Anda di halaman 1dari 7

Makalah Koasistensi Laboratorium Reproduksi

KISTA OVARIUM

Oleh

Liza Setia Joni 1802101020039

Viola Erian 1802101020108

Dibawah Bimbingan
Dr. drh. Dasrul, M.Si
NIP. 196503101992031004

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

2019
KISTA OVARIUM

A. Defenisi

Kista ovarium merupakan penyebab infertilitas atau kemajiran pada induk


hewan yang disebabkan oleh terganggunya pelepasan hormone LH dari hipofisa
anterior. Kasus kista ovarium banyak dijumpai pada sapi perah dan babi, dan jarang
pada sapi potong atau ternak bangsa lain. Pada sapi perah, banyak terjadi beberapa hari
atau minggu pasca melahirkan (Takahashi dkk, 1988).

Kista ovarium adalah rongga berbentuk kantong yang berisi cairan didalam
jaringan folikel ovarium. Kista tersebut disebut juga kista fungsional karena terbentuk
setelah folikel yang sudah ovulasi maupun yang belum ovulasi, dimana kista ovarium
mempunyai permukaan rata, halus, ukuran folikel lebih besar daripada folikel matang,
dinding kista tipis, cairan di dalam kista jernih dan berwarna kuning (Hafez, 1980).

Kadar FSH yang cukup, menyebabkan ovarium terjadi pertumbuhan folikel


primer, folikel sekunder dampai folikel tertier. Folikel tertier tidak tumbuh menjadi
folikel de graff dan tidak mengalami ovulasi karena hormon LH dalam darah yang
rendah kadarnya. Pertumbuhan folikel yang banyak, tanpa disusul oleh pembentukan
folikel de graaf dan ovulasi menyebabkan terbentuknya kista pada ovarium
(Hardjopranjoto, 1988)

Pada ternak sapi ada tiga faktor yang menjadi penyebab kadar hormone LH
menurun di dalam darah. Faktor itu adalah karena poros hipotalamus-hipofisa tidak
responsive terhadap gertakan hormone estradiol 17β, yang dihasilkan oleh folikel yang
sedang berkembang pada minggu pertama setelah melahirkan pada sapi. Akibatnya
terjadi kegagalan kelenjar hipofisa anterior untuk mengeluarkan LH, diikuti oleh
kegagalan ovulasi. Super ovulasi dilakukan pada induk sapi yang menderita kista
ovarium akan menghasilkan ovulasi yang rendah jumlahnya (Youngquist, 1986). Pada
umumnya faktor-faktor penyebab yang dapat mempengaruhi hormone LH dari kelenjar
hipofisa anterior yang diikuti oleh terjadinya kista ovarium adalah pemberian hormone
estrogen dosis tinggi, umur, produksi susu yang tinggi, pakan yang memiliki
kandungan protein tinggi, musim, genetik dan stress (Takashashi dkk, 1988).

Roberts (1971) menyebutkan, kitsa ovari atau sistik ovari dapat dibagi dalam
tiga bentuk, yaitu: sistik folikel atau sistik degenerasi dari folikel de graaf, sistik luteal
dan sistik kkorpus luteum. Sistik folikel dan sistik luteal adalah sistik anovalatorik,
terjadi pada folikel yang belum ovulasi, sedangkan sitik korpus luteum adalah sistik
ovulatorik atau yang telah mengalami ovulasi.

1. Kista Folikel

Kista folikel adalah sekelompok folikel dipermukaan ovarium yang tidak


tumbuh mencapai dewasa dan membentuk kista. Kista folikel ini terjadi karenaa
kurangnya hormone LH sementara hormone FSH yang kadarnya cukup dalam darah,
mendorong terbentuknya folikel muda, tetapi folikel ini tidak pernah mengalami
ovulasi (Salisbury dan Van Demark, 1961).

