Anda di halaman 1dari 15

PAPER PATOFISIOLOGI PENYAKIT MENULAR

TBC (Tubrekulosis)

Dosen Pengampu :

Dr. dr. Mahalul Azam, M.Kes

Disusun Oleh :

1. Nurul Hidayatun Nasiha 6511418057

2. Zakiyah 6511418065

3. Syifa Meidia 6511418071

4. Raisya Amaliana 6511418072

5.

PROGRAM STUDI GIZI


JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
DEFINISI TUBERKULOSIS

Tuberkulosis adalah salah satu penyakit yang telah mencuri perhatian


dunia karena penyakit ini sudah menyerang sepertiga penduduk dunia. Penyakit
yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis adalah penyakit tropis
infeksi yang menyerang organ paru. Defisiensi kekebalan tubuh dapat menjadi
penyebab awal seseorang mudah terserang TBC Menurut WHO pada tahun 2003
penyakit TBC dicanangkan sebagai global emergency. Oleh WHO disebutkan
dalam Anual Report On Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara
yang telah dikategorikan sebagai hight burden countries terhadap TB, dan salah
satunya adalah Indonesia.

EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi dari Tuberkulosis didasarkan oleh beberapa hal, yaitu :

1. Person / Orang
a. Umur
TB Paru Menyerang siapa saja Tua,Muda baahkan anak-anak, Sebagian
besar penderita TB Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50
tahun.Data WHO menunjukkan bahwa kasus TB di Negara berkembang
banyak terdapat pada umur produktif 15-29 tahun,Sejalan dengan penelitian
Rizkiyani (2008) yang menunjukkan jumlah penderita baru TB Paru positif
87,6% berasal dari usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi
pada usia lanjut (≤ 55 tahun).
b. Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak,laki-laki dan
perempuan.TB Menyerang sebagian besar wanita pada usia
produktif.Serupa dengan WHO yang menunjukkan lebih dari 900 juta
wanita di seluruh dunia tertular oleh kuman TB dan satu juta di antaranya
meninggal setiap tahun.
c. Status Gizi
Status nutrisi merupakan salah satu factor yang menetukan fungsi seluruh
system tubuh termasuk system imun.Sistem kekebalan dibutuhkan manusia
untuk memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme .
Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman TB Mudah masuk ke dalam
tubuh.kuman ini akan berkumpul dalam paru-paru kemudian berkembang
biak,Tapi orang yang terinfeksi Kuman TB Paru belum tentu menderita TB
paru,Tergantung daya tahan tubuh.bila daya tahan tubuh kuat maka kuman
akan terus tertidur di dalam tubuh (dormant)dan tidak berkembang menjadi
penyakt namun apabila daya tahan tubuh lemah makan kuman TB akan
berkembang menjadi penyakit.penyakit TB Lebih dominan terjadi pada
masyarakat yang status gizi rendah karna system imun yang lemah sehingga
memudahkan kuman TB Masuk dan berkembang biak.
d. Tingkah Laku
Faktor perilaku juga berpengaruh pada kesembuhan dan
bagaimana mencegah untuk tidak terinfeksi dan tidak menyebarkan
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Dimulai dari perilaku hidup sehat
dengan tidak meludah sembarangan, menutup mulut menggunakan sapu
tangan atau tissue apabila batuk atau bersin sebagai upaya pencegahan
dini penyakit TB paru. Sebagaimana hasil penelitian Putra (2011),
mengatakan bahwa perilaku mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
kejadian penyakit TB paru yang lebih banyak di derita oleh mereka yang
tidak bisa berprilaku sehat.
2. Place / tempat
a. Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang di
tularkan melalui udara.Keadaan berbagai lingkungan yang dapat
mempengaruhi penyebaran TBC salah satunya adalah lingkungan yang
kumuh,kotor .Penderita TB Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat
yang menetap pada lingkungan yang kumuh dan kotor.
b. Kondisi Sosial Ekonomi
Sebagai Penderita TB Paru adalah dari kalangan Miskin.Data WHO yang
menyatakan bahwa angka kematian akibat TB sebagai besar berada di
Negara berkembang yang relative miskin
c. Wilayah
Resiko mendapatkan infeksi dan berkembangnya klinis penyakit TB Paru
bergantung pada keberadaan infeksi dalam masyarakat misalnya Imigran
dari daerah prevalensi tinggi TB, Ras yang beresiko tinggi dan kelompok
etnis minorias(misal Afrika,Amerika,Amerika Indian,Asli
Alaska,Asia,Kepulauan Pasifik dan Hispanik)
3. Time / Waktu
Penyakit TB Paru dapat menyerang siapa saja,dimana saja dan Kapan saja
tanpa mengenal waktu,Apabila Kuman telah masuk ke dalam tubuh maka
pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya
penyakit TB Paru.

