Anda di halaman 1dari 1

Konsep Sistem Drainase yang Berkelanjutan

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang begitu cepat telah menyebabkan perubahan
tata guna lahan. Banyak lahan-lahan yang semula berupa lahan terbuka dan/atau hutan berubah
menjadi areal permukiman maupun industry. Hal ini tidak hanya terjadi di kawasan perkotaan,
namun sudah merambah ke kawasan budidaya dan kawasan lindung, yang berfungsi sebagai
daerah resapan air. Dampak dari perubahan tata guna lahan tersebut adalah meningkatnya
aliran permukaan langsung sekaligus menurunnya air yang meresap ke dalam tanah. Akibat
selanjutnya adalah distribusi air yang makin timpang antara musim penghujan dan musim
kemarau, debit banjir meningkat dan ancaman kekeringan semakin menjadi-jadi. Baik bencana
banjir maupun kekeringan telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, bahkan tidak hanya
kerugian harta benda (material), tetapi juga kerugian jiwa.
Dilain pihak, pertambahan penduduk serta perkembangan industry menuntut bertambahnya
kebutuhan air bersih yang sampai saat ini masih banyak mengandalkan air tanah, baik air tanah
dangkal maupun air tanah dalam. Proporsi sumber air bersih pada air tanah di Indonesia rata-
rata 81%, bervariasi dari 0% di beberapa Kabupaten di Jawa (Bapeddal,1998).
Ketidakseimbangan antara pengisian dan pengambilan air tanah ini menyebabkan muka air
tanah cenderung makin turun. Soeroso (1987) menyatakan bahwa berbagai daerah di DKI
Jakarta muka air tertekan atas maupun tengah mengalami penurunan sekitar 30 sampai 40
meter dalam kurun waktu 100 tahun dengan laju penurunan selama Pelita 1 – III antara 1,5
sampai 3,34 meter per tahun, sedangkan penurunan bor dari tahun 1980 sampai dengan 1985
antara 2,00 sampai 3,00 meter.
Hal yang sama juga terjadi di Bandung, sebagaimana hasil penelitian Dirjen Geologi dan
Sumberdaya Mineral Indonesia berkerjasama dengan Kedutaan Jerman, yang menyatakan
bahwa muka air tanah di Bandung mengalami penurunan sebesar 1-2 meter per tahun
(Kusnaedi, 2000)

Anda mungkin juga menyukai