Anda di halaman 1dari 31

Referat

RADIOLOGI OSTEOARTHRITIS

Periode 18 September – 7 Oktober 2019

Oleh:
Irinne Karina Putri, S.Ked
04054821820076

Pembimbing:
dr. Muslaningsih, Sp.Rad, M.Kes

BAGIAN DEPARTEMEN RADIOLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat
Radiologi Osteoarthritis

Oleh:
Irinne Karina Putri, S.Ked
04054821820076

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/ Departemen Radiologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 18 September – 7 Oktober 2019.

Palembang, September 2019


Pembimbing,

dr. Muslaningsih, Sp.Rad, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan berkat-Nya referat yang berjudul “Radiologi Osteoarthritis” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan
Klinik di Bagian/Departemen Radiologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 18 September – 7
Oktober 2019. Penulis mengucapkan terima kasih kepada. dr. Muslaningsih,
Sp.Rad, M.Kes atas bimbingannya sehingga penulisan referat ini menjadi lebih
baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang. Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna dan dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

Palembang, September 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2
BAB IV KESIMPULAN .................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan


berkurangnya kartilago di sendi yang mengakibatkan tulang-tulang bergesekan
dan menyebabkan kekakuan, nyeri dan gangguan pergerakan (WHO, 2013).
Sedangkan menurut CDC (2014), OA merupakan penyakit degenerasi pada sendi
yang melibatkan kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga
menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi. Dalam Perhimpunan Reumatologi
Indonesia Osteoarthritis secara sederhana didefinisikan sebagai suatu penyakit
sendi degeneratif yang terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan
tulang yang ada disekitar sendi tersebut (Hamijoyo, 2007).
OA merupakan penyakit sendi paling umum di Indonesia dan negara
berkembang lainnya. Kejadian osteoarthritis banyak pada orang yang berusia di
atas 45 tahun. Laki-laki di bawah umur 55 tahun lebih sering menderita penyakit
ini, namun setelah umur 55 tahun prevalensi lebih banyak pada wanita.
Osteoarthritis juga sering ditemukan pada orang yang kelebihan berat badan dan
mereka yang pekerjaanya mengakibatkan tekanan yang berlebihan pada sendi
tubuh (Nur, 2009). Klasifikasi osteoarthritis dibagi berdasarkan primer dan
sekunder. Osteoarthritis primer lebih sering ditemukan dari pada osteoarthritis
sekunder (Arissa, 2012).
Pasien OA kebanyakan datang berobat dengan keluhan nyeri dan
kekakuan pada sendi yang terkena yang timbul saat aktivitas dan hilang saat
istirahat. Pasien biasanya mengeluh kaku pada pagi hari, yang biasanya kurang
dari 30 menit (Haq dkk, 2003).
Dalam praktik, radiologi tetap menjadi salah satu penunjang yang
digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi terapi pada pasien dengan
osteoarthritis (OA). Radiografi mampu memperlihatkan perubahan struktur
tulang, lebar ruang celah sendi, ketebalan kartilago, dan pengukuran akurat
struktur sendi yang apabila pasien tersebut menderita OA, akan ditemukan
perubahan pada gambaran radiologinya. Identifikasi dini OA sangat dibutuhkan
dalam decision-making pemillihan terapi dan pemahaman lebih lanjut mengenai
progresivitas penyakit ini (Hillary JB dan Garry FG, 2012).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
OSTEOARTHRITIS

2.1 Definisi
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan
berkurangnya kartilago di sendi yang mengakibatkan tulang-tulang bergesekan dan
menyebabkan kekakuan, nyeri dan gangguan pergerakan (WHO, 2013). Sedangkan
menurut CDC (2014), OA merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang
melibatkan kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri
dan kekakuan pada sendi. Dalam Perhimpunan Reumatologi Indonesia Osteoarthritis
secara sederhana didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi degeneratif yang terjadi
karena proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada disekitar sendi tersebut
(Hamijoyo, 2007). Sjamsuhidajat, dkk (2011) mendefinisikan OA sebagai kelainan
sendi kronik yang disebabkan karena ketidakseimbangan sintesis dan degradasi
pada sendi, matriks ekstraseluler, kondrosit serta tulang subkondral pada usia tua
(Sjamsuhidajat et.al, 2011).

2.1 Epidemiologi
Osteoarthritis bisa menyerang semua populasi (Doherty dkk, 2016).
Prevalensi yang didapat dari penelitian berbeda-beda dikarenakan definisi dari
gejala dan perubahan radiografi yang tidak konsisten. Gambaran radiografi pada
OA ditandai dengan terbentuknya osteofit dan penyempitan ruang sendi. Banyak
orang yang terdiagnosis OA dengan radiografi, namun tidak mempunyai gejala
(Barbour dkk, 2017).
Prevalensi OA pada perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Kelompok perempuan berusia di atas 50 tahun mempunyai
prevalensi yang lebih tinggi daripada laki-laki pada kelompok usia yang sama,
tetapi saat berusia di bawah 50 tahun, terjadi sebaliknya. Prevalensi hubungan
jenis kelamin dan usia dengan meningkatnya risiko terkena OA sesuai dengan
keadaan defisiensi hormon post-menopause pada perempuan lansia (Xing dkk,
2016).

