Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Hepatitis A adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis
A.Penyebaran virus ini terjadi melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasioleh feses orang yang terinfeksi. Penyakit ini dapat
menyebabkangejala seperti mual, muntah, lemas, hilang napsu makan, kulit dan
sklera mataberubah menjadi kuning, demam, dan gejala lainnya. Proses
penyembuhan penyakit ini membutuhkan waktu sekitar beberapa mingguhingga
beberapa bulan. Hal ini dapat menimbulkan dampak sosioekonomi
dalammasyarakat.
Secara global didapatkan sekitar 1,4 juta kasus baru infeksi virus
hepatitis Apertahun. Hepatitis A merupakan yang umum terjadi di seluruhdunia
dimana infeksi virus hepatitis A lebih sering mengenai anak-anak (CDC,2011).
Didaerah dengan 4 musim, infeksi virus hepatitis A terjadi secara
epidemikmusiman yang puncaknya terjadi pada akhir musim semi dan awal
musim dingin.Didaerah tropis, puncak insidensi pernah dilaporkan cenderung
terjadi selamamusim hujan dan pola epidemik siklik berulang setiap 5-10 tahun
sekali yangmirip dengan penyakit virus lainnya.
Di Amerika Serikat, program pengenalan vaksin hepatitis A pada anak-
anakpenurunan insidensi infeksi hepatitis A lebih dari 70% dan dapat
mengurangipenularan ke orang dewasa. Pada tahun 2007, didapatkan faktorresiko
terbanyak disebabkan karena bepergian ke daerah endemis.
Lebih dari 75% anak dari benua Asia, afrika, dan India telah memiliki
antibodiHAV pada usia 5 tahun. Pada tahun 1988, infeksi virushepatitis A pernah
menjadi wabah epidemis di Shanghai yang mengenai sekitar300.000 orang.
Di Indonesia berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A
masihmerupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang di rawat
yaituberkisar 39,8-68,3%. Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan
denganumur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan

1
dibawahstandar. Sebagian besar infeksi HAV yang didapat pada awal
kehidupan,kebanyakan asimptomatik atau sekurangnya anikterik.Pada Tahun
2011-2012, dilaporkan terjadi kejadian luar biasa hepatitis A dibeberapa daerah
seperti Bandung, Bogor, Lampung Timur, Depok, danTasikmalaya. Kejadian ini
sering mengenai anak sekolah dan mahasiswa.
Pada tahun 2013, menurut RISKESDAS 2013 prevalensi hepatitis 2013
adalah 1,2 persen, dua kali lebih tinggi dbanding tahun 2007. Terdapat 13 provinsi
yang memiliki angka prevelansi di atas rata-rata nasional yaitu Nusa Tenggara
Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengan, Maluku, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kalimantan Tengan,
Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan.Dengan sebaran umur terbanyak pada
usia 25 tahun keatas.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sepsis Neonatorum
2.1.1 Definisi Sepsis Neonatorum
Sepsis neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif yang
ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan
sumsum tulang, atau air kemih (IDAI, 2012).
Sejak adanya consensus dari American College of Chest Physician / Society
of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) telah timbul berbagai istilah dan
definisi dibidang infeksi yang banyak pula dibahas pada kelompok BBL dan
penyakit anak.
Istilah definisi tersebut antara lain :
 Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (Systemic
Inflammatory Respons Syndrome – SIRS) ang terjad sebagai akibat
infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit.
 Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular dan gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua
organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital dan
hepatologi).
 Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi
walaupun telah mendapatkan cairan adekuat.
 Sindroma disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidak mampu
lagi mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan
fungsi dua atau lebih organ tubuh.

2.1.2 Klasifikasi Sepsis neonatorum


Sepsis neonatorum terjadi selama 2 awitan.
- Sepsis neonatal awitan dini: kelainan ditemukan pada hari pertama
kehidupan (umur dibawah 3 hari), infeksi terjadi secara vertical karena

3
penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu selama persalinan atau
kelahiran.
- Sepsis neonatal awitan lambat: terjadi disebabkan kuman yang berasal
dari lingkungan di sekitar bayi setelah hari ke 3 lahir, proses infeksi
semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal dan
termasuk didalamnya infeksi karena kuman nosokomial (IDAI, 2012).

