Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya
dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit
yang biasa terjadi. Di dunia, penderita BPH hanya pada kaum pria kerana wanita
tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada
kaum pria.
Di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan
20% pria pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-
an, dan 90% pada usia 70 . Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak
menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara
umumnya, diperkirakan hampir 50% pria Indonesia yang berusia di atas 50
tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita
penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5% pria Indonesia sudah masuk ke
dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Seperti juga BPH, kanker prostat juga
menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada usia di bawah itu bukan
merupakan suatu yang abnormal. Secara khususnya di Indonesia, menurut
(WHO,2008).
Setelah secara umum melihat dan mengetahui akan epidemiologi dari
kedua penyakit, yakni BPH dan kanker prostat, kami tertarik untuk mengetahui
dengan lebih dalam lagi mengenai gambaran penyakit ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari BPH ?
2. Apa klasifikasi dari BPH ?

1
3. Apa etiologi dari BPH ?
4. Bagaiman patifisiologi dari BPH ?
5. Bagaimana pathway pada BPH ?
6. Apa manifestasi klinis dar BPH ?
7. Apa komplikasi dari BPH ?
8. Apa pemeriksaan penunjang dari BPH ?
9. Apa penatalaksanaan medis dari BPH ?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada BPH ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari BPH
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari BPH
3. Untuk mengetahui etiologi dari BPH
4. Untuk memahami patifisiologi dari BPH
5. Untuk memahami pathway pada BPH
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dar BPH
7. Untuk mengetahui komplikasi dari BPH
8. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari BPH
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari BPH
10. Untuk memahami konsep asuhan keperawatan pada BPH

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)
menurut beberapa ahli adalah :
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar

2
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter)
dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian
periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan
Wilson, 2006). BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria
umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat
yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa
bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk,
2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna
Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang
disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun
keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

B. Tahapan Perkembangan Penyakit BPH


Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De
jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100 ml.

3
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

C. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua.
Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya
sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH
menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori
hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi
stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel
stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan
reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad
merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat
menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan
kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

4
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara
kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam
prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah
ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih
besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth
factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor
(bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi
yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat
diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)


Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang
mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan
antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan
prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru

5
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi
pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel
yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel
ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika
hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

D. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi
secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien
tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi
statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang

6
menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka
pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi
juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin
yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala
iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan
nyeri saat berkemih atau disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan
sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk
akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

E. Pathway

7
F. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih

8
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan
gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada
saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi),
pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi
tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas
berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda
infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan
tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati
membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi
dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

G. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih

9
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin
yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan
iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks
dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.

H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur
urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas
kuman terhadap beberapa antimikroba.
b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar
ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal
dan status metabolic.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10
ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar
sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian
pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2) Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan

10
volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu
opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya
bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tand adanya retensi
urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari
keganasan prostat, serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk memperkirakan
besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang
berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok
di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi,
divertikel atau sakulasi buli-buli.
c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat,
memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan
volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau
tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

I. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan
agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan

11
pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing
terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi
kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control
keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok
dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat
diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan
dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang
diberikan pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat
enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1. Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a
(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin
adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik
karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa
merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor
yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat.

12
Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju
pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2
minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin
timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat
yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti
antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obat-obat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5
mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja
lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada
prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini
baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-
12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat
ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3. Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus
dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan
dapat memperkecil volum prostat.
4. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio
urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran
kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk
tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.

13
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi
terbuka yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar
prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk
kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin
terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak
dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi
adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur
bedah abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan
untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah
mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan
rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah
inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi
abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik
ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam
pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol
dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi
dapat terjadi diruang retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi
transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik
diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan,
reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra
menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan

14
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan
ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus
medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang
memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus
menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah.
Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau
bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit
lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada
kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus,
adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).

2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)


Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini
dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat
fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau
berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang).
Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument
kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah
pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan
Bare, 2002).
3) Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal dilakukan pada
pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi
invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe
Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD),
Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA),
Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT),

15
jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah
sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat
menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar
prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars
prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek.
Alat yang dipakai antara lain prostat.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini
dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di
prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui
kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil,
kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan
gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara
ini sekarang jarang digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini
memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis
jaringan prostat. Pasien yang menjalani TUNA sering kali
mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi
urine (Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang
dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika
selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra
prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang
tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan
yang cukup tinggi.