2
Prevalensi OA pada semua sendi sangat berhubungan dengan usia.
Prevalensi OA sangat jarang pada orang berusia dibawah 40 tahun tetapi sering
pada orang berusia diatas 60 tahun. Contohnya, prevalensi OA pada tangan secara
radiografi hanya 5% menyerang orang berusia dibawah 35, namun prevalensinya
meningkat 70% saat berusia di atas 70 tahun (Sherna dan Leena, 2007).
Penelitian berskala besar oleh Massachusetts Health Maintenance
Organization (Sherna dan Leena, 2007) melaporkan bahwa insiden dari OA
tangan, genu, dan pinggul semuanya meningkat sebanding dengan usia (Gambar
2.1). Prevalensi OA pada semua sendi, perempuan lebih tinggi daripada laki-laki
pada kelompok usia diatas 50 tahun. Angka insiden OA simptomatik pada usia
70-79 tahun mencapai maksimum kemudian setelahnya menurun baik pada laki-
laki maupun perempuan. Insinden OA simptomatik genu radiografi pada
perempuan 1% per tahun, prevalensi dari OA genu radiografi lebih tinggi dengan
2% per tahun pada perempuan (Hart dkk, 1999). Risiko kematian mungkin akan
meningkat pada orang yang terserang OA (Xing dkk, 2016).

Sumber: Osteoarthritis edisi II, 2003


Gambar 2.1 Insiden OA tangan, pinggul, dan genu

3
2.2 Faktor Risiko
Sendi rentan terkena OA jika mempunyai kerentanan intrinsik sendi dan
kerentanan sistemik. Adanya kerentanan intrinsik sendi dan faktor sistemik
memudahkan suatu sendi mengalami OA jika terdapat beberapa faktor ekstrinsik
yang berhubungan dengan beban. Faktor risiko utama berupa obesitas dan
aktivitas fisik dikelompokkan dalam faktor ekstrinsik (Gambar 2.2). Orang yang
mengalami cedera sendi berulang kali akan lebih rentan menderita OA apabila
terdapat faktor risiko lokal dan sistemik (Kenneth dkk, 2003).

Faktor risiko intrinsik sendi:


Riwayat cedera
Kelemahan otot Faktor risiko
Posisi tubuh yang tidak ekstrinsik sendi:
sesuai Obesitas
defisiensi proprioseptif Aktivitas yang
Faktor risiko
melukai/membebani
sistemik:
sendi
Usia
Jenis kelamin
Faktor genetik
Faktor nutrisional
Osteoartritis dan
peningkatan
Kerentanan osteoartritis dan
progresi
meningkatkan progresinya
osteoartritis

Sumber: Osteoarthritis edisi II, 2003


Gambar 2.2 Interaksi antar faktor risiko sehingga menyebabkan OA

1) Faktor Risiko Konstitusional


a. Faktor Genetik dan Keturunan
Faktor genetik muncul sebagai risiko untuk OA primer. Menurut
penelitian yang berdasarkan populasi, Haberden’s nodes muncul 2
sampai 3 kali lebih banyak pada orang yang ibu atau saudaranya
mempunyai OA tangan (Sharma dan Leena, 2007).
Hubungan faktor genetik dengan kejadian OA primer masih
belum jelas, walaupun banyak kasus yang membuktikan adanya
hubungan tersebut. OA primer yang diderita sebuah keluarga Belanda
cenderung berpola autosomal dominan, dan dihubungkan dengan

4
kromosom 2q. OA pinggul yang diderita sebuah keluarga Afrika
Selatan cenderung berpola autosomal dominan dan berhubungan
dengan kromosom 4q35. (Sharma dan Leena, 2007)
Beberapa penelitian menemukan defek dari kode gen yang
membentuk kolagen, atau gen yang terlibat pada regulasi kepadatan
tulang subkondral. Kode gen yang terganggu adalah gen-gen yang
meregulasi kolagen tipe I,II, dan III; protein morfogenik tulang;
reseptor vitamin D; reseptor estrogen; faktor pertumbuhan mirip
insulin. Gangguan pada kode gen-gen ini berhubungan dengan
meningkatnya risiko OA primer (Sharma dan Leena, 2007).
b. Kelainan Pertumbuhan dan Kongenital
Kelainan yang bisa menganggu pertumbuhan normal anatomi
sendi bisa membuat deformitas sendi dan OA sekunder. Kelainan
sendi pinggul pada anak-anak, contohnya congenital hip dysplasia
relatif, penting diketahui dari awal karena faktor risiko ini dapat
dimodifikasi sehingga kejadian OA sekunder berkurang (Sharma dan
Leena, 2007).
2) Faktor Risiko Aktivitas
a. Pekerjaan
Pekerjaan dengan gerakan yang sama berulang-ulang dengan
beban sendi yang berat dan berlangsung lama dihubungkan dengan
OA. Pekerja tambang, pekerja pelabuhan, petani, pemadam
kebakaran, pembawa surat, dan asisten rumah tangga adalah pekerjaan
yang mempunyai angka OA genu dan pinggul yang tinggi (Sharma
dan Leena, 2007).
OA genu parah yang ditemukan saat operasi genu berhubungan
erat dengan mengangkat beban lebih dari 10 kg lebih dari 10 kali per
minggu, berlutut lebih dari 1 jam per hari, dan jongkok lebih dari 1
jam per hari. OA pinggul juga berhubungan dengan beban kerja yang
berat (Sharma dan Leena, 2007).
b. Aktivitas Olahraga/Aktivitas diluar pekerjaan