2.1.3 Epidemiologi Hepatitis A Virus


Diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus klinis dari hepatitis A terjadi di seluruh
dunia setiap tahun, tetapi rasio dari infeksi hepatits A yang tidak terdeteksi dapat
mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah kasus klinis tersebut. Seroprevalensi dari
hepatitis A virus beragam dari beberapa negara di Asia. Pada negara dengan
endemisitas sedang seperti Korea, Indonesia, Thailand, Srilanka dan Malaysia,
data yang tersedia menunjukan apabila rasio insidensi mungkin mengalami
penurunan pada area perkotaan, dan usia pada saat infeksi meningkat dari awal
masa kanak-kanak menuju ke akhir masa kanak-kanak, dimana meningkatkan
resiko terjadinya wabah hepatitis A.Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung,
dan Makassar berkisarantara 35% - 45% padausia 5 tahun, danmencapailebihdari
90% padausia 30 tahun. Di Papua padaumur 5 tahunprevalensi anti HAV
mencapaihampir 100%.Penelitianseroprevalensi di Yogyakarta tahun 1997
menunjukkan 30-65% dariumur 4 tahunsampai 37 tahun.
Hepatitis A masih merupakan suatu masalah kesehatan di negara
berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit,
hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang
dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%.Incidence rate dari hepatitis per 10.000
populasi sering kali berfluktuasi selama beberapa tahun silam. Suatu studi di
Jakarta melaporkan bahwa anti-HAV kadang kadang ditemukan pada bayi baru
lahir, dan ditemukan pada 20% bayi. Angka prevalensi ini terus meningkat pada
usia di atas 20 tahun.
Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010, KLB hepatitis A terjadi di 2 desa
dengan jumlah penderita sebanyak 32 orang dengan attack rate sebesar 1,35%,

4
kondisi ini mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 kasus hepatitis A
menyerang pada satu desa. Sementara di Kota Semarang selama tahun 2011 tidak
di temukan KLB hepatitis A. Pada tahun 2013, kasus hepatitis di Kota Semarang
meningkat tajam. Menurut Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, ada 47 kasus
hepatitis yang diketahui hingga bulan Agustus tahun 2013.

2.1.4 Patofisiologi dan Patogenesis


Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor aseptic/antiaseptik
misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amnionitis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan
akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya akan terjadi
kontaminasi kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina
masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman
melalui saluran pernapasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi
kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah
pecah lebih dari 18-24 jam.
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat – alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilicus, bayi dalam ventilator,
kurang memperhatikan tindakan anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan
hunian terlalu padat, dll.

5
2.1.5 Manifestasi Klinis Hepatitis A Virus
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi
asimptomatik tanpa ikterus sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminant
yang dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala hepatitis
akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra ikterik), fase
ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan)

Fase Inkubasi. Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya


gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis.
Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur
penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini. Pada
hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 14-50 hari, dengan rata-rata
28-30 hari.

Fase Prodromal (pra ikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan


pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious
ditandai dengan malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah, gejala
saluran napas atas dan anorexia. Mual muntah dan anoreksia berhubungan dengan
perubahan penghidu dan rasa kecap. Demam derajat rendah umunya terjadi pada
hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan
atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolesistitis.

Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi.
Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.

Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya ikterus


dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut
biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan

6
laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-10% kasus perjalanan
klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminant.

2.1.7 Diagnosis Hepatitis A Virus


Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan
prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan
hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Diagnosis sepsis neonatal sulit
karena gambaran klinis pasien tidak sspesifik. Tanda dan gejala sepsis neonatal
tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain BBL.
Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain:
 Faktor risiko
 Gambaran klinik
 Pemeriksaan penunjang
Pada sepsis awitan dini faktor risiko dikelompokkan menjadi:
1. Faktor ibu :
a. Persalinan dan kelahiran kurang bulan.
b. Ketuban pecah lebih 18 – 24 jam.
c. Chorioamnionitis.
d. Persalinan dengan tindakan.
e. Demam pada ibu (>38.4ºC).
f. Infeksi saluran kencing pada ibu.
g. Faktor social ekonomi dan gizi ibu.
2. Faktor bayi
a. Asfiksia perinatal.
b. Berat lahir rendah.
c. Bayi kurang bulan.
d. Prosedur invasif.
e. Kelainan bawaan.
Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi
karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien.
Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif BBL, bayi