16
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan
Cannobio (2008) ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam
memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social
ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang
baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang
pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi..
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi
( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi

17
memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat
mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan
prostat / hernia sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita
penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu
ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk
berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien
apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien
ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari
prostrusi prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum
tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang
mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
3) Pola tidur dan istiraha
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena
frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung
bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan,
penggunaan alkhohol.
6) Pola aktifitas

18
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban
berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada
umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana
pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua
seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh
pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien
biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap perawatan
luka operasi.

B. Diagnosa Keperawata
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker
dan Cannobio (2008) adalah :
1. Pre Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf,
distensi kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi
sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
b. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status
kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi
prosedur bedah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.

19
2. Post Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi
sekunder pada pembedahan
b. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
( tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
impoten akibat dari pembedahan.

C. Intervensi
N0 Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1. Retensi urin Tujuan: 1. -Dorong pasien 1) -Meminimalkan
akut/kronis Setelah dilakukan untuk berkemih retensi urin distensi
berhubungan tindakan tiap 2-4 jam atau berlebihan pada
dengan keperawatan selama bila tiba-tiba kandung kemih.
2) Berguna untuk
obstruksi ... x 24jam pasien dirasakan
2. - Observasi aliran mengevaluasi
mekanik, tidak terjadi retensi
urin, perhatikan obstruksi dan
pembesaran urine
ukuran dan pilihan intervensi
prostat, Kriteria hasil:
3) -Retensi urine
kekuatan.
dekompensasi Pasien
3. -Awasi dan catat meningkatkan
otot destrusor, menunjukkan
waktu tiap tekanan dalam
ketidakmampua residu pasca
berkemih dan saluran perkemihan
n kandung berkemih kurang
jumlah tiap atas, yang dapat
kemih untuk dari 50 ml, dengan
berkemih, mempengaruhi
berkontraksi tidak adanya
perhatikan fungsi ginjal.
dengan adekuat. tetesan atau 4) -Distensi kandung
penurunan

20
kelebihan cairan. haluaran urin dan kemih dapat
perubahan berat dirasakan diarea
jenis. suprapubik
4. -Lakukan 5) -Peningkatan
perkusi/palpasi aliran cairan
suprapubik mempertahankan
5. -Dorong
perfusi ginjal dan
masukan cairan
membersihkan
sampai 3000 ml
ginjal dan kandung
sehari
kemih dari
6. -Kaji tanda-tanda
pertumbuhan bakteri
vital, timbang BB
6) -Kehilangan
tiap hari,
fungsi ginjal
pertahankan
mengakibatkan
pemasukan dan
penuruna eliminasi
pengeluaran yang
cairan dan
akurat
akumulasi sisa
7. -Lakukan
toksik, dapat
rendam duduk
berlanjut
sesuai indikasi
8. -Kolaborasi kepenuruan ginjal
pemberian obat total
7) -Meningkatkan
relaksasi otot,
penuruan edema,
dan dapat
meningkatkan upaya
berkemih.
8) -Mempercepat
proses
penyembuhan.

21
2. Nyeri akut Tujuan : 1. -Kaji tipe nyeri, 1) -Memberikan
berhubungan Setelah dilakukan perhatikan lokasi, informasi untuk
dengan tindakan intensitas (skala 0- membantu dalam
peregangan dari keperawatan selama 10) lamanya. menentukan
2. Pertahankan tirah
terminal saraf, ... x 24jam nyeri pilihan/keefektifan
baring bila
distensi hilang, terkontrol intervensi
diindikasikan 2) -Tirah baring
kandung kemih, Kriteria hasil :
3. -Berikan
mungkin diperlukan
infeksi urinaria, pasien melaporkan
tindakan
pada awal selama
efek mengejan nyeri hilang dan
kenyamanan,
fase retensi akut.
saat miksi terkontrol pasien
distraksi selama
Namun ambulasi
sekunder dari tampak rileks,
nyeri akut seperti,
dini dapat
pembesaran mampu untuk
pijatan punggung :
memperbaiki pola
prostat dan tidur dan istirahat
membantu pasien
berkemih normal
obstruksi uretra. dengan tepat.
melakukan posisi
dan menghilangkan
yang nyaman:
nyeri kolik
mendorong 3) -Meningkatkan
penggunaan relaksasi,
relaksasi/latihan memfokuskan
nafas dalam: kembali perhatian
aktivitas terapeutik dan dapat
4. -Dorong
meningkatkan
menggunakan
kemampuan koping
rendam duduk, 4) -Meningkatkan
gunakan sabun relaksasi otot
5) -Menurunkan
hangat untuk
adanya nyeri, dan
perineum
5. -Kolaborasi kaji 30 menit
pemberian obat kemudian untuk
pereda nyeri mengetahui
(analgetik) keefektivitasnya.

