
intervensi dipercaya sebesar 95% jika pengukuran dilakukan di
populasi, maka perbedaan pembengkakan payudara antara 2.34
sampai 3.02.

R P
p Square Model
Model B Beta
value
Konstanta 0.50 0.0005

Paket “Bunda Ceria” 0.99 0.67 0.0005 0.446 0.0005

Tabel 2. Uji Efektifitas Kemaknaan Antara Karakteristik dan Kelompok


Intervensi dengan Nyeri PayudaraPada Ibu Post Partum di PK. Sint Carolus dan
RSIA Hermina Jatinegara Mei-Juni 2011 (n=68)

Berdasarkan tabel 2 diperoleh nilai R Square 0.446,


artinya paket “Bunda Ceria menjelaskan variabel nyeri sebesar
44.6% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Hasil uji
statistik diperoleh p model 0.0005 yang berarti persamaan garis
42

regeresi sudah signifikan. Berdasarkan hasil analisis dapat


disimpulkan bahwa Paket “Bunda Ceria” berpengaruh terhadap
nyeri payudara pada ibu post partum.

p
p R Square Model
Model B Beta
value

Konstanta 0.43 0.0005


Paket “Bunda 0.42 0.000
0.63 0.65 0.0005
Ceria”

Tabel 3 Uji Efektifitas Kemaknaan Karakteristik dan Kelompok Intervensi


dengan Pembengkakan Payudara Pada Ibu Postpartum di PK. Sint Carolus dan
RSIA Hermina Jatinegara Mei-Juni 2011 (n=68)

Berdasarkan tabel 5.8 diperoleh nilai R Square 0.42,


artinya paket “Bunda Ceria menjelaskan variabel pembengkakan
sebesar 42% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Hasil
uji statistik diperoleh p model 0.0005 yang berarti persamaan garis
regeresi sudah signifikan. Berdasarkan hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa Paket “Bunda Ceria” berpengaruh terhadap
pembengkakan payudara pada ibu post partum.
P
p R Square Model
Model B Beta
value
Konstanta 18.636 0.0005
Kelompok
-0.348 -0.13 0.27
Intervensi 0.083 0.060
GGalaktogog 0.961 0.44 0.032

Tabel 4 Uji Efektifitas Kemaknaan Dukungan, Tingkat Depresi,


Penggunaan Galaktogog dan Kelompok Intervensi
dengan Produksi ASI Pada Ibu Postpartum
di P.K. Sint Carolus dan RSIA Hermina Jatinegara Mei-Juni 2011 (n=68)
43

Hasil analisis pada tabel 5.9 diperoleh nilai R Square


0.083, artinya produksi ASI dipengaruhi penggunaan galaktogog
sebesar 8.36% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain.
Hasil uji statistik diperoleh p model 0.06 yang berarti persamaan
garis regeresi tidak signifikan. Berdasarkan hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa penggunaan galaktogog berpengaruh terhadap
produksi ASI (p value 0.032).

Pembahasan
Hasil penelitian ini adalah bahwa ada perbedaan skala nyeri
dan skala pembengkakan payudara sebelum dan sesudah intervensi
(p=0.0005; α=0.05). Hasil ini mendukung pendapat Ballering
(2007) yang mengatakan bahwa kol dapat menurunkan rasa nyeri
pada payudara yang bengkak. Peningkatan kenyamanan yang
diberikan oleh kol dapat mengurangi rasa nyeri dan pembengkakan,
sedangkan metode Cotterman (2004) yang dilakukan dapat
menurunkan tegangan pada daerah areola, sehingga bayi dapat
menyusu dengan baik. Pendapat yang mendukung lainnya antara
lain adalah dengan melakukan kompres pada payudara selama 72
jam postpartum dapat menurunkan atau mencegah pembengkakan
payudara dalam minggu-minggu pertama setelah pulang ke rumah
(Nikodem et al, 2007). Pendapat Newman (2008) pengompresan
kol yang ditempelkan pada payudara setelah menyusui dapat
menurunkan rasa nyeri karena pembengkakan payudara, bahkan
44

tiap selesai memerah ASI. Hasil penelitian pada kelompok kontrol


di mana responden mendapat intervensi dari rumah sakit didukung
oleh pendapat Arora (2009) baik tindakan kompres panas dan
dingin dengan kompres kol sama efektifnya didalam menurunkan
rasa nyeri dan pembengkakan (p<0.001), dan ditemukan pula
bahwa kompres panas dan dingin lebih efektif menurunkan nyeri
pada payudara bengkak (p<0.001).
Hasil analisis pada penelitian ini adalah Paket “Bunda
Ceria” efektif dalam menurunkan rasa nyeri dan pembengkakan
payudara dengan nilai p value 0.0005. Hasil penelitian ini didukung
oleh Davis (2011) yang mengatakan paling efektif digunakan
dalam mencegah pembengkakan payudara adalah kompres kol.
Ballering (2007), mengatakan dengan memberikan tindakan
menekan areola dapat juga mengalirkan ASI sehingga ASI tidak
statis, sehingga ASI dapat keluar dan dapat mengobati payudara
bengkak. (Mangesi, 2010). Hasil penelitian ini adalah tidak ada
faktor confounding yang terdapat pada karakteristik responden.
Galaktogog sangat berpengaruh untuk meningkatkan
produski ASI. (p value=0.032) hasil penelitian ini didukung oleh
pendapat Newman (2008) produksi ASI dapat ditingkatkan dengan
mengkonsumsi galaktogog untuk meningkatkan rasa percaya diri
ibu, karena ibu merasa ASI-nya selalu ada selain itu pendapat
Walker dan Wetson (2006), mengatakan untuk menganjurkan ibu
mengkonsumsi galaktogog sesuai dengan budaya setempat. Hasil
45

penelitian ini adalah galaktogog merupakan faktor confounding


yang mempengaruhi produksi ASI.

Kesimpulan
Paket “Bunda Ceria” sangat bermanfaat sebagai metode
untuk mengurangi rasa nyeri dan bengkak pada ibu menyusui,
meskipun metode yang telah dilakukan di rumah sakit juga dapat
menurunkan rasa nyeri pada payudara, namun metode Paket
“Bunda Ceria” lebih efektif.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tindakan
promotif dan preventif, artinya, Paket “Bunda Ceria dapat
digunakan juga sebelum pembengkakan terjadi, pencegahan ini
dapat dilakukan untuk memberikan rasa nyaman dengan
vasodilatasi pada pembuluh darah kapiler pada payudara. Selama
pembengkakan payudara intervensi Paket “Bunda Ceria” dapat
membantu terjadi vasodilatasi sehingga bengkak yang dapat
menimbulkan nyeri dapat diminimalkan.
Pada intervensi ini perawat maternitas dapat berperan
sebagi care giver dalam melaksanakan perawatan payudara setelah
melahirkan. Diperlukan keahlian khusus bagi perawat yang akan
melakukan intervensi ini, sehingga mereka dapat terpuaskan
dengan kehadiran dan pemberian intervensi yang kita berikan, dan
pelayanan yang diberikan semakin berkualitas.
Pemberian informasi di antenatal sebagai upaya perawat
sebagai provider pelayanan kesehatan di masyarakat sehingga
46

pelayanan maternitas dapat menjadi lebih berkualitas, perawat juga


ikut menurunkan angka kematian ibu dan bayi dengan kegiatan
menyusui.
TANGGUH MENGHADAPI IBU
PRE-EKLAMPSIA
Wahyuny Langelo
Unika De la Salle Manado

Keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia belum


mencapai hasil yang diharapkan salah satunya karena masih
tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB) baru lahir. Kejadian mortalitas dan morbiditas pada ibu
hamil, ibu yang bersalin dan nifas masih merupakan masalah besar
di negara berkembang, termasuk Indonesia. Badan Kesehatan
dunia (WHO, 2004) memperkirakan bahwa di seluruh dunia
terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa per tahun diperkirakan
karena perdarahan (25%), penyebab tidak langsung (20%), infeksi
(15%), aborsi yang tidak aman (13%), pre-eklampsia/eklampsia
(12%), persalinan yang kurang baik (8%) dan penyebab langsung
lainnya (8%). Sedangkan perkiraan jumlah kematian Ibu
menurut penyebabnya di Indonesia tahun 2010 adalah
perdarahan sebanyak 3.114 (27%), pre-eklampsia dan
eklampsia sebanyak 2.653 (23%) dan infeksi sebanyak 1.268
(11%).
Dari data di atas, pre-eklampsia memperlihatkan angka
yang signifikan sebagai salah satu penyebab kematian maternal.
Untuk itu, sangat diperlukan pemahaman tentang hal ini. Pre-
eklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan
50

adanya edema (pembengkakan) akibat kehamilan, setelah umur


kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Teori yang
dewasa ini banyak dikemukakan sebagai penyebab pre-
eklampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi, penyebab
terjadinya pre-eklampsia tidak hanya oleh satu faktor saja,
melainkan banyak faktor atau disebut dengan multiple causation.
Pre-eklampsia merupakan penyumbang terbesar kematian ibu
kedua setelah perdarahan. Jika hal ini terus terjadi tanpa adanya
upaya pencegahan maka akan semakin tinggi angka kematian ibu
yang akan berdampak pada turunnya derajat kesehatan reproduksi
di negara Indonesia.
WHO memperkirakan bahwa kejadian pre-eklampsia tujuh
kali lebih tinggi pada negara berkembang (2.8% dari kelahiran
hidup) dibandingkan dengan negara maju (0.4%). Insiden kejadian
eklampsia pada negara maju seperti Amerika Utara dan Eropa
adalah sama dan diperkirakan sekitar 5-7 kasus per 10.000 kelahiran.
Di sisi lain, insiden dari eklampsia pada negara berkembang sekitar
1 kasus per 100 kehamilan sampai 1 kasus per 1700 kehamilan.
Presentase pada negara Afrika seperti Afrika Selatan, Mesir,
Tanzania dam Etiopia bervariasi sekitar 1.8% sampai dengan 7.1%.
Di Nigeria prevalensinya sekitar 2 - 16.7% (Osungbade, 2011).
Angka kejadian pre-eklampsia di beberapa rumah sakit di
Indonesia mencapai 4,7 – 7 %. Di RSUD Kota Semarang, kejadian
ibu hamil dengan pre-eklampsia ada sebanyak 14 orang
51