5
Penelitian pada hewan coba menunjukkan ada perbedaan
penggunaan sendi yang intensif terhadap kondisi sendi. Berlari secara
intensif bisa membuat menurunnya proteoglycan kartilago dan
remodelling tulang subkondral, namun permukaan kartilago tetap utuh
dan tidak ditemukan tanda-tanda awal OA (Sharma dan Leena, 2007).
Aktifitas fisik reguler tidak meningkatkan risiko atau keparahan
OA genu atau pinggul. Pelari tidak menunjukkan peningkatan insiden
OA radiografi dibandingkan dengan orang yang bukan pelari. Pelari
tidak mempunyai angka yang lebih tinggi pada nyeri pinggul daripada
perenang. Pelari yang berlari 12 hingga 24 mil per minggu selama 40
tahun tidak mempunyai angka OA pinggul yang lebih tinggi
dibandingkan kontrol (Doherty dkk, 2016).
Cedera sendi pada olahraga dapat mengakibatkan OA dalam
jangka waktu yang lama. Olahragawan professional atau atlit
mempunyai kemungkinan tinggi untuk menderita cedera sendi, dan
sangat mungkin tetap berolahraga walau masih cedera sendi. Pemain
sepak bola dengan ruptur ACL sangat mungkin menderita OA di masa
mendatang walaupun sudah dioperasi, daripada pemain yang ACL-
nya masih bagus (Sharma dan Leena, 2007).
c. Trauma non-olahraga
Cedera sendi secara signifikan meningkatkan risiko terkena OA di
masa mendatang, walaupun yang bersangkutan bukan olahragawan
(Sharma dan Leena, 2007).
3) Faktor Risiko Mekanik Lokal
a. Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT yang tinggi meningkatkan insiden simptomatik dan
radiografik OA genu. Obesitas lebih berisiko terhadap OA pada
perempuan dibanding laki-laki, dan hubungannya lebih kuat kepada
OA genu bilateral dibandingkan OA genu unilateral. Perempuan
obesitas yang berusia 65-74 tahun terdiagnosis OA radiografi sekitar
50%, sedangkan perempuan non obes kelompok usia yang sama
hanya 6%. (Sharma dan Leena, 2007).

6
Risiko OA genu meningkat sekitar 15% untuk setiap kg/m2
Peningkatan IMT berhubungan dengan peningkatan insiden OA genu.
Laki-laki yang IMTnya 23-25 kg/m2 punya risiko lebih tinggi
terhadap OA dibandingkan dengan laki-laki dengan IMT <23 kg/.
Peningkatan IMT akan meningkatkan keparahan OA genu (Sharma
dan Leena, 2007).
b. Kelemahan Otot
Kelemahan otot berkontribusi untuk berkembangnya OA. Nyeri
OA genu berhubungan dengan kelemahan otot quadriceps. (Sharma
dan Leena, 2007).
4) Faktor Risiko Hormonal
Prevalensi OA pada perempuan meningkat secara drastis setelah
memasuki masa menopause. Hasil pengamatan ini mendukung teori
bahwa jumlah estrogen berpengaruh pada patogenesis OA Sharma dan
Leena, 2007). Kondrosit sendi manusia bekerja dengan bantuan reseptor
estrogen. Estrogen berpengaruh pada matriks metalloproteinase dan
jaringan inhibitor dari metalloproteinase di kondrosit, serta berpengaruh
untuk chondroproteksi (Sharma dan Leena, 2007).
5) Faktor Risiko Tulang: Kepadatan Tulang/Bone Mineral Density
(BMD)
OA berhubungan terbalik dengan osteoporosis (Barbour dkk, 2017).
BMD yang tinggi di leher atau lumbar meningkatkan risiko terkena OA
genu (Sharma dan Leena, 2007).

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi


OA dikarakteristikkan oleh hilangnya kartilago sendi secara progresif dan
disertai pembentukan formasi tulang baru dan proliferasi sinovial yang dapat
mengakibatkan nyeri sendi, hilangnya fungsi sendi, dan disabilitas. Stres mekanik
yang tinggi pada sendi berperan dalam patogenesis OA. Sendi yang paling sering
terkena efek mekanik ini adalah sendi-sendi yang menopang berat badan,
contohnya adalah sendi kaki, genu, pinggul, tulang belakang, dan leher (Man dan
Mologhianu, 2014)

