Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Efusi Pleura


Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.
Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya
absorbsi.

2.3. Etiologi Dan Patofisiologi


Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya.7 Fungsinya adalah untuk memfasilitasi
pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan.1 Cairan pleura
diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura
yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi
maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini
memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan
perifer.1,7,15
Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan
hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta
kemampuan drainase limfatik (gambar 2.1). Efusi pleura terjadi sebagai akibat
gangguan keseimbangan faktor-faktor di atas.14
Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura. Terlihat bahwa cairan
pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran pleura parietal dan viseral
(ditunjukkan pada panah yang terputus-putus). Pembuluh darah pleura parietal
(mikrovaskular interkostal) merupakan terpenting pada sistem ini sebab pembuluh darah
ini paling dekat dengan rongga pleura dan memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi
daripada mikrovaskuler bronkial pada pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi
kembali oleh mikrovaskuler, sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran
limfatik pada pleura parietal (panah utuh). Dikutip dari: Broaddus VC. 2009. Mechanisms
of pleural liquid accumulation in disease. Uptodate.

Persamaan yang menunjukkan hubungan keseimbangan antara tekanan


hidrostatik dan onkotik adalah sebagai berikut : Q = k x [(Pmv – Ppmv) – s (nmv
– npmv)]. Pada persamaan ini, Q merupakan tekanan filtrasi, k merupakan
koefisien filtrasi, Pmv dan Ppmv merupakan tekanan hidrostatik pada ruang
mikrovaskular dan perimikrovaskular. s merupakan koefisien refleksi bagi total
protein mulai dari skor 0 (permeabel penuh) hingga 1 (tidak permeabel). nmv dan
npmv menyatakan tekanan osmotik protein cairan di mikrovaskular dan
perimikrovaskular. Pada keadaan normal, cairan yang difiltrasi jumlahnya sedikit
dan mengandung protein dalam jumlah yang sedikit pula.15,16

Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut

• Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal


dari pleura parietalis

• pH 7,60-7,64

• Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)

• Kadungan sel darah putih < 1000 /m3

• Kadar glukosa serupa dengan plasma

• Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.14


Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik
itu pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura
tersering adalah gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura dan
merupakan penyebab efusi pleura tersering), pneumonia, keganasan serta emboli
paru.1,14,17 Berikut ini merupakan mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura :

1. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya :


inflamasi, keganasan, emboli paru)
2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya :
hipoalbuminemia, sirosis)

3. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan


pembuluh darah (misalnya : trauma, keganasan, inflamasi, infeksi,
infark pulmoner, hipersensitivitas obat, uremia, pankreatitis)
4. Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi
sistemik dan atau sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung
kongestif, sindrom vena kava superior)
5. Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan
terhambatnya ekspansi paru (misalnya : atelektasis ekstensif,
mesotelioma)
6. Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau bahkan
dapat terjadi blokade total, dalam hal ini termasuk pula obstruksi
ataupun ruptur duktus torasikus (misalnya : keganasan, trauma)
7. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang
diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya :
sirosis, dialisa peritoneal)
8. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral

9. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten


dari efusi pleura yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkan

akumulasi cairan lebih banyak lagi.14

Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin


datar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan
parietal, serta defek ventilasi restriktif.14

Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan eksudat,


bergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi tersebut.
Cairan transudat dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan
onkotik, sementara eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi pleura ataupun akibat
berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada kasus-kasus tertentu, cairan
pleura dapat memiliki karakteristik kombinasi dari transudat dan eksudat.14
2.3.1. Transudat

Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam tekanan


hidrostatik dan onkotik pada membran pleura, misalnya jumlah cairan yang
dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini,
endotel pembuluh darah paru dalam kondisi yang normal, dimana fungsi filtrasi
masih normal pula sehingga kandungan sel dan dan protein pada cairan efusi
transudat lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat diatasi
maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut.17 Selain
itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal dari
peritoneum, bisa pula iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena
sentra dan pipa nasogastrik.14 Penyebab-penyebab efusi pleura transudat relatif
lebih sedikit yakni :

• Gagal jantung kongestif

• Sirosis (hepatik hidrotoraks)