7
kurang bulan yang mengalami rawat lama, nutrisi parenteral yang berlarut-larut,
infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi
silang dari bayi lain atau dari tenaga medic yang merawat bayi.
Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat
seperti letargi, reflex hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high
pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan
kardiovaskular seperti hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin. Bayi
dapat pula memperlihatkan kelainan hematologic, gastrointestinal ataupun
gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,
intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnoe,
apnoe, merintih dan retraksi.
A. Pemeriksaan Klinis
Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam, kelelahan,
malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut. Beberapa individu
dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna gelap,
dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat
beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-
anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan
selama seminggu sampai sebulan.

B. Pemeriksaan Serologik
Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold standard
untuk diagnosis dari infeksi akut hepatitis A. Virus dan antibody dapat dideteksi
dengan metode komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan diatas digunakan
untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan total anti-HAV (IgM dan IgG). IgM anti-
HAV dapat dideteksi selama fase akut dan 3-6 bulan setelahnya. Dikarenakan IgG
anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi akut, maka apabila seseorang
terdeteksi IgG anti-HAV positif tanpa disertai IgM anti-HAV, mengindikasikan
adanyainfeksi di masa yang lalu. Pemeriksaan imunitas dari HAV tidak
dipengaruhi oleh pemberian passive dari Immunoglobulin/Vaksinasi, karena dosis
profilaksis terletak dibawah level dosis deteksi.

8
B.1 Rapid Test
Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test menggunakan
metode immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis komersial yang
tersedia. Alat diagnosis ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi oleh antibodi, yaitu
“G” (HAV IgG Test Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan “C” (Control Line)
yang terletak pada permukaan membran. Garis “G” dan “M” berwarna ungu akan
timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM anti-HAV cukup pada
sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan metode immunochromatographic
assay didapatkan spesifisitas dalam mendeteksi IgM anti-HAV hingga tingkat
keakuratan 98,0% dengan tingkat sensitivitas hingga 97,6%.
C. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan biokimia dari
fungsi liver (pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin urin dan urobilinogen, total
dan direct bilirubin serum, alanine transaminase (ALT) dan aspartate
transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP), prothrombin time (PT), total
protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap). Apabila tes
lab tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat membantu untuk
menegakan diagnosis.
2.1.8. DefinisiKasus Hepatitis A Virus
Deskripsi Klinis: Onset yang mendadak dari demam, kelelahan, malaise,
anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut; beberapa individu dapat
mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna gelap, dan
feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat
beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-
anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan
selama seminggu sampai sebulan.
Secara umum, tingkat beratnya gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Anak berusia kurang dari 3 tahun jarang terlihat gejala,
namun 80-90% orang dewasa timbul gejala apabila terinfeksi. Hepatitis yang
berulang dan berkepanjangan (relaps) sampai dengan 1 tahun terjadi pada 15%

9
kasus. Hepatitis A fulminan jarang terjadi, orang tua dengan penyakit hati kronis
berada pada resiko yang lebih besar terkena hepatitis A fulminan.
Secara klinis hepatitis A tidak dapat dibedakan dengan jenis hepatitis
lainnya, maka dari itu diperlukan definis kasus hepatitis A, berikut ini merupakan
definisi kasus hepatitis A:

 Kasus suspect
Individu dengan gejala penyakit hepatitis A ATAU peningkatan enzim
hepar dengan etiologi yang tidak diketahui DAN tanpa hubungan
epidemiologis yang berhubungan dengan kasus Confirmed hepatitis A akut.
Individu dengan titer antibodi IgM anti-HAV positif tanpa gejala penyakit
hepatitis A ATAU tanpa peningkatan kadar ALT dan AST dalam serum.