(24,6%) dari total kehamilan sebanyak 569 orang selama periode


Desember 2009- Februari 2010. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung presentasenya mencapai 7,9 – 12,3 %. Di Rumah Sakit
Khusus Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar pada periode
Januari–Desember 2008 terdapat 57 orang (1,36%) ibu hamil yang
menderita pre-eklamsi dan 8 ibu yang menderita eklampsia. Pada
tahun 2009 terdapat 67 orang ibu hamil yang menderita pre-
eklampsi dan 8 ibu hamil yang menderita eklampsia, pada tahun
2010 terdapat 61 orang ibu hamil menderita pre-eklampsi dan pada
tahun 2011 terdapat 54 orang ibu hamil yang menderita pre-
eklampsi dan 4 orang ibu hamil yang menderita eklampsia (Data
Rekam Medik RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah, 2011).
Melihat cukup tingginya angka pre-eklampsia di Indonesia,
memberi pengetahuan mengenai hal ini khususnya bagi ibu hamil
dirasa sangat penting. Pendidikan yang baik akan sangat
membantu ibu hamil dalam mengetahui apa yang terjadi dalam
dirinya dan janinnya sehingga kehamilan akan lebih aman.
Pengetahuan mengenai umur ibu pada saat kehamilan,
misalnya, merupakan salah satu faktor yang menentukan
tingkat risiko kehamilan dan persalinan. Wanita yang berusia
kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun memiliki risiko tinggi
terhadap kejadian pre-eklampsia.
Wanita yang berusia kurang dari 20 tahun secara psikologis
belum cukup dewasa untuk menjadi seorang ibu karena
52

pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki masih kurang


sehingga upaya-upaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
pada waktu hamil kurang diperhatikan oleh mereka. Pada ibu yang
berusia diatas 35 tahun dikatakan berisiko tinggi dalam hal
reproduksi karena pada usia ini, elastisitas dari otot-otot panggul
serta organ-organ reproduksinya mengalami kemunduran sehingga
ibu akan mengalami kesulitan dalam hal persalinan. Pengawasan
terhadap mereka perlu juga diperhatikan karena dapat terjadi
hipertensi akibat stres pekerjaan yang dapat memicu
terjadinya pre-eklampsia. Menurut BKKBN (2001), bahwa
jika ingin memiliki kesehatan reproduksi yang prima
seyogyanya harus menghindari “4 Terlalu” di mana dua di
antaranya menyangkut dengan usia sang ibu, T yang pertama
adalah terlalu muda artinya usia kurang 20 tahun karena bisa
menyebabkan terjadinya keguguran, pre-eklampsi,
eklampsia, prematur dan kesulitan dalam persalinan dan
BBLR. T yang kedua adalah terlalu tua karena bisa
menyebabkan terjadinya keguguran, preeklampsi, eklampsi,
timbul kesulitan pada persalinan, perdarahan, BBLR dan
cacat bawaan.
Pada penelitian yang dilakukan di RSKD Ibu dan Anak Siti
Fatimah Makassar tahun 2011- 2012 ditemukan bahwa ibu yang
melahirkan yang memiliki risiko tinggi dari segi umur terhadap
kejadian pre-eklampsia adalah mereka yang memiliki tingkat
53

pendidikan SD yaitu sebesar 39,7%. Hal ini menunjukkan bahwa


kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ibu pada waktu
hamil sangat mempengaruhi kehamilannya dalam hal ini
pengetahuannya mengenai tanda-tanda dan gejala terjadinya pre-
eklampsia tidak diketahui dengan cepat.
Aspek sosial yang sering menyertai ibu hamil dengan
usia muda adalah kehamilan yang tidak diinginkan karena
pergaulan seks bebas, kecanduan obat dan atau perokok. Aspek
sosial dapat menimbulkan kesulitan tumbuh kembang janin dan
penyulit saat proses persalinan berlangsung. Untuk itu sangat
diperlukan upaya pencegahan dan upaya dalam hal
meminimalisasikan kejadian pre-eklampsia berdasarkan faktor
umur. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan
melalui penyuluhan kesehatan reproduksi mengenai pentingnya
merencanakan kehamilan pada usia yang aman yaitu usia 20 – 35
tahun.
Selain faktor umur, faktor paritas merupakan faktor risiko
terhadap kejadian pre-eklampsia. Paritas adalah banyaknya
kelahiran hidup atau jumlah anak yang dimiliki oleh seorang
wanita. Ibu hamil yang sudah pernah melewati persalinan pertama
memiliki risiko pre-eklampsia lebih kecil dibanding dengan yang
baru akan mengalami persalinan pertamanya. Pengetahuan dan
kesadaran akan perubahan kondisi tubuh selama masa kehamilan,
misalnya tekanan darah yang bertambah, kurangnya asupan gizi,
54

dan lain-lain yang berhubungan dengan kehamilan itu sendiri,


sangat penting diberikan kepada ibu hamil. Ibu dengan kehamilan
pertama secara umum kurang menyadari akan pentingnya
pemeriksaan kehamilan yang rutin tidak adanya pengalaman akan
kehamilan membuat mereka tidak peka dan pada akhirnya
menyebabkan keterlambatan untuk dideteksi adanya gangguan
kehamilan yang dapat membahayakan bagi ibu maupun bagi janin
yang dikandungnya.
Berdasarkan hasil analisis dengan uji odds ratio diperoleh
nilai OR = 3,425 ini menunjukkan bahwa risiko kejadian pre-
eklampsia ibu melahirkan dengan paritas 1 atau >3 adalah 3,42 kali
lebih besar dibandingkan dengan ibu yang melahirkan dengan
paritas 2-3. Pre-eklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama
dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat
diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking
antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna yang semakin
sempurna pada kehamilan berikutnya.
Adanya pemeriksaan kehamilan (ANC) secara rutin dan
teratur dapat mengurangi angka kejadian pre-eklampsia.
Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan pada pelayanan kesehatan
oleh petugas kesehatan dengan baik dapat mendeteksi secara dini
faktor-faktor risiko gangguan kehamilan dan persalinan. Dengan
demikian dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan sedini
mungkin.
55

Pemeriksaan kehamilan adalah suatu proses pemeriksaan


yang dilakukan mulai pertama masa kehamilan sampai saat proses
persalinan pemeriksaan ini dilakukan untuk mengawasi dan
memonitor kesehatan ibu dan bayi sehingga semuanya berjalan
lancar seperti yang diharapkan. Pemeriksaan kehamilan yang tidak
teratur dengan pelayanan yang kurang memberikan kontribusi
terhadap tingginya terjadinya komplikasi kehamilan salah satunya
adalah kejadian pre-eklampsia. Ibu yang melakukan pemeriksaan
kehamilan yang rutin dan mendapatkan pelayanan yang baik
memiliki peluang kecil terjadinya komplikasi karena ada deteksi
dini jika terjadi suatu masalah dalam kehamilan ibu sendiri. Pada
pemeriksaan antenatal, pelayanan standar minimal yang didapat
termasuk dalam 7T antara lain timbang berat badan, ukur tekanan
darah, ukur tinggi fundus uteri, pemberian imunisasi TT lengkap,
pemberian tablet besi, test terhadap penyakit menular seksual, temu
wicara dalam rangka persiapan rujukan (Sarwono, 2001).
Berdasarkan hasil analisis dengan uji odds ratio diperoleh
nilai OR =2,729 risiko kejadian pre-eklampsia ibu melahirkan
dengan melakukan pemeriksaan kehamilan tidak teratur yaitu <4
kali selama kehamilan dan tidak memenuhi standard pelayanan
7T memiliki risiko 2,72 kali lebih besar untuk menderita
preeklampsia dibandingkan ibu yang melakukan pemeriksaan
kehamilan (ANC) secara teratur. Pada penelitian yang dilakukan di
RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah 2011-2012 ditemukan bahwa ibu
56

yang melahirkan paling banyak melakukan pemeriksaan kehamilan


di puskesmas (70,5%), bidan (16,4%) , dokter (12,3%) dan rumah
sakit (0,7%). Ibu yang menderita preeklampsia juga sebagian besar
tidak memiliki pekerjaan yaitu sebanyak 63 orang (92,6%). Profesi
sebagai ibu rumah tangga menunjukkan bahwa meskipun tidak
melakukan pekerjaan di luar rumah namun pekerjaan rumah tangga
yang harus dilakukan oleh seorang ibu membuat dia tidak memiliki
waktu dan merasa lelah untuk melakukan pemeriksaan yang rutin
terlebih bagi ibu yang memiliki jumlah anak lebih dari dua.
Ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah tidak memiliki
pengetahuan mengenai standar pelayanan kehamilan yang harus
didapatkannya selama mulai dari pertama hamil sampai dengan
melahirkan, adanya sifat komunikatif dari para petugas dengan para
ibu sangat membantu mereka untuk sering melakukan pemeriksaan
dan ingin mencari tahu mengenai keadaan kehamilan mereka.
Kejadian preeklampsia dapat di cegah dan salah satunya adalah
dengan melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC) yang rutin pada
fasilitas kesehatan maka kejadian yang tidak kita inginkan untuk
ibu dan janinnya tidak akan terjadi. Namun perlu diketahui bahwa
dukungan keluarga pada ibu hamil akan memberikan motivasi yang
tinggi untuk memperhatikan keadaan kehamilannya.
Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat badan menjadi
gemuk (obese) yang disebabkan penumpukan adipose (jaringan
lemak khusus yang disimpan tubuh) secara berlebihan sehingga
57

obesitas adalah keadaan ketika seseorang memiliki berat badan


yang berlebih. Obesitas memiliki banyak dampak buruk bagi
kesehatan dan risikonya akan menjadi dua kali lipat jika obesitas
terjadi pada ibu hamil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
American College of Obstetrics and Gynecology, obesitas selama
kehamilan dapat membahayakan untuk sang ibu dan bayi. Ibu
hamil yang obesitas akan mudah terkena komplikasi, termasuk
kejadian preeklampsia. Wanita yang mengalami obesitas lebih
rentan memiliki komplikasi pada waktu melahirkan dan memiliki
risiko tinggi terjadinya preeklampsia pada waktu hamil, kondisi
kehamilan yang serius akan mempengaruhi kerja dari plasenta 14
kali lebih besar. Wanita yang memiliki IMT (Indeks Massa Tubuh)
>25-27 memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk mendapat
hipertensi termasuk preeklampsia dibandingkan wanita yang
memiliki berat badan normal. Untuk ibu hamil dihitung dengan
menggunakan berat badan sebelum hamil dibagi dengan tinggi
badan kuadrat. Obesitas pada ibu hamil menyebabkan terjadinya
perubahan maternal hemodinamik termasuk tekanan darah arteri
yang tinggi, hemokonsentrasi, dan perubahan pada fungsi jantung.
Kegemukan merupakan ancaman yang cukup serius bagi ibu hamil.
Angka kejadian pre-eklampsia pada ibu hamil dapat dikurangi
dengan cara mengatur berat badan tidak diperlukan adanya diet
yang keras namun dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi
dalam jumlah yang cukup.
58

Peningkatan berat badan di trimester pertama memang


relatif sedikit, tidak naik atau bahkan berkurang karena muntah-
muntah. Peningkatan berat badan yang cukup pesat terjadi di
trimester 2 dan 3 karena ada istilah bahwa ibu hamil makan untuk
dua orang, apa yang dimakan oleh sang ibu merupakan nutrisi bagi
janin yang ada dikandungan. Pada periode inilah perlu dilakukan
pemantaun ekstra terhadap berat badan. Risiko kejadian pre-
eklampsia meningkat dengan adanya peningkatan berat badan.
Olah raga merupakan cara yang baik untuk memelihara
stamina tubuh dan menjaga agar tubuh tetap sehat terlebih bagi
ibu hamil karena sangat membantu dalam menguatkan jantung
sang ibu dan juga bayi yang dikandungnya. Olah raga juga
dikatakan dapat membantu mencegah terjadinya kejadian pre-
eklampsia beserta komplikasinya. Penelitian terbaru menyatakan
bahwa ibu yang melakukan olah raga yang berlebihan pada
awal kehamilannya akan berisiko terhadap kejadian
preeklampsia. Aktivitas fisik intens akan menginduksi stres
oksidatif pada ibu dan ini pada akhirnya akan memberikan
kontribusi untuk pengembangan terjadinya preeklampsia.
Pernyataan ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sterdal (2008) menunjukkan bahwa ibu hamil yang
melakukan olah raga sebanyak 270 menit / minggu - 419 menit /
minggu memiliki nilai OR atau risiko 1.65 kali lebih besar dan
wanita dengan tingkat aktifitas fisik sebanyak 420 menit per
59

minggu atau lebih memiliki nilai OR atau risiko sebesar 1.78 kali
lebih besar memilki peningkatan risiko pre-eklampsia. Sangat
penting bagi wanita hamil untuk menjadi sehat dan cukup aktif
tanpa melakukan olah raga yang berlebihan.
Kejadian pre-eklampsia merupakan kejadian yang
“treatable” dalam arti bahwa bisa dicegah dengan menghindari
faktor-faktor yang memberi kontribusi terhadap kejadian pre-
eklampsia dalam hal ini hamil pada usia yang aman untuk
kehamilan yaitu pada usia 20-35 tahun, jumlah paritas tidak lebih
dari 3, melakukan pemeriksaan kehamilan yang rutin dan tidak
terbatas pada 4 kali pemeriksaan kehamilan sampai melahirkan.
Peran dari petugas kesehatan pun sangat penting sehingga
diharapkan agar petugas kesehatan melaksanakan pelayanan
antenatal secara maksimal guna mendeteksi gangguan dan
kesulitan selama kehamilan sehingga baik ibu maupun janinnya
dapat berada dalam kondisi baik saat melahirkan. Selain itu
memberikan pemahaman kepada ibu hamil dan pasangan usia
subur tentang usia reproduksi yang aman dan pentingnya
melakukan pemeriksaan kehamilan. Perlu ditingkatkan promosi
dan pendidikan mengenai Kesehatan Ibu dan Anak sampai pada
tingkat rumah tangga.
Selain tiga faktor di atas, faktor berat badan ibu hamil juga
perlu diperhatikan. Menjaga berat badan ibu penting agar tidak
membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya. Hal ini
60

dapat dilakukan dengan menjaga pola makan tanpa mengurangi


gizi yang diperlukan oleh janin yang dikandungnya dan
melakukan aktifitas fisik yang tidak berlebihan. Faktor yang tak
kalah penting selain pentingnya pengetahuan ibu hamil adalah
motivasi dari keluarga dan terutama suami.
HOSPITALITAS KELUARGA
DAN
PETANGGUH SAKIT KANKER
Lina Dewi Anggraeni
STIK Sint. Carolus Jakarta

