0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
34 tayangan6 halaman
Tulisan ini mengulas bagaimana disrupsi teknologi pada sektor jasa keuangan yang telah merubah paradigma dari bisnis yang biasa menjadi bisnis yang tidak biasa (un usual business) namun juga bisnis dengan cara cara yang baru
Tulisan ini mengulas bagaimana disrupsi teknologi pada sektor jasa keuangan yang telah merubah paradigma dari bisnis yang biasa menjadi bisnis yang tidak biasa (un usual business) namun juga bisnis dengan cara cara yang baru
Tulisan ini mengulas bagaimana disrupsi teknologi pada sektor jasa keuangan yang telah merubah paradigma dari bisnis yang biasa menjadi bisnis yang tidak biasa (un usual business) namun juga bisnis dengan cara cara yang baru
BANYAK ORANG tidak percaya bahkan baru menyadarinya, dimana sebuah
bisnis Hotel bisa jadi tidak harus memiliki satupun kamar, juga bisnis jasa Transportasi tanpa memiliki satupun kendaraan taksi, begitu juga pelaku binis Perbankan tanpa harus memiliki satupun kantor bank. Bahkan PT sekalipun, bisa jadi tidak perlu memiliki banyak ruang kelas. Satu hal yang memungkinkan ini semua bisa terjadi adalah perkembangan yang amat pesat pada bidang teknologi, khususnya teknologi informasi (IT). Sesuatu yang tidak hanya mengubah model bisnis yang biasa (usual business) menjadi un-usual business akan tetapi juga mengubah pranata atau ekosistem suatu industri. Salah satunya adalah dalam sektor industri keuangan (financial industry). Akhir-akhir ini, terminologi mengenai teknologi keuangan atau financial technology (FinTech) menjadi Topik yang hangat dibicarakan bahkan sempat menjadi viral dibicarakan mulai dari seminar-seminar di Hotel berbintang, diskusi di berbagai universitas bahkan sampai obrolan di teras-teras warung kopi. FinTech pada dasarnya adalah sebuah lini-bisnis yang berbasis pada penggunaan piranti lunak atau berbasis suatu aplikasi dalam menyediakan jasa keuangan. Pada umumnya, Teknologi Keuangan hadir sebagai sebuah perusahaan rintisan (startup) . Dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), maka produk Teknologi Keuangan berfungsi sebagai salah satu akselerator atau katalisator selain variabel literasi keuangan (financial literate). Menurut data statistik 2019 semeter satu, Indonesia memiliki lebih dari 268,2 juta penduduk yang tersebar hampir di tujuh belas ribu pulau. Dapat dibayangkan bahwa coverage area yang sangat luas tersebut menjadikan tantangan tersendiri bagi pelaku perbankan konvensional untuk menjangkau masyarakat yang berada di pedalaman Indonesia., khususnya daerah 3-T (Terluar, Terdepan dan Terbelakang). Sebagai dampaknya, hanya 20 persen dari total populasi Indonesia atau sekitar 54 juta orang yang memiliki akun di perbankan formal. Pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengan Koperasi (UMKMK )
1 Guru Besar Ilmu Manajemen Keuangan FEB Unpas
sendiri, sangat miris hanya 79% dari 118,17 juta UMK (58,97 usaha mikro dan 58,91 pelaku usaha kecil) yang ada di Indonesia tidak memiliki akun di bank (un- bankable). Namun demikian, penetrasi teknologi smartphone yang sangat tinggi di Indonesia membuka peluang tersendiri bagi industri jasa perbankan. Didukung dengan masterplan pengembangan infrastruktur selular, keberadaan FinTech menjadi jawaban atas tantangan inklusi keuangan di Indonesia, dimana Pemerintah telah mentargetkan indek keuangan inklusif sebesar 75%. Data digital Indonesia menunjukkan bahwa hampir 150 juta penduduk Indonesia pengguna internet dan aktif di berbagai sosial media dengan tingkat pertumbuhan antara 13% s.d. 15%. Bahkan