7
Menurut Martel-Pelletier dan Johanne (2004) patogenesis OA dibagi
menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Tahap 1 – Pecahnya matriks kartilago
OA diawali dengan kerusakan matriks kartilago. Kerusakan ini
merupakan hasil dari ketidakseimbangan metabolisme sel kondrosit
untuk memperbaiki matriks kartilago. Secara normal, kondrosit
mempertahankan keseimbangan dari anabolik dan katabolik pada matriks
kartilago agar remodelling terjadi secara dinamis dan terkontrol.
Keseimbangan ini tidak terjadi OA. Ketidakseimbangan antara sintesis
matriks dan enzim protease menyebabkan hasil proses anabolik lebih
kecil dari proses katabolik.
2. Tahap 2 – Erosi kartilago
Proses tahap satu menyebabkan kartilago terdegradasi sehingga
menipis. Keadaan ini mengakibatkan bagian tulang subkondral tidak
terlindungi sehingga terjadi kontak langsung dengan tulang. Kontak
langsung antara tulang subkondlar ditambah dengan stres mekanik yang
berlebihan, menyebabkan perubahan struktur pada tulang subkondlar
seperti terbentuknya osteofit, sklerosis tulang, dan nekrosis tulang.
Fragmen-fragmen proteoglikan dan kolagen yang telah hancur dari
matriks kartilago juga masuk ke dalam cairan sendi memperparah proses
ini menyebabkan inflamasi kronis.
3. Tahap 3 – Inflamasi kronis
Fragmen proteoglikan dan kolagen yang hancur menstimulasi
terjadinya respon inflamasi pada sinovium. Makrofag sinovial
terstimulasi untuk menggeluarkan metalloproteinase dan berbagai
sitokin, contohnya Interleukin (IL)-1 dan Tumor Necrosis Factor-Alpha
(TNF-α), yang memperparah degradasi kartilago. Berbagai sitokin ini
juga menstimulasi secara tidak langsung kondrosit untuk menghasilkan
lebih banyak MMP. Lama-kelamaan tahap ini menyebabkan perubahan
struktur sendi dan pertumbuhan abnormal tulang.

8
Sinovitis dan OA
Inflamasi sinovium atau Sinovitis adalah hal yang terjadi saat tahap awal
OA. Sinovitis berkontribusi untuk beberapa tanda dan gejala seperti
pembengkakan sendi dan efusi, dan mencerminkan perubahan struktural yang
disebabkan oleh OA. Mekanisme bagaimana inflamasi sinovial dipicu masih
tidak diketahui (Liu-Bryan, 2013).
Sinovium yang normal mempunyai 2 lapisan. Lapisan luar atau
subintima mempunyai ketebalan sampai 5 mm dan terdiri dari beberapa jenis
jaringan ikat seperti fibrosa, adiposa, dan areolar. Lapisan ini kaya akan
kolagen tipe 1, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Lapisan dalam
atau intima terletak di dekat kavitas sendi dan mempunyai ketebalan 20-40
µm (Mathiessen dan Conaghan, 2017).
Secara histologi, sinovium pada pasien OA menunjukkan hiperplasia
dengan infiltrasi dari sel inflamasi seperti makrofag dan limfosit. Infiltrasi
makrofag pada sinovium adalah hal yang biasa terjadi di OA. Makrofag ini
akan membentuk multinucleated giant cells (MCGs) yang akan meningkatkan
fagositosis (Liu-Bryan, 2013).
Molekul dari kartilago hyalin yang terdegradasi lepas ke cavitas sinovial
akan menginisiasi sinovitis di OA. Pada tahap awal OA lutut, luka pada
meniskus juga akan melepas jaringan debris. Sinoviosit bereaksi dengan
memproduksi mediator pro-inflammasi, yang akan menarik sel imun,
meningkatkan angiogenesis dan menginduksi perubahan kondrosit. Kondrosit
memproduksi sitokin tambahan dan enzim proteolitik yang meningkatkan
degradasi kartliago dan memicu inflammasi lanjutan (Mathiessen dan
Conaghan, 2017).
Sinovitis meningkatkan respon dari peripheral nociceptive neurons, yang
meningkatkan sensitivitas nyeri dan membuat meningkatnya rasa nyeri. Di
sendi besar seperti lutut, sinovitis ditemukan tidak sempurna yang mungkin
berhubungan dengan nyeri (Mathiessen dan Conaghan, 2017).

9
Tabel 2.1 Peran sinovitis pada OA
Tingkatan Hasil
Peran
Klinis • Efusi dan pembengkakan sendi
• Nyeri tiba-tiba
• Nyeri di malam hari dan kekakuan pagi hari
Histologi • Hipertrofi sinovial dan hiperplasia
• Infiltrasi sel mononuklear (monosit/makrofag, aktivasi sel B dan sel T)
• Penumpukan makrofag dan pembentukan multinucleated giant cells
untuk meningkatkan fagositosis
• Peningkatan angiogenesis
• Degeneratif rawan sendi
Molekuler • Memproduksi sitokin pro-inflammasi
• Peningkatan produksi prostaglandin (PGE2) dan nitrit oksida (NO)
• Meningkatkan aktivitas matriks metalloproteinase (MMP)
• Melibatkan makrofag dalam pembentukan osteofit
• Berkurangnya sitokin anti-inflammasi
• Meningkatkan neurotransmitter nyeri

Perubahan Cairan Sendi dan OA


Cairan sendi adalah lapisan cairan tipis yang mengisi ruang sendi normal,
cairan sendi ini memberikan nutrisi esensial dan membersihkan sisa
metabolisme dari kondrosit di dalam rawan sendi. Selain itu cairan sendi
berfungsi sebagai pelumas dan sebagai perekat. Sebagai pelumas, cairan
sendi melumasi permukaan sendi yang mendapat beban mekanik, sedang
sebagai perekat, cairan sendi meningkatkan stabilitas dan menjaga agar
permukaan sendi tetap pada posisi nonrmalnya (pada relnya) pada saat sendi
digerakkan. Viskositas yang tinggi dari cairan sendi terjadi karena adanya
asam hyaluronat yang disekresi oleh sinoviosit tipe B di dalam sinovium
(Setiati dkk, 2014).
Artritis akan merubah cairan sendi. Pada osteoartritis terdapat perubahan
jumlah cairan sendi menjadi lebih banyak. Pada post-trauma OA, jumlah
asam hyaluronik meningkat, yang membuat peningkatan viskositas cairan
sendi, yang kadang disertai dengan peningkatan volume, walaupun tidak
sama seperti di artritis inflamasi (lihat tabel 2.1) (Bullough, 2010).
Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan sendi, bahkan
pada sendi besar seperti lutut hanya mengandung 3-4mL cairan sinovial. Pada
kondisi sinovitis, yang mengakibatkan rusaknya “membran dialisat” sendi.

