Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

DETEKSI DINI PERKEMBANGAN ANAK

OLEH :
PETRUS SALOM FOEH JACOB
1707020023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2019
1. Gangguan Bicara dan Bahasa
Yang termasuk gangguan komunikasi adalah berbagai masalah dalam berbahasa,
berbicara dan mendengar. Gangguan bicara dan bahasa terdiri dari masalah artikulasi, masalah
suara, masalah kelancaran berbicara (gagap), aphasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata,
biasanya akibat cedera otak), dan keterlambatan dalam bicara dan atau bahasa. Keterlambatan
bicara dan bahasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor lingkungan atau
hilangnya pendengaran.
Gangguan bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang mendukungnya seperti
fungsi otot mulut (oral motor) dan fungsi pendengaran. Keterlambatan dan gangguan bisa mulai
dari bentuk yang sederhana seperti bunyi suara yang “tidak normal” (sengau, serak) , sampai
dengan ketidak mampuan untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau ketidak mampuan
mekanisme oral-motor dalam fungsinya untuk bicara atau makan.
Gangguan pendengaran terdiri dari gangguan dengar parsial (sebagian) dan gangguan dengar
total atau tuli. Ketulian didefinisikan sebagai kehilangan pendengaran yang bermakna yang
mengakibatkan komunikasi menjadi sulit atau tidak dapat dilakukan tanpa bantuan amplifikasi
alat Bantu dengar. Terdapat 4 tipe gangguan pendengaran. Tipe pertama adalah gangguan dengar
konduktif, yaitu terganggunya pendengaran akibat adanya penyakit atau sumbatan di telinga
bagian luar atau tengah, dan biasanya dapat diatasi dengan alat Bantu dengar. Tipe kedua adalah
gangguan dengan sensorineural yaitu terganggunya pendengaran akibat kerusakan pada sel sel
rambut sensoris yang terdapat pada telinga dalam atau pada pembuluh saraf yang
mempersarafinya. Tipe ketiga adalah gangguan pendengaran gabungan antara gangguan
pendengaran konduktif dan sensorineural. Sedangkan gangguan pendengaran sentral
dimaksudkan pada gangguan pendengaran akibat dari cedera atau rusaknya saraf-saraf otak.

Banyak gangguan komunikasi terjadi sebagai akibat dari kondisi lain seperti gangguan belajar
(learning disability), palsi serebral (cerebral palsy), keterbelakangan mental (mental retardation),
celah bibir, atau celah langit-langit mulut.

Kemampuan komunikasi seorang anak dianggap terlambat jika kemampuan bicara dan atau
bahasa anak tersebut jauh di bawah kemampuan bicara / bahasa anak seusianya. Kadang seorang
anak memiliki kemampuan berbahasa reseptif (mampu memahami apa yang disampaikan lawan
bicara) yang jauh lebih baik dibanding kemampuan berbahasa ekspresifnya, namun kondisi ini
tidak selamanya terjadi.

Anak dengan masalah pendengaran bisa terlihat sulit memahami dan memberi jawaban jika
pertanyaan yang diajukan padanya tidak dilakukan berkali-kali. Selain itu anak juga
menunjukkan kemampuan bicara yang tidak akurat, misalnya „kehilangan“ suku kata awal atau
suku kata akhir. Atau, anak tersebut menunjukkan seperti „ tidak nyambung „ saat dilakukan
diskusi interaktif.
Selain hal-hal tersebut diatas, anak yang terbiasa berbahasa menggunakan dialek tertentu, dapat
mengalami kesulitan bicara dan bahasa menggunakan dialek lain atau bahasa yang lain tentunya.

Gangguan bicara berhubungan dengan kesulitan menghasilkan bunyi yang spesifik untuk bicara
atau dengan gangguan dalam kualitas suara. Ada yang disebut dysfluency atau stuttering atau
gagap, yaitu terjadi gangguan pada kelancaran berbicara, dan biasanya muncul di usia 3 atau 4
tahun. Gagap dapat hilang sendiri di usia remaja, namun tidak selalu demikian sehingga terapi
wicara harus selalu dipertimbangkan.

