Anda di halaman 1dari 57

KEGAWATDARURATAN OBSTETRIK PADA MASA

KEHAMILAN,PERSALINAN DAN NIFAS


KASUS
I.Perdarahan Kehamilan Pada Trimester III
A. Perdarahan Pervaginam
Perdarahan pada masa kehamilan lanjut setelah 22 minggu sampai sebelum persalinan.
Perdarahan pervaginaan dikatakan tidak normal bila ada tanda- tanda seperti keluarnya
darah merah segar atau kehitaman dengan bekuan, perdarahan kadang banyak kadang tidak
terus menerus, perdarahan disertai rasa nyeri. Perdarahan semacam ini bisa berarti plasenta
previa, solusio plasenta, ruptur uteri, atau dicurigai adanya gangguan pembekuan darah
(Kusumawati, 2014).
1. Plasenta Previa
Plasenta previa didefinisikan sebagai plasenta yang berimplantasi diatas atau mendekati
ostium serviks interna. Beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya
plasenta previa diantaranya kehamilan ibu sudah usia lanjut (> 22 minggu), multiparitas,
serta mempunyai riwayat seksio caesaria sebelumnya. Gejala umum yang terjadi pada
kasus plasenta. previa seperti terjadi perdarahan tanpa rasa nyeri secara tiba-tiba dan
kapan saja, uterus tidak berkontraksi dan bagian terendah janin tidak masuk pintu atas
panggul.
Jenis-Jenisnya:
a) Plasenta previa totalis yaitu posisi plasenta menutupi ostium internal secara
keseluruhan
b) Plasenta previa parsialis yaitu posisi plasenta yang menutupi ostium interna sebagian
saja,
c) Plasenta previa marginalis yaitu posisi plasenta yang berada di tepi ostium interna,
d) Plasenta previa letak rendah. yaitu posisi plasenta yang berimplantasi di segmen
bawah uterus.
2. Solusio Plasenta
Pada persalinan normal, plasenta akan lepas setelah bayi lahir, namun karena keadaan
abnormal plasenta dapat lepas sebelum waktunya atau yang disebut solusio plasenta.
Beberapa faktor komplikasi sebagai penyebab solusio plasenta yaitu hipertensi, adanya
trauma abdominal, kehamilan gemelli, kehamilan dengan

1
shidramnion, serta defisiensi zat besi. Tanda gejala yang ditimbulkan seperti
terjadinya perdarahan dengan nyeri yang menetap, hilangnya denyut jantung janin
(gawat janin), uterus terus menegang dan kanin naik, perdarahan yang keluar tidak
sesuai dengan beratnya syok.
3. Ruptur Uteri
Ruptur uteri adalah robeknya dinsing uterus pada saat kehamilan/ persalinan, pada saat
umur kehamilan lebihdari 28 minggu. Klasifikasi ruptur uteri yaitu:
(a) Menurut keadaan robekan
 Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal). Yaitu keadaan ruptur yang hanya
terjadi pada dinding uterus yang robek sedangkan lapisan serosa (pritoneum)
tetap utuh,
 Ruptur uteri komplit (transperiyoneal). Yaitu keadaan ruptur selain pada
dinding uterus yang robek, lapisan serosa (pritoneum) juga robek sedingga
dapat berada di rongga perut.
Ruptur uteri pada waktu kehamilan (ruptur uteri gravidarum) yang terjadi karena
dinding uterus lemah yang disebabkan oleh adanya bekas sectio caesaria, bekas
mioma uteri, bekas kuratase/ plasenta manual. Sepsis post partum, atau terjadi
hipoplasia uteri/ uterus abnormal (Dewi, 2015: 111).

2
II.Eklamsia
A.Pengertian eklampsia
Eklampsia adalah penyakit akut dengan kejang dan coma pada wanita hamil dan dalam
masa nifas disertai dengan hypertensi oedema dan proteinuria. (obstetric patologi,unpad,1984).
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelianan neurologik) dan atau koma
dimana sebeblumnya sudah menunjukkan gejala – gejala pre eklampsia (asuhan patologi
kebidanan, 2009).
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeclampsia, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan koma. (ilmu kebidanan, 2010).
Eklampsia lebih sering terjadi pada primagravidae dari pada multiparae. Eklampsia juga
sering terjadi pada : kehamilan kembar, hydramnion, mola hidatidosa. Eklampsia post partum
umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.
3
B. Jenis-jenis eklampsia
Menurut saat terjadinya eklampsia kita mengenal istilah :
1. Eklampsia antepartum ialah eklampsia yang terjadi sebelum persalinan
2. Eklampsia intrapartum ialah eklampsia sewaktu persalinan
3. Eklampsia postpartum ialah eklampsia setalah persalinan