Perkembangan teknologi dan industri telah banyak


membawa perubahan pada perilaku, gaya hidup bahkan situasi
lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya pencemaran
atau polusi lingkungan, perubahan pola konsumsi makan dan juga
menurunnya aktivitas fisik. Perubahan tersebut tanpa disadari telah
memberi kontribusi terhadap terjadinya transisi epidemiologi, yang
ditandai dengan semakin meningkatnya kasus penyakit tidak
menular seperti; jantung, kanker, diabetes, hipertensi, gagal ginjal
dan sebagainya. Penyakit-penyakit ini lambat laun akan menjadi
suatu penyakit yang bersifat kronis.
Penyakit kronik adalah suatu kondisi fisik maupun mental
yang mempengaruhi fungsi sehari-hari dari seorang individu
dengan interval lebih dari 3 tahun. Penyakit ini juga menyebabkan
hospitalisasi selama lebih dari satu bulan dalam setahun atau saat
pertama kali didiagnosa (Wong, 2008). Penyakit kronis dapat
diderita oleh siapa saja baik dewasa maupun anak-anak tanpa
memandang usia dan jenis kelamin.
Salah satu penyakit kronis yang ditemukan pada anak
adalah kanker. Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
64

pertumbuhan abnormal dari suatu sel,


(http://cancer.gov/cancertopics/cancerlibrary/what-is-cancer,
diperoleh 01 Februari 2012).
Kanker dapat menyerang bagian manapun dari anggota
tubuh manusia dan juga dapat menyebar melalui sistem peredaran
darah dan limfe. Kanker merupakan salah satu penyebab kematian
di seluruh dunia. Data statistik resmi dari International Agency for
Research on Cancer (IARC) menyatakan bahwa 1 dari 600 anak
akan menderita kanker sebelum umur 16 tahun,
http://www.ykaki.org/id/cancer/page/mengenai-kanker-pada-anak,
diperoleh 01 Februari 2012. Data World Health Organization
(WHO) menyebutkan setiap tahun penderita kanker di dunia
bertambah 6,25 juta orang. Dari jumlah tersebut 4% atau 250 ribu
penderita adalah anak – anak. Jumlah kasus kanker di Indonesia
yang terjadi pada anak – anak sekitar 2 – 3%, yakni sebesar 150
dari 1 juta orang anak. Oleh karena itu, diperkirakan setiap
tahunnya ada 4100 kasus baru kanker pada anak Indonesia. (28
Juli, 2006). Kompas.
Kanker pada anak merupakan masalah yang cukup
kompleks mengingat perawatan dan pengobatannya tidak hanya
melibatkan orang tua tetapi juga saudara kandung, dokter, perawat,
sekolah dan masyarakat serta lingkungannya. Saat salah satu
anggota keluarga mengalami masalah kesehatan maka seluruh
anggota keluarga yang lain akan merasakannya. Hal ini disebabkan
65

karena status sehat/sakit para anggota keluarga saling


mempengaruhi satu sama lain.
Ketika seorang anak didiagnosis dan menjalani pengobatan
kanker, mereka dan seluruh anggota keluarganya dihadapkan pada
situasi dan kondisi yang penuh dengan tantangan. Kondisi ini akan
menyebabkan stress yang berkaitan dengan efek samping jangka
pendek dan panjang seperti terjadinya kekambuhan penyakit
(relaps). Selain itu juga, saat menjalani pengobatan, keluarga harus
selalu melakukan kunjungan ulang ke Rumah Sakit baik rawat inap
maupun rawat jalan, keluarga akan menghadapi kesulitan ekonomi,
ketidakpastian prognosis penyakit yang di derita anaknya bahkan
ketakutan akan terjadinya kematian (Huotzager, 1999 dalam
Massie, 2010). Tantangan –tantangan dan stres yang terjadi dapat
mempengaruhi bahkan menggangu kehidupan sehari-hari dari
seluruh anggota keluarga yang pada akhirnya akan mengubah
keseimbangan dalam sistem keluarga.
Tantangan-tantangan dan stres ini juga dialami oleh saudara
kandung. Saudara kandung adalah seorang individu yang sangat
rentan untuk mengalami depresi, cemas, marah, perasaan bersalah
bahkan mengalami isolasi sosial. Hal ini disebabkan karena orang
tua yang memiliki anak penderita kanker cenderung untuk
memberikan perhatian dan waktu yang lebih kepada anak yang
sakit sehingga kebutuhan anak lainya sering terabaikan (Opperman
dan Alant, 2003 dalam O’Brien, Duffy dan Nichol, 2009).
66

Memiliki saudara atau saudari yang menderita kanker dapat


menyebabkan dampak yang sangat komplek. Hal ini disebabkan
karena tidak semua saudara kandung memiliki keterampilan
kognitif dan kematangan emosional untuk memahami dan
mengatasi masalah-masalah yang muncul. Hastings (2003 dalam
O’Brien, Duffy dan Nichol, 2009) mengungkapkan bahwa
penyesuaian atau adaptasi dari saudara kandung dipengaruhi oleh
jenis kelamin, karakteristik keluarga, tingkat stress orang tua dan
dukungan sosial. Meskipun banyak dampak negatif yang dialami
oleh saudara kandung tidak menutup kemungkinan dampak positif
pun dialami.
Pengaruh positif yang dialami saudara kandung di
antaranya adalah meningkatkan sensitifitas, kasih sayang dan
empati terhadap anak yang sakit, meningkatkan kedekatan
keluarga, meningkatkan apresiasi terhadap kehidupan dan kebaikan
mereka sendiri serta meningkatkan konsep diri. Pengaruh negatif
yang sering kali dilaporkan adalah merasa cemas dan takut dengan
apa yang akan terjadi pada saudaranya yang sakit, khawatir yang
berlebihan terhadap dirinya sendiri bahwa dia juga akan mengalami
hal yang sama, merasa bersalah bahwa mereka yang menyebabkan
sakit, merasa kurang dihargai, merasa terisolasi, diabaikan karena
kurangnya perhatian dari orang tua, perasaan marah, benci, dan
cemburu karena waktu hanya untuk anak yang sakit, dan merasa
bahwa teman-temannya tidak mengerti.
67

Banyak penelitian yang sudah dilakukan di luar negeri yang


berkaitan penyesuaian psikologis saudara kandung. Alderfer et al.
(2003) mengungkapkan bahwa saudara kandung mengalami
penderitaan yang lebih berat di bandingkan dengan anak yang
sakit. Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa saudara kandung
yang memiliki saudara penderita kanker memiliki tingkat
penyesuaian psikologis dan koginif yang lebih rendah serta
mengalami masalah somatik seperti kesulitan tidur, kesulitan
makan, sakit kepala dan sakit perut (Barlow & Ellard, 2006;
Houtzager et al, 1999; Sharpe & Rossiter, 2002 dalam Massie,
2010).
Setiap anak baik sehat maupun sakit memiliki hak untuk
mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Untuk
meminimalkan pengaruh negatif yang dialami saudara kandung
yang mungkin akan berdampak di kehidupan yang akan datang
dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak.
Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) adalah salah satu
rumah sakit rujukan nasional yang konsen terhadap para penderita
kanker tidak terkecuali anak-anak. Berdasarkan data di RSKD
anak-anak penderita kanker terus bertambah setiap tahunnya. Pada
tahun 2007, jumlah kasus leukemia pada anak bertambah 6 kasus,
tahun 2008 melonjak sebanyak 16 kasus baru, dan tahun 2010
jumlahnya menjadi 31 kasus Pada tahun 2007, kanker otak tercatat
5 kasus baru dan pada 2008 bertambah menjadi 7 kasus baru
68

(Childhood Cancer Registry, Dept. Of Child Health, DCH, 2010).


Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengalaman saudara kandung dengan anggota keluarga
yang menderita kanker di Jakarta.
HOSPITALITAS BERSAMA
PENDERITA KHAWATIR KANKER
Jesika Pasaribu
STIK Sint. Carolus Jakarta

Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan


pertumbuhan sel yang pesat dan tidak terkontrol. Penyebab dan
perkembangan kanker disebabkan oleh berbagai hal seperti genetik,
immunologik, virus, kimiawi, radiasi, hormon, lingkungan.
Perkembangan sel kanker sangat cepat dan membahayakan. Saat
zat karsinogen terpapar pada tubuh, tubuh akan segera melakukan
proses detoksifikasi terhadap zat karsinogen tersebut dengan
mengeluarkan enzim proteolitik dan akan dieksresikan menjadi zat
yang tidak berbahaya. Jika proses detoksifikasi gagal, maka zat
karsinogen akan masuk ke dalam inti sel dan akan merubah DNA.
Perubahan yang terjadi pada DNA mengakibatkan disfungsi
pembelahan sel (differensiasi dan proliferasi).
Setelah terjadi perubahan pada DNA, seseorang tidak serta
merta mengidap penyakit kanker. Perjalanan penyakit kanker yang
lama serta dampak yang sangat buruk pada tubuh mengakibatkan
penyakit ini berpotensi mengakibatkan kematian pada penderita.
Setelah penyakit kardiovaskular, kanker merupakan pembunuh
nomor dua di dunia (WHO, 2007). Selanjutnya data WHO (2008)
menyebutkan pada tahun 2008, sebanyak 7,6 juta orang meninggal
karena kanker, kanker menempati porsi penyebab kematian
72

sejumlah 13%. Angka ini diprediksi akan terus meningkat, yakni


pada tahun 2015 akan meningkat menjadi 9 juta orang dan tahun
2030 menjadi 11,5 orang. Sedangkan data di Indonesia menurut
survey Riskesdas 2007, menunjukkan bahwa prevalensi kanker
meningkat dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok
umur 44-54 tahun (1,5%),serta prevalensi lebih tinggi pada
perempuan.
Saat sesorang didiagnosis menderita penyakit terminal, hal ini
dapat menjadi peristiwa traumatik bagi dirinya, keluarga serta
lingkungan klien. Peristiwa tersebut kemudian berujung pada
masalah psikososial yang dialami klien serta keluarga. Kondisi ini
terjadi karena penyakit kanker sendiri yang sudah menjadi stressor
utama bagi penderita dan menjadi peristiwa yang krisis. Penderita
akan mengalami perubahan respon psikologis dan emosional.
Penderita mempersepsikan kanker dengan kematian sehingga
diliputi dengan ketakutan.
Ketakutan yang dialami dapat berupa ketakutan terhadap efek
penyakit, pengobatan dan dampaknya, nyeri, dan kematian.
Ketakutan yang dialami penderita akan ditampilkan dalam bentuk
disfigurement, dependency, gangguan berhubungan dengan orang
lain, nyeri, emaciation, penurunan finansial, abandonment dan
kematian (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2007). Penderita juga
merasa terisolasi karena stigma kanker. Perubahan citra tubuh dan
disfungsi seksual juga sering ditemukan, khususnya jika kanker
73

