Anda di halaman 1dari 4

MODEL PEMBELAJARAN

PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

No. Tahapan Kegiatan


1. Fase 1 Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
Orientasi siswa menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi siswa
kepada masalah
untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan
mengajukan masalah.
2. Fase 2 Pada tahap ini guru membagi peserta didik kedalam
Mengorganisasikan kelompok, membantu siswa mendefinisikan dan
siswa mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah.
3. Fase 3 Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
Membimbing informasi yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen dan
penyelidikan
penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
individu dan
kelompok masalah.
4. Fase 4 Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan
Mengembangkan dadn menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan
dan menyajikan
membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya.
hasil karya
5. Fase 5 Pada tahap ini guru membantu siswa untuk melakukan
Menganalisa dan refleksi atau evaluasi terhadap proses dan hasil penyelidikan
mengevaluasi proses yang mereka lakukan.
pemecahan masalah

Sumber :
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayan

30
Literasi Matematika

Literasi matematika dalam kerangka PISA Matematika 2012 didefinisikan sebagai


kemampuan individu untuk merumuskan, menggunakan dan menafsirkan matematika dalam
berbagai konteks. Termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan
menggunakan konsep, prosedur, fakta, sebagai alat untuk mendeskripsikan, menjelaskan serta
memprediksi suatu fenomena atau kejadian. Literasi matematis dapat membantu individu
untuk mengenal peran matematika di dunia nyata dan sebagai dasar pertimbangan dan
penentuan keputusan yang dibutuhkan oleh masyarakat (OECD, 2010: 4).
Literasi matematika melibatkan 7 kemampuan dasar yang harus dimiliki (OECD,
2010: 18-19), yaitu: (1) Communication, kemampuan untuk mengomunikasikan masalah; (2)
Mathematising, kemampuan untuk mengubah permasalahan dari dunia nyata ke bentuk
matematika ataupun sebaliknya; (3) Representation, kemampuan untuk menyajikan kembali
suatu permasalahan matematika; (4) Reasoning and Argument, kemampuan menalar dan
memberi alasan; (5) Devising Strategies for Solving Problems, kemampuan menggunakan
strategi memecahkan masalah; (6) Using Symbolic, Formal and Technical Language and
Operation, kemampuan menggunaan bahasa simbol, bahasa formal dan bahasa teknis; (7)
Using Mathematics Tools, kemampuan menggunakan alat-alat matematika, misalnya dalam
pengukuran.
Soal-soal literasi pada studi PISA dan TIMSS (Trends International Mathematics and
Science Study) menuntut kemampuan penalaran dan pemecahan masalah yang menekankan
pada berbagai masalah dan situasi dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang diujikan
dalam PISA dikelompokkan dalam komponen proses (OECD, 2010: 14), yaitu kemampuan
pemahaman dan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan penalaran (reasoning),
dan kemampuan komunikasi (communication). Sedangkan, kemampuan yang diujikan dalam
TIMSS dikelompokkan dalam dimensi kognitif (Mullis, dkk., 2012: 30), yaitu mengetahui
fakta dan konsep (knowing), menggunakan konsep dan prosedur (applying), serta melakukan
penalaran dalam memecahkan masalah (reasoning) (Wardhani, 2011: 22).
Penilaian literasi matematis siswa hendaknya mengarah pada informasi yang bisa
didapatkan mengenai sejauh apa kemampuan literasi matematis yang dimiliki siswa yang
dapat ditinjau dari keempat aspek di atas. Menurut National Council of Teacher of
Mathematics (NCTM) (2000: 22), penilaian harus mendukung pembelajaran dan memberi
informasi yang berguna bagi guru dan siswa. Penilaian hendaknya diberikan secara formatif,
yaitu penilaian yang mengarah pada perbaikan kualitas pembelajaran dan dapat dimanfaatkan
untuk mengarahkan siswa tentang apa yang sudah dikuasai dan belum dikuasai.

Sumber:
Mullis, Ina VS., dkk. 2012. TIMSS 2011 International Result in Mathematics.
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). 2000. Principle and Standards for
School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 2010. PISA 2012
Matemathics Framework. Paris: PISA, OECD Publishing.
Wardhani, Sri. 2011. Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA
dan TIMSS. Jakarta: Kemendiknas.

31
Komponen Model Pembelajaran

1. Sistem Sosial
Pengorganisasian siswa selama proses pembelajaran menerapkan pola
pembelajaran kooperatif. Dalam interaksi sosio kultural di antara siswa dan temannya,
guru selalu menanamkan nilai-nilai soft skill dan nilai matematis. Siswa dalam
kelompok saling bekerjasama dalam menyelesaikan masalah, saling
bertanya/berdiskusi antara siswa yang lemah dan yang pintar, kebebasan mengajukan
pendapat, berdialog dan berdebat, guru tidak boleh terlalu mendominasi siswa, tetapi
hanya membantu dan menganjurkan gotong royong) untuk menghasilkan
penyelesaian masalah yang disepakati bersama. Dalam interaksi sosio kultural, para
siswa diizinkan berbahasa daerah dalam menyampaikan pertanyaan, kritikan, dan
pendapat terhadap temannya maupun pada guru.