C. Gejala eklampsia
Eklampsia selalu didahului oleh gejala – gejala preeklampsia yang berat seperti:
1. Sakit kepala yang keras
2. Penglihatan kabur
3. Nyeri diulu hati
4. Kegelisahan dan hyperrefleksi sering mendahuli serangan kejang
Serangan dapat dibagi dalam 4 tingkat :
a. Tingkat invasi (tingkat permulaan)
Mata terpaku, kepala dipalingkan kesatu pihak, kejang –kejang hals terlihat pada muka.
Tingkat ini berlangsung beberapa detik.
b. Tingkat kontraksi (tingkat kejang tonis)
Seluruh badan menjadi kaku, kadang- kadang terjadi ephistholonus, lamanya 15 sampai 20
detik.
c. Tingkat konvulsi (tingkat kejang clonis)
Terjadilah kejang yang timbul hilang, rahang membuka dan menutup begitu pla mata, otot
–otot muka dan otot badan berkontraksi dan berelaksasi berulang. Kejang ini sangat kuat hingga
pasien dapat terlempar dari temapt tidur atau lidahnya tergigit. Ludah yang berbuih bercampur
darah keluar dari mulutnya, mata merah, muka biru, berangsur kejang berkurang dan akhirnya
berhenti. Lamanya ± 1 menit.
d. Tingkat coma
Setelah kejang clonis ini pasien jatuh dalam coma. Lamanya coma ini dari beberapa menit
sampai berjam –jam. Kalau pasien sadar kembali maka ia tidak ingat sama sekali apa yang telah
terjadi.
Gejala klinis :
1. Kehamilan lebih 20 minggu atau persalinan atau masa nifas
2. Tanda – tanda pre eklampsia (hipertensi, edema dan proteinuria)
3. Kejang dan atau koma

4
4. Kadang – kadang disertai gangguan fungsi organ.
Setelah beberapa waktu, terjadi serangan baru dan kejadian yang dilukiskan diatas
berulang lagi kadang –kadang 10 – 20 kali.
Sebab kematian eklampsia adalah odema paru –paru, apoplexy dan acidosis. Atau pasien
mati setelah beberapa hari karena pneumoni aspirasi, kerusakan hati atau gangguan faal ginjal.
Kadang–kadang terjadi eklampsia tanpa kejang ;gejala yang menonjol ialah coma. Eklampsia
se,acam ini disebut eklampsia sine eklampsia dan terjadi pada kerusakan hati yang berat.
Karena kejang merupakan gejala yang khas dari eklampsia maka eklampsia sine eklampsia
sering dimasukkan preeklampsia yang berat. Pada eklampsia tekanan darah biasanya tinggi
sekitar 180/110 mmHg.
Nadi kat dan berisi tetapi kalau keadaan sudah memburuk menjadi kecil dan cepat.
Demam yang tinggi memburuk prognosa. Demam ini rupa–rupanya cerebral. Pernafasan
biasanya cepat dan berbunyi, pada eklampsia yang berat ada cyanosis.
Proteinuria hamper selalu ada malahan kadang – kadang sangat banyak juga odema
biasanya ada. Pada eklampsia antepartum biasanya persalianan mulai setelah beberapa waktu.
Tapi kadang –kadang pasien berangsr baik tidak kejang lagi dan sadar sedangkan kehamilan
ters berlangsung.
Eklampsia yang tidak segera disusul dengan persalinan disebut eklampsia intercurrent.
Dianggap bahwa pasien yang sedemikian bukan sembuh tapi jatuh ke tingkat yang lebih ringan
ialah dari eklampsia ke dalam keadaan preeklampsia. Jadi kemngkinan eklampsia tetap
mengancam pasien semacam ini sebelum persalianan terjadi.
Setelah persalianan keadaan pasien berangsr baik, kira – kira dalam 12 – 24 jam. Juga
kalau anak mati didalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya penyakit berkurang.
Proteinria hilang dalam 4 – 5 hari sedangkan tekanan darah normal kembali dalam kira –kira 2
minggu. Ada kalanya pasien yang telah menderita eklampsia menjadi psychotis, biasanya pada
hari ke 2 atau ke 3 postpartum dan berlangsung 2 – 3 mingg. Prognosa pada munya baik,
penyulit laiannya ialah hemiplegic dan ganguuan penglihatan karena odema retina.

D. Patologi Eklampsia
Pada wanita yang mati karena eklampsia terdapat kelainan pada hati, ginjal, otak, dan paru
– paru dan jantung. Pada umumnya dapat ditemukan necrose, haemorrhagia, odema,
hyperaemia atau ischaemia dan thrombosis. Pada placenta terdapat infakt – infarct karena
degenarasi syncytium. Perubahan lain yang terdapat ialah retensi air dan natrium,

5
haemokonsentrasi dan kadang – kadang acidosis.

E. Etiologi eklampsia
Sebab eklampsia belum diketahui benar, salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa
eklampsia disebabakan ischaemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplacenta). Selama
kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada molahydatidosa, hidramnion,
kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit
pembuluh darah ibu, diabetes, perdarahan darah dalam dinding rahim kurang, maka keluarlah
zat- zat dari plasenta atau decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hypertensi.

F. Diagnose Eklampsia
Untuk diagnose eklampsia harus dikesampingkan keadaan –keadaan lain dengan kejang
dan coma seperti ureami, keracunan, epilepsy, hysteri, ebcephalitis, meningitis, tumor otak,dan
atrofi kuning akut dari hati. Diagnose eklampsia lebih 24 jam postpartum harus dicurigai.