menyerang organ seksual. Semua kondisi yang dialami penderita


mengakibatkan individu semakin rentan terhadap terjadinya
masalah psikososial.
Studi yang dilakukan Moyer, Sohl, Oliver, Schneider (2009)
menyatakan bahwa peristiwa yang juga berkontribusi terhadap
angka kejadian gangguan psikososial adalah penyakit kanker itu
sendiri, pengobatan, dan hasil dari peristiwa buruk yang dialami
(aftermath). Nordin, Berglund, Glimelius & Sjoden (2000) dalam
studinya menemukan bahwa individu yang didiagnosa mengalami
kanker akan mengalami gangguan psikososial. Gangguan
psikososial terbanyak yang dialami adalah ansietas dan depresi.
Menurut Otto (2001), penggolongan berdasarkan Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV), ansietas
yang dialami penderita kanker dapat digolongkan dalam gangguan
penyesuaian dengan anxious mood (dengan atau tanpa depresi),
generalized anxiety disorder, panic disorder, phobia, post
traumatic stress disorder dan kecemasan berhubungan dengan
kondisi fisik. Ansietas dapat dialami penderita sepanjang masa
sakitnya, yakni pada saat diagnosa ditegakkan, saat pengobatan,
follow up pengobatan. Sedangkan depresi merupakan salah satu
bentuk gangguan alam perasaan yang memunculkan gejala yang
mengindikasikan adanya disfungsi afek, emosi, pikiran dan
aktivitas-aktivitas umum (Copel, 2007). Depresi juga didiagnosis
sesuai dengan kriteria DSM-IV, dimana penderita mengalami
74

depresi minimal 2 minggu dan memiliki gejala seperti anoreksia,


fatigue, penurunan berat badan, dan insomnia. Individu yang
mengalami depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis,
fisik dan sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan,
sensitif, mudah marah dan tersinggung, hilang semangat kerja,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi dan menurunnya
daya tahan (Granfa, 2007). Seseorang yang mengalami depresi
dapat mengalami gangguan dalam kehidupan sehari-hari dan
bahkan dalam aktivitas sosialnya sehingga akhirnya menurunkan
kualitas hidupnya.
Penderita kanker yang dinilai sangat menderita bahkan
sebelum diagnosis ditegakkan menimbulkan permasalahan
psikologis yang harus ditangani. Masalah keperawatan yang timbul
seperti hopelessness, helplessness, ansietas, berduka disfungsional,
keputusasaan, ketidakberdayaan, isolasi sosial, koping individu
tidak efektif, dan resiko bunuh diri (Copel, 2007). Ansietas yang
dialami penderita dapat dilihat dari respon fisik, kognitif, perilaku
dan emosi seperti nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat,
gelisah, lapang persepsi menyempit, perasaan tidak nyaman, serta
tidak mampu menerima rangsangan dari luar (Stuart, 2009).
Ketidakberdayaan penderita ditunjukkan dengan adanya ungkapan
ketidakpuasan atau frustasi karena tidak mampu melakukan tugas,
tidak mampu menghasilkan sesuatu, enggan mengungkapkan
75

perasaan yang sebenarnya, apatif, pasif, menghindar orang lain


(Draft SAK Keperawatan Jiwa UI, 2011).
Bentuk intervensi keperawatan spesialis yang dapat diberikan
pada penderita ansietas adalah deep breathing, relaksasi progresif,
meditasi, visualisasi, penghentian pikiran sedangkan pada penderita
yang mengalami ketidakberdayaan dapat dilakukan terapi kognitif.
(Stuart & Laraia, 2005; Frisch & Frisch, 2006; Copel, 2007). Dapat
disimpulkan bahwa terapi penghentian pikiran dan terapi kognitif
merupakan salah satu terapi spesialis yang tertuju pada individu
khususnya yang mengalami ansietas dan ketidakberdayaan untuk
mengatasi kecemasan dan depresi.
Terapi pengentian pikiran merupakan salah satu contoh
teknik aplikasi psikoterapi kognitif behavior unutk mengubah
proses fikir klien. Townsend (2009) menjelaskan bahwa pengentian
pikiran adalah teknik yang dapat dipelajari sendiri oleh seseorang
setiap kali ingin menghilangkan pikiran yang menganggu atau
negative dan pikiran yang tidak diinginkan dari kesadarannya.
Stuart (2009) menyatakan bahwa terapi ini dapat membantu
menghilangkan pikiran yang menganggu.
Penelitian Supriati (2010) menunjukkan ansietas klien yang
mendapat terapi penghentian pikiran dan relaksasi progresif dapat
menurunkan kecemasan ditandai dengan menurunnya tanda dan
gejala kecemsan secara fisiologis, kognitif, emosi dan komposit
ansietas secara bermakna. Agustarika (2009) juga menunjukkan
76

bahwa terapi penghentuan pikiran sangat membantu secara nyata


mengurangi ansietas penderita dengan ganggua fisik. Kedua
penelitian yang senada tersebut menunjukkan bahwa terapi
penghentian pikiran sangat mungkin dilakukan untuk menurunkan
ansietas.
Menurut Granfa (2007), terapi kognitif (Cognitive Therapy)
adalah suatu terapi yang mengidentifikasi atau mengenali
pemikiran-pemikiran yang negatif dan merusak yang dapat
mendorong ke arah rendahnya harga diri dan depresi yang
menetap. Terapi koginitif dapat membantu menghentikan pola
pikiran negatif dan membantu penderita dalam melawan depresi,
karena terapi ini bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi
positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan,
membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan
pribadi (Burn, 1980). Terapi kognitif merupakan suatu bentuk
psikoterapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara pasien
menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat pasien
mengalami kekecewaan, sehingga pasien merasa lebih baik dan
dapat bertindak lebih produktif. Terapi kognitif diberikan secara
individual dengan harapan individu yang memiliki pikiran negatif
yang merupakan salah satu ciri dari pasien depresi, mampu
mempunyai pemikiran yang sehat yang dapat membentuk koping
yang adaptif dalam menyelesaikan masalahnya.
KOMUNIKASI TERAPEUTIK
BERSAMA LANSIA DEPRESIF
Maria Manungkalit
Unika. Widya Mandala Surabaya

Lanjut usia merupakan saat meningkatnya kerentanan


terhadap depresi. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap
munculnya depresi pada lansia di antaranya yaitu aspek
psikososial, antara lain kematian orang yang dicintai, kehilangan
peran dalam keluarga, kehilangan pekerjaan atau memasuki
masa pensiun serta kesedihan dan perasaan kecewa masa lalu
(Wilkinson, 1995). Komunikasi adalah sebuah komponen
mendasar dalam hidup setiap orang. Tanpa komunikasi tidaklah
mungkin adanya peran yang berarti dalam masyarakat (Roger B,
2000). Menurut Wilkinson, selain terapi keluarga dan terapi
kelompok, meningkatnya tingkat depresi pada lansia di panti
wredha atau penampungan-penampungan yang bersifat sosial
juga dikarenakan kurangnya komunikasi terapeutik yang
diterapkan pada panti tersebut. Beberapa stressor akan semakin
kompleks saat lansia tinggal di suatu institusi seperti panti
werdha, karena adanya anggapan negatif di masyarakat bahwa
panti wredha sebagai tempat pembuangan, penampungan dan
tempat menanti kematian (Oswari, 1997). Komunikasi terapeutik
pada penurunan tingkat depresi lansia masih memerlukan
penjelasan.
80

Depresi adalah perasaan sedih dan pesimis yang


berhubungan dengan penderitaan berupa serangan ditujukan
pada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho W,
1992). Di Indonesia perhatian terhadap penduduk lansia
meningkat terutama karena jumlahnya yang meningkat pesat.
Pada tahun 2000 lansia diperkirakan berjumlah 15,8 juta jiwa
atau 7,6%. Diperkirakan pada tahun 2020 jumlah lansia akan
mencapai 28,28 juta jiwa atau 11,34 % dari total penduduk
Indonesia (Siti Partini Suardiman). Di Jepang telah memasuki
era penduduk berstruktur tua dan tahun 2000 dimana Jepang
menduduki peringkat teratas urutan proporsi lansia di dunia.
Penelitian menunjukkan bahwa 20% sampai 30% penduduk
pernah menderita gejala depresi dalam periode waktu setahun.
Sebagian besar di antaranya menderita depresi ringan sedangkan
satu diantara 20 orang menderita serangan lebih berat.
Perbandingan angka kejadian depresi wanita dan pria adalah 2:1,
dengan catatan angka depresi pria akan meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Umumnya depresi terjadi pada kelas
sosial yang tertinggi dan terendah. Sedangkan pasangan menikah
mempunyai angka yang lebih rendah daripada tidak menikah
kecuali pada remaja (Wilkinson, 1995).

Proses menua di dalam perjalanan hidup manusia adalah


hal yang wajar ataupun alamiah dan bukan suatu penyakit.
Proses menua setiap individu pada organ tubuhnya juga tidak
81

sama cepatnya (Nugroho W, 1992). Pada tahap ini individu


mengalami banyak perubahan baik perubahan fisik, mental dan
psikososial. Terjadinya depresi usia lanjut merupakan interaksi
faktor biologik, psikoaogik, dan sosial. Faktor biologik, usia
lanjut mengalami kehilangan dan kerusakan banyak sel-sel saraf
maupun neurotransmiter, resiko genetik maupun adanya
penyakit tertentu (kanker, diabetes, post stroke, dll)
memudahkan terjadinya gangguan depresi. Sedangkan faktor
psikologik yang berperan dalam timbulya depresi adalah rasa
rendah diri atau kurang rasa percaya diri, kurang rasa keakraban,
dan ketidakberdayaan karena menderita penyakit kronis. Dari
faktor sosial adalah berkurangnya interaksi sosiai, kesepian,
berkabung, dan kemiskinan dapat mencetuskan terjadinya
depresi.

Penguatan mental dan dukungan sosial membantu lansia


membuat koping yang adaptif agar lansia tidak jatuh ke depresi
berat yang lebih kronik. Respon individu terhadap suatu stresor
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal yaitu maturasi kepribadian dan tekanan hidup yang
dihadapi, sedangkan faktor eksternal antara lain dukungan
keluarga, kelompok pendukung sosial lansia maupun petugas
kesehatan. Namun hal itu tentu saja tidak bisa didapatkan oleh
lansia yang tidak memiliki keluarga dan tinggal dipanti.
Komunikasi terapeutik merupakan salah satu pendekatan
82

psikososial selain terapi keluarga dan kelompok. Hubungan


perawat klien yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi
merupakan pengalaman belajar timbal balik, ditandai dengan
tukar menukar prilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam
membina tercapainya perubahan prilaku dan atau untuk
memecahkan suatu masalah (Keliat, 1992). Dalam komunikasi
terapeutik diharapkan dapat memudahkan pembentukan
hubungan kerja antara perawat dengan klien dan memenuhi
tujuan proses perawatan (Widayatun, 1999). Salah satu tujuan
hubungan perawat klien melalui komunikasi adalah diarahkan
pada perubahan prilaku yang adaptif dengan meningkatkan
fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan klien serta
mencapai tujuan personal yang realistis. Diharapkan dengan
komunikasi terapeutik dapat menurunkan tingkat depresi pada
lansia, menghilangkan isolasi sosial serta dapat merasakan
adanya kesamaan antara satu dengan yang lainnya baik usia,
permasalahan, kebutuhan atau tujuan yang ingin dicapai.
Sehingga peneliti mencoba menerapkan komunikasi terapeutik
sebagai satu upaya untuk menurunkan tingkat depresi lansia
yang tinggal di panti.
ANTI BAKTERI ORAL CARE
UNTUK PASIEN TURUN KESADARAN

Ni Luh Widani
STIK Sint Carolus Jakarta

Kesehatan mulut yang baik sangat penting bagi status


kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Mulut dan gigi yang sehat
akan mengurangi risiko terjadinya infeksi. Akan tetapi perawatan
mulut (oral care) dan perawatan gigi sering diremehkan dan
kurang diprioritaskan (Malkin, 2009).