data yang diakses dari web: Hoot Suite We are Sosial 2019, menunjukkan rata-rata waktu harian yang dihabiskan oleh orang Indonesia untuk menggunakan internet selama 8 jam 36 menit atau hampir 33,3% dalam sehari semalam, sementara aktif di sosial media hampir 3 jam 26 menit dan kegiatan broadcast, streaming dan Video on Demand (VoD) selama 2 jam 56 menit sungguh pasar yang sangat potensial. Faktor Pendorong Lahirnya Finteh Dikutip dari berbagai sumber, ada banyak determinan yang mendorong lahirnya layanan teknologi finansial, khususnya yang terjadi di tanah air; 1. Kehadiran Internet & Mobile meningkatkan ekspektasi masyarakat pada produk perbankan. Banyak orang menggunakan digital-payment karena mereka menginginkan adanya fleksibilitas, kemudahan dan keamanan dalam bertransaksi. Semua orang pasti akan selalu menginginkan hal yang lebih mudah, lebih cepat, dan lebih aman untuk berbelanja, mengirimkan uang atau dibayar 2. Transformasi IT dan Internet sangat pelan menyentuh layanan finansial dari perbankan. Salah satu yang pertama terkena transformasi IT, layanan operasional diawali dengan internal sampai dengan ketika mesin ATM pertama diluncurkan di tahun 1980-an di Indonesia. Saat ini layanan transaksional sedang maraknya kena transformasi terutama karena penggunaan mobile devices yang tinggi dan demand untuk bisa bertransaksi lebih mudah dan di mana saja. Industri perbankan saat ini masih belum mampu mentransformasi sepenuhnya layanan finansial mereka dengan teknologi karena regulasi yang sangat ketat. 3. Problem Investor. Tingginya Permintaan tak didukung oleh produk yang tepat. Terdapat sedikit alternatif bagi para investor ritel dan institusional untuk berinvestasi di produk investasi jangka pendek ditambah tngkat pengembalian yang sangat tinggi. 4. Perkembangan uang elektronik semakin meningkat diera digital saat ini. Berbagai macam pembiayaan mulai dilakukan dengan uang elektronik. Kerjasama antara Bank dan Perusahaan Fintech Bank sebagai lembaga keuangan formal pada dasarnya memiliki kepercayaan yang cukup tinggi dimasyarakat. sementara pada sisi lain, Perusahaan Fintech dalam operasi bisnisnya mampu mengurangi biaya bank dan memudahkan transaksi. oleh karena itu ketika dua institusi ini bersinergi akan menghasilkan proses bisnis yang lebih baik lagi. Berikut kunci sukses Kerjasama antara Bank dengan Fintech, diantaranya: 1. Trust Kepercayaan menjadi penting dalam melakukan kerjasama dengan fintech, Bank harus selektif dalam memilih fintech yang tepat. 2. Busy and Build Bank bermitra dengan fintech namun disisi lain bank harus juga mengembangkan sistem yang serupa. 3. Anticipating Non-Tech Customer Meski sudah melakukan kerjasama dengan fintech, namun masih harus tetap diperhatikan untuk nasabah-nasabah yang tidak mengerti teknologi Ekosisitem Fintech di Indonesia Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik dan tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Apabila konsep ekosistem tersebut dihadirkan sebagai suatu kolektivitas interaksi yang bersifat simbiosis mutualis dalam ranah beragam produk layanan jasa keuangan yang muncul sebagai suatu tatanan baru sebagai hasil sinergitas antara inovasi, kreativitas teknologi dan organisasi yang melahirkan mindset baru mengenai cara berbisnis yang tidak biasa (un-usual business) untuk bisa berkembang bersama, maka tatanan baru itu layak disebut sebagai sebuah Ekosisitem Teknologi Keuangan (Financial Technology Ecosystem) . Berikut Distribusi Ekosistem fintech di Indonesia:
Ekosistem FinTech di Indonesia terdiri dari beberapa klasifikasi produk.