10
Sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada ruang sendi. Meskioun volume
cairan sendi tidak dapat membedakan kelainan sendi inflamasi dan
noninflamasi, tetapi volume aspirat pada aspirasi serial bermanfaat untuk
menilai hasil pengobatan karena penurunan volume aspirat biasanya sesuai
perbaikan klinis (Setiati dkk, 2014).

Tabel 2.2 Perbandingan penyakit sendi dengan cairan sendi


Kriteria Noninflamasi Inflamasi Purulen
Contoh Osteoartritis Reumatoid artritis Infeksi bakterial
Volume (mL) Biasanya >4 Biasanya >4 Biasanya >4
Warna Xantokrom Xantokrom/putih Putih
Kejernihan Transparan Tralusen/opak Opak
Viskositas Tinggi Rendah Sangat rendah
Bekuan musin Sedang sampai baik Sedang sampai buruk Buruk
Bekuan spontan sering sering Sering
Jumlah leukosit/mm3 <3.000 3.000-50.000 50.000-300.000
Polimorfonuklear <25% >70% >90%
(%)
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI

Struktur sendi banyak mengandung reseptor propioceptive dan


nociceptive. Hal ini mengindikasikan pentingnya fungsi mengetahui posisi
sendi dan kesadaran akan gerakan yang dapat menyebabkan cedera pada
fungsi normal sendi. Nociceptors banyak pada kapsula sendi, ligamen,
periosteum, menisci, tulang subkondral, dan sinovium. Sedangkan kartilago
tidak memiliki saraf sehingga tidak mentransmisikan rasa nyeri. (Thakur dkk,
2014).
Rasa nyeri muncul saat nociceptor terstimulasi secara mekanik sehingga
ambang pada nociceptor terlewati dan potensial aksi dapat terjadi. Informasi
nyeri dibawa menuju cornu dorsalis medula spinalis dan diteruskan menuju
otak untuk diproses. Informasi nyeri akan dianalisis pada korteks dan
thalamus. Dua sistem utama yang berperan dalam sensasi nyeri adalah sistem
lateral dan sistem medial dari traktus spinothalamus. Sistem lateral membawa
informasi nyeri ke korteks somato sensori untuk menganalisis lokasi, durasi,
intensitas, dan kualitas dari nyeri. Sistem medial membawa stimulus nyeri ke
amygdala yang berfungsi sebagai persepsi nyeri dan juga hal lainnya seperti

11
respon afektif. Hal ini yang menyebabkan persepsi nyeri dipengaruhi juga
oleh aspek afektif pasien dan aspek kognitif pasien (Thakur dkk, 2014).
Mediator inflamasi pada cairan sinovial di OA juga berperan dalam
persepsi nyeri. Sitokin mengurangi ambang batas stimulus pada nociceptor
untuk mencapai potensial aksi atau bahkan menstimulus nociceptor secara
spontan. Inflamasi kronis pada OA menyebabkan mediator inf1amasi pada
cairan sinovial terus menetap sehingga nociceptor menjadi hipersensitif pada
stimulus, fenomena ini disebut peripheral sensitization. Hal ini menyebabkan
nociceptor terstimulasi pada saat sendi digerakan walaupun dalam jarak gerak
normal. Stimulus nociceptive yang berkelanjutan juga dapat merangsang
interneuron pada spinal cord sehingga menimbulkan rasa nyeri pada daerah
sekitar atau reffered pain. Sama seperti peripheral sensitization, neuron pada
kornu dorsalis dapat tersensitisasi menjadi lebih sensitif. Stimulasi nociceptor
yang berkelanjutan membuat ambang batas potensial aksi neuron pada kornu
dorsalis menjadi lebih rendah dan meningkatkan eksitasi neuron. Potensial
aksi dari nociceptor ditingkatkan pada neuron di kornu dorsalis sehingga rasa
sakitnya terasa lebih. Jika sensitasi sentral sudah terjadi maka muncul
hyperalgesia pada stimulus nyeri, dan muncul rasa nyeri pada gerakan
normal, rasa nyeri akan membuat pasien mengurangi gerakan otot sehingga
dapat menyebabkan atrofi pada otot sekitar sendi (Thakur dkk, 2014).