22
3. Resiko infeksi Tujuan : 1. -Pertahankan 1) -Mencegah
berhubungan Setelah dilakukan sistem kateter pemasukan bakteri
dengan prosedur tindakan steril, berikan dan infeksi.
2) -Meningkatkan
invasif: alat keperawatan selama perawatan kateter
output urine
selama ... x 24jam pasien dengan steril.
2. -Anjurkan intake sehingga resiko
pembedahan, tidak menunjukkan
cairan yang cukup terjadi ISK
kateter, irigasi tanda – tanda
( 2500 – 3000 ) dikurangi dan
kandung kemih. infeksi
sehingga dapat mempertahankan
Kriteria hasil :
menurunkan fungsi ginjal
1. Pasien tidak
3) -Menghindari
potensial infeksi.
mengalami infeksi.
3. -Pertahankan refleks balik urine
2. Tanda – tanda vital
posisi urine bag yang dapat
dalam batas normal
dibawah memasukkan bakteri
dan tidak ada tanda
4. -Observasi tanda
ke kandung kemih.
– tanda syok.
– tanda vital, 4) -Mencegah
laporkan tanda – sebelum terjadi
tanda shock dan shock.
5) -Mengidentifikasi
demam.
5. -Observasi urine: adanya infeksi.
6) -Untuk mencegah
warna, jumlah,
infeksi dan
bau.
6. -Kolaborasi membantu proses
dengan dokter penyembuhan.
untuk memberi
obat antibiotik

23
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua.
Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya
sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

B. Saran
Sebagai tenaga keperawatan hendaknya memberikan suhan keperawatan
dengan semaksimal mungkin agar klien mendapatkan perawatan yang baik dan
maksimal.

24
DAFTAR PUSTAKA

25
Smeltzer, S dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner

danSuddarth, Edisi 8, Volume 2, Alih bahasa oleh Kuncara..(dkk). Jakarta :

EGC

Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan

Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC

Sjamsuhidayat, R. dan De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Copy Editor:

Adinda Candralela. EGC : Jakarta

Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto

Susan Maertin Tucker, Marry M. Cannobio, dkk. 2008. Standar Perawatan Pasien

volume 2. Jakarta : EGC

Carpenito. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan / Lynda Juall Carpenito ; Editor

Edisi Bahasa Indonesia, Monica Ester, Edisi 8. Jakarta: EGC

Amanda Tamalia D, 2012, Asuhan Keperawatan pada Tn. M Dengan Benigna

Prostathiperplasia ( Bph ) Post Operasi Open Prostatektomy Suprapubik di

Ruang Anggrek RSUD Tugurejo Semarang Universitas Muhammadiyah

Semarang. Thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. diakses 23-9-2019

dari http://eprints.ums.ac.id/20433/

Mina Nurul. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Tn. I Dengan Gangguan Sistem

Perkemihan: Post Operasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) Hari Ke-0 Di

Ruang Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Pandanarang Boyolali.

Thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. diakses 23-9-2019 dari

http://eprints.ums.ac.id/20515/

26
Sari, Farida Kumala. 2010. Perbedaan Angka Kejadian Benign Prostatic Hyperplasia

pada Usia Antara 50-59 Tahun Dengan Usia diatas 60 Tahun pada

Pemeriksaan Ultrasonografi di Rs. Pku (Pembina Kesejahteraan Umat)

Muhammadiyah Surakarta. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

diakses 23–9-2019 dari http://eprints.ums.ac.id/9300/

27

Anda mungkin juga menyukai