Gangguan bicara dapat juga berupa gangguan dalam artikulasi, hal ini disebut gangguan
fonologi. Gangguan artikulasi adalah penggantian satu suara dengan suara lain, atau
penghilangan satu suara, atau suara menjadi berubah sama sekali. Contoh gangguan artikulasi:
„mobil“ jadi „obin“ atau „mobi“ atau „obil“.
Selain itu juga dapat berupa gangguan dalam „pitch“, volume ataupun kualitas suara. Gangguan
suara tipikal misalnya suara kasar, suara terputus-putus atau terengah-engah, suara yang terpecah
jika dalam intonasi atau pitch yang tinggi. Gangguan suara seperti ini biasanya terjadi bersamaan
dengan gangguan berbahasa lain sehingga disebut gangguan komunikasi kompleks. Bahkan
gangguan yang terjadi dapat merupakan gabungan dari beberapa gangguan yang telah disebutkan
di atas.

Sedangkan gangguan berbahasa ditandai dengan ketidak mampuan anak untuk berdialog
interaktif, memahami pembicaraan orang lain, mengerti dan atau menggunakan kata-kata dalam
konteks yang „nyambung“ baik verbal maupun non verbal,menyelesaikan masalah, membaca
dan mengerti apa yang dibaca, serta mengekspresikan pikirannya melalui kemampuan berbicara
atau menyampaikannya lewat bahasa tulisan Beberapa karakteristik dari gangguan berbahasa
meliputi penggunaan kata yang tidak tepat, ketidak mampuan untuk menyampaikan pendapat,
ketidaktepatan dalam penggunaan pola gramatikal, kosa kata yang minimal jumlahnya, dan
ketidak mampuan untuk mengikuti instruksi. Mereka juga mengalami kesulitan dalam
mengatur syntax. Syntax adalah aturan bagaimana susunan kata ditempatkan dalam suatu
kalimat.
Contoh gangguan syntax: “aku mau makan mi goreng” menjadi “aku mi goreng mau makan”.

2. Cerebral Palsy
Cerebral palsy adalah gangguan gerakan, otot, atau postur yang disebabkan oleh cedera
atau perkembangan abnormal di otak, paling sering terjadi sebelum kelahiran. Tanda dan gejala
muncul selama masa bayi atau prasekolah. Secara umum, cerebral palsy menyebabkan gangguan
gerakan yang terkait dengan refleks berlebihan atau kekakuan, postur tubuh yang abnormal,
gerakan tak terkendali, kegoyangan saat berjalan, atau beberapa kombinasi dari gangguan
tersebut. Efek cerebral palsy pada kemampuan fungsional sangat bervariasi.

Orang dengan cerebral palsy sering memiliki kondisi lain yang berkaitan dengan kelainan
perkembangan otak, seperti cacat intelektual, masalah penglihatan dan pendengaran, atau kejang.
Sebuah spektrum yang luas dari perawatan dapat membantu mengurangi efek cerebral palsy dan
meningkatkan kemampuan fungsional seseorang.

3. Sindroma Down / Down Syndrom


Sindrom Down atau Down syndrome adalah kelainan genetik yang menyebabkan penderitanya
memiliki tingkat kecerdasan yang rendah, dan kelainan fisik yang khas. Sebagian penderita dapat
mengalami kelainan yang ringan, tetapi sebagian lainnya dapat mengalami gangguan yang berat
hingga menimbulkan penyakit jantung.
Down syndrome merupakan kelainan genetik yang cukup sering terjadi. Data WHO
memperkirakan 3000 hingga 5000 bayi terlahir dengan kondisi ini setiap tahunnya. Dengan
penanganan yang tepat, penderita dapat hidup dengan sehat dan mampu menjalani aktivitas
dengan mandiri, walaupun kelainan belum dapat disembuhkan.

Gejala Down Syndrome


Penderita Down syndrome memiliki kelainan fisik khas, yang kadang bisa dideteksi sebelum
lahir, antara lain:

 Ukuran kepala lebih


 Bagian belakang kepala datar.
 Sudut mata luar naik ke atas.
 Bentuk telinga kecil atau tidak normal.

Penyebab Down Syndrome


Down syndrome terjadi ketika ada satu salinan ekstra dari kromosom nomor 21. Kromosom atau
struktur pembentuk gen normalnya berpasangan, dan diturunkan dari masing-masing orang tua.
Ada beberapa faktor yang berisiko menimbulkan salinan ekstra pada kromosom 21, antara lain
ibu sudah cukup berumur saat hamil atau memiliki penderita Down syndrome lain dalam
keluarga.

Pengobatan Down Syndrome


Pengobatan untuk penderita Down syndrome dilakukan agar penderita bisa menjalani aktivitas
sehari-hari secara mandiri. Pengobatan itu dapat berupa:

 Fisioterapi.
 Terapi bicara.
 Terapi okupasi.
 Terapi perilaku.