2.4 Klasifikasi
OA merupakan penyakit dengan etiologi yang beragam, menyerang sendi
besar maupun kecil. OA idiopatik dibagi menjadi 2 yaitu yang spesifik di satu
lokasi (terlokalisasi) dan yang menyebar (generalisasi) (Wang dkk, 2017).
Klasifikasi OA berdasarkan penyebab dapat dibagi menjadi primer
(idiopatik) dan sekunder. OA dapat disebabkan banyak faktor penyebab. Faktor-
faktor ini beroperasi melalui 2 mekasisme: struktur abnormal sendi, dan distribusi
beban yang tidak normal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang disebabkan
oleh penyakit lain (Sharma dan Leena, 2007)

12
Klasifikasi OA menurut European League Against Rheumatism (EULAR) 2009
I. Idiopatik (Primer)
II. Sekunder
A. Metabolik
1. Artritis Kristal (Gout/pseudogout)
2. Akromegali
3. Okronosis
4. Hemokromatosis
5. Penyakit Wilson
B. Kelainan Anatomi/Struktur Sendi
1. Slipper femoral epihysis
2. Epiphyseal dysplasias
3. Peyakit Blount’s
4. Penyakit Legg-Perthe
5. Dislokasi koksa kongenital
6. Panjang tungkai tidak sama
7. Deformitas valgus/varus
8. Sindroma hipermobiliti
C. Trauma
1. Trauma sendi mayor
2. Fraktur pada sendi
3. Bedah tulang (menisektomi)
4. Jejas kronik (artropati okupasional)
D. Inflamasi
1. Artropati inflamasi
2. Artritis septik

2.5 Penegakan Diagnosis


Diagnosis dari OA genu bisa dItentukan berdasarkan temuan klinis dan
radiologis. Potensi progresivitas penyakit bisa dikurangi bahkan dihindari dengan
temuan lebih awal dari faktor risiko yang berhubungan (Heidari, 2011)

13
Informasi mengenai temuan klinis dan faktor risiko seperti usia, jenis
kelamin, IMT, nyeri kaki, onset trauma, kesusahan menuruni tangga, efusi,
deformitas, gangguan ROM (Range of Motion), dan krepitus sangatlah menolong
dan bisa memprediksi perkembangan dari temuan radiografi dari OA genu dengan
sensitivitas dan spesifisitas 94% dan 93% (Peat dkk, 2010). Kriteria diagnosis OA
genu menurut American College of Rheumatology :
• Berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik
Nyeri di genu dan 3 dari syarat dibawah
1. Usia >50 tahun
2. Kekauan pagi <30 menit
3. Krepitus ketika bergerak
4. Tulang nyeri ketika ditekan
5. Tulang membesar
6. Tidak terasa hangat saat sinovium di periksa
• Berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiografi.
Nyeri genu dan 1 syarat dibawah
1. Usia >50 tahun
2. Kekakuan <30 menit
3. Krepitus di sendi yang aktif
• Berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan laboratorium.
Nyeri di genu dan 5 syarat dibawah:
1. Usia >50 tahun
2. Kekakuan pagi <30 menit
3. Krepitus di sendi yang aktif bergerak
4. Tulang membesar
5. Tidak teraba hangat di sinovium
6. LED <40
7. Faktor rematoid <1:40

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik juga
diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan pemeriksaan

14
laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis
OA walaupun sensivitasnya rendah terutama pada OA tahap awal. USG juga
menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis OA karena selain murah, mudah
diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI (Amoako dan
Pujalte, 2014).
1. Radiologi
Setiap sendi yang menyangga berat badan dapat terkena osteoartritis, seperti
panggul, lutut, selain itu bahu, tangan, pergelangan tangan, dan tulang
belakang juga sering terkena. Gambaran radiologi OA sebagai berikut:
• Pembentukan osteofit → pertumbuhan tulang baru (semacam taji)
yang terbentuk di tepi sendi.

Gambar 2.3 Osteofit

• Penyempitan rongga sendi → hilangnya kartilago akan menyebabkan


penyempitan rongga sendi yang tidak sama.

Gambar 2.4 Penyempitan rongga sendi

15
• Badan yang longgar → badan yang longgar terjadi akibat terpisahnya
kartilago dengan osteofit.
• Kista subkondral dan sclerosis → peningkatan densitas tulang di
sekitar sendi yang terkena dengan pembentukan kista degeneratif

Bagian yang sering terkena OA


a. Lutut :
• Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada rongga
sendi.
• Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang
utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu menunjukkan
penyempitan paling dini.
b. Tulang belakang :
• Terjadi penyempitan rongga diskus.
• Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara vertebra
yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar
syaraf atau kompresi medula spinalis.
• Sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal invertebrata.

Gambar 2.5 Penyempitan rongga diskus

c. Panggul :
• Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat badan
yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral
dan asetabular.

16
• Sklerosis dan pembentukan kista subkondral.
• Penggantian total sendi panggul menunjukkan OA panggul yang
sudah berat.

Gambar 2.6 Penyempitan rongga sendi


d. Tangan :
• Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.
• Sendi-sendi interfalang proksimal ( nodus Bouchard ).
• Sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) (Patel, 2007).

KLASIFIKASI
Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam pemeriksaan radiologis
diklasifikasikan sebagai berikut:
• Grade 0 : Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada radiologis.
• Grade 1 : Ragu-ragu, tanpa osteofit.
• Grade 2 : Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar sendi.
• Grade 3 : Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang cukup
besar.
• Grade 4 : Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi
yang lebar dengan sklerosis pada tulang subkondral.