Rongga mulut individu sehat adalah lingkungan yang kaya


dengan microbial. Mikroba dalam rongga mulut bermacam -
macam. Microorganisme di mulut terdiri atas lebih dari 300
spesies/jenis bakteri termasuk protozoa, ragi dan mikoplasma
(Marcotte, 1998). Dalam setiap milliliter air liur dijumpai 10
sampai 200 juta bakteri. Jumlah maksimum bakteri-bakteri ini
dijumpai pada pagi hari atau setelah makan. Bermacam-macam
bakteri rongga mulut terkandung dalam air liur antara lain:
Streptococcus, Enterococcus, Diptheroid, Lactobaccili,
Peptostreptococci, Actinomices, Veilonella, Bacteroides
melaninogenicus, Fusuform dan Neisseria. Sedangkan bakteri yang
terdapat dalam plak antara lain: Leptotrichia, Actinomices,
Streptococcus, dan Veillonela (Marcotte,1998). Jenis - jenis
mikroorganisme di mulut dibagi berdasarkan kebutuhan terhadap
86

oksigen (bakteri aerob dan anaerob) dan berdasarkan habitatnya


(gigi, lidah, dan mukosa).

Meskipun bakteri normal pada mulut yang sehat pada


umumnya tidak menimbulkan penyakit, tetapi asam laktat yang
dihasilkan selama metabolisme karbohidrat oleh microorganisme
seperti Streptococcus mutans dapat menyebabkan demineralisasi
enamel gigi dan menyebabkan karies gigi. Selain itu, plak gigi
dapat berfungsi sebagai reservoir untuk patogen pada pasien
dengan oral care yang buruk (Gipe, Donnelly, & Harris, 1995).

Bakteri dari biofilm mulut mungkin teraspirasi masuk ke


saluran pernafasan yang dapat menimbulkan infeksi sistemik
seperti pneumonia. Jadi, kolonisasi mulut dapat berisiko menjadi
microorganise pathogen pada saluran pernafasan yang dapat
menimbulkan infeksi pernafasan (Paju & Scannapieco, 2007).

Kondisi kesehatan mulut dapat dipengaruhi oleh beberapa


faktor antara lain: faktor usia, kesehatan mental, pola makan yang
kurang baik, kondisi sakit seperti penurunan daya tahan,
dehidrasi, pemberian oksigen, tidak adanya masukan makanan
melalui mulut, dan akibat pengaruh obat. Faktor-faktor tersebut
diatas mengubah kondisi rongga mulut, mengurangi produksi air
liur dan juga membuat mukosa mulut menjadi kering (Malkin,
2009). Faktor-faktor risiko tersebut diatas sering ditemukan pada
pasien dengan penurunan tingkat kesadaran.
87

Pasien yang mengalami penurunan kesadaran umumnya


terjadi pada pasien stroke, gagal ginjal, gagal jantung, gagal nafas
atau pasien berusia tua dengan penyakit komplikasi. Pasien yang
mengalami penurunan kesadaran akan mengalami kesulitan
menelan atau kesulitan makan melalui mulut, bahkan tidak mampu
untuk menelan sehingga sering untuk memasukkan makanan
dibutuhkan suatu pemasangan selang menuju lambungnya
(nogastric tube). Pasien penurunan kesadaran juga cenderung
mendapat terapi oksigen dan bernafas melalui mulut secara terus-
menerus sehingga menyebabkan membran mucosa mulut menjadi
kering (Creven, 2009). Akibat kondisi tersebut pasien kesulitan
mempertahankan kondisi mulut yang sehat, akibat dari perubahan
derajat keasaman, kekeringan mulut dan asupan makanan yang
tidak memadai, sehingga berdampak pada berkurangnya aliran air
liur. Air liur memiliki sifat antibakteri dan merupakan bagian
penting dari sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi di mulut
(Creven, 2009).

Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran cenderung


dirawat dalam jangka waktu yang lama dan oral care yang buruk
sering terjadi sehingga berrisiko mengalami kondisi serius seperti
infeksi saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia) (Stein,
2009). Bila pneumoni terjadi maka dapat memperpanjang hari
perawatan di rumah sakit, biaya perawatan meningkat dan berujung
pada kematian maka dari itu harus diupayakan pencegahan
88

terjadinya infeksi pernafasan tersebut. Salah satu upaya yang dapat


dilakukan adalah dengan mencegah masuknya mikro-organisme di
mulut ke saluran pernafasan melalui tindakan oral care secara tepat
dan teratur.

Oral care adalah praktek menjaga kebersihan dan kesehatan


mulut dengan cara menyikat gigi dan flossing untuk mencegah
kerusakan gigi dan penyakit gusi (Timby, 2008). Oral care adalah
salah satu faktor paling penting dalam memelihara kondisi normal
di mulut. Menyikat gigi dapat dilakukan dengan penambahan
antimicroba sehingga meningkatkaan efek mekanik pembersihan
mulut, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Antimikroba tersebut dapat membantu melindungi dengan cara
mengurangi perlekatan bakteri di permukaan gigi sehingga
mengurangi pertumbuhan microorganisme dan terkumpulnya plak
(Marcotte,1998).

Oral care pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran


tidak boleh diabaikan bahkan mereka membutuhkan oral care lebih
sering dari pada pasien sadar (Timby, 2009). Kebersihan mulut
yang buruk menurut Shay (2002), akan menimbulkan plak di gigi.
Plak gigi merupakan kumpulan berbagai macam bakteri di atas
permukaan gigi yang membentuk kelompok. Adanya plak akan
mempermudah perkembangbiakan bakteri merugikan yang dapat
menyebar ke paru-paru yang dapat menimbulkan infeksi saluran
pernafasan. Maka sangat penting mengontrol plak secara teratur
89

melalui tindakan perawatan gigi. Jolly (1991) menjelaskan


sebagian besar infeksi pada mulut pasien berasal dari flora mulut
pasien sendiri. Untuk mengurangi plak gigi diperlukan perawatan
kesehatan gigi secara teratur (RNAO, 2008).

Oral care untuk mengurangi atau mencegah pertumbuhan


plak gigi dilakukan secara mekanis dengan menyikat gigi. Cara ini
ternyata kurang efektif. Di samping itu cara tersebut kurang
sempurna pada individu dengan gigi yang goyang dan letak gigi
yang berjejal. Untuk mencegah terjadinya plak yang merupakan
kumpulan mikro-organisme secara sempurna maka dibutuhkan
antiseptik yang mempunyai sifat antibakteri (Timby, 2009).
Antiseptik dalam bentuk obat kumur mempunyai peran ganda yaitu
pencegahan langsung pertumbuhan plak dan sebagai terapi
langsung terhadap plak gigi. Antiseptik yang digunakan sebagai
bahan dasar obat kumur sangat banyak dijual bebas baik di toko
obat, apotik maupun swalayan. Jenis antiseptik yang dipasarkan di
Indonesia antara lain: chlorhexidine, povidone-iodine, listerin,
hexitidine, dan hidrogen peroksida (Prijantojo,1996).

Antiseptik pembersih mulut yang efektif adalah yang tidak


mengandung alkohol. Alkohol dalam kandungan antiseptik akan
menimbulkan rasa perih dan bahkan memicu pertumbuhan mikro-
organisme. Akan tetapi penggunaan jangka panjang ternyata dapat
menyebabkan perubahan warna pada gigi dan mempengaruhi
mikro-organisme alami dalam rongga mulut (Rawlins & Trueman,
90

2001). Antiseptik yang direkomendasikan oleh persatuan dokter


gigi (BDA, 2009) adalah chlorhexidine. Alasannya adalah
chlorhexidine sebagai antibakteri spektrum luas dan sebagai
antijamur yang dapat mencegah dan mengobati terbentuknya plak
gigi dan chlorhexidine sebagai anti karies.

Masyarakat harus cerdas dalam memilih antiseptik yang


benar-benar bermanfaat dalam mengurangi bakteri dan tidak
menyebabkan iritasi dan meningkatkan rasa nyaman. Melalui
penelitian ini, penulis ingin membuktikan antiseptik mana yang
paling efektif dalam membunuh kuman yang ada di rongga mulut
pada pasien dengan penurunan kesadaran. Studi eksperimen semu
(quasi experiment) pre dan post test design dengan kelompok
kontrol (group control), dilakukan terhadap 30 pasien dewasa usia
diatas 20 tahun yang mengalami penurunan kesadaran. Penelitian
bertujuan untuk menguji efektifitas penggunaan antimikroba antara
chlorhexidine 0.2% dengan povidone-iodine 1% dan dengan air
minum sebagai kelompok kontrol, terhadap jumlah bakteri di
mulut. Jumlah bakteri di mulut diperiksa jumlahnya sebelum dan
setelah oral care. Hasil penelitian yang dilakukan menyimpulkan
chlorhexidine 0.2%, povidone iodine 1% dan air minum masing-
masing secara statistik mempunyai kemampuan yang bermakna
dalam menurunkan jumlah bakteri di mulut, tetapi chlorhexidine
0.2% mempunyai kemampuan lebih banyak dalam membunuh
bakteri tersebut. Disarankan secara ekonomis air minum digunakan
91

dalam oral care apabila klien penurunan kesadaran tidak


mengalami infeksi mulut, dan chlorhexidine 0.2% atau povidone
iodine 1% digunakan bila ada infeksi mulut.

Dijelaskan bahwa Chlorhexidine adalah antiseptik dan


disinfektan yang efektif terhadap berbagai jenis mikroorganisme.
Cara kerjanya telah dibuktikan bahwa chlorhexidine dapat
mengikat bakteri, sehingga mampu membunuhn mikroorganisme.

Setiawan (2005) penelitian yang bertujuan untuk


membandingkan chlorhexidine gluconate dan povidone iodine
untuk kumur pada klien anak yang mengalami mucositis akibat
kemoterapi pada acute lymphoblastic leukemia (ALL). Dari total
18 klien anak usia 2-10 tahun dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
kelompok chlorhexidine, povidone iodine, dan alkaline saline
sebagai kelompok kontrol dengan desain pre dan post untuk
melihat adanya mucosotis dan nyeri setelah hari ke 5-7, 8-14 dan
13-14 menggunakan chlorhexidine, povidone iodine dan alkaline
saline, disimpulkan bahwa pada kelompok chlorhexidine lebih
efektif dalam penyembuhan mucositis dari pada povidone iodine.

Scannapieco (2009) penelitian terhadap 146 responden


dengan trauma kepala di ICU dengan menggunakan chlorhexidine
oral topical dua kali sehari dan hari kedua diperiksa jumlah koloni
pathogen pernafasan di rongga mulut (gigi, gusi, mukosa, lidah).
Dilakukan dekontaminasi rongga mulut dengan chlorhexidine
topical 0,12% dengan hasil tidak mengurangi total jumlah
92

potensial pathogen pernafasan sehingga tidak secara signifikan


mengurangi risiko pneumonia, tapi mengurangi jumlah S aureus.