• Atelektasis – yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru

• Hipoalbuminemia

• Sindroma nefrotik

• Dialisis peritoneal

• Miksedema

• Perikarditis konstriktif

• Urinotoraks – biasanya akibat obstuktif uropathy

• Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura

• Fistulasi duropleura
Universitas Sumatera
Utara
• Migrasi kateter vena sentral ke ekstravaskular

• Glisinotoraks – sebuah komplikasi yang jarang akibat irigasi kandung


kemih dengan larutan glisin 1,5% yang dilakukan setelah pembedahan
urologi.14

2.3.2. Eksudat

Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan


biasanya diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi transudat.
Cairan eksudat dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi paru ataupun
pleura, gangguan drainase limfatik pada rongga pleura, pergerakan cairan eksudat
dari rongga peritoneal melalui diafragma, perubahan permeabilitas membran
pleura, serta peningkatan permeabilitas dinding kapiler atau kerusakan pembuluh
darah. Adapun penyebab-penyebab terbentuknya cairan eksudat antara lain :

• Parapneumonia

• Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara, limfoma,


leukemia, sedangkan yang lebih jarang, kanker ovarium, kanker
lambung, sarkoma serta melanoma)

• Emboli paru

• Penyakit-penyakit jaringan ikat-pembuluh darah (artritis reumatoid,


sistemic lupus erythematosus)

• Tuberkulosis

• Pankreatitis

• Trauma
• Sindroma injuri paska-kardiak

Universitas Sumatera
Utara
• Perforasi esofageal

• Pleuritis akibat radiasi

• Sarkoidosis

• Infeksi jamur

• Pseudokista pankreas

• Abses intraabdominal

• Paska pembedahan pintas jatung

• Penyakit perikardial

• Sindrom Meig (neoplasma jinak pelvis disertai asites dan efusi pleura)

• Sindrom hiperstimulasi ovarian

• Penyakit pleura yang diinduksi oleh obat

• Sindrom yellow nail (kuku kuning, limfedema, efusi pleura)

• Uremia

• Chylothorax (suatu kondisi akut dengan peningkatan kadar trigilerida


pada cairan pleura)

• Pseudochylotoraks (suatu kondisi kronis dengan peningkatan kadar


kolesterol cairan pleura)

• Fistulasi (ventrikulopleural, billiopleural, gastropleural).14


2.4. Prognosis

Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang


mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan
pleura. Namun demikian, pasien yang lebih dini memiliki kemungkinan lebih

Universitas Sumatera
Utara
rendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien pneumonia yang disertai dengan efusi
memiliki prognosa yang lebih buruk ketimbang pasien dengan pneumonia saja.
Namun begitupun, jika efusi parapneumonia ditangani secara cepat dan tepat,
biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun jika tidak ditangani
dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis konstriktiva hingga
sepsis.14

Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk,


dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada pria
hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita
lebih sering karena keganasan pada payudara. Median angka harapan hidup adalah
3-12 bulan bergantung dari jenis keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap
kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan hidup yang
lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan analisa
biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan pleura
dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan tumor
yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk.14

2.5. Gambaran Klinis

Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung


pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak
bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya
berlangsung perlahan hanya menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan
gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat penyakit inflamasi, maka

Universitas Sumatera
Utara
gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses dan gejala dapat
menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang biasanya muncul pada
efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek hingga sesak
nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada
area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada
meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma
atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika
cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih
berat dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari penyakit
dasarnya seperti pneumonia atau lesi endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga
perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis
hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan,
dll. Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini
dapat meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obat-
obat yang selama ini dikonsumsi pasien.14,18

Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.
Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300 mL.
Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks,
egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya dapat
ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang
masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral. Efusi
yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan pneumonia
lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien

Universitas Sumatera
Utara
dalam pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi
dapat bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik
yang sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer,
distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat
muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin
menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau
massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan.14,18

2.6. Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Pemeriksaan pencitraan radiologis

Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai


jumlah cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya
abnormalitas intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut.7

Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini
masih merupakan yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura
pada awal diagnosa. Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang
menyebabkan hemitoraks tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke
lateral, serta sudut kostofrenikus yang menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA
setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang terkumpul sebelumnya agar dapat
terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks lateral dekubitus dapat
mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5 mL. jika pada foto
lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah
melebihi 200 cc, ini merupakan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan
Universitas Sumatera
Utara
torakosentesis. Namun pada efusi loculated temuan diatas mungkin tidak
dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang hingga masif dapat
memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang menyebar pada
bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi hemidiafragma, disposisi
kubah diafragma pada daerah lateral.7,14

Tomografi komputer (CT-scan) dengan kontras harus dilakukan pada efusi


pleura yang tidak terdiagnosa jika memang sebelumnya belum pernah

dilakukan.14

2.6.2. Pemeriksaan cairan pleura

Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat memudahkan


untuk mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut. Prosedur torakosentesis
sederhana dapat dilakukan secara bedside sehingga memungkinkan cairan pleura
dapat segera diambil, dilihat secara makroskopik maupun mikroskopik, serta
dianalisa.15

Indikasi tindakan torasentesis diagnostik adalah pada kasus baru efusi


pleura atau jika etiologinya tidak jelas dimana cairan yang terkumpul telah cukup
banyak untuk diaspirasi yakni dengan ketebalan 10 mm pada pemeriksaan
ultrasonografi toraks atau foto lateral dekubitus (gambar 2.2). Observasi saja
diindikasikan jika efusi yang terjadi diyakini akibat dari gagal jantung kongestif,
pleurisi viral, atau akibat pembedahan torak dan abdomen sebelumnya. Namun,
jika pada keadaan ini jika dijumpai adanya hal-hal berikut yakni (1) pasien
mengalami demam atau merasakan nyeri dada khas pleuritik, (2) jika efusi yang
terjadi unilateral atau bilateral namun dengan ukuran yang jelas berbeda, (3) tidak
ditemukan kardiomegali, (4) efusi tidak respon dengan terapi gagal jantung.14,19
Gambar 2.2. Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura. Dikutip dari: Light
RW. 2002. Pleural effusion. New england journal medicine, vol 346, no 25.
Langkah diagnostik pertama dalam analisa cairan pleura adalah
membedakan antara transudat dan eksudat. Hal ini diperlukan untuk
menyederhanakan kemungkinan-kemungkinan etiologi sebelum akhirnya dicapai
kesimpulan etiologi yang benar. Selain itu, langkah ini juga dapat menentukan
apakah perlu untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap efusi pleura untuk
memastikan diagnosa.14,21

Ada beberapa paramater yang saat ini dapat dipakai untuk membedakan
antara transudat dan eksudat, namun dari keseluruhan parameter tersebut tidak ada
yang memiliki akurasi 100%. Pada awalnya, kadar total protein dalam cairan
pleura dipakai untuk membedakan jenis cairan pleura dimana jika kadar protein
cairan pleura > 3 g/dL maka cairan tersebut merupakan eksudat sedangkan < 3
g/dL merupakan transudat. Namun menurut Meslom (1979), metode ini salah
mengklasifikasikan baik transudat maupun eksudat sebesar 30%. Sementara itu,
Light dkk. (1972) menyatakan bahwa cairan eksudat harus memenuhi 1 atau lebih
kriteria berikut ini : (1) rasio protein cairan pleura dan serum > 0,5 ; (2) Rasio
LDH cairan pleura dan serum > 0,6 ; (3) LDH cairan pleura lebih besar dari dua
pertiga batas atas nilai normal LDH serum. Sensitivitas dan spesifisitas dari
paramater ini pada awalnya dilaporkan cukup tinggi yakni 99% dan 98%. Namun
belakangan angka ini ternyata berubah khususnya pada spesifisitasnya yakni
hanya berkisar 70-86% saja. Hal ini juga sejalan dengan beberapa penelitian yang
terkait (Peterman, 1984 ; Burges,, 1995 ; Assi, 1998 ; Gasquez, 1998). Pada tahun
1995, Costa M dkk. melaporkan bahwa pemeriksaan gabungan LDH dan
kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama dengan
hasil terbaik dari kriteria Light yakni 99% dan 98% (sedangkan dalam penelitian
ini didapati bahwa spesifisitas kriteria Light hanya 82% saja). Namun dalam
penelitian ini cut off LDH yang digunakan untuk eksudat adalah > 200 IU.
Sementara Heffner dkk (1996) melaporkan bahwa cut off LDH > 0,45 dari batas
atas nilai LDH serum normal lebih baik berdasarkan kurva ROC daripada cut off
sebelumnya yakni LDH > 200 IU ataupun LDH > 2/3 (0,6) dari batas atas nilai
LDH serum normal. Dalam laporan Costa M dkk, disebutkan pula bahwa
spesifisitas pemeriksaan kolesterol cairan pleura dalam membedakan transudat
dan eksudat adalah sebesar 100%. Penelitian oleh Hamal dkk. (2012) melaporkan
pemeriksaan kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediksi positif (PPV) dan nilai prediksi negatif (NPV) berturut-turut 97,7% ;
100% ; 100% dan 95% dalam membedakan eksudat dan transudat. Sementara itu,
pemeriksaan LDH cairan pleura (LDH-P) memiliki nilai berdasarkan urutan
sebelumnya yakni sebesar 100% ; 57,8% ; 84,3% ; serta 100%. Kedua
pemeriksaan ini (LDH-P dan K-P) memiliki kelebihan yakni tidak perlu
pengambilan darah dan cairan pleura secara simultan. Terdapat pula parameter-
parameter lain yang dapat digunakan dalam penilaian efusi pleura seperti rasio
albumin pleura/serum, rasio kolesterol pleura/serum serta rasio bilirubin
pleura/serum, namun parameter-parameter yang disebutkan terakhir tidak
memberi hasil yang lebih memuaskan.5,8,10,21