Folikel ini berisi cairan sitik, menetap pada ovarium selama 10 hari atau lebih,
dengan diameter lebih besar dari 2,5cm. dalam perabaan ovarium melalui eksplorasi
rektal, kista folikel terasa sebagai benjolan yang bulat dipermukaan ovarium,
berjumlah satu atau lebih pada salah satu ovarium atau kedua ovarium serta permukaan
kista halus dan lunak sehingga mudah pecah kalau ditekan. Sesudah pecah, kista
menjadi hilang, ditandai dengan adanya legokan pada tempat pecahnya folikel di
permukaan ovarium. Korpus luteum tidak pernah terbentuk pada permukaan ovarium
yang ada kista folikelnya. Bila dilihat pada bagian lain dari alat kelamin betina, kista
folikel akan diikuti dengan uterus tang tonusnya mengendor, serviks, vagina dan vulva
yang mengalami udema sehingga menjadi lebih besar dan kendor, dimana kadang-
kadang permukaannya dilapisi oleh lendir yang kental. Gejala-gejala klinis yang
terlihat adalah nimfomania (75%) dan anestrus (25%) (Roberts, 1971).
2. Kista Luteal

Kista luteal adalah kista pada folikel yang didalamnya berisi cairan. Kista luteal
biasanya bersifat tunggal, memiliki diameter lebih besar dari 2,5cm, dindingnya lebih
tebal dibandingkan dengan kista folikel, sehingga lebih sulit pecah bila dipijit melalui
eksplorasi rektal. Kista luteal kadang-kadang dijumpai bersama-sama dengan korpus
luteum yang normal, baik pada ovarium yang sama maupun ovarium yang lain
(Roberts, 1971).

Kista luteal akan terbentuk bila kista folikel yang terjadi karena hormone LH
dalam darah kadarnya rendah, tetapi pada waktu yang bersamaan terjadi membanjirnya
hormone LTH. Kondisi ini terjadi pada sapi perah yang produksi susunya tinggi pasca
melahirkan. Membanjirnya hormone LTH didalam darah, maka folikel muda yang ada
pada ovarium akan terjadi proses leuteinisasi sehingga pada folikel terbentuk sel lutein
yang mampu menghasilkan hormone progesterone dalam kadar yang cukup tinggi dan
warnanya berubah menjadi kuning. Folikel muda yang sebagian terluteinisasi akan
menetap dalam satu periode yang lama, umumnya ditandai dengan gejala anestrus
(Toelihere, 1981).

3. Kista Korpus Luteum

Kista korpus luteum berbeda dengan kista folikel dan kista luteal. Kista korpus
luteum adalah korpus luteum yang mempunyai rongga berdiameter 7-10mm
didalamnya berisi cairan sistik, bila dipalpasi rektal kista korpus luteum terasa seperti
korpus luteum normal, besar dan menggembung dimana konsistensinya lunak. Bila
ditekan dengan jari, maka kista luteum akan pecah dengan cairan di dalamnya keluar
dan tinggallah sisa tenunan lutein (Roberts, 1971).

Kista ini berasal dari folikel de graaf yang telah mengalami ovulasi dan
terbentuk korpus luteum yang normal, kemudian dalam perkembangannya terbentuk
rongga dibagian tengah yang berisi cairan. Kista korpus luteum terbentuk dari folikel
yang telah berovulasi secara normal sehingga di dalamnya tidak berisi sel telur muda.
Kista korpus luteum menghasilkan hormon progesteron sehingga dapat mengganggu
siklus birahi pada induk penderita, sedangakan pada ternak pasca melahirkan, kista
korpus luteum terjadi akibat gangguan keseimbangan hormonal, khususnya hormone
gonadotropin (Partodihardjo, 1982).

B. Gejala

Kasus kista ovary pada ternak menunjukkkan gejala berupa nimphomania dan
kegagalan estrus. Terlihat adanya relaksasi dari ligamentum sakroiskhiadikum, oedema
vulva dan juga peningkatan besar uterus. Ternak dengan gejala nimphomania
memperlihatkan birahi yang sering, sering gelisah, menaiki betina lain,pangkal
ekornya akan terangkat keatas, tulang pelvis menurun dan melenguh seperti sapi jantan.
Gejala ini diperlihatkan pada ternak yang kistanya terdiri dari banyak folikel pada saat
tertentu terjadi akumulasi dari hormon estrogen hasil tiap folikel, akibatnya timbul
gejala birahi. Keadaan yang hampir sama dapat terjadi bila ternak disuntik secara terus
menerus dengan hormon estrogen selama 1 sampai 3 bulan (Salisbury dan Van
Denmark, 1961). Ternak dengan gejala anestrus pada kista ovarium ini disebabkan
karena kista terbentuk dari sedikit folikel, sehingga estrogen yang dihasilkan tidak
pernah mencapai nilai ambang untuk menimbulkan gejala birahi (Toelihere, 1981).