Sedangkan dikutip dari laman www.tbindonesia.or.id dinyatakan bahwa :

Secara global nsiden TB menurun sekitar 2% per tahun per 100.000


penduduk. Ragional WHO Eropa merupakan regional yang mengalami penuruna
tercepat pada tahun 2013-2017, yaitu sekitar 5% per tahum, kemudian hadirlah
regional WHO Afrika (4% per tahun). Di tahun tersebut, penurunan yang cukup
signifikan (4-8% per tahun) terjadi di Afrika Selatan misalnya Eswatini, Lesotho,
Namibia, Afrika Selatan, Zambia, Zimbabwe), dan perluasan pencegahan dan
perawatan TB dan HIV, dan di Rusia (5% per tahun) melalui upaya intensif untuk
mengurangi beban TB.

Di tingkat global, di tahun 2017 terdapat sekitar 558.000 kasus baru


(rentang, 483.000-639.000) TB rifampisin resistan di mana hampir separuhnya
ada di tiga negara yaitu India (24%), China (13%), dan Rusia (10%). Di antara
kasus TB RR, diperkirakan 82% kasus tersebut adalah TB MDR. Secara global,
3.6% kasus TB baru dan 17% kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB
MDR/RR.

Jumlah kematian a karena TB di antara HIV negative diperkirakan turun


mencapai 29% sejak tahun 2000 (dari 1,8 juta di tahun 2000 menjadi 1,3 juta di
tahun 2017) dan turun sebesar 5% sejak tahun 2015. Sementara itu, jumlah
kematian TB pada HIV positif telah mengalami penurunan sebesar 44% sejak
tahun 2000 (dari 534.000 di tahun 2000 menjadi 300.000 di tahun 2017) dan turun
menjadi 20% sejak tahun 2015.

Pada 2017, estimasi terbaik proporsi penderita TB yang meninggal karena


penyakit (case fatality rate/CFR) adalah 16%, turun dari 23% di tahun 2000. CFR
harus turun hingga 10% pada tahun 2020 untuk mencapai tahap pertama End TB
Strategy. Ada cukup banyak variasi capaian CFR, mulai dari kurang dari 5% di
beberapa negara hingga lebih dari 20% di sebagian besar negara di regional WHO
Afrika. Hal ini menunjukkan ketidaksetaraan di antara negara-negara dalam
mengakses diagnosis dan pengobatan TB.

WHO memperkirakan insiden tahun 2017 sebesar 842.000 atau 319 per
100.000 penduduk sedangkan TB-HIV sebesar 36.000 kasus per tahun atau 14 per
100.000 penduduk. Kematian karena TB diperkirakan sebesar 107.000 atau 40 per
100.000 penduduk, dan kematian TB-HIV sebesar 9.400 atau 3,6 per 100.000
penduduk.

Dengan insiden sebesar 842.000 kasus per tahun dan notifikasi kasus TB
sebesar 569.899 kasus maka masih ada sekitar 32% yang belum ternotifikasi baik
yang belum terjangkau, belum terdeteksi maupun tidak terlaporkan. WHO
memperkirakan ada 23.000 kasus MDR/RR di Indonesia. Pada tahun 2017 kasus
TB yang tercatat di program ada sejumlah 442.000 kasus yang mana dari kasus
tersebut diperkirakan ada 8.600-15.000 MDR/RR TB, (perkiraan 2,4% dari kasus
baru dan 13% dari pasien TB yang diobati sebelumnya), tetapi cakupan yang
diobati baru sekitar 27,36%.
KLASIFIKASI

1. Berdasarkan organ yang diserang


a. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru (Pulmonary TB) merupakan bakteri menular


yang menyerang paru dan dapat beresiko menyebar ke organ lain.
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (M
tuberculosis). Bakteri tersebut bersifat menular, dengan kata lain
bakteri ini dapat dengan mudah menyebar dari seseorang yang
terinfeksi kepada seseorang yang tidak terinfeksi. Cara penyebaran
bakteri ini dapat lewat bersin atau batuk.

