FRAKTUR
A. Anatomi
a. Anatomi Fisiologi Fraktur
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang
berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
“Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang
disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam
kalsium.
Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkn
bentuknya:
1. Tulang panjang (Femur, Humerus)
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth,
2009).
Menurut Suddarth (2009) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang
yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau
kecelakaan
Menurut Santoso Herman (2010) Fraktur adalah terputusnya hubungan
normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.
.
C. Klasifikasi
Fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
G. Pathofisiologi
Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena
kecelakaan bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau
putusnya kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan patologik tulang seperti
Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang menurun, tulang rapuh akibat
ketidakseimbangan homeostasis pergantian tulang dan kedua penyebab di atas
dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan tulang yang dapat merobek
periosteum dimana pada dinding kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-
saraf sehingga dapat timbul rasa nyeri yang bertambah bila digerakkan. Fraktur
dibagi 3 grade menurut kerusakan jaringan tulang. Grade I menyebabkan
kerusakan kulit, Grade II fraktur terbuka yang disertai dengan kontusio kulit dan
otot terjadi edema pada jaringan. Grade III kerusakan pada kulit, otot, jaringan
saraf dan pembuluh darah.
Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat menimbulkan
nyeri yang hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan jaringan yang luas pada
kulit otot periosteum dan sumsum tulang yang menyebabkan keluarnya sumsum
kuning yang dapat masuk ke dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan
emboli lemak yang kemudian dapat menyumbat pembuluh darah kecil dan dapat
berakibat fatal apabila mengenai organ-organ vital seperti otak jantung dan paru-
paru, ginjal dan dapat menyebabkan infeksi. Gejala sangat cepat biasanya terjadi
24 sampai 72 jam. Setelah cidera gambaran khas berupa hipoksia, takipnea,
takikardi. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan,
mengakibatkan kehilangan fungsi permanen, iskemik dan nekrosis otot saraf
sehingga menimbulkan kesemutan (baal), kulit pucat, nyeri dan kelumpuhan.
Bila terjadi perdarahan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan syok
hipovolemik. Tindakan pembedahan penting untuk mengembalikan fragmen
yang hilang kembali ke posisi semula dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Selain itu bila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau beraturan
maka akan lebih cepat terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan
sesuai letak anatominya dengan gips.
Trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya
H. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur,
dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban
yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.
Gambar 9.Fase Penyembuhan Tulang
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi:
a. X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi.
b. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
c. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
2. Laboratorium:
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui:
a. Hb,
b. Hematocrit sering rendah akibat perdarahan,
c. Laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat
luas.
d. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah
K. Penatalaksanaan
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis.
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
c. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan
cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur
sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan
fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian
antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial,
darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai,
yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara
anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional),
dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain
dalam melakukan gerakan)
d. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction
and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila
dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa
dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler,
pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila
diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka
dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external fixation)
dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang
membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau
debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma,
fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng
pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur
kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur
pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion
setelah fiksasi internal. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein
untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari
disertai nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat
menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama follow-up ditemukan
tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis pada tibia
sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk
pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan
cruris setelah reduksi dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang
dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya
dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi
untuk melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan pemeriksaan
darah lengkap rutin
e. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
f. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan
ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot
diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan
untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian
bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika.
Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan
tingkat aktivitas dan beban berat badan.
L. Prognosis
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Dengan
terbukanya barier jaringan lunak, maka patah tulang tersebut terancam untuk
terjadinya infeksi. Seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang
terbuka, luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminasi (golden periode)
dan setelah waktu tersebut, luka berubah menjadi luka infeksi.
Oleh karena itu penanganan patah tulang terbuka harus dilakukan sebelum
golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka
tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya, tulang secara
primer menempati urutan prioritas ke 6.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain
itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat.
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain
5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image)
7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain
itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya
9) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal
ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
h. Pemeriksaan Fisik
1) Gambaran Umum
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika
terjadi perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(10) Paru
(a.) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b.) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c.) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
(d.) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(13) Ekstermitas
(a) Inspeksi (look)
Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak
menembus kulit. Anggota tubuh tdak dapat
digerakkan.
(b) Palpasi (feel)
a. Teraba deformitas tulang jika dibandingkan
dengan sisi yang sehat.
b. Nyeri tekan
c. Bengkak
d. Mengukur panjang anggota gerak lalu
dibandingkan dengan sisi yang sehat.
e. Gerak (move) yang umumnya tidak dapat
digerakkan
(14) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi
2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
3. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
4. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
C. Intervensi
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri
berkurang hingga hilang
Kriteria Hasil: - wajah rileks
- Skala 1
- Tidak merintih
Intervensi Rasional
1. Tinggikan posisi ekstremitas yang 1. Meningkatkan aliran balik vena,
mengalami fraktur mengurangi edema/ nyeri
2. Lakukan dan awasi latihan gerak 2. Mempertahankan kekuat-an otot dan
pasif/aktif sesuai keadaan klien meningkatkan sirkulasi vaskuler.
3. Lakukan tindakan untuk 3. Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan (masase, menurunkan area tekanan lokal dan
perubahan posisi) kelelahan otot
4. Ajarkan penggunaan teknik 4. Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas nyeri, meningkatkan kontrol
dalam, imajinasi visual, aktivitas terhadap nyeri yang mungkin
dipersional) berlangsung lama.
5. Lakukan kompres dingin selama fase 5. Menurunkan edema dan mengurangi
akut (24-48 jam pertama) sesuai rasa nyeri.
keperluan.
6. Kolaborasi pemberian analgetik 6. Menurunkan nyeri melalui
sesuai indikasi mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.
7. Evaluasi keluhan nyeri (skala,
petunjuk verbal dan non verval, 7. Menilai perkembangan masalah
perubahan tanda-tanda vital) klien.
2. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
penyembuhan luka dapat mencapai pada waktu yang sesuai
Kriteria Hasil: - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi Rasional
1. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap 1. Mengetahui sejauh mana
perkembangan luka. perkembangan luka mempermudah
2. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta dalam melakukan tindakan yang
jumlah dan tipe cairan luka. tepat.
3. Pantau peningkatan suhu tubuh 2. Mengidentifikasi mtingkat
4. Berikan perawatan luka dengan keparahan luka akan
tehnik aseptik. Balut luka dengan mempermudah intervensi
kasa kering dan steril, gunakan 3. Suhu tubuh yang meningkat dapat
plester kertas diidentifikasikan sebagai adanya
5. Jika pemulihan tidak terjadi proses peradangan
kolaborasi tindakan lanjutan, 4. Tehnik aseptik membantu
misalnya debridement. mempercepat penyembuhan luka
6. Setelah debridement, ganti balutan dan mencegah terjadinya infeksI
sesuai kebutuhan 5. agar benda asing atau jaringan yang
7. Kolaborasi pemberian antibiotik terinfeksi tidak menyebar luas pada
sesuai area kulit normal lainnya
6. balutan dapat diganti satu atau dua
kali sehari tergantung kondisi
parah/ tidak nya luka, agar tidak
terjadi infeksi
7. Antibiotik berguna untuk
mematikan mikroorganisme
pathogen pada daerah yang berisiko
terjadi infeksi.
Intervensi Rasional
1. Kaji secara teratur fungsi motorik. 1. Mengevaluasi keadaan secara
umum
2. Ajarkan ROM pasif 2. Membantu mempertahankan
3. Pertahankan sendi 90 derajad mobilisasi
terhadap papan kaki 3. Mencegah footdrop
Brunner, Suddarth. 2009. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di
Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2009, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.