Seger (2006) penelitian terhadap klien yang akan menjalani


bedah jantung dengan dekontaminasi nasopharynx dan oropharynx
dengan 0.12% chlorhexidine gluconate terhadap 991 klien usia
diatas 18 tahun yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
intervensi dan plasebo dengan memeriksa adanya Staphylococcus
aureus. Secara signifikan 57,5% mengurangi S aureus
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 18% ((P<.001)

Neeraja (2008) Penelitian terhadap 45 responden usia 6-12


tahun dibagi menjadi tiga kelompok yaitu dengan berkumur
menggunakan povidone iodine 1%, chlorhexidine 0.2% dan
placebo dua kali sehari selama 14 hari. Disimpulkan bahwa
berkumur dapat dilakukan dalam menurunkan jumlah S. mutans
dalam hal ini berkumur harus menggunakan, klorheksidin dapat
direkomendasikan karena telah terbukti memiliki pengaruh yang
lebih baik dari povidone-iodine dan plasebo.

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pasien


dengan penurunan kesadaran tidak mampu mempertahankan
kesehatan mulutnya, disamping itu pasien sangat tergantung
dengan orang lain dalam perawatan mulutnya. Akibat kondisi sakit
yang parah, penggunaan alat-alat kesehatan sangat memungkinkan
pasien mengalami kondisi kesehatan mulut yang buruk. Buruknya
kesehatan mulut sangat memungkinkan berkembangbiaknya
93

mikroorganisme yang berbahaya. Mikroorganisme tersebut


kemungkinan besar masuk kesaluran pernafasan dan dapat
berkembang menjadi penyakit paru yang berbahaya dan
mematikan. Maka dari itu dibutuhkan perawatan yang baik pada
mulut pasien penurunan kesadaran. Perawatan dengan menggosok
gigi tentu sulit dilakukan dan juga tidak efektif sehingga pasien
membutuhkan juga antibakteri mulut atau antiseptik yang
mempunyai kemampuan dalam membunuh bakteri dimulut,
sehingga risiko terjadinya infeksi pernafasan dapat dicegah.
PIJAT CERDAS
DEMI KESEHATAN
PEMBULUH DARAH BAWAH
Yesiana Dwi Wahyu Werdani
Unika Widya Mandala Surabaya

Berkembangnya gaya hidup pada masyarakat modern saat


ini memberikan dampak yang beraneka ragam dalam berbagai
bidang kehidupan. Salah satunya adalah bidang kesehatan.
Beberapa gaya hidup yang tidak sehat dan dapat memicu timbulnya
berbagai penyakit adalah pola makan yang salah seperti konsumsi
lemak dan karbohidrat secara berlebihan, pola aktivitas yang salah
seperti terlalu banyak duduk saat bekerja tanpa diimbangi oleh
aktivitas olahraga. Hal ini mengakibatkan timbulnya suatu
sindroma yang disebut dengan Peripheral Arterial Disease (PAD).
Menurut Coffman & Eberhardt (2003) PAD adalah stenosis
progesif atau tersumbatnya arteri bagian dalam pada extremitas
bawah. Sumbatan tersebut disebabkan oleh plak yang terbentuk di
arteri yang membawa darah ke seluruh anggota tubuh. Plak ini
terdiri atas lemak, kalsium, jaringan fibrosa, dan zat lain di dalam
darah. Bila plak-plak tersebut terus menumpuk, maka arteri-arteri
yang mensuplai darah ke organ-organ internal, lengan, dan tungkai
menjadi terhambat. Ketidaklancaran aliran darah terutama pada
extremitas bawah, dapat menimbulkan gejala berupa rasa
ketidaknyamanan pada saat melakukan aktivitas (intermitten
96

claudicatio). Apabila aliran darah terus melambat, maka akan


terjadi dampak yang lebih serius yaitu timbulnya luka-luka yang
terbuka dan tidak sembuh (gangrene), yang akhirnya kondisi ini
dapat berkembang menjadi infeksi, bahkan pada kasus yang
ekstrim dapat menyebabkan seseorang harus diamputasi pada
extremitas bawah.
Faktor utama terbentuknya sumbatan pada pembuluh darah
yang menyebabkan terjadinya PAD adalah adanya atherosklerosis.
Penderita Diabetes Mellitus (DM) merupakan faktor resiko terbesar
padaatherosklerosis. Faktor resiko lain yaitu pada perokok,
penderita hipertensi, dan penderita hiperkolesterolemia. Menurut
WHO, insiden penderita DM terus meningkat dengan cepat, dan
diperkirakan pada tahun 2030 akan bertambah menjadi 366 juta
atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. Di Indonesia sendiri,
berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
dari 24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami
Toleransi Glukosa Terganggu. Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes
Melitus yang terdiagnosis dan 4,2%mengalami Diabetes Melitus
yang tidak terdiagnosis. Selain itu berdasarkan data Riskesdas 2010
jumlah penduduk di Jawa Timur yangberusia > 15 tahun yang
merokok 1 – 10batang rokok tiap hari, prevalensinya berjumlah
53,2%. Prevalensi penderita hipertensi berdasarkan hasil riskesdas
tahun 2007 mencapai 31,7%,sedangkan berdasarkan pengukuran di
provinsi Jawa Timur prevalensi hipertensi sebesar 30%. Hasil
97

diagnosa dan pengobatan hipertensi yang diterima, ternyata lebih


rendah dari prevalensi hipertensi hasil pengukuran, yaitu 7,5%
dibanding 30%.
Penderita Diabetes Mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia
maupun perokok menyebabkan terjadinya kerusakan
vascularendothelium yang mempercepat timbulnya coagulation.
Adanya coagulation ini menurunkan aliran darah terutama pada
area kaki yang dapat menyebabkan PAD. Pasien yang mengalami
penurunan alirah darah perifer akan memiliki gejala berupa rasa
ketidaknyamanan (intermittentclaudication) pada area pantat, paha
dan kaki. Bila masalah ini tidak teratasi maka akan menyebabkan
penurunan kualitas hidup penderita.
Latihan fisik pada ekstremitas akan membantu melancarkan
aliran darah. Pada penelitian ini latihan fisik yang akan digunakan
adalah range of motion pada ektremitas bawah. Range of motion
yang diberikan secara bertahap dan teratur akan berfungsi
merangsang pelepasan Nitric Oxid pada endotel, yang memberikan
efek berupa vasodilatasi pembuluh darah. Adanya pelebaran
pembuluh darah ini, akan mengakibatkan peningkatan sirkulasi
darah di area perifer, dan dengan demikian akan menurunkan
gejala-gejala fisik yang ditimbulkan akibat hypoxia jaringan
perifer.
98

Perawatan Peripheral Artery Disease (PAD)


Apakah latihan range of motion pada ekstremitas bawah
dapat meningkatkan sirkulasi perifer pada penderita Peripheral
Arterial Disease (PAD)?
Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan pengaruh
latihan range of motion pada ekstremitas bawah terhadap
peningkatan sirkulasi perifer pada penderita Peripheral Arterial
Disease (PAD).
Hasil penelitian ini dapat membantu memberikan kontribusi bagi
perkembangan ilmu keperawatan medikal bedah terutama pada
masalah Peripheral Arterial Disease (PAD), yaitu tentang
pelaksanaan latihan range of motion pada ekstremitas bawah untuk
meningkatkan sirkulasi perifer.

Gambar 1 Patofisiologi Peripheral Arterial Disease (PAD)


(National Heart Lung and Blood Institute2011)
99

Menurut (Kang & Chung2007) tujuan-tujuan perawatan


untuk peripheral artery disease adalah:
1) Menghilangkan/ meringankan intermittent claudication.
2) Memperbaiki toleransi latihan.
3) Mencegah sumbatan arteri yang kritis
4) Mencegah komplikasi berupa serangan jantung ataupun
stroke.
Secara umum penanganan peripheral artery disease terdiri
dari :
1) Penanganan secara non farmakologi, meliputi :
a. Perubahan Gaya Hidup
- Menghentikan merokok
- Diet yang sehat dengan mengontrol diabetes
- Mengontrol tekanan darah
- Mengontrol lipid
b. Latihan/ Exercise
Latihan yang tepat dapat mengkondisikan otot-otot
untuk menggunakan oksigen secara efektif dan
dapat mempercepat perkembangan dari sirkulasi
collateral.Untuk hasil yang optimal, pasien harus
latihan paling sedikit tiga kali dalam seminggu,
setiap sesi berlangsung lebih lama dari 30-45 menit.
c. Terapi suportif
- Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan
lembab
100

- Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas


dan terbuat dari bahan sintetis yang berventilasi
- Hindari penggunaan bebat plastik karena
mengurangi aliran darah ke kulit
2) Penanganan secara farmakologi
Obat-obat yang biasa diresepkan untuk pasien yang
menderita Peripheral Arterial Disease (PAD) antara
lain Aspirin, Clopidogrel, Pentoxifiline, Cilostazol,
Ticlopidine. Obat-obatan tersebut dapat memperbaiki
jarak berjalan dan mengurangi penyempitan.
3) Penangan secara operasi
a. Angioplasti
Tujuannya untuk melebarkan arteri yang mulai
menyempit atau membuka sumbatan dengan cara
mendorong plak ke dinding arteri.
b. Operasi By-pass
Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan
arteri tidak dapat diatasi dengan angioplasti, maka
harus dilakukan operasi By-pass.
Konsep Range of Motion
Definisi Range of Motion (ROM)
Range of Motion (ROM) adalah suatu teknik dasar yang
digunakan untuk menilai gerakan dan untuk gerakan awal ke dalam
suatu program intervensi terapeutik (Cael 2010).
101

Patofisiologi Range of motion(ROM) dalam meningkatkan


sirkulasi perifer.
Range of motion yang dilakukan secara teratur dapat
meningkatkan kekuatan kontraksi otot, yang juga akan berdampak
terhadap pelebaran diameter pembuluh darah. Pelebaran diameter
pembuluh darah ini akan menyebabkan gaya gesek pulsatil (shear
stress) menjadi lebih tinggi yaitu > 15 dyne/cm2 di permukaan sel
endotel pembuluh darah. Hal ini akan merangsang endotel Nitric
Oxid Synthase (eNOS) untuk merubah asam amino L Arginin
menjadi gas Nitric Oxid (Baraas 2006).
Nitric oxid (NO) merupakan endothelium derived relaxing
factor (EDRF) yang dilepas oleh sel endotel sebagai respon
terhadap shear stress. Shear stress dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu
aliran darah dan diamater pembuluh darah. Setelah berdifusi dari
sel endothelial vaskular, NO akan bereaksi dengan ion ferro dalam
gugus prostetik heme pada guanylate cyclase yang larut dalam sel-
sel otot polos vaskular. Hal ini akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi cyclic guanosin monophospate (cGMP), yang
selanjutnya akan merangsang relaksasi sel endothelial vaskuler
(Oparil & Weber 2005). Relaksasi vaskular ini akan menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah, dan menyebabkan peningkatan
sirkulasi darah.
102

Jenis-jenis latihan ROM:


Menurut Cael (2010) ada beberapa jenis latihan range of
motion yaitu
1) Passive ROM (PROM)
2) Active ROM (AROM)
3) Active-Assistive ROM (A-AROM)

Tujuan ROM:
1) Mempertahankan mobilitas sendi dan jaringan ikat
2) Meminimalisir efek dari pembentukan kontraktur
3) Mempertahankan elastisitas mekanis dari otot
4) Membantu kelancaran sirkulasi
5) Meningkatkan pergerakan sinovial untuk nutrisi
tulangrawan serta difusi persendian
6) Menurunkan atau mencegah rasa nyeri

Prinsip-prinsip teknik ROM:


Menurut Cael (2010) terdapat beberapa prinsip ROM yaitu
1) Pemeriksaan, penilaian dan rencana perlakuan
2) Pemeriksaan dan penilaian kelemahan pasien
3) Tentukan kemampuan pasien untuk mengikuti program
4) Tentukan seberapa banyak gerakan yang dapat
diberikan
5) Tentukan pola gerak ROM
103

6) Pantau kondisi umum pasien


7) Catat serta komunikasikan temuan-temuan serta
intervensi
8) Lakukan penilaian ulang serta modifikasi intervensi
biladiperlukan

Penerapan Teknik ROM:


Menurut Cael (2010) terdapat beberapa penerapan teknik
ROM yaitu :
1) Untuk mengendalikan gerakan genggamlah ekstremitas
di sekitar sendi.
2) Apabila persendianterdapat nyeri, modifikasi pegangan
3) Beri penunjang bagi daerah yang memiliki integritas
struktural yang lemah, misalnya tempat patahan
atausegmen yang mengalami kelumpuhan
4) Gerakkan segmen di seluruh ruang gerak yang
bebasrasa nyeri hingga sampai terdapat
resistensi/tahanan
5) Lakukan gerakan dengan lembut dan berirama 5 sampai
10 repetisi
104

Latihan Range of Motion pada ekstremitas bawah dapat


meningkatkan sirkulasi perifer pada penderita Peripheral Arterial
Disease (PAD).