Diantara beragam aplikasi yang ada, diantaranya adalah jasa lending dan crowd funding . Melalui aplikasi yang menyediakan jasa pinjaman on-line ini, orang- orang yang membutuhkan dana cukup membuat account pada aplikasi penyedia jasa lending dan crowd funding dan mengunggah informasi terkait jumlah dana yang dibutuhkan, tujuan penggunaan dana, dan informasi lainnya yang relevan. Di sisi yang lain, pihak yang memiliki surplus dana cukup melihat “katalog” pemohon dana dan memilih salah satu atau beberapa debitur. Dalam mekanisme ini, umumnya kebutuhan dana yang dipenuhi hanyalah kebutuhan dana jangka pendek dengan tingkat bunga yang beragam. Beberapa perusahaan rintisan (startup ) yang menyediakan produk ini antara lain Investree, Uang Teman, dan Modalku. Produk yang lainnya yang juga marak ditawarkan oleh startup Fintech adalah jasa pembayaran dan pengiriman uang. Secara umum, model bisnis ini berbasis pada transaksi yang cashless . Uang elektronik (e-money) ini dapat disimpan sebagai data dalam kartu, QR Code, maupun perangkat telepon selular. Sehingga pelanggan dapat melakukan transaksi kapanpun, dimanapun, tanpa perlu untuk membawa uang tunai. Beberapa pemain dalam jasa pembayaran dan pengiriman uang, diantaranya: Dimo, Kartuku, Dompetku dan Doku merupakan beberapa startup asal Indonesia yang bergerak pada bidang ini. Selain menyediakan jasa pembayaran, perusahaan rintisan berbasis teknologi finansial juga banyak yang menyediakan jasa manajemen investasi. Tidak hanya melayani aktivitas jual-beli produk investasi, perusahaan rintisan ini juga menyediakan informasi terkait dengan pasar modal dan berbagai instrumen investasi, seperti misalnya saham dan reksa dana. Stockbit dan Bareksa merupakan dua perusahaan rintisan yang menyediakan jasa tersebut. Selanjutnya, terdapat pula perusahaan startup yang menyediakan jasa edukasi dan pengelolaan keuangan pribadi. Startup ini menawarkan berbagai informasi produk keuangan mulai dari kredit, tabungan, asuransi dan investasi. Tidak hanya itu, beberapa startup juga memberikan kemudahan untuk melakukan pencatatan keuangan sederhana. Beberapa perusahaan rintisan yang menyediakan jasa ini antara lain Cekaja.com, Duitpintar, AturDuit dan Jurnal. Berikut Peta fintech Startups di Indonesia:
Selain berbagai startup di atas, terdapat pula perusahaan rintisan lainnya
yang bergerak pada bidang jasa keuangan yang lebih spesifik. Misalnya, iGrow dan TaniHub, sebuah startup yang bergerak pada pembiayaan pertanian; Iwak, perusahaan rintisan yang menyediakan jasa pendanaan bidang perikanan; Jojonomic, yang menyediakan jasa manajemen reimbursement; serta Privy ID yang menyediakan fitur identitas dan tanda tangan digital untuk berbagai pengesahan transaksi secara elektronik. Lalu, siapkah kita semua dalam peralihan hidup yang serba on-line ini? Sejatinya dinamika teknologi ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi setiap lini industri, juga tidak terkecuali dalam lingkungan Pendidikan Tinggi (PT) khususnya PTS, tidak menutup kemungkinan beberapa waktu lagi PT tidak perlu banyak berinvestasi pada ruang kelas karena ada aplikasi (e-learning; u- learnings dsb) yang memungkinkan terciptanya Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Banyak Perusahaan Hotel tanpa harus membangun banyak kamar Hotel, karena lebih bertumpu dengan menggunakan kekuatan jaringan. Perusahaan Transportasi tidak perlu berjejer Armadanya di ruang garasi. Restaurant hanya membutuhkan kerjasama dengan perusahaan Teknologi penghantaran yang berbasis aplikasi. Semuanya telah berubah, hanya perubahan saja yang tidak pernah berubah. Selamat Berkontemplasi***