17
Gambar 2.7 Klasifikasi OA

American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan kesehatan


seseorang berdasarkan derajat keparahan. Antara lain sebagai berikut:
• Derajat 0 : Tidak merasakan tanda dan gejala.
• Derajat 1 : Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas
cukup berat, tetapi masih bisa dilokalisir dengan cara mengistirahatkan
sendi yang terkena osteoartritis.
• Derajat 2 : Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi,
nyeri hampir selalu dirasakan, kaku sendi pada pagi hari, krepitus,
membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga, tidak mampu berjalan
jauh, memerlukan tenaga asisten dalam menyelesaikan pekerjaan rumah.
• Derajat 3-4 : Osteofit sedang-berat, terdapat celah antar sendi,
kemungkinan terjadi perubahan anatomis tulang, nyeri disetiap hari, kaku
sendi pada pagi hari, krepitus pada gerakan aktif sendi, ketidakmampuan
yang signifikan dalam beraktivitas (Woolf dan Pfleger, 2003).

18
2. MRI
Potongan Koronal

Gambar 2.8 MRI potongan koronal

Foto MRI dilakukan untuk melihat perubahan kartilago selama 2 tahun.


Foto B diambil setelah 12 bulan, dan foto C diambil setelah 24 bulan.
Menunjukkan peningkatan daerah kerusakan kartilago pada sendi.

Potongan Aksial

A B
Gambar 2.9 MRI potongan aksial

• Foto A: Visualisasi sinovitis menggunakan MRI tanpa kontras


menunjukkan hiperintensitas diantara kavitas sendi menunjukkan
efusi sinovial berat.
• Foto B: Visualisasi sinovitis menggunakan MRI dengan kontras
menunjukkan penebalan sinovial berat terlihat dari enhancement
kontras. Terdapat efusi sendi ringan yang tervisualisasi dan masih
dalam batas kavitas sendi.

19
3. Hybrid Imaging (PET)

Gambar 2.10 PET

Gambaran imaging menggunakan 2-18F-fluoro-2-deoxy–D-glucose (FDG)


positron emission tomography (PET).
• Foto A: Gambaran resolusi rendah potongan koronal memperlihatkan
adanya penyempitan celah sendi di medial tibio-femoral (panah) dan
gambaran osteofit di medial dan lateral sendi (kepala panah).
• Foto B: Gambaran potongan koronal PET dan CT memperlihatkan
adanya akumulasi patologis glukosa di regio perimeniskal (tanda panah)
menunjukkan adanya sinovitis akut. PET dapat memperlihatkan
sensitivitas yang tinggi bila terjadi hipermetabolisme tapi spesifitas
rendah dalam menunjukkan lokalisasi lesi dan tidak berhubungan dalam
penggambaran kelainan struktur sendi untuk pasien OA.

20
4. Ultrasound

Gambar 2.11 Ultrasound

• Foto A: Gambaran ultrasound femur bagian distal pada lutus normal


• Foto B: Gambaran ultrasound pada lutut dengan OA. Panah merah
menunjukkan permukaan permukaan kortikal tulang femur dan
panah kuning menunjukkan permukaan superfisial kartilago.
Dibandingkan dengan kartilago pada lutut normal dan kartilago pada
lutut dengan OA, kartilago lutut dengan OA lebih ekoik dan terdapat
tepi yang tidak jelas, juga terlihat lebih tipis.

21
Tabel 2.2 Perbandingan Pemeriksaan Penunjang Osteoarthritis
Modalitas Fungsi Keuntungan Kerugian
Radiography (Konven • Menunjukkan osteofit dan • Mudah ditemukan disetiap • Radiasi minimal
dan atau CT Scan) penyempitan ruang antar sendi instalasi radiologi • Tidak bisa digunakan untuk
• Klasifikasi derajat keparahan • Harga pemeriksaan murah melihat jejas tulang lebih dalam
berdasarkan Kellgren dan seperti kerusakan kartilago,
Lawrence grading atau kerusakan meniscus, lesi
Ostoarthritis Research Society sumsum tulang, synovitis, atau
International Atlas kerusakan ligamentum
• Pemeriksaan penunjang lini • Masalah dengan ketelitian
pertama untuk pemeriksaan rutin apabila dilakukan perbandingan
pasien dengan OA dari waktu ke waktu karena
ruang antar sendi bisa saja
berubah apabila posisi pasien
berubah
• Kurang sensitif terhadap
perubahan

MRI • Evaluasi untuk semua struktur • Mendapatkan gambaran • Pemeriksaan mahal


sendi termasuk kartilago, morfologi dan analisis yang • Pemeriksaan lebih lanjut hanya
meniskus, ligamen, lesi sumsum detail menggunakan teknik bisa dilakukan dibeberapa tempat
tulang, kista subkondral, osteofit, semikuantitatif dan teknik atau institusi radiologi saja
sinovitis, efusi kuantitatif • Bisa menjadi kotraindikasi pada
• MRI dengan kontras sangat • Analisis pre-morfologik beberapa pasien (co: pasien yang
akurat untuk mengevaluasi (menentukan komposisi menggunakan alat pacu jantung)
sinovitis biokimia jaringan sendi)
• Teknik imaging paling penting menggunakan teknik
dalam melakukan penelitian komposisi
• Memiliki peran penting terhadap • Tidak ada radiasi