 Probable

Individu tanpa gejala klinis penyakit hepatitis A, disertai dengan titer


antibodi IgM anti-HAV positif DAN pasien secara epidemiologis memiliki
hubungan dengan kasus Confirmed hepatitis A akut. (hubungan
epidemiologis dapat didefinisikan sebagai tinggal dalam satu rumah atau
kontak seksual, atau mendapat paparan yang sama dengan yang diduga
menjadi sumber infeksi hepatitis A)

 Confirmed

Individu dengan gejala klinis hepatitis A, disertai dengan ikterus ATAU


peningkatan kadar AST dan ALT dalam serum DAN antibodi IgM anti-
HAV positif.

Individu dengan gejala klinis hepatitis A, disertai dengan ikterus ATAU


peningkatan AST dan ALT dalam serum DAN memiliki hubungan
epidemiologis dengan kasus Confirmed hepatitis A akut. (hubungan
epidemiologis dapat didefinisikan sebagai satu rumah tangga atau kontak

10
seksual, atau mendapat paparan yang sama dengan yang diduga menjadi
sumber infeksi hepatitis A)

2.1.9 Pencegahan Hepatitis A Virus

Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik dan
benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene personal yang
baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi penyebaran dari HAV.

Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum


globulin prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan.
Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif, immunoglobulin
tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis
yang berkunjung ke daerah endemik dalam waktu singkat, wanita hamil, orang
yang lahir di daerah endemis HAV, orang dengan immunocompromised yang
memiliki resiko penyakit berat setelah kontak erat, dan pekerja kesehatan setelah
terpajan akibat pekerjaan.15, 16 Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi,
contohnya makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum globulin
prophylaxis harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari kontaminan
tersebut. Hal ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah,
rumah sakit, penjara, dan institusi lainnya.

Imunisasi aktif dengan vaksin mati memberikan imunitas yang sangat baik.
Imunisasi ini diindikasikan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik, untuk
memusnahkan wabah, dan untuk melindungi pekerja kesehatan setelah pajanan
atau sebelum pajanan bila terdapat risiko akibat pekerjaan.4 Vaksinasi HAV
memberikan kemanjuran proteksi terhadap HAV sebesar 94-100% setelah 2-3
dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan secara terpisah, dengan efek samping
yang minimal.

2.1.10 Penatalaksanaan Hepatitis A Virus

Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,


yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori,

11
penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari
konsumsi alkohol.

Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat inap.
Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi,
kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat hepatotoxic,
pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat,
penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-gejala dari
hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan onset
dari encephalopathy dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan
gagal hati fulminant harus dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi
hati.

2.2. Kolesistitis

2.2.1. Definisi

Kolesistitis adalah inflamasi yang terjadi pada kandung empedu dan


terbagi menjadi akut dan kronis. Kolesistitis akut biasanya terjadi akibat adanya
sumbatan duktus sistikus oleh batu. Namun terdapat beberapa faktor risiko lain
yang dapat meningkatkan insidensi terjadinya kolesistitis. Di Amerika 10-20%
penduduknya menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga
menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua
dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada wanita-
wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat-obatan hormonal, insidensi kolesistitis
akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan dengan
kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan stasis aliran kandung empedu.
Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidensi
kolesistitis dan kolelithiasis relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-
negara barat.
2.2.2. Patofisiologi

12
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis melibatkan batu di saluran
sistikus (kolesistitis kalkulus), dan 10% sisanya merupakan kasus kolesistitis
kalkulus. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Kolesistitiskalkulus akut disebabkan oleh tersumbatnya duktus sistikus hingga
menyebabkan distensi kandung empedu.
Sementara itu, mekanisme yang akurat dari kolesistitis akalkulus tidaklah
jelas, namun beberapa teori mencoba menjelaskan. Radang mungkin terjadi akibat
kondisi dipertahankannya konsentrat empedu, zat yang sangat berbahaya, di
kandung empedu, pada keadaan tertentu. Misalnya pada kondisi puasa
berkepanjangan, kantong empedu tidak pernah menerima stimulus dari
kolesistokinin (CCK) untuk mengosongkan isinya, dengan demikian, empedu
terkonsentrasi dan tetap stagnan di lumen.

Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke dalam empedu oleh hati.Sebagian besar bilirubin di dalam empedu
berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi
sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi.Bilirubin tak terkonjugasi,
seperti lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya cenderung untuk membentuk
presipitat tak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif
bersama dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian heme tinggi, seperti
hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi mungkinberada dalam
empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari biasanya.Kalsium bilirubinat
mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya membentuk batu
pigmen hitam
Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak
biasa (misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium
bilirubinat, bakteri hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang

13
komplek dengan kalsium dan endapan dari larutan lain. Konkresi yang dihasilkan
memiliki konsistensi disebut batu pigmen coklat.
2.2.3. Manifestasi Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah nyeri
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan
suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif dan nyerinya
bersifat konstan. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula
kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda.
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskular dan ekstraselular. Pada pemeriksaan
fisik, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan
membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkostae kuadran kanan
atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti yaitu Murphy
sign positif menandakan adanya peradangan kandung empedu.
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin<4,0
mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstra hepatik misalnya duktus koledokus.Gejalanya juga
bertambah buruk setelah makan makanan yang berlemak. Pada pasien-pasien
yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak
terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya
tidak terdapat tanda-tanda kolik kandung empedu.
a. Kolik Billier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akanmenderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik

14
bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah
dan bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar.Pada sebagian
pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten.Serangan kolik
bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran olehbatu. Dalam
keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga
dada.
b. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa ke dalam
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit
dan membran mukosa berwarna kuning.
c. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin
A,D,E,Kyang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala
defisiensivitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama.Defisiensi
vitamin Kdapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
d. Kolesistitis Akut
Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan
peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan tiga faktor
yaitu: a) inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra
lumen dan distensi menyebabkan iskemia mukosa dan dinding kandung
empedu, b) inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin, c) inflamasi bakteri
yang memegang peran pada sebagian besar pasien dengan kolesititis akut.

15
Pasien dianggap menderita kolesistitis akut jika mereka memiliki kriteria
berikut.

1. Nyeri akut region hypochondria kanan dan / atau nyeri epigastric durasi > 8-
12 jam.
2. Nyeri tekan/ teraba massa di kuadran kanan atas.
3. Peningkatan suhu (> 37.50C) dan / atau leukositosis (> 10x109 / L).
4. Bukti kolesistitis akut pada ultrasonografi.

2.2.4. Penatalaksanaan

Untukkasuskolesistitisakut, tindakanumum yang dapatdilakukanadalah


tirah baring, pemberian cairan
intravenadannutrisiparentraluntukmencukupikebutuhancairandankalori, diet
ringan tanpa lemak dan menghilangkan nyeri dengan petidin (demerol) dan
buscopandanterapisimtomatiklainnya.
Antibiotik pula diberikan untuk mengobati septikemia serta mencegah
peritonitis dan
empiema.Antibiotikpadafaseawaladalahsangatpentinguntukmencegahkomplikasi
Mikroorganisme yang sering ditemukan adalah Eschteria coli, Stretococcus
faecalis, dan Klebsiella, sering dalam kombinasi. Dapat juga ditemukan kuman
anaerob seperti Bacteriodes dan Clostridia.Antibiotik yang
dapatdipilihadalahmisalnyadarigolongansefalosporin, metronidazol,
ampisilinsulbaktamdanureidopenisilin.
Terapidefinitif kolestisistitis akutadalahkolesistektomidan sebaiknya
dilakukan kolesistektomi secepatnya yaitudalamwaktu 2-3 hari (dalam 7
harisejak onset gejala) atauditunggu 6-10
mingguselepasditerapidenganpengobatankarenaakanmengurangiwaktupengobatan
di rumahsakit.
Sebagiandoktermemilihterapioperatifdiniuntukmenghindaritimbulnyagang
renataukomplikasikegagalanterapikonservatif.Beberapa dokter bedah lebih