2. Prinsip Reaksi
Model pembelajaran yang diterapkan dalam buku ini dilandasi teori
konstruktivistik dan nilai budaya dimana siswa belajar yang memberi penekanan
pembelajaran berpusat pada siswa. Dengan demikian, fungsi guru hanya sebagai
fasilitator, motivator, dan mediator dalam pembelajaran. Tingkah laku guru dalam
menanggapi hasil pemikiran siswa hanya berupa pertanyaan atau membantu kesulitan
yang dialami siswa dalam menyelesaikan masalah yang sifatnya mengarahkan,
membimbing, memotivasi, dan membangkitkan semangat belajar siswa. Dalam
mewujudkan tingkah laku siswa tersebut, guru harus memberikan kesempatan pada
siswa untuk mengungkapkan hasil pemikirannya secara bebas dan terbuka. Selain itu,
mencermati pemahaman siswa atas objek matematika yang diperoleh dari proses dan
hasil penyelesaian masalah, menunjukkan kelemahan atas pemahaman siswa, dan
memancing siswa sehingga menemukan jalan keluar untuk mendapatkan penyelesaian
masalah yang sesungguhnya. Jika ada siswa yang bertanya, maka sebelum guru
memberikan penjelasan/bantuan, sebaiknya guru terlebih dahulu memberi kesempatan
pada siswa lainnya memberikan tanggapan dan merangkum hasilnya. Jika
keseluruhan siswa mengalami kesulitan, maka saatnya guru memberi penjelasan atau
bantuan/memberi petunjuk sampai siswa dapat mengambil alih penyelesaian masalah
pada langkah berikutnya. Ketika siswa bekerja menyelesaikan tugas-tugas, guru
mengontrol jalannya diskusi dan memberikan motivasi agar siswa tetap berusaha
menyelesaikan tugas-tugasnya.

3. Sistem Pendukung
Agar model pembelajaran ini dapat terlaksana secara praktis dan efektif, maka
guru diwajibkan membuat suatu rancangan pembelajaran yang dilandasi dengan teori
pembelajaran konstruktivistik dan nilai soft skill matematis yang diwujudkan dalam
setiap langkah-langkah pembelajaran yang ditetapkan dan menyediakan fasilitas
belajar yang cukup. Dalam hal ini perlu dikembangkan buku model yang berisikan
teori-teori pendukung dalam melaksanakan pembelajaran. Selain itu, juga berisi
komponen-komponen model, petunjuk pelaksanaan dan seluruh perangkat

32
pembelajaran yang digunakan. Seperti rencana pembelajaran, buku guru, buku siswa,
lembar kerja siswa, objek-objek abstraksi dari lingkungan budaya, dan media
pembelajaran yang diperlukan.

4. Dampak Instruksional dan Penggiring yang Diharapkan


Dampak langsung penerapan pembelajaran ini adalah memampukan siswa
merekonstruksi konsep dan prinsip matematika melalui penyelesaian masalah dan
terbiasa menyelesaikan masalah nyata di lingkungan siswa. Pemahaman siswa
terhadap objek-objek matematika dibangun berdasarkan pengalaman budaya dan
pengalaman belajar yang telah dimiliki sebelumnya. Kebermaknaan pembelajaran
yang melahirkan pemahaman, dan kemudian pemahaman mendasari kemampuan
siswa mentransfer pengetahuannya dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan
menyelesaikan masalah tidak rutin menyadarkan siswa akan kebergunaan
matematika. Kebergunaan akan menimbulkan motivasi belajar secara internal dari
dalam diri siswa dan rasa memiliki terhadap matematika sehingga akan muncul
sebabnya mengapa matematika yang dipahami adalah hasil rekonstruksi pemikirannya
sendiri. Motivasi belajar secara internal akan menimbulkan kecintaan terhadap dewi
matematika. Bercinta dengan dewi matematika berarti penyatuan diri dengan
keabstrakan yang tidak memiliki batas atas dan batas bawah, tetapi bekerja dengan
simbol-simbol.
Selain dampak di atas, siswa terbiasa menganalisis secara logis dan kritis
untuk memberikan pendapat atas apa saja yang dipelajari dengan menggunakan
pengalaman belajar yang dimiliki sebelumnya. Penerimaan individu atas perbedaan-
perbedaan yang terjadi (perbedaan pola pikir, pemahaman, daya lihat, dan
kemampuan), serta berkembangnya kemampuan berkolaborasi. antara siswa. Retensi
pengetahuan matematika yang dimiliki siswa dapat bertahan lebih lama sebab siswa
terlibat aktif di dalam proses penemuannya.
Dampak pengiring yang akan terjadi dengan penerapan model pembelajaran
berbasis konstruktivistik adalah sebagai berikut. Siswa mampu menemukan kembali
berbagai konsep dan aturan matematika dan menyadari betapa tingginya manfaat
matematika bagi kehidupan, sehingga dia tidak merasa terasing di lingkungannya.
Matematika sebagai ilmu pengetahuan tidak lagi sebagai hasil pemikiran dunia luar
tetapi berada pada lingkungan budaya siswa yang bermanfaat dalam menyelesaikan
permasalahan di lingkungan budayanya. Dengan demikian, terbentuk dengan
sendirinya rasa memiliki, sikap, dan persepsi positif siswa terhadap matematika dan
budayanya. Jika matematika bagian dari budaya siswa, maka suatu saat diharapkan
siswa memiliki cara tersendiri memeliharanya dan menjadikannya Landasan Makna
(landasan makna dalam hal ini berpihak pada sikap, kepercayaan diri, cara berpikir,
cara bertingkah laku, cara mengingat apa yang dipahami oleh siswa sebagai pelaku-
pelaku budaya). Dampak pengiring yang lebih jauh adalah hakikat tentatif keilmuan,
keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap
ketidakpastian serta masalah-masalah non-rutin.

Sumber: Buku Guru Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2016.

33

Anda mungkin juga menyukai