2.6.3. Evaluasi terhadap efusi eksudatif

Penjajakan lebih lanjut diperlukan pada efusi pleura eksudatif bergantung


pada keadaan klinisnya. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan antara lain :

Universitas Sumatera
Utara
hitung jumlah dan jenis sel, pengecatan dan pembiakan kuman, pemeriksaan
kadar gula dan kadar LDH, analisa sitologi, serta uji diagnostik tuberkulosis pada
cairan pleura.20

Jika pada pemeriksaan hitung jumlah dan jenis sel pada cairan pleura
ditemukan predominasi sel netrofil ( > 50% dari seluruh sel) maka kemungkinan
sedang terjadi proses akut pada pleura. Hal ini dapat terjadi pada keadaan : efusi
parapneumonia, emboli paru serta pankreatitis. Namun hal yang sama tidak
ditemukan pada efusi maligna dan efusi akibat tuberkulosis. Sementara jika sel
didominasi oleh jenis mononuklear, maka hal tersebut menandakan adanya proses
kronis. Jika dijumpai sel limfosit ( > 85%) dalam jumlah yang besar maka
keganasan atau tuberkulosis mungkin saja menjadi penyebab. Namun hal ini dapat
terjadi juga pada efusi pleura paska pembedahan pintas jantung. Jika dominasinya
selnya adalah eosinofil (pleural fluid eosinophilia/PFE) ( > 10%) maka
kemungkinannya terdapat darah atau udara dalam rongga pleura. Namun dapat
pula berkaitan dengan reaksi terhadap obat, infeksi parasit, jamur, kriptokokus
atau efusi akibat keganasan dan tuberkulosis yang mengalami torasentesis
berulang. Jika ditemukan mesotelioma > 5% dari seluruh sel berinti, maka
kemungkinan tuberkulosis menjadi semakin kecil. Dan Jika jumlah sel mesotelial
sangat banyak dijumpai maka kemungkinannya adalah emboli paru.14,20

Pengecatan Gram dan kultur cairan pleura terhadap bakteri aerob dan
anaerob akan memberikan hasil identifikasi kuman terhadap efusi pleura akibat
infeksi. Secara umum tingkat keberhasilan kultur kuman dari cairan pleura adalah
sebesar 60%. Hasil ini akan lebih sedikit lagi dijumpai pada infeksi kuman

Universitas Sumatera
Utara
anaerob. Untuk meningkatkan keberhasilan kultur, khususnya patogen anaerob,
maka inokulasi dilakukan sesegera mungkin (sesaat setelah sampel diambil) pada
media agar darah. Pemeriksaan lain yang spesifik untuk evaluasi terhadap efusi
pleura eksudatif dapat dilihat pada gambar 2.3.14,19,20
2.7. Penatalaksanaan

Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya.