Tahap awal infeksi dari bakteri ini diawali dengan infeksi paru
yang akan berlanjut pada tahap TB primer. Kebanyakan orang akan
sembuh dari infeksi Tb primer tanpa adanya bukti atau gejala infeksi
lebih lanjut. Infeksi dapat berhenti pada tahap inaktif (dormant) dalam
kurun beberapa tahun. Namun, pada beberapa orang infeksi tersebut
apat beresiko menjadi aktif kembali. Kebenyakan orang yang
mengalami perkembangan gejala infeksi TB, pada awalnya sudah
terjangkit infeksi TB sebelumnya. Pada beberapa kasus, gejala akan
mulai muncul beberapa minggu setelah infeksi primer.

b. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang


organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput
otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau


patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak
dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti
klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis
aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-) :
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis
aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. Tuberculosis
3. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi
dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka
harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur,
keganasan dll)
- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan
tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB:
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologi

ETIOLOGI

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini
pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga
untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan,
penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).
Bakteri Mikobakterium tuberkulosa dapat menular lewat percikan
dahak yang keluar saat batuk, bersin atau berbicara karena penularannya melalui
udara yang terhirup saat bernapas (Rachmawati, 2007). Diperkirakan, satu
orang menderita TB paru BTA positif yang tidak diobati akan menulari 10-15
orang setiap tahunnya (Aditama, 2006).

KRONOLOGI/MEKANISME
Diantara orang - orang yang terpapar bakteri Mikobakterium tuberculosis
10 persen diantaranya akan langsung terinfeksi, dan sisanya akan mulai terinfeksi
pada dua sampai 3 tahun pertama setelah terpapar bakteri.
Bakteri tuberculosis akan menetapkan infeksi di paru – paru setelah
terbawa oleh tetesan yang kecil (5 sampai 10 mikron) hingga sampai ke alveolus.
Jika system pertahanan tubuh gagal mengeliminasi infeksi tersebut, bakteri basil
tersebut kemudian akan berkembang biak dalam makrofag alveolus kemudian
membunuh sel – sel yang ada. Makrofag yang terinfeksi akan menghasilkan
sitokinesis dan kemokinesis yang akan menarik sel pathogen lainnya. , termasuk
monosit, makrofag alveolar lain dan neutrofil, yang akhirnya membentuk struktur
granulomatosa nodular yang disebut tuberkulum. Jika replikasi bakteri tidak
terkontrol, tuberkel akan membesar dan bakteri basil tersebut akan memasuki
kelenjar getah bening lokal. Kemudian mengarah ke limfadenopati, manifestasi
klinis khas dari tuberkulosis primer (TB). Lesi yang dihasilkan oleh ekspansi
tuberkel ke parenkim paru dan keterlibatan dari kelenjar getah bening disebut
kompleks Ghon. Bakteremia dapat menyertai infeksi awal.
Bakteri basil akan terus berkembang biak sehingga respons imun yang
diperantarai oleh sel (CMI) efektif berkembang, biasanya terjadi dua hingga enam
minggu setelah infeksi. Kegagalan oleh tubuh untuk memasang respons CMI
efektif dan perbaikan jaringan menyebabkan kerusakan progresif paru-paru.
Tumor necrosis factor (TNF) -alpha, intermediet oksigen dan nitrogen reaktif dan
isi sel-sel sitotoksik (granzymes, perforin) semuanya dapat berkontribusi pada
pengembangan nekrosis kasease yang mencirikan lesi tuberkulosa.
Jika pertumbuhan bakteri tidak diperiksa dapat menyebabkan penyebaran
basil hematogen yang nantinya menghasilkan TB dan dapat tersebar luas.
Penyakit diseminata dengan lesi menyerupai biji millet disebut TB miliaria.
Bacilli juga dapat menyebar melalui erosi lesi kasease ke saluran udara paru-paru
dan inang menjadi infeksius pada orang lain. Jika tidak dilakukan pengobatan,
kematian akan terjadi pada 80 persen kasus yang ada. Pasien yang tersisa
infeksinya akan berkembang menjadi penyakit kronis atau sembuh. Penyakit
kronis ditandai dengan episode penyembuhan berulang dengan perubahan fibrotik
di sekitar lesi dan kerusakan jaringan. Pemberantasan basil sepenuhnya secara
spontan jarang terjadi.
Reaktivasi TB merupakan hasil dari perkembang biakan dari bakteri aktif
yang berbuah pada saat infeksi primer. Di antara individu yang mengalami infeksi
laten tidak ada masalah medis yang mendasarinya, penyakit reaktivasi terjadi pada
5 hingga 10 persen pasien yang ada. Imunosupresi dikaitkan dengan reaktivasi
TB, walaupun tidak jelas faktor inang spesifik apa yang dapat mempertahankan
infeksi dalam keadaan laten dan apa yang memicu infeksi laten menjadi jelas.
Untuk kondisi imunosupresif yang terkait dengan reaktivasi TB. Proses penyakit
dalam reaktivasi TB cenderung terlokalisasi (berbeda dengan penyakit primer):
ada sedikit keterlibatan kelenjar getah bening regional dan lebih sedikit caseasi.
Lesi ini biasanya terjadi pada apeks paru-paru, dan penyakit yang disebarluaskan
tidak biasa kecuali tuan rumah sangat tertekan kekebalannya. Secara umum
diyakini bahwa TB yang terkandung berhasil memberikan perlindungan terhadap
pajanan TB berikutnya

