Anda di halaman 1dari 2

Pikiran homo homini socius ini ditaruh untuk mengkritik, mengoreksi, dan memperbaiki

sosialitas preman; sosialitas yang saling mengerkah, memangsa, dan saling membenci dalam
homo homini lupus (sesama adalah serigala bagi manusia). Sampai tahun 1951 nama
Driyarkara tidak dikenal. Hampir seluruh waktunya dia gunakan untuk studi secara intensif.
Catatan harian yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941 sampai awal tahun 1950 tidak pernah
lepas dari persoalan aktual-mendesak yang dihadapi manusia, khususnya rakyat Indonesia.
Karya publik awal tulisannya tidak langsung filosofis. Karya awalnya berupa catatan ringan
dalam bahasa Jawa yang dimuat majalah Praba, sebuah mingguan berbahasa Jawa yang terbit
di Yogyakarta. Disusul kemudian dengan Warung Podjok dengan nama samaran Pak Nala.
Terbitnya majalah Basis tahun 1951 membuka peluang Driyarkara memperkenalkan ide-
idenya ke masyarakat. Mulanya dengan nama Puruhita, kemudian dengan nama lengkap
Driyarkara. Cara penyajiannya bergaya percakapan, setapak demi setapak membawa
pembaca ke permenungan filosofis.

Saat mengasuh Basis, Driyarkara diserahi tugas menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan
Guru Sanata Dharma, embrio IKIP Sanata Dharma. Pidato pertanggungjawabannya tentang
kepentingan pendidikan guru memperoleh tanggapan luas, dan sejak saat itu (1955) selain
dikenal sebagai filsuf juga seorang ahli pendidikan.Lewat tulisan, pidato, ceramah, dan
kuliah, Driyarkara memberikan pencerahan proses pencarian jati diri bangsa. Misalnya,
ketika gerakan mahasiswa marak pada tahun 1966, dialah pembela pertama hak mahasiswa
dan pelajar untuk demonstrasi. Di tengah keadaan kritis dan buntu-mentok, dia tampil dengan
gagasan menerobos lewat pemberian makna.

Biografi
• Pada tahun 1952, ia mendapat gelar Doktor bidang Filsafat di Universitas Gregoriana
dengan disertasi mengenai Nicolas Malebrance.
• 1941-1942, ia sudah mengajar sebagai dosen di Girisonta.
• 1943-1946, menjadi pengajar filsafat di Seminari Tinggi Yogyakarta.
• 1952-1958, setelah PhD, N Driyarkara menjadi dosen filsafat di Yogyakarta.
• 1960-1967, Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
• 1961-1967, dosen di Universitas Hasanudin, Ujung Pandang (Makassar)
• 1962-1967, anggota MPRS
• 1963-1964, dosen tamu di Universitas St Louis, Amerika Serikat
• 1965-1967, anggota DPA

Driyarkara memang tidak pernah menulis buku. Driyarkara tidak meninggalkan satu pun
karya utuh komprehensif tentang satu persoalan. Kalau mau disebut sebagai "buku", mungkin
tulisan tentang filsafat Malebranche, disertasi untuk memperoleh gelar doktor ilmu filsafat
dari Universitas Gregoriana, Roma, tahun 1952. Disertasi itu berupa manuskrip setebal 300
halaman ditulis dalam bahasa Latin klasik. Naskah asli disimpan di Roma, tetapi tahun 1954
terbit versi ringkasannya setebal 40 halaman. Selain disertasi, hampir semua karya Driyarkara
berupa tulisan-tulisan pendek. Isinya komentar tentang persoalan-persoalan hangat pada
zamannya. Tulisan terpanjang berupa pidato pengukuhan gelar guru besar luar biasa dalam
ilmu filsafat pada Fakultas Psikologi UI tahun 1962.

Dengan metode fenomenologi eksistensial, metode yang dikembangkan Malebranche,


persoalan kemanusiaan ditempatkan dalam situasi bersama masyarakatnya. Driyarkara lewat
perenungan kehidupan bangsa-negara Indonesia terlibat dalam jatuh-bangunnya menjadi
Indonesia. Driyarkara mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan
menawarkan jalan keluar yang menerobos.
Beberapa buku kumpulan tulisan dan tentang Driyarkara
• Jejak sebagai pemikir dibukukan dari siaran-siaran radio RRI dan renung filsafatnya
dalam buku Pertjikan Filsafat (PT Pembangunan, Jakarta, 1962).
• Kumpulan kuliah-kuliahnya disatukan dalam Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969
Cet I dan 1975 Cet II.
• Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Manusia, Driyarkara tentang Negara
dan Bangsa, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1980.

Sekolah Tinggi
Pada tanggal 2 Februari 1969 (tepat 2 tahun setelah Driyarkara meninggal), di sebuah ruang
tamu di Susteran Theresia Jalan H Agus Salim, Jakarta, jejak perintisan Sekolah Tinggi
Filsafat bernama Driyarkara dimulai.
Proses pembidanan sebuah sekolah filsafat dilakukan bersama oleh rekan-rekan almarhum,
yaitu Prof. Dr. Fuad Hassan, Prof. Dr. Slamet Iman Santosa yang mendambakan didirikannya
sebuah institut filsafat di Indonesia yang terbuka untuk umum, berdiri sendiri, dan merupakan
pusat yang mampu menarik dosen untuk lebih memantapkan usaha pengembangan filsafat di
Jakarta. Inilah dies natalis pertama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di tahun 1969.

Anda mungkin juga menyukai