Gambar 2.1 Gerakan Range of Motion Flexy – Extensi, Abduksi – Adduksi

Gambar 2.2 Gerakan Range of Motion Flexy – Extensi, Internal & External
Rotasi
105

Gambar 2.3 Gerakan Range of Motion Plantar Flexy & Dorso Flexy Pada ROM
aktif

Gambar 2.11 Gerakan Range of Motion Inversi & Eversi pada ROM aktif

Gambar 2.12 Gerakan Range of Motion Plantar Flexy & Dorso Flexy Pada ROM
pasif

Gambar 2.13 Gerakan Range of Motion Inversi & Eversi pada ROM pasif
KECERDASAN EMOSI (EQ)
PARA PERAWAT
Yuni Kurniawaty
STIKES St. Vincentius a Paulo

Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk yang memiliki


naluri untuk hidup bersama dengan manusia-manusia lain
(gregrariousness). Ungkapan tersebut lekat dengan dunia
keperawatan yang selalu dekat dengan masyarakat yang sakit atau
masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan. Virginia
Henderson kelahiran Cansas ity 1987 dan anak dari seorang ahli
hukum di Washington merupakan satu dari sekian perawat modern
pertama yang mendefinisikan keperawatan. Tulisannya tentang
fungsi perawat adalah membantu individu, baik sehat maupun
sakit, dalam melakukan aktifitas yang bermanfaat bagi kesehatan
atau pemulihan kesehatan (atau kematian yang tenang) yang dapat
mereka lakukan tanpa bantuan jika memiliki kekuatan, keinginan,
ataupun pengetahuan, dan melakukan fungsi ini sedemikian rupa
sehingga membantu mereka mendapatkan kemandirian sesegera
mungkin (Henderson, 1996, hlm.3 dikutip oleh Kozier, 2010).
Konsep pemikiran ini memaksa bahwa perawat itu tidak hanya
menjadi perawat individu yang sehat dan sakit, melainkan
memahami dengan baik bahwa perawat berinteraksi dengan para
klien meski pemulihan mungkin tidak mudah, dan menyebutkan
108

peran perawat sebagai pendidik dan penasihat atau lebih mudahnya


sebagai konselor.

Keperawatan Sebagai Ilmu dan Seni


Lingkup praktik perawat meliputi peningkatan
kesejahteraan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan
perawatan menjelang ajal. Perawat memiliki tugas merawat pasien
sebagai manusia yang utuh.
Keperawatan modern merupakan suatu seni dan ilmu yang
mencakup berbagai aktivitas, konsep, dan keterampilan yang
berhubungan dengan ilmu sosial dan fisik dasar, etika dan isu-isu
yang beredar serta bidang yang lain. (Potter, 2005: 267). Luasnya
ruang lingkup keperawatan menuntut para perawat untuk terus
mengembangkan dirinya menjadi perawat yang profesional dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan pada manusia yang holistik. Salah
satu tujuan keperawatan adalah mewujudkan kehidupan yang sehat.
Sedangkan dalam keperawatan sendiri memiliki definisi yang
berbeda-beda tentang kesehatan. Salah satu definisi kesehatan yang
baik adalah suatu kondisi tidak hanya bebas dari penyakit.
(Potter,2005: 5). Sedangkan menurut Edelman dan Mandle, 1994
dikutip Oleh Potter (2005: 5), definisi World Health Organization
(WHO) tentang sehat mempunyai salah satu karakeristik berikut
memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh
yaitu biologi, psikologi dan spiritual. Sebagai perawat harus
109

mampu memandang manusia dari ketiga sudut pandang itu yang


biasa disebut memandang manusia secara holistik.
Mengingat tugas dan tanggung jawab seorang perawat sangat
besar bagi terwujudnya kesehatan para penderita yang mengalami
sakit dan membutuhkan perawatan, maka sangat diperlukan
kemampuan seorang perawat untuk dapat mengatasi berbagai
masalah dalam pekerjaan dan menjadi dasar manusia dewasa yang
bertanggung jawab, penuh perhatian, dan cinta kasih serta
produktif. Pekerjaan dan tanggungjawab yang kerap kali menuntut
kemampuan perawat untuk dapat mengolah kepandaian secara
kognitif maupun keterampilan secara psikomotor, mengharuskan
perawat mampu mengelola pikiran dan emosi. Seringkali perawat
di Indonesia mengedepankan kemampuan IQ daripada kemampuan
mengendalikan EQ. Contohnya dalam ujian dan tes untuk menjadi
perawat beberapa instantsi kesehatan memutuskan seseorang layak
bekerja hanya dengan tingkat IQ yang sudah ditentukan.
Kecerdasan emosi pada perawat dalam praktiknya sangat
diperlukan karena perawat sejatinya adalah tenaga paramedis yang
notabene selalu berhubungan secara langsung dengan pasien yang
memiliki kebutuhan untuk diperlakukan sebagai manusia yang
holistik.
110

EQ: Bagian dari Perawat Modern


Kecerdasan emosi atau yang lebih dikenal dengan emotional
intelligence (EQ) menurut Goleman (2005: 512) merujuk kepada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang
lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain.Dengan demikian, kecerdasan emosi
yang baik seharusnya dimiliki oleh seorang perawat. Kecerdasan
emosi mulai dididik sejak sedini mungkin. Sehingga perlu
ditanamkan oleh orangtua kepada anak-anaknya saat di dalam
keluarga.
Kita menyebut berbagai emosi yang muncul dalam diri kita
dengan berbagai nama. Sebutan yang kita berikan kepada perasaan
itu, mempengaruhi bagaimana kita berpikir mengenai perasaan itu
dan bagaimana kita bertindak. Sejak kecil seseorang anak sudah
mulai membedakan emosi yang satu dari yang lain. Sebagai kanak-
kanak anak mengalami perasaan yang menyenangkan maupun
perasaan yang tidak menyenangkan. Berbagai emosi yang dimiliki
manusia menurut Elias, (2002) antara lain:Rasa Sedih, Rasa
Dukacita dan Depresi, Rasa Takut, Rasa Cemas, Rasa Marah, Rasa
Cinta, Rasa Gembira, Rasa Bersalah, Rasa Malu, Rasa Iri, Rasa
Benci
Dalam upaya meningkatkan kecerdasan emosi setiap
perawat diharapkan mengetahui dan memperhatikan komponen
111

kecerdasan emosi menurut Goleman, 1995 dikutip oleh


Mulyaningtyas 2006 yang mengungkapkan lima wilayah
kecerdasan emosional: Kesadaran Diri atau Mengenali Emosi Diri,
Pengaturan Diri atau Mengelola Emosi, Motivasi Diri, Empati atau
Mengenal Emosi Orang Lain.

Perawat yang Kompeten


Jika seseorang terbuka terhadap emosi sendiri, maka ia akan
terampil membaca perasaan orang lain dan mampu menumbuhkan
hubungan saling percaya. Seni dalam membina hubungan dengan
orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung
keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain, dalam memimpin,
bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan serta untuk bekerja
sama dan bekerja dalam tim.
Pada kenyataannya (IQ) hanya berperan dalam membentuk
kesusksesan seseorang sebesar 20% saja sedangkan 80%
keberhasilan manusia sangat ditentukan oleh kecerdasan emosi
yang dimiliki yaitu bagaimana seorang mampu mengenali
perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, mampu memotivasi
diri sendiri dan mampu mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Elias, 2002: 11).
kecerdasan emosi (EQ) yang baik akan memberikan ruang bagi
kecerdasan otak (IQ) untuk tumbuh-kembang dengan optimal.
112

Keterampilan sosial dalam berinteraksi dengan


mengandalkan kemampuan kecerdasan emosi (EQ) pada perawat,
dapat dilatih dengan pembiasaan diri dalam pendidikan
keperawatan. Kurikulum pendidikan keperawatan tentang
pendidikan karakter “management development” disebut
pengembangan kepribadian, perlu ditanamkan pada mahasiswa
keperawatan untuk memupuk rasa kesadaran diri sebagai seorang
perawat. Kegiatan “workshop” dan konferensi tentang keperawatan
mampu menambah wawasan perawat tentang keterampilan sosial.
Perawat membutuhkan keterampilan sosial yang demikian
untuk mencapai titik keberhasilan dalam profesinya, keberhasilan
berinteraksi dengan pasien, keberhasilan berelasi dengan rekan
sejawat, keberhasilan berkolaborasi dengan profesi lain yang
mendukung profesinya dengan dokter, ahli gizi, apoteker,
fisioterapis, bidan. Keberhasilan profesi ditandai dengan
terselesaikannya tugas utama perawat, memberikan asuhan
kepererawatan pada pasien. Masa-masa era globalisasi dan
modernisasi tuntutan masyarakat terhadap perawat semakin tinggi.
Perawat harus mampu menjawab tuntutan masyarakat dengan
menjadikan profesinya sebagai profesi yang handal.
DAFTAR PUSTAKA

Østerdal, M.L., Strøm, M., Klemmensen, Å.K., et al. (2008). Does


leisure time physical activity in early pregnancy protect
against pre-eclampsia? Prospective cohort in Danish
women, British Journal of Obstetrics and Gynaecology
10(6.)14-17

Aas, Jørn A., et.al. 2005. Defining the Normal Bacterial Flora of
the Oral Cavity. Journal of Clinical Microbiology,
November 2005, p. 5721-5732, Vol. 43, No. 11.

Abraham, Charles. (1992). Psikologi Sosial untuk Perawat. Alih


Bahasa: Leoni Sally Maitimu. (1997)

Albin, Rochelle Semmel. 1993. Emosi Bagaimana Mengenal,


Menerima dan Mengarahkannya. Jakarta: Kanisius.

Alligood, M.R. & Tomey, A.M. (2006). Nursing theorists and


their works 6th Ed. Saint Louis: Mosby Elsevier, Inc.

Amaral S. M., et.al. 2009. Nosokomial Pneumonia: Importance of


the Oral Environment. Bras Pneumol. 2009;35 (11).

Anderson, Benedict. 1995. Imagined Communities: Reflections on


the Origin and Spread of Nationalism, revised edition. New
York: Verso.

Arora, S., Vatsa, M., & Dadhwal, V. (2009). Cabbage Leaves vs


Hot and Cold Compresses in the Treatment of Breast
Engorgement. Nursing Journal of India, 100(3), 52.