Namun demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat maupun eksudat dapat
menyebabkan gejala respiratori berat. Dalam keadaan ini, meskipun etiologi dan
penanganan penyakit dasarnya telah dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan
untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Penanganan efusi eksudatif
bergantung pada etiologi yang mendasarinya. tiga etiologi utama yang paling
sering dijumpai pada efusi eksudatif adalah pneumonia, keganasan dan
tuberkulosis. Parapneumonia yang mengalami komplikasi dan empiema harus
didrainase untuk mencegah pleuritis fibrotik. Efusi maligna biasanya didrainase
untuk meringankan gejala bahkan pleurodesis diindikasikan untuk mencegah

rekurensi. Beberapa obat-obatan diketahui dapat menyebabkan efusi pleura yang bersifat
transudatif. Hal ini perlu diketahui secara dini untuk menghindari prosedur diagnostik lain
yang tidak perlu.14

2.7.1. Efusi parapneumonik

Dari seluruh efusi pleura eksudatif, efusi pleura parapneumonik secara


khusus mendapat prioritas utama untuk sesegera mungkin didiagnosa dan
penanganan berupa drainase meskipun antibiotik empiris telah diberikan. Hal ini
disebabkan karena efusi pleura yang terinfeksi dapat mengalami koagulasi secara
cepat dan membentuk lapisan fibrous sehingga nantinya memerlukan tindakan
bedah untuk dekortikasi. Adapun indikasi torakosentesis urgensi pada efusi
parapneumonia antara lain : (1) cairan purulen ; (2) pH cairan pleura < 7,2 ; (3)
efusi terlokulasi ; (4) dijumpai bakteri pada pewarnaan Gram atau pada biakan.
Pasien yang tidak memenuhi kriteria diatas harus menunjukkan perbaikan dengan
terapi antibiotik yang sesuai dan diberikan selama 1 minggu.14

2.7.2. Efusi pleura maligna

Efusi pleura merupakan suatu pertanda kondisi yang berat dengan harapan
hidup kurang dari 1 tahun. Pada beberapa pasien, drainase cairan efusi pleura
dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh distorsi
diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis efusi ini biasanya sering
berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis berulang, pleurodesis atau
pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan cairan
efusi sesuai kebutuhan di luar rumah sakit. Pada pasien yang mengalami efusi
masif sehingga jaringan paru mengalami pendesakan, maka pemasangan kateter yang
menetap merupakan pilihan utama. Namun jika tidak ada pendesakan terhadap paru, maka
pilihan lain yang dapat digunakan adalah pleurodesis (pleural sklerosis). Dari sebuah
penelitian non-randomized oleh Fysh ET dkk (2012) didapati bahwa 34 pasien yang
memilih menggunakan kateter menetap secara signifikan lebih cepat pulang dari rumah
sakit, lebih jarang mengalami rekurensi efusi, dan lebih cepat memperoleh perbaikan
kualitas hidup dibanding 31 pasien lainnya yang memilih tindakan pleurodesis.14

2.7.3. Pleuritis tuberkulosa

Hal yang khas dari efusi yang disebabkan oleh tuberkulosa adalah sifatnya
yang dapat sembuh sendiri. Namun demikian, 65% pasien dengan pleuritis
tuberkulosa primer mengalami reaktivasi dalam 5 tahun. Oleh karena itu
pemberian obat antituberkulosis biasanya akan dimulai sebelum hasil kultur
diperoleh jika keadaan klinis mendukung, dan hasil analisa cairan pleura
menunjukkan suatu eksudat yang tidak dapat dijelaskan atau dengan cairan efusi
limfositik serta tes tuberkulin positif.14

2.7.4. Intervensi bedah

Intervensi bedah paling sering diperlukan dalam penanganan efusi


parapneumonia yang tidak dapat didrainase secara adekuat dengan jarum biasa
ataupun dengan kateter ukuran kecil. Torakoskopi dengan tuntunan video
bermanfaat untuk dapat memvisualisasi dan biopsi pleura secara langsung untuk
mendiagnosa efusi eksudatif secara lebih baik. Tindakan dekortikasi bermanfaat
untuk membebaskan bagian paru yang terjebak pada bagian pleura yang

Anda mungkin juga menyukai