Down syndrome memang tidak bisa diobati. Namun dengan dukungan yang baik dari keluarga,
serta rutin menjalani terapi dan pemeriksaan ke dokter, penderita Down syndrome dapat hidup
mandiri dan terhindar dari komplikasi.

4. Perawakan Pendek
Perawakan pendek adalah istilah umum untuk orang yang tingginya jauh di bawah rata-rata
dibandingkan dengan tinggi normal. Meskipun dapat diterapkan untuk orang dewasa, istilah ini
lebih umum digunakan untuk anak-anak. Seorang anak bisa jauh lebih pendek dari teman-
temannya dan tetap sehat. Ini terutama benar jika kedua orang tua juga lebih pendek dari rata-
rata. Kondisi genetik adalah pemicu utama abnormalitas tinggi badan. Namun, perawakan
pendek dapat menunjukkan masalah medis yang mendasarinya. Dalam kasus ini, banyak anak
dapat tumbuh hingga ketinggian normal dengan perawatan yang tepat. Dalam kondisi lain,
perawakan pendek mungkin permanen. Dokter Anda akan mengukur tinggi anak Anda dan
kemudian merujuk pada bagan pertumbuhan. Bagan ini menunjukkan ketinggian rata-rata anak-
anak lain pada usia dan jenis kelamin yang sama. Dokter menganggap seorang anak bertubuh
pendek jika tinggi badan mereka berada dalam dua persen terendah dari kelompok sebaya
mereka.Tiga alasan utama untuk perawakan pendek adalah keterlambatan
pertumbuhan konstitusional, genetika dan penyakit.

5. Autisme
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pada anak yang sifatnya komplek
dan berat, biasanya telah terlihat sebelum berumur 3 tahun, tidak mampu untuk berkomunikasi
dan mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Akibatnya perilaku dan hubungannya
dengan orang lain menjadi terganggu, sehingga keadaan ini akan sangat mempengaruhi
perkembangan anak selanjutnya. Autisme dapat mengenai siapa saja tidak tergantung pada etnik,
tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi. Autisme bukanlah masalah baru, dari berbgai bukti yang
ada, diketahui kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Hanya saja istilahnya
relatif masih baru. Diperkirakan kira-kira sampai 15 tahun yang lalu, autisme merupakan suatu
gangguan yang masih jarang ditemukan, diperkirakan hanya 2-4 penyandang autisme. Tetapi
sekarang terjdi peningkatan jumlah penyandang autisme sampai lebih kurang 15-20 per 10.000
anak. Jika angka kelahiran pertahun di Indonesia 4,6 juta anak, maka jumlah penyandang
autisme pertahun akan bertambah dengan 0,15% yaitu 6900 anak.

Beberapa tahun yang lalu, penyebab autisme masih merupkan suatu misteri, oeh karena
itu banyak hipotesis yang berkembang mengenai penyebab autisme. Salah satu hipotesis yang
kemudian mendapat tanggapan yang luas adalah teori “ibu yang dingin”. Menurut teori ini
dikatakan bahwa anak masuk ke dalam dunianya sendiri oleh karena merasa ditolak oleh ibu
yang dingin. Teori ini banyak yang menentang karena banyak ibu yang bersifat hangat tetap
mempunyai anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme. Teori tersebut tidak memberi gambaran
secara pasti, sehingga hal ini mengakibatkan penanganan yang diberikan kurang tepat bahkan
tidak jarang berlawanan dan berakibat kurang menguntungan bagi pekembangan individu
autisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang kedokteran akhir-akhir
ini telah menginformasikan individu dengan gangguan autisme mengalami kelainan
neurobiologis pada susunan saraf pusat. Kelainan ini berupa pertumbuhan sel otak yang tidak
sempurna pada beberapa bagian otak. Gangguan pertumbuhan sel otak ini, terjadi selama
kehamilan, terutama kemahilan muda dimana sel-sel otak sedang dibentuk. Pemeriksaan dengan
alat khusus yang disebut Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada otak ditemukan adanya
kerusakan yang khas di dalam otak pada daerah apa yang disebut dengan limbik sistem (pusat
emosi). Pada umumnya individu autisme tidak dapat mengendalikan emosinya, sering agresif
terhadap orang lain dan diri sendiri, atau sangat pasif seolah- olah tidak mempunyai emosi.
Selain