Ayers, Jean F. (2000). The use alternative therapies in the support


of breastfeeding. Journal Human Lactation, 16, 52-56
116

Baron, Robert A. dan Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial, Jilid 2.


Alih Bahasa: Ratna Djuwita. 2005. Jakarta: Erlangga.

Berens, P D. (2001). Prenatal, Intrapartum, and Postpartum Support


of the Lactating Mother. Pediatric Journal Clin North Am;
48:365

Bernal, C. 2005. Maintenance of Oral Health in People with


Learning Disabilities. 8 February, 2005 Vol: 101.

Cael, Christy J. 2010. Functional Anatomy Flash Cards: Bones,


Joints, and Mucles. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Cotterman, K.Jean. (2004). Reverse Pressure Softening: a Simple


Tool to Prepare Areola for Easier Latching during
Engorgement. Journal of Human Lactation, 20(2):227-237.

Creven, R. F. 2009. Fundamental of Nursing: Human Health and


Function. 6th ed. Lippincott: Williams & Wilkins.

Edmond, K. M., Zandoh, C., Quigley, M. A., Amenga-Etego, S.,


Owusu-Agyei, S., & Kirkwood, B. R. (2006). Delayed
Breastfeeding Initiation Increases Risk of Neonatal
Mortality. Pediatrics, 117(3), e380-386.

Forster, D., H. McLachlan, and J. Lumley (2006). Factors


associated with breastfeeding at six months postpartum in a
group of Australian women. International Breastfeeding
Journal. 1(1): p. 18.

Goleman, Daniel. 2005. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai


Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Hale,
Thomas W, Hartmann, Peter E. (2007). Textbook of human
lactation 1st edition. Texas: Hale Publishing.
117

Hanson, L. Å. (2007). Session 1: Feeding and infant development


Breast-feeding and immune function. Proceedings of the
Nutrition Society, 66(03), 384-396.

Hegner, Barbara R. (2003).Asisten Keperawatan: Suatu


Pendekatan Proses Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa, Jane
F. Budhi, Allenidekania. Jakarta: EGC.

Hernawati, I. (2011). Analisis Kematian Ibu Di Indonesia Tahun


2010 Berdasarkan Data SDKI, Riskesdas Dan Laporan
Rutin KIA, (Online) diunduh 28 Januari 2012. Available
from URL: HYPERLINK
http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2011/08

Hockenberry, M.J. & Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of


pediatric nursing. St. Louis: Mosby Elsevier.

Ishikawa, et.al. 2008. Professional Oral Health Care Reduces the


Number of Oropharyngeal Bacteria. J Dent Res 87(6):594-
598, 2008.

Keliat, Budi. 1992. Hubungan Terapeutik Perawat-Klien.


Jakarta: EGC.

Kozier, Barbara, et al. 2010. Buku Ajar Fundamental


Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Ed 7. Alih
Bahasa: Pamilih Eko Karyuni. 2011. Jakarta: EGC.

Lubis, Namora Lumongga. (2009). Dukungan sosial pada pasien


kanker, perlukah?. USU: Medan.

Mangesi, L., & Dowswell, T. (2010). Treatments for breast


engorgement during lactation. Cochrane Database of
Systematic Reviews (9).
118

Mannel, R., Martens, PJ., Walker, M., Mannel. (2008). Core


curriculum for lactation consultant Practice, 2nd edition,
Jones and Barlett Publishers, Massachusets.

Marcotte, H. & Lavoie M. C. 1998. Oral Microbial Ecology and


the Role of Salivary Immunoglobulin A. Mirobial Mol`
Biol Rev 1998 ; 62(1) : 71 – 109

Marriner-Tomey, Ann. 1996. Guide to Nursing Management and


Leadership. Saint Louis: Mosby Year Book.

Massie, Kendra Joy. 2010. Frequency and predictor of sibling


psychological and somatic difficulties following pediatric
cancer diagnosis. Universuty of Toronto

Mrázek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan


Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni
(diterjemahkan oleh Hermojo). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Mubarak, Wahit Iqbal. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar


Manusia: Teori dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC.

Newman, Jack., Pitman, Teresa. 2008. The ultimate breastfeeding


book of answers. Jakarta : Buah hati.

Nommsen-Rivers, L. A., Chantry, C. J., Peerson, J. M., Cohen, R.


J., & Dewey, K. G. (2010). Delayed onset of lactogenesis
among first-time mothers is related to maternal obesity and
factors associated with ineffective breastfeeding. The
American Journal of Clinical Nutrition, 92(3), 574-584.

Osungbade K., O. & Ige O., K. 2011. Public Health Perspectives of


Preeclampsia in Developing Countries: Implication for Health
System Strengthening. International Journal of Pregnancy,
20(10):1-3
119

Oswari, E. 1997. Menyongsong Usia Lanjut Dengan Bugar dan


Bahagia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Paju, S. & F. A. Scannapieco. 2007. Oral Biofilm, Peridontitis, and


Pulmonary Infection. Chest Journal.

Potter, Patricia A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan.


Alih Bahasa: Yasmin Asih. Edisi 4. Jakarta: EGC.Potts,
Nicki L. & Mandleco, Barbara L. (2007). Pediatric
Nursing: Caring for Children and Their Families. Second
Edition. New York: Thomson Delmar Learning

Prijantojo. 1996. Antiseptik Sebagai Obat Kumur Perananya


terhadap Pembentukan Plak Gigi dan Radang Gusi. Bagian
Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia, Jakarta

Ramsay, J. & Tina Moules. 2008. Textbook of Children`s and


Young People`s Nursing. Oxford: Blackwell Publishing.

Roberts, K. L., Reiter, M., & Schuster, D. (1998). Effects of


Cabbage Leaf Extract on Breast Engorgement. Journal of
Human Lactation, 14(3), 231-236.

Roesli, Utami. (2008). Inisiasi menyusu dini plus ASI eksklusif.


Jakarta : Pustaka Bunda.

Segers, P. 2006. Prevention of Nosocomial Infection in Cardiac


Surgery by Decontamination of the Nasopharynx and
Oropharynx with Chlorhexidine Gluconate: a Randomized
Controlled Trial. JAMA 2006, 296:2460-2466.

Setiawan, Reniart, & Oewen. 2005. Comparisson Effects of


Chlorhexidine Gluconate and Povidone Iodine Mouth
Washes to Chemotherapy-Induced Oral Mucositis in
Children With Acute Lymphoblastic Leukemia.
120

Scannapieco, F. A. 2009. A Randomized Trial of Chlorhexidine


Gluconate on Oral Bacterial Pathogens in Mechanically
Ventilated Patients.

Snowden, HM., MJ, Renfrew, MW, Woolridge. (2001). Treatments


for breast engorgement during lactation. Cochrane
Database of Systematic Reviews(2):CD000046.

Stein P., Henry G. (2009) Poor Oral Hygiene in Long-Term Care.


AJN, American Journal of Nursing June 2009 Volume
109 Number 6 Pages 44 – 50.

Stuart, Gail W. & Laraia. 2005. Principles and Practice of


Psychiatric Nursing, 8th ed. Saint Louis: Mosby Year Book.

Thompson, J., Heal, L., Roberts, C., & Ellwood, D. (2010).


Women's breastfeeding experiences following a significant
primary postpartum haemorrhage: A multicentre cohort
study. International Breastfeeding Journal, 5(1), 5.

Timby, K. 2009. Fundamental of Nursing Skill and Conceps, 9th ed.


Lippincott: Wllians & Wilrins.

Trijatmo Rachimhadhi. (2007), Preeklamsia dan Eklamsia,


Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Walker, M., & Wetson, A. (2006). Breastfeeding Management for


Clinician: Using the Evidance. Massachussetts : Jones and
Barlett Publishers.

Widayatun, Tri Rusmi. 1999. Ilmu Perilaku. Jakarta: Sagung Seto

Wong, D., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., &


Schwartz, P. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik.
Jakarta: EGC.
121

World Health Organization (2003). Breastfeeding counselling: A


training course. Pelatihan konselor laktasi. New York:
Nutrition Section UNICEF. Tidak dipublikasikan.

_______ (2004). Beyond the numbers : reviewing maternal deaths


and complications to make pregnancy safer . Geneva:
World Health Organization

Childhood Cancer Registry, Dept. Of Child Health, DCH. (2010)

Data Rekam Medik RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar.
2012

Registered Nurses Association of Ontario (RNAO). 2008. Oral


Health: Nursing Assessment and Interventions. Nursing
Best Practice Guideline.

_____ 2007. Oral Health: Nursing Assessment and Interventions


Nursing Best Practice Guideline.

Sumber dari Internet:

Ballering, Elizabeth. (2007). Cabbage leaves for breast


engorgement. http://midwifeinfo.com/articles/cabbage-
leaves-for-breast-engorgement. diperoleh 30 januari 2011.

British Dental Association. 2009. (www.bda.org).

Davis, Marie. (2009). Engorgement: The Cabbage Cure.


(http://www.lactationconsultant.info/cabbagecure.html.,
diperoleh 21 Februari 2011). Ramsay, 2006. Breast
Anatomy Research.
(http://www.medelabreastfeedingus.com, diakses 20
January 2011).

Guiqliani, Elsa R J et al, (2007), Intake of water, herbal teas and


non-breast milks during the first month of life: Associated
122

factors and impact on breastfeeding duration.


http://www.earlyhumandevelopment.com/article/ diperoleh
28 Juli 2011.

Henning, PA. (2006). Breastfeeding : full and engored breast.


www.pntonline.co.za/index.php/PNT/article/download/59/6
5. diperoleh tgl 21 Februari 2011.

Hernawati, I. (2011). Analisis Kematian Ibu Di Indonesia Tahun


2010 Berdasarkan Data SDKI, Riskesdas Dan Laporan
Rutin KIA, (Online) diunduh 28 Januari 2012. Available
from URL: HYPERLINK
http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2011/08.

Malkin, B. 2009. The importance of Patients’ Oral Health and


Nurses’ Role in Assessing and Maintaining it. Nursing
Times; 105: 17. (http://www.nursingtimes.net).

Sudhaberta, K. (2001). Penanganan Preeklampsia Berat dan


Eklampsia. (Online) diunduh 28 Januari 2012. (Online)
diunduh 28 Januari 2012. Available from URL:
HYPERLINK
www.kalbe.co.id/files/cdk/.../cdk_133_obstetri_dan_gineko
logi.

Villareal, JA., Lira, Noe., Lira, Thelma., Villareal, Yolanda.


(2007). Composition and method for reducing symptoms of
breast engorgement. United States patent application
publication.
http://www.google.co.id/patents?id=Y6aiAAAAEBAJ
diperoleh 21 Januari 2011.
Walker, Marsha. (2000). Breastfeeding and engorgement.
http://www.llli.org/ba/Nov00.html. diperoleh 21 Februari
2011.
123

http://cancer.gov/cancertopics/cancerlibrary/what-is-cancer,
diperoleh 01 Februari 2012
http://www.ykaki.org/id/cancer/page/mengenai-kanker-pada-anak,
diperoleh 01 Februari 2012
124

TENTANG PENULIS

Chatarina Dwiana Wijayanti


STIK Sint. Carolus Jakarta

Regina Vidya Trias Novita, dkk.


STIK Sint Carolus Jakarta

Wahyuny Langelo
Unika De la Salle Manado

Lina D. Anggraeni
STIK Sint. Carolus Jakarta

Jesika Pasaribu
STIK Sint. Carolus Jakarta

Maria Manungkalit
Unika. Widya Mandala Surabaya

Ni Luh Widani
STIK Sint Carolus Jakarta

Y. D. W. Werdani
Unika. Widya Mandala Surabaya

Yuni Kurniawaty
STIKES St. Vincentius a Paulo

Anda mungkin juga menyukai