GEJALA DAN TANDA-TANDA

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara
klinik.
Gejala sistemik/umum:
• Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
• Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul
• Penurunan nafsu makan dan berat badan
• Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
• Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
• Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
• Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
• Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin
positif.
Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC
paru
dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan
serologi/darah.
IMPAC DAN COMPLICATION

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum


pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura

DIAGNOSIS

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
* Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
* Pemeriksaan fisik.
* Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
* Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
* Rontgen dada (thorax photo).
* Uji tuberkulin

TREATMENT AND REHABILITATION

Perawatan infeksi Tb dilakukan berdasarkan jenis TB yang menyerang.

1. Pada penderita infeksi TB paru akan diberikan resep untuk jangka waktu 6
bulan yang terdiri dari combinasi dari antibiotik jika pasien didiagnisa terkena
infeksi TB paru aktif, merupakan kondisi dimana paru dari penderita telah
terinfeksi dan menimbulkan gejala. Perawatan yang biasa dilakukan adalah :
a. Dua antibiotik (isoniazid dan rifampicin) untuk jangka waktu 6 bulan
b. 2 antibiotik tambahan (pyrazinamide dan ethamubutol) untuk dua bulan
pertama dalam jangkawaktu 6 bulan
2. TB ekstraparu
TB ekstraparu merupakan infeksi TB yang terjadi diluar daerah paru – paru.
Pengobatan yang digunakan dapat menggunakan kombinasi antibiotik yang
sama dengan yang digunakan sebagai pengobatan TB paru. Sebagai contoh,
jika seseorang mengalami infeksi TB pada daerah otak maupun jaringan ikat
jantung maka pasien tersebut dapat diberikan coricosteroid seperti
prednisolone untuk jangka waktu beberapa minggu dan dibersamai dengan
antibiotik. Kombinasi ini dapat membantu mengurangi pembengkakan diarea
yang terinfeksi. Sama seperti infeksi TB paru, pasien penderita TB ekstraparu
juga sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi obat secara teratur sesuai
anjuran dan menyelesaikan seluruh rangkaian pengobatan yang diberikan.
3. Latent TB/ LTBI
Jika seseorang yang mengidap infeksi TB Latent, pengobatan sangatlah
dianjurkan. Tetapi, antibiotik yang digunakan pada lanjut usia dapat
mengakibatkan kerusakan ginjal. Jika kerusakan ginjal dianggap cukup
mengkhawatirkan pada pasien umur antara 35 dan 65, maka tim medis akan
mencoba mendiskusikan keuntungan dan kerugian dari penggunaan antibiotik
tersebut. TB Latent tidak selalu harud diberi pengobatan jika infeksinya
dainggap resistan terhadap obat. Jika hal tersebut terjadi, yang perlu
dilakukan oleh pasien adalah dengan melakukan monitoring terhadap
infeksinya agar dapat mengetahui bahwa infeksinya tidak bertambah parah.
Selain itu terdapat juga beberapa pengobatan yang dapat memberikan efek
samping berupa melemahnya sistem imun, seperti corticosteroid jangka
panjang, chemotherapy atau penghambat biologis seperti penghambat TNF.
Hal tersebut perlu dilakukan karena terdapat kemungkinan infeksi TB Latent
menjadi aktif. Secara umum, pengobatan yang diperlukan terhadap infeksi TB
Latent adalah :
 Pemberian kombinasi obat rifampicin dan isoniazid selama tiga bulan
 Atau hanya isoniazid saja selama enam bulan
Selain pengobatan, yang dapat dilakukan terhadap pasien TB adalah
rehabilitasi. Dikutip dari US National Library of Mdicine National Institute of
Health, dinyatakan bahwa metode yang dapat dilakukan untuk rehabilitasi
pasien TB adalah :
Interaksi pasien, wawancara informal, observasi lapangan dan penelitian
sekunder merupakan beberapa metode yang dapat digunakan dalam proses
rehabilitasi pasien TB. Hal tersebut perlu dilakukan, karena tujuan utama dari
rehabilitasi adalah untuk emnstabilkan psikologi pasien setelah menjalani
pengobatan dalam duradi yang cukup lama.