G. Prognosis Eklampsia
Eklampsia adalah suatu keadaan yang sangat berbahaya maka prognosa kurang baik untuk
ibu maupun anak. Prognosa juga dipengaruhi oleh paritas artinya prognosa bagi multiparae
lebih buruk, dipengaruhi juga oleh umur terutama kalau umur melebihi 35 tahun dan juga oleh
keadaan pada waktu pasien masuk rumah sakit. Juga diurese dapat dipegang untuk prognosa
jika diurese lebih dari 800 cc dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa agak baik.
Sebaiknya oliguri dan anuri merupakan gejala yang buruk.
Gejala –gejala lain memberikan prognosa dikemukakan oleh Eden ialah :
1. Coma yang lama
2. Nadi di atas 120
3. Suhu di atas 390 C
4. Tensi di atas 200 mmHg
5. Lebih dari 10 serangan
6. Proteinuria 10 gram sehari sehari atau lebih
7. Tidak adanya odema.
Odema paru –paru dan apoplexy merupakan keadaan yang biasanya mendahului kematian.

H. Perawatan eklampsia

6
Perawatan dasar eklampsia ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital, yang harus
selalu diingat airway, breathing, circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi
hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan
tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat
dan dengan cara yang tepat.
Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia merupakan peraatan yang
sangat penting. Tujuan utama pengobatan medikamentosa eklampsia ialah mencegah dan
menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya hiprtensi krisis, mencapai
stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara
yang tepat.
1. Pengoatan medikamentosa
a. Obat anti kejang
Obat anti kejang yang menjadi pilihan utama ialah magnesium sulfat. Bila dengan jenis
obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis lain, misalnya thiopental. Diazepam
dapat dipakai sebagai alternative pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi,
pemberian diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman. Pemberian
diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma elektrolit. Obat kardiotinika
ataupun obat-obat anti hipertensi hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar-benar atas
indikasi.
b. Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian magnesium sulfat
pada preeclampsia berat. Pengobatan suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-
organ penting, misalnya tindakan-tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan
pentilasi paru-paru, mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis.
Pada penderita yang mengalami kejang dan koma, nursing care sanga penting, misalnya
meliputi cara-cara perawatan penderita dalam suatu kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur
infuse penderita, dan monitoring produksi urin.
c. Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertologan ialah mencegah
penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut.
Dirawat di kamar isolasi cukup terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera
dapat diketahui. Penderita dibaringkan di tempat tidur yang lebar, dengan rail tempat tidur harus
dipasang dan dikunci dengan kuat. Selanjutnya masukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita

7
dan jangan mencoba melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi.
Kepala direndahkan dan daerah orofarim diisap. Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas
penderita yang kejang tidak terlalu kuat menghentak-hentak benda keras disekitarnya. Fiksasi
badan pada tempat tidur harus cukup kendor, guna menghindari fraktur. Bila penderita selesai
kejang-kejang, segera beri oksigen45.
d. Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat beraksi atau mempertahankan diri
terhadap suhu yang ekstrim, posisi tubuh yang menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena
hilangnya reflex muntah. Ahaya terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya
jalan napas atas. Setiap penderita EKLAMPSIA yang jatuh dalm koma harus dianggap bahwa
jalan napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain.
Oleh karena itu, tindakan pertama-tama pada penderita yang jatuh, (tidak sadar), ialah
menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Untuk menghindari
terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal lidah dan epiglottis dilakukan tindakan sebagai
berikut. Cara yang sederhana dan cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan napas atas,
ialah dengan maneuver head tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan leher dalam posisi
ekstensi ke belakang atau head tilt- chain lift, dengan kepala direndahkan dan dagu ditarik ke
atas, atau jaw-thrust, yaitu mandibula kiri-kanan di ekstensikan ke atas sambil mengangkat
kepala ke belakang. Tindakan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan orophary
haringeal airway46 . hal penting ke dua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita, akan
kehilangan reflex muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat
besar. Lambung ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh. Oleh karena itu,
semua benda yang ada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa lender maupun sisa
makanan, hars segera diiasap secara intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk
drainase lendir.
Monitoring kesadaran dan dalamnya, memakai Glasgow, coma escale.pada perawatan
koma perlu diperhatikan pencehgahan dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama,
bila nutrisi tidak mungkin; dapat diberikan melalui nasograstrik tube (NGT).
e. Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita di rawat di ICU karena membutuhkan
perawatan animasi dengan respirator.
2. Pengobata obstetric
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan EKLAMPSIA harus diakhiri,

8
tanpa memandang kehamilan dan keadaan janin. Persalinan diakhiri bila sudah mencapai
stabilisasi (pemulihan). Hemodinamika dan metabolism ibu.
Pada perawatan pasca persalinan, bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-
tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.
Penanganan kejang
1. Selalu ingat ABC (airway, breathing, circulation)
2. Beri obat anti kejang
3. Beri oksigen 4-6 liter per menit
4. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat terlalu keras
5. Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko aspirasi
6. Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu

Daftar pustaka :
Prawihardjo, sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bna Pustaka
Bagian Obstetric Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung.
1984.Obstetric Patologi. Bandung :Elstar Offset.
Sujiantini, M.Keb. dkk. 2009. Asuahan Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Nugroho, dr. Taufan.2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika

9
III.Partus Lama/Macet

10
11
12
13
14
IV.Perdarahan Post Partum Primer
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 2008) :
Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang
terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan
inversio uteri.
Penyebab Perdarahan Postpartum Primer
a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah
persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan
tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri

15
ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari
pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas
sebagian atau lepas keseluruhan (Faisal, 2008). Miometrium terdiri dari tiga
lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi
untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah
tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing
serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut
kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot
seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah.
Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan
terjadinya pendarahan pasca persalinan (Faisal, 2008).
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
1. Partus lama
2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil
kembar, hidramnion atau janin besar
3. Multiparitas
4. Anestesi yang dalam
5. Anestesi lumbal
Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah
dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum terlepas dari
dinding uterus (Wiknjosastro, 2005).

b. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam
setelah janin lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005) :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila
16
sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi
untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
disebabkan :
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus
desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus
sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta). Plasenta sudah lepas dari
dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan
oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III,
sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
c. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi
potonganpotongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan bayi
harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus
dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).
d. Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca
persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh
robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah persalinan harus selalu
dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks
dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan. Robekan jalan lahir
selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya.
Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan
jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat
berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri).
17
Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan
perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat
menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan
pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti,
perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi (Manuaba, 1998).
e. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam
kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 1998).Pada
inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri
sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali
ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III,
yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang
belum
terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam
beberapa tingkat (Wiknjosastro, 2005) :
1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang
tersebut
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar
vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila
kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang
keras dan bisa menyebabkan syok.

2.3 Penanganan Perdarahan Postpartum Primer


Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah pencegahan. Mencegah atau
sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan terjadi
perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu
18
bersalin, namun sudah dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang
baik. Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai
kelainan secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-
langkah dalam pertolongan persalinannya. Kunjungan pelayanan antenatal bagi
ibu hamil paling sedikit 4 kali kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I,
sekali trimester II, dan dua kali pada trimester III.Anemia dalam kehamilan harus
diobati karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan
penderita yang sudah anemia. Kadar fibrinogen perlu diperiksanya pada
perdarahan yang banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta.
Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan postpartum,
persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Di rumah sakit diperiksa keadaan
fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor
darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan
obat-obatan penguat rahim (uterus tonikum). Setelah ketuban pecah kepala janin
mulai membuka
vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau
kombinasi 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena) (Mochtar, 1995). Dalam
kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari
dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan
postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak
lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya
diberikan 0,2 mg ergometrin intramuskulus. Kadang-kadang pemberian
ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir dengan tekanan pada fundus uteri
plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah
satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir adalah
kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan
gemelli yang tidak diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2005).
Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus dilakukan, yakni
menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan.
19
Setelah plasenta lahir perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena
atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta belum lahir (retensio
plasenta), segera
dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2005).

Manajemen Aktif Kala III


Manajemen aktif persalinan kala III terdiri atas intervensi yang direncanakan
untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi rahim dan
untuk mencegah perdarahan pasca persalinan dengan menghindari atonia uteri,
komponennya adalah (Shane, 2002) :
a. Memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam waktu dua menit
setelah kelahiran bayi.Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan
bayi adalah salah satu intervensi paling penting yang digunakan untuk mencegah
perdarahan pasca persalinan. Obat uterotonika yang paling umum digunakan
adalah oxytocin yang terbukti sangat efektif dalam mengurangi kasus perdarahan
pasca persalinan dan persalinan lama. Syntometrine (campuran ergometrine dan
oxytocin) ternyata lebih efektif dari oxytocin saja. Namun, syntometrine dikaitkan
dengan lebih banyak efek samping seperti sakit kepala, mual, muntah, dan
tekanan darah tinggi. Prostaglandin juga efektif untuk mengendalikan perdarahan,
tetapi secara umum lebih mahal dan memiliki bebagai efek samping termasuk
diarrhea, muntah dan sakit perut.
b. Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkanPada manajemen
aktif persalinan kala III, tali pusat segera dijepit dan
dipotong setelah persalinan, untuk memungkinkan intervensi manajemen aktif
lain. Penjepitan segera dapat mengurangi jumlah darah plasenta yang dialirkan
pada bayiyang baru lahir. Diperkirakan penjepitan tali pusat secara dini dapat
mencegah 20%
sampai 50% darah janin mengalir dari plasenta ke bayi. Berkurangnya aliran
darah mengakibatkan tingkat hematokrit dan hemoglobin yang lebih rendah pada
20
bayi baru lahir, dan dapat mempunyai pengaruh anemia zat besi pada
pertumbuhan bayi. Satu kemungkinan manfaat bagi bayi pada penjepitan dini
adalah potensi berkurangnya
penularan penyakit dari darah pada kelahiran seperti HIV.

c. Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara bersamaan


melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut.Penegangan tali pusat terkendali
mencakup menarik tali pusat ke bawah dengan sangat hati-hati begitu rahim telah
berkontraksi, sambil secara bersamaan memberikan tekanan ke atas pada rahim
dengan mendorong perut sedikit di atas tulang pinggang. Dengan melakukannya
hanya selama kontraksi rahim, maka
mendorong tali pusat secara hati-hati ini membantu plasenta untuk keluar.
Tegangan pada tali pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik bila plasenta
tidak turun,tetapi tegangan dapat diusahakan lagi pada kontraksi rahim yang
berikut.
Beberapa Faktor yang Memengaruhi Perdarahan Postpartum Primer
1. Umur
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan yang dapat
mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20
tahun
fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna,
sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah
mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan
akan lebih besar (Faisal, 2008).
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan
melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada
21
kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah
usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2005)
2. Pendidikan
Menurut Depkes RI (2002), pendidikan yang dijalani seseorang memiliki
pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir, dimana seseorang yang
berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional,
umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan
individu yang berpendidikan lebih rendah.
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara
(mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau
tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh
pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya
melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2003).
Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada usia yang
lebih tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana (KB), dan
mencari pelayanan antenatal dan persalinan. Selain itu, mereka juga tidak akan
mencari pertolongan dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat memilih
makanan yang bergizi.
Menurut Thadeus dan Maine (1990) yang dikutip dari Suryani (2008), dari
beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara penggunaan pelayanan obstetri dan tingkat
pendidikan ibu.
.3 Paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum
primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan
ibudalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam
menangani
22
komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan
semakin sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3)
maka uterus semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi kehamilan
(Manuaba, 1998).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan
paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan
pascapersalinan
lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada
paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan
risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana.
Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro,
2005).
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna
sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer (OR=2,87;
95% CI 1,23;6,73). Penelitian Miswarti (2007) menyatakan proporsi ibu yang
mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas 1 sebesar 12%, paritas
2-3 sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan
yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer. Demikian
juga dengan penelitian Milaraswati (2008) menyatakan bahwa proporsi ibu yang
mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas >4 yaitu 69% dan
didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan
postpartum primer.
.4 Jarak Antar Kelahiran
Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai
terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Menurut Moir dan Meyerscough
(1972) yang dikutip Suryani (2008) menyebutkan jarak antar kelahiran sebagai
faktor predisposisi perdarahan postpartum karena persalinan yang berturut-turut
23
dalam jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi
kurang baik. Selama kehamilan berikutnya dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi
tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya.Bila jarak antar kelahiran dengan
anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih
dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada
kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan.Menurut penelitian Yuniarti
(2004) proporsi kasus dengan jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun sebesar
41% dengan OR jarak antar kelahiran 2,82. Hal ini berarti ibu yang memiliki jarak
antar kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 2,82 kali mengalami perdarahan
pasca persalinan
.5 Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya
Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil
kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk
petugas harus waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang
akan berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kematian
janin, eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin
besar, infeksi dan pernah mengalami perdarahan antepartum dan postpartum.
Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara riwayat persalinan buruk sebelumnya
denganperdarahan pasca persalinan dan menemukan OR 2,4 kali pada ibu yang
memiliki riwayat persalinan buruk dibanding dengan ibu yang tidak memiliki
riwayat persalinan buruk.
.6 Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil adalah
kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 gr%.
Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang menyebabkan
konsentrasi sel darah merah mengalami penurunan. Bertambahnya sel darah
merah masih kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah sehingga
terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel darah
24
18% dan haemoglobin 19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun
terlalu rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai <11 gr%. Meningkatnya
volume darah berarti meningkatkan pula jumlah zat besi yang dibutuhkan untuk
memproduksi sel-sel darah merah sehingga tubuh dapat menormalkan konsentrasi
hemoglobin sebagai protein pengankut oksigen (Winkjosastro, 2000).Anemia
dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi komplikasi
kehamilan serta persalinan. Anemia juga menyebabkan peningkatan risiko
perdarahan pasca persalinan. Rasa cepat lelah pada penderita anemia disebabkan
metabolisme energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena kekurangan
oksigen. Selama hamil diperlukan lebih banyak zat besi untuk menghasilkan sel
darah merah karena ibu harus memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan
saat bersalin ibu membutuhkan hemoglobin untuk memberikan energi agar otot-
otot uterus dapat berkontraksi dengan baik. Pemeriksaan dan pengawasan
hemoglobin dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli. Hasil pemeriksaan
dengan alat sahli dapat digolongkan sebagai berikut (Manuaba, 1998) :
1. Hb > 11,0 gr% disebut tidak anemia
2. Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan

3. Hb 7,0 gr% - 8,9 gr% disebut anemia sedang


4. Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu
padatrimester I dan trimester III.
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa anemia bermakna sebagai faktor risiko
yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer. Ibu yang mengalami anemia
berisiko 2,8 kali mengalami perdarahan postpartum primer dibanding ibu yang
tidak mengalami anemia (OR= 2,76; 95% CI 1,25;6,12).
V.Perdarahan Post Partum Sekunder
Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang
terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder
25
disebabkan
oleh infeksi,
penyusutan
rahim yang
tidak
baik, atau
sisa plasenta
yang
tertinggal.
VI.Sepsis
Puerperalis

VII.Asphyksia Neonatorum

Definisi

Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak

Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat

lahir atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013).

Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh

kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan:

26
1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis

2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3

3. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemia

ensefalopati)

4. Gangguan multiorgan sistem.

(Prambudi, 2013).

Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan

asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor

terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL)

terhadap kehidupan uterin (Grabiel Duc, 1971).

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis.

Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan

otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital

lainnya. Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi

pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia


27
berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai

menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsurangsur dan


bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai apnea

primer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap dan tonus

otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat-obat yang diberikan kepada

ibunya. Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen selama periode

apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan spontan. Apabila

asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan megap-megap yang

dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai

menurun dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin lama

makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut apnea

sekunder (Saifuddin, 2009).

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur

segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat

janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin


28
berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama

atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).


Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera

bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin

sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan.

Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil,

kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengarui kesejahteraan bayi

selama atau sesudah persalinan.

2.1.2 Patofisiologi

Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi

pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat

dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat

diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.

a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk

mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala


29
dijalan lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal,

aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut

apnea primer.

b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis

karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas

otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam waktu singkat,

kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap terjadi

penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayi akan

memasuki periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi

yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak akan terjadi.
c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun

di bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit

meningkat saat bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan

menurun dan hentinya nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung

terus berkurang. Keadaan asam-basa semakin memburuk,


30
metabolisme selular gagal, jantungpun berhenti. Keadaan ini akan

terjadi dalam waktu cukup lama.

d. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan

pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun

demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung,

mengalami penurunan tajam selama apnea terminal.

e. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia. Apnea

primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan.

Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi syok memburuk apnea

terminal.

2.1.3 Etiologi

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :

a. Faktor ibu

1) Preeklampsia dan eklampsia

31
2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

3) Partus lama atau partus macet

4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC,

HIV)
5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat

1) Lilitan tali pusat

2) Tali pusat pendek

3) Simpul tali pusat

4) Prolapsus tali pusat.

c. Faktor bayi

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,

ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)

3) Kelainan bawaan (kongenital)

32
4) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

(DepKes RI, 2009).

Towel (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan

pada bayi yang terdiri dari :

1. Faktor Ibu

Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala

akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat

pemberian obat analgetika atau anestesia dalam.

Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus

akan menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan

demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan: (a)

gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani

uterus akibat penyakit atau obat, (b) hipotensi mendadak pada ibu

VIII.Syok Obstetrik

IX.Distocia Bahu
33
34
35
36
37
X.Prolapse Tali Pusat

38
XI.Cepalo Pelvik Dipropotion (CPD)S

XII.Persalinan Macet

XIII.Ruptura Uterus

XIV.Komplikasi Kala III

39
40
MASA NIFAS

Perubahan Fisiologis Pada Masa Nifas


Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi pada masa nifas diantaranya:
A. Perubahan Sistem Reproduksi
1. Involusi uterus
Involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu proses yakni uterus kembali ke kondisi
sebelum hamil dengan berat dengan berat sekitar 60 gram. Proses ini dimulai segera
setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot-otot polos uterus. (Kumalasari, 2015: 156).
Involusi uterus melibatkan. reorganisasi dan penanggalan desidua/ endometrium dan
pengelupasan lapisan pada tempat implantasi plasenta sebagai tanda penurunan ukuran
dan berat serta perubahan tempat uterus, warna, dan jumlah lochia (Heryani, 2010: 24).
Proses involusi uterus ini diantaranya:
1) Iskemia Miometrium. Disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus
dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus menjadi relatif
anemi dan menyebabkan serat oto atrofi.
2) Atrofi Jaringan. Terjadi sebagai reaksi penghentian hormon esterogen saat
pelepasan plasenta.
3) Autolysis. Proses penghancura diri sendiri yang terjadi didalam otot uterus.
Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur hingga
panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5 kali lebar sebelum
hamil yang terjadi selama kehamilan Yang disebabkan karena penurunan hormon
esterogen dan progesteron.
4) Efek Oksitosin. Menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus
sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan kerangnya suplai
darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat
implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan (Heryani, 2010: 28).
Segera setelah kelahiran, uterus harus berkontraksi secara baik dengan fundus
sekitar 4 cm dibawah umbilikus atau 12 cm diatas simfisis pubis. Dalam 2
minggu, uterustidak lagi dapat dipalpasi diatas simfisis (Holmes, 2011: 282).

41
Waktu Tinggi Berat Diamete Palpasi
No
Involusi Fundus Uteri Uterus r Uterus Serviks
Bayi lahir Setinggi Pusat 1000 12,5 cm Lunak
1
gram
Plasenta 2 jari bawah 750 12,5 cm Lunak
2
lahir pusat gram
Pertengahan 500
3 1 minggu pusat sampai gram 7,5 cm 2 cm
simfisis
2 Minggu Tidak teraba 300 5 cm 1 cm
4
diatas simfisis gram
6 Minggu Bertambah 60 gram 2,5 cm Menye
5
kecil mpit
Table 2.1
Perubahan Uterus Masa Nifas

1) Segera setelah persalinan, tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat, 12 jam


kemudian kembali 1 cm diatas pusat dan menurun kira-kira 1 cm setiap
hari,
2) Pada hari kedua setelah persalinan tinggi fundus uteri 1 cm di bawah pusat.
Pada hari ke- 3-4 tinggi fundus yteri 2 cm dibawah pusat,
3) Pada hari ke- 5-7 tinggi fundus uteri setengah pusat simfisis. Pada hari ke-
10 tinggi fundus uteri tidak teraba (Kumalasari, 2015: 156).