C. Diagnosa

Untuk menegakkan diagnose yang lebih tepat pada kista ovarium, dilakukan
pemeriksaan secara laboratorik yaitu dengan mengukur kadar progesterone dalam
serum darah atau mengukur kadar progesterone yang dilakukan pada air susu ternak
(Jainudeen dan Hafez, 1987).

D. Pengobatan

Penanggulan kista ovary harus berdasarkan pada pengembangan korpus


luteum. Penanggulangan kista folikel maupun kista luteal telah dipergunakan berbagai
macam preparat hormone seperti hormone LH, GnRH, Progesteron, PGF2α atau
pemecahan kista secara manual. Pemecahan kista secara manual dipandang sebagai
cara yang lama dan kurang efektif karena selain dapat menimbulkan radang pada
ovarium bila caranya salah, juga kesembuhannya hanya mencapai kurang lebih 40%.
Preparat LH dan HCG dengan nama dperdagangannya Prolan E (Bayer) atau chorulan
(Intervet), telah dipergunakan secara luas untuk menanggulangi kista folikuler.
Preparat LH ini akan mendorong pertumbuhan folikel menjadi folikel de graaf dan
dilanjutkan dengan ovulasi dan pembentukan korpus luteum yang normal (Kesler dkk,
1977).

Pada kasus kista luteal pemberian PGF2α diikuti penyuntikan preparat LH akan
disusul dengan proses penghancuran (lisis) tenunan lutein dari kista, diikuti dengan
ovulasi dan siklus birahi yang normal dari induk penderita. Dosis yang dianjurkan
untuk pemberian preparat HCG adalah 2500 IU yang diberikan secara intravenous,
sedangkan PGF2α dengan dosis 20-25mg diberikan intramuscular atau 5-6 mg bias
diberikan secara intrauterine. Pemberian GnRH untuk menanggulangi kista ovarium
sama efektifnya dengan pemberian preparat LH (BieRschwal dkk, 1975).

Pada kasus kista korpus luteum memberikan respon terhadap penyuntikan


hormone LH seperti halnya kista yang lain. Demikian pula pemberian PGF2α dapat
mengecilkan ukuran kista kosrpus luteum. Pelepasan kista dapat menimbulkan
pendarahan pada ovarium, sehingga mendorong terjadinya radang pada ovarium dan
perlekatan ovarium dengan alat tubuh di sekitarnya. Oleh karena itu dapat mengganggu
proses reproduksi pada induk penderita pada masa berikutnya (Roberts, 1955).
DAFTAR PUSTAKA

Bierschwal, C.J., H.A. Garverick, C.E. Martin, R.S. Youngquist, T.C. Cantley and
M.D. Brown. 1975. Clinical response of dairy cows with ovarian cyst to
GnRH. J. Anim. Sci. 41: 1660-1665
Roberts, S.J. 1955. Clinical observation on cystic ovaries in dairy cattle. Cornell Vet.
45: 497-508.
Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in farm animal.4th. ed.. Lea. and Febiger.
Philadelphia.
Hardjopranjoto, S. 1988. Persoalan gangguan reproduksi pada sapi perah dan cara
pemecahannya. Prosiding Simposium Nasional Sapi Perah. Diselenggarakan
FKH-Unair tanggal 26 September 1988. Hal.107-127.
Jainudeen, M.R. and E.S.E. Hafez. 1987. Reproductive Failure in Females. In Hafez,
Ed. Reproduction in Farm Animals 5th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia.
Kesler, D.J., H.A. Garverick, A.B. Caudle, C.J. Bierschwal, R.G. Elmore and R.S.
Youngquist. 1977. Ovarium morphology in dairy cows with ovarian cysts
following treatment with GnRH. J. anim. Sci (suppi.1). 176 abstr
Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta
Roberts. S.J. 1971. Veterinary Obstetric and Genital Disease. Itacha, New York.
Salisbury, G.W. and N.L. Van Demark. 1961. Physiology of Reproduction and
Artifical Insemination of Cattle. W. H. Freeman and Co. San Fransisco and
London.
Takashashi, J., T. Inove and J. Fukui. 1988. Bovine embryo transfer. Hiroshi kanagowa
p. 23-128.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Youngquiat. 1986. Cystic folliculer degeneration in the cow. In. Morrow ed. Current
Therapy in Theriogenology. 2. W.B. Saunder Co. Philadelphia p. 243-240

Anda mungkin juga menyukai