FAKTOR DAN PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan kunci utama untuk menghentikan transimisi dari


TB. Pencegahan mencakup diagnosis awal dan pangobatan terhadap TB aktif
yang mengakibatkan infkesi. Berikut merupakan cara pencegahan TB :Ko 1ntak
primer transmisi TB rentan terjadi pada lokasi atau temoat yang tertutup dan
berventilasi sedikit. Tempat – tempat yang beresiko tinggi adalah tempat yang
menjadi tempat hidup banyak orang seperti rumah sakit, penjara, maupun panti
jompo.

Daftar pustaka

Wulandari, Agustina Ayu., Nurjazuli., Adi, M. Sakundarno. 2015. ‘Faktor Risiko


dan Potensi Penularan Tuberkulosis Paru di Kabupaten Kendal , Jawa Tengah.’
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia.Vol.14, No. 1, hh. 7-14.

Kusumaningroh, Dina., Susilowati, Tri., Wulandari, Riyani. 2018. ‘Hubungan


Aktivitas Fisik Dan Fase Pengobatan TB Dengan Status Gizi Pada Pasien TB
Paru.’ Jurnal Ners dan Kebidanan, Vol. 5, No.1., hh.1-7.
Hapsari, Anisa Rika., Faridah, Fatin., Balwa, Anugrah Febrino.,Saraswati, Dian
Lintang., 2013, ‘Analisis Kaitan Riwayat Merokok Terhadap Pasien Tuberkulosis
Paru (TB Paru) di Puskesmas Srondol.’ Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol. 3, No.2,
hh. 57-50.

Vyas, Jatin M,, MD, PhD., 2018, Pulmonary Tuberculosis, Medline Plus (U.S
National Library of Medicine), diakses pada 1 Oktober 2019,
<https://medlineplus.gov/ency/article/000077.htm >

2016, Treatment of Tuberculosis (TB), National Health Service of UK, diakses


pada 1 Oktober 2019,
<https://www.nhs.uk/conditions/tuberculosis-tb/treatment/>

BA, Kumar., 2016, Rehabilitation of treated TB patients: Social, psychological


and economic aspects., U.S National Library of Medicine National Instituties of
Health, diakses pada 1 Oktober 2019,
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28043504>

2018. Situasi TBC di Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,


diakses pada 3 Oktober 2019,
<https://www.tbindonesia.or.id/page/view/11/situasi-tbc-di-indonesia>
Wani, Robert L. Serafino MBBS, MRCP, MSc., 2013, Pathofisiology and
Microbiology od Pulmonary Tuberculosis, South Sudan Medical Journal, diakses
pada 3 Oktober 2019,
<http://www.southsudanmedicaljournal.com/archive/february-2013/tuberculosis-
2-pathophysiology-and-microbiology-of-pulmonary-tuberculosis.html>

Anda mungkin juga menyukai