Gambar 2.12
Involusi42
Uterus Pascapersalinan
(Sumber: Kumalasari, Intan, 2015: 157).
Bila uterus tidak mengalami atau terjadi kegagalan dalam proses involusi disebut
dengan subinvolusi. Subinvolusi disebabkan oleh infeksi dan tertinggalnya sisa
plasenta/perdarahan lanjut (postpartum haemorrhage). Selain itu, beberapa
faktor lain yang menyebabkan kelambatan uetrus berinvolusi diantaranya:
1) Kandung kemih penuh,
2) Rektum berisi,
3) Infeksi uterus,
4) Retensi hasil konsepsi,
5) Fibroid,
6) Hematoma ligamentum latum uteri (Holmes, 2011: 282).
a) Lokia (Lochea)
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan
menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan.
Pencampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan lokia (Heryani, 2010:
30). Menurut Kemenkes RI (2014), definisi lochea adalah ekskresi cairan rahim
selama masa nifas. Lochea mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang
nekrotik dari dalam uterus. Pemeriksaan lochea meliputi perubahan warna dan bau
kerana lochea memiliki ciri khas berbau amis atau khas darah dan adanya bau busuk
menandakan adanya infeksi. Jumlah total pengeluaran seluruh periode lochea rata-
rata 240 – 270 ml. Lochea dibagi menjadi 4 tahapan yaitu:
1) Lochea Rubra/ Merah (Cruenta).
Lochea ini muncul pada hari ke-1 sampai hari ke-3 masa postpartum. Cairan yang
keluar berwarna merah karena berisi darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta,
dinding rahim, lemak bayi, lanugo, dan mekonium.
2) Lochea Sanguinolenta
Cairan yang keluar berwarna merah kecoklatan dan berlendir. Berlangsung dari
hari ke-4 sampai hari ke-7 postpartum.
3) Lochea Serosa
Lochea ini bewarna kuning kecoklatan karena mengandung serum, leukosit, dan
robekan/ laserasi plasenta. Muncul pada hari ke-8 sampai hari ke-14 postpartum.
4) Lochea Alba/ Putih
Mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel, selaput lendir servik, dan serabut
jaringan yang mati. Lochea alba bisa berlangsung selama 2 sampai 6 minggu
postpartum.

43
Biasanya wanita mengeluarkan sedikit lochea saat berbaring dan mengeluarkan
darah lebih banyak saat berdiri/ bangkit dari tempat tidur. Hal ini terjadi akibat
penggumpalan daran forniks vagina atau saat wanita mengalami posisi rekumben.
Variasi dalam durasi aliran lochea sangat umum terjadi, namun warna aliran
lochea cenderung semakin terang, yaitu berubah dari merah segar menjadi merah
tua kemudian cokelat, dan merah muda. Aliran lochea yang tiba-tiba kembali
berwarna merah segar bukan merupakan temuan normal dan memerlukan
evaluasi. Penyebabnya meliputi aktifitas fisik berlebihan,bagian plasenta atau
selaput janin yang tertinggal dan atonia ueterus.
Tabel 2.2 Perbedaan Lokia Pada Masa Nifas
LOKIA WAKTU WARNA CIRI-CIRI
Terdiri dari sel
desidua, verniks
Rubra 1-3 Hari Merah caseosa, rambut
kehitaman lanugo, sisa
mekonium, dan
sisa darah
Putih Sisa darah
Sanguilenta 3-7 Hari bercampur bercampur lendir
merah
Lebih sedikit darah
dan lebih banyak
Serosa 7-14 Hari Kekuningan/ serum, juga terdiri
kecoklatan dari leukosit dan
robekan laserasi
plasenta
Mengandung
leukosit, selaput
Alba >14 Hari Putih lendir serviks dan
serabut jaringan
yang mati

44
b) Perubahan Sistem Endokrin
Hormon-hormon yang berperan terkait perubahan sistem endokrin diantaranya:
1) Hormon Plasenta
Human Chorionic Gonadotropin (HCG) mengalami penurunan sejak plasenta
lepas dari dinding uterus dan lahir, dan menetap sampai 10% dalam 3 jam
hingga hari ke-7 postpartum. Hormon ini akan kembali normal setelah hari ke7.
2) Hormon Pituitary
Hormon pituitary diantaranya: Prolaktin, FSH dan LH. Hormon prolaktin
berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi ASI. Pada
wanita yang menyusui bayinya, kadar prolaktin tetap tinggi. FSH dan LH
meningkat pada minggu ke-3 (fase konsentrasi folikuler) dan LH akan turun dan
tetap rendah hingga menjelang ovulasi.
3) Hormon Oksitosin
Hormon oksitosin disekresi oleh kelenjar otak belakang (Glandula Pituitary
Posterior ) yang bekerja terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Hormon ini
berperan dalam pelepasan plasenta, dan mempertahankan kontraksi untuk
mencegah perdarahan saat persalinan berlangsung. Selain itu, isapan bayi saat
menyusu pada ibunya juga dapat merangsang produksi ASI lebih banyak dan
sekresi oksitosin yang tinggi, sehingga mempercepat proses involusi uteri.
4) Hipotalamik Pituitary Ovarium
Hormon ini mempengaruhi proses menstruasi pada wanita yang menyusui
ataupun tidak menyusui. Wanita yang menyusui mendapatkan menstruasi pada
6 minggu pascamelahirkan kisaran 16% dan 45% setelah 12 minggu
pascamelahirkan. Sedangkan wanita yang tidak menyusui, mendapatkan
menstruasi kisaran 40% setelah 6 minggu pascamelahirkan dan 90% setelah 24
minggu (Heryani, 2010: 41).
5) Hormon Estrogen dan Progesteron
Estrogen yang tinggi akan memperbesar hormon anti diuretik yang dapat
meningkatkan volume darah. Sedangkan progesteron akan mempengaruhi
perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi saluran
kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul, perineum, vulva dan vagina
(Heryani, 2010: 42).

45
Adaptasi Psikologis Ibu Masa Nifas
Tahapan adaptasi psokologis masa nifas menurut Reva Rubin yaitu:
1. Periode Taking In (hari ke 1-2 setelah melahirkan)
a. Ibu masih pasif dan tergantung dengan orang lain,
b. Perhatian ibu tertuju pada kekhawatiran perubahan tubuhnya,
c. Ibu akan mengulangi pengalaman-pengalaman waktu melahirkan,
d. Memerlukan ketenangan dalam tidur untuk
mengembalikan keadaan tubuh ke kondisi normal,
e. Nafsu makan ibu biasanya bertambah sehingga membutuhkan peningkatan
nutrisi. Kurangnya nafsu makan menandakan proses pengembalian kondisi
tubuh tidak berlangsung normal.
2. Periode Taking On/ Taking Hold (hari ke 2-4 setelah melahirkan)
a. Ibu memperhatikan kemampuan menjadi orang tua dan meningkatkan tanggung
jawab akan bayinya,
b. Ibu memfokuskan perhatian pada pengontrolan fungsi tubuh, BAK, BAB, dan
daya tahan tubuhnya,
c. Ibu berusaha untuk menguasai keterampilan merawat bayi seperti
menggendong, menyusui, memandikan, dan mengganti popok,
d. Ibu cenderung terbuka menerima nasehat bidan dan krikan pribadi,
e. Kemungkinan ibu mengalami depresi postpartum karena merasa tidak mampu
membesarkan bayinya.
3. Periode Letting Go (berlangsung 10 hari setelah melahirkan).
a. Terjadi setelah ibu pulang ke rumah dan dipengaruhi oleh dukungan serta
perhatian keluarga,
b. Ibu sudah mengambil tanggung jawab dalam merawat bayi dan memahami
kebutuhan bayi sehingga akan mengurangi hak ibu dalam kebebasan dan
hubungan sosial,
c. Deprsei postpartum sering terjadi pada masa ini (Pitriani, Risa. 2014: 7-8)

46
Kebutuhan Dasar pada Masa Nifas
A. Nutrisi dan Cairan
Selama masa nifas, diet sehat sangat dianjurkan pada ibu setelah melahirkan untuk
mempercepat proses penyembuhan dan peningkatan kualitas produksi ASI. Diet yang
dilakukan tentunya harus bermutu dengan nutrisi yang cukup, gizi seimbang, terutama
kebutuhan protein dan karbohidrat serta banyak mengandung cairan dan serat untk
mencegah konstipasi.
Beberapa asupan yang dibutuhkan ibu pada masa nifas diantaranya:
1. Mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap hari (3-4 porsi setiap hari)
2. Ibu dianjurkan minum sedikitnya 3 liter per hari, untuk mencukupi kebutuhan
cairan supaya tidak cepat dehidrasi.
3. Rutin mengkonsumsi pil zat besi setidaknya selama 40 hari pascapersalinan.
4. Serta tidak dianjurkan mengkonsumsi makanan
yang mengandung kafein/ nikotin.
5. Minum kapsul vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali yaitu satu kali setelah
melahirkan dan yang kedua diberikan setelah 24 jam selang pemberian kapsul
vitamin A pertama. Pemberian kapsul vitamin A 2 kali dapat menambah
kandungan vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 6 bulan, dibandingkan
pemberian 1 kapsul hanya cukup meningkatkan kandungan sampai 60 hari.

47
NO Zat Gizi Satuan Wanita Wanita Tidak Hamil
Hamil
1 Energi Kkal 2485 2200
2 Protein G 60 48
3 Vitamin A Mcg 700 500
4 Vitamin D Mcg 15 5
5 Vitamin E Mg 18 8
6 Vitamin K Mcg 130 65
7 Vitamin C Mg 110 75
8 Vitamin B1 Mg 1,5 1,2
9 Vitamin B6 Mg 1,7 1,3
10 Vitamin B12 Mcg 2,6 2,4
11 Thiamin Mg 1,2 1,0
12 Riboflavin Mg 1,4 1,2
13 Niacin Mg 9,1 9
14 Asam Folat Mcg 300 150
15 Piridoksin Mg 3,8 1,6
16 Kalsium Mg 900 500
17 Fosfor Mg 650 450
18 Zat Besi Mg 46 26
19 Seng Mg 20 15
20 Yodium Mcg 175 150
21 Selenium Mcg 70 55

Sumber: (Hutahaean, 2013).

48
KOMPLIKASI MASA NIFAS DAN PENATALAKSANAANYA

II.INFEKSI PUERPURALIS

49
50
51
52
53
54
55
56
57

Anda mungkin juga menyukai