10 November
10 November
10 November
1. Pengertian
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara
pihak tentara Indonesia dan pasukan Britania Raya. Peristiwa besar ini
terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan
asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran
terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang
menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
2. Sebab Pertempuran
a. Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia.
b. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
c. Kedatangan Tentara Inggris & Belanda.
d. Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya.
e. Kematian Brigadir Jenderal Mallaby.
3. Awal Pertempuran
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara
Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-
angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan
bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.
Bentrokanbentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk
Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang
ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok
milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman
menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya
Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia
yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil
tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit
dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada
pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor
Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10
November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan
dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
4. Jalannya Pertempuran
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor
Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan
bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor
dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri
dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
tanggal 10 November 1945.
5. Akhir Pertempuran
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan
tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai
waktu sekitar tiga minggu. Setidaknya 6.000 – 16.000 pejuang dari pihak
Indonesia tewas dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban
dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 – 2.000 tentara.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa
tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk
melakukan perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil
yang menjadi korban. Pada hari 10 November ini kemudian dikenang
sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
Kota Surabaya dan Bung Tomo
Warga Surabaya menjadi beringas ketika tentara Sekutu mulai datang pada
Oktober 1945. Barisan pemuda mulai bersatu dan merapatkan barisan. Minggu pertama
Oktober 1945, Surabaya praktis menjadi pusat perlawanan bersenjata. Semua penjara
dibuka, tawanan dibebaskan dan mereka yang ditahan atas tuduhan politik dan pidana
bergabung menjadi satu dalam barisan massa di dalam Kota Surabaya.
Salah satu elemen penting di balik kegigihan pejuang dan masyarakat Surabaya
dalam bertahan adalah kuatnya semangat dan keyakinan mereka untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Ini dibentuk oleh mereka yang mampu mengajak dan
memobilisasi massa. Di sinilah terdapat peran para pemimpin perjuangan rakyat di
Surabaya, yang pidato-pidatonya sangat persuasif untuk menggerakkan massa. Dari
pihak pemerintah RI di Surabaya ada Residen Sudirman dan Gubernur Surio. Dari
tengah masyarakat muncul satu sosok sentral, yakni seorang mantan jurnalis bernama
Soetomo, yang akrab disapa Bung Tomo. Banyak yang percaya bahwa bila pertempuran
Surabaya adalah ikon revolusi kemerdekaaan Indonesia, maka Bung Tomo adalah ikon
pertempuran Surabaya. “Allahu akbar! Merdeka!” adalah kata-kata penutup pidatonya
yang masih sering dikenang orang.
Pemuda merupakan salah satu target utama Bung Tomo. Ketika pertempuran
Surabaya pecah, ia meminta agar para pemuda Surabaya tidak meninggalkan kota itu. Ia
juga meminta tambahan pasukan untuk Surabaya. Permintaannya terjawab karena tak
lama berselang markas besar TKR di Yogyakarta mengirim seorang komandan dan
lebih dari dua puluh kadet untuk membantu para pejuang di Surabaya.
Radio Pemberontakan Bung Tomo juga meminta dukungan medis untuk para
korban pertempuran Surabaya. Seruan di udara ini ini disambut para simpatisan
Republik lainnya dalam bentuk ratusan perawat yang datang dengan sukarela dan
sejumlah dokter. Demikian pula ketika penyiarnya meminta disuplai dengan makanan,
dalam waktu singkat datanglah bantuan makanan.
Pidatonya dibuka dengan nada musik “Tiger Shark”. Ini mungkin ditujukan
untuk menarik minat para pemuda terdidik Surabaya yang akrab dengan budaya pop
Barat.
Bung Tomo memang bukan tentara yang memanggul senjata guna melawan
musuh. Namun, sumbangan terbesarnya kepada Indonesia Merdeka ialah, sebagaimana
dikatakan salah satu pejuang di Surabaya, bahwa selama pertempuran di Surabaya ia
justru lebih bermanfaat sebagai propagandis di studio radionya dibandingkan dengan di
bertarung di jalan.