22
pasien dengan OA untuk
penunjang klinis
Ultrasound • Mengevaluasi struktur sendi • Kemampuan untuk • Tidak bisa digunakan untuk
superfisial seperti sinovium, mengetahui sinovitis aktif melihat struktur sendi dalam
kartilago, dan tulang untuk dengan menggunakan • Tidak bisa digunakan untuk
sinovitis, efusi, Colour Doppler Imaging mengevaluasi sumsum tulang
khondrokalsinosis, dan erosi • Banyak tersedia di klinik- • Penggambaran detail anatomi
• Pilihan utama para radiologis klinik rawat jalan tulang dan sendi yang terbatas
untuk evaluasi cepat sinovitis, rheumatologi dibandingkan dengan MRI
efusi, dan erosi sendi • Tidak ada radiasi
• Tidak memerlukan kontras
IV untuk melihat adanya
sinovitis
Hybrid Imaging • Detail informasi tentang anatomi • Kemampuan untuk melihat • Memiliki radiasi yang tinggi
• Tidak bisa digunakan untuk marker metabolik dan dibandingkan dengan
pemeriksaan rutin manajemen morfologis awal OA pemeriksaan radiologi lainnya
pasien dengan OA dengan banyak lapis terutama (PET/CT)
jaringan • Terbatas di beberapa institusi
radiologi saja

23
Berikut adalah beberapa diagnosis banding berdasarkan penemuan radiologi
untuk kasus osteoarthritis

Sumber: Radiographic Assessment of Osteoarthritis, 2001


Gambar 2.12 Diagnosis Banding OA Berdasarkan Penemuan Radiografi

24
BAB III
KESIMPULAN

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan


berkurangnya kartilago di sendi yang mengakibatkan tulang-tulang bergesekan
dan menyebabkan kekakuan, nyeri dan gangguan pergerakan. Proses penyakitnya
tidak hanya mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk
tulang subkondral, ligamentum, kapsul dan jaringan sinovial serta jaringan ikat
disekitarnya.
OA merupakan penyakit dengan progresifitas yang lambat, dengan
etiologi yang tidak diketahui. Identifikasi dini OA sangat dibutuhkan dalam
decision-making pemillihan terapi dan pemahaman lebih lanjut mengenai
progresivitas penyakit. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang radiologi, baik
berupa radiografi, MRI, ultrasound, dan hybrid imaging sangat dibutuhkan dalam
kasus ini. Tiap pemeriksaan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing,
namun tujuannya sama yaitu mendiagnosis dan melihat progresifitas OA.

25
DAFTAR PUSTAKA

Barbour, Kamll E., Murphy, Helmlok, Hootman, Renner, dan Jordan. 2017. Bone
Mineral Density and The Risk of Hip and Knee Osteoarthritis. Arthritis
Care Res.
Birell, Fraser., Howells, dan Porcheret. 2011. Osteoarthritis: Pathogenesis and
Prospects for Treatment. Arthritis Research, (https://www
.arthritisresearchuk.org/health-professionals-and-students/reports/topical-
reviews/topical-reviews-autumn-2011.apx, diakses 24 Juli 2018).
Bullough, Peter G., 2010. Orthopaedic Pathology (edisi ke-6). (Halaman 241-
251). Mosby Elsevier: Missouri.
Casidy, James T., Ross, Laxer, Lindsley. 2010. Textbook of Pediatric
Rheumatology. Saunders: Inggris.
Chan, Kang., Sit, Wu, dan Ngai. 2014. Clinical, Radiological, and
Ultrasonographic Findings Related to Knee Pain in Osteoarthritis. Plos
One
Daniel LS dan Deborah H. Radiographic Assessment of Osteoarthritis. American
Family Physician. 2001; 64(2): 279 – 286.
Doherty, Michael., Hunter, Bijlsma, Arden, Nicola. 2016. Osteoarthritis and
Crystal Arthropathy. Edisi 3. Oxford University Press: Britania Raya.
Hillary JB dan Garry FG. Diagnosis of Osteoarthritis : Imaging. NIH Public
Access. 2012; 51(2): 278–288.
Kenneth, David., Brandt, dan Stefan. 2003. Osteoarthritis. Edisi 2. Oxford
University Press: Britania Raya.
Liu, Qiang., Niu, Li H, Ke, Li R, Zhang, dan Lin. 2017. Knee Symptomatic
Osteoarthritis, Walking Disability, NSAIDs Use and All-cause Mortality:
Population-based Wuchuan Osteoarthritis Study. Scientific Report.
Man, G. S. Dan Mologhianu. 2014. Osteoarthritis Pathogenesis-A Complex
Process That Involves the Entire Joint, (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
articles/PMC3956093/, diakses 27 September 2019).
Martel-Pelletier, Johanne. 2004. Pathophysiology of Osteoarthritis (Halaman 31-
33). Osteoarthritis and Cartilage.
Sharma dan Leena. 2007. Osteoarthritis. Edisi 1. Mosby Elsevier: Amsterdam.

26
World Health Organization. 2013. Osteoarthritis. (http://www.who.int/medicines
/areas/priority_medicines/Ch6_12Osteo.pdf?ua=1, diakses 19 Juli 2018).
Xing, Dan., Xu, Liu, Ke, Wang, Li, dan Lin. 2016. Osteoarthritis and All-cause
Mortality in Worldwide Populations: Grading The Evidence From a Meta-
analysis. Scientific Report.

27

Anda mungkin juga menyukai