16
menyukai menunggu dan mengobati pasien dengan harapan menjadi lebih baik
selama perawatan, dan mencadangkan tindakan bedah bila kondisi pasien benar-
benar stabil, dengan dasar pemikiran bahwa aspek teknik kolesistektomi akan
lebih mudah bila proses inflamasi telah mulai
menyembuh.Terapioperatiflanjutinimerupakanpilihan yang
terbaikkarenaoperasidiniakanmenyebabkanpenyebaraninfeksikerongga
peritoneum danteknikoperasiakanmenjadilebihsulitkarena proses inflamasiakut di
sekitarduktusakanmengaburkangambarananatomi. Namun,
jikaberlakunyakasusemergensiatauadakomplikasisepertiempiemaataudicurigaiada
nyaperforasi, sebaiknyalansungdilakukankolesistektomi.
Dibandingkan kolesistektomi konvensional, pada kolesistektomi
laparoskopik, pasien dapat keluar rumah sakit dalam 1-2 hari pascaoperasi dengan
jarigan parut minimal dan dapat berkativitas lebih cepat. Sekitar 10%
kolesistektomi laparoskopik harus diubah menjadi operasi terbuka (kolesistektomi
konvensional) di kamar operasi karena adanya inflamasi yang luas, perlekatan,
atau adanya komplikasi, seperti cedera saluran empedu yang memerlukan
perbaikan.
Pada pasien yang memerlukan penanganan secepatnya, namun dalam
keadaan sakit keras atau sangat berisiko tinggi untuk kolesistektomi, pasien harus
diterapi secara medis dengan pemberian cairan, antibiotika dan analgesik, bila
terapi ini gagal, perlu dipertimbangkan suatu kolesistotomi perkutan. Di sini, isi
kandung empedu dikeluarkan dan lumen didrainase dengan kateter yang
ditinggalkan. Pada pasien yang mengalami kolesistosomi dan telah sembuh dari
keadaan akut, harus dilakukan kolesitektomi 6-8 minggu kemudian bila kondisi
medisnya cukup baik.
Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai 90% dari seluruh
kolesisteksomi. Konversi ke tindakan bedah kolesisteksomi konvensional sebesar
1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang
disebabkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu.
Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran
empedu(7%), perdarahan dan kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah

17
tindakan kolesisteksomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan
seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan angka kematian, secara
kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan
mempercepat aktifitas pasien.

18
BAB III

KESIMPULAN

Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan


hati yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik,
maupun kelainan autoimun. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun
parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Viral hepatitis merupakan
penyebab terbanyak dari infeksi tersebut. Hepatitis virus masih merupakan
masalah kesehatan utama, baik di negara yang berkembang maupun negara maju.

Hepaitis merupaka penyakit self-limiting dan memberikan kekebalan


seumur hidup. Insidensi tinggi banyak didapatkan di negara berkembang seperti
Asia, Afrika, Mediterania dan Amerika Selatan dimana anak yang berusia sampai
5 tahun mengalami infeksi virus hepatitis A (HAV) dalam bentuk subklinis
sehingga lebih dari 75% dari penderita tersebut memiliki anti HAV.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aryana, I Gede Ketut, et al. 2013. Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa Hepatitis A
Di Sekolah Dasar Negeri Selulung dan Blantih, Kintami. FK
Universitas Udayana. Denpasar.

Bennet, Nicholas John. Et al.2016. Pediatric Hepatitis A. International E-Journal.


Medspace.

Firmansyah, M. Adi. 2015. Diagnosis dan Tata Laksana Kolesistitis Akalkulus


Akut. RSUD Kota Tangerang : Medicinus Vol 28 No 2 Desember
2015

InfoDatin.2014.Situasi dan Analisis Hepatitis.Jakarta:Kemnkes RI

Juffrie, Mohammad. 2015. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1.


Jakarta : IDAI

Kliegmen, Robert M. 2016. Nelson Textbook of Pediatrics, Twentieth Edition.


Philadelphia : Elsevier

Sudoyono, Aru W.2013.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 5.


Jakarta :Interna Publishing

Trihono.2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.Jakarta:Kemenkes RI (diunduh 05


Juni 2016)

Yong, H.T and Son, R. 2009. Review Article Hepatitis A Virus – General
Overview. International Food Researh Journal.

20

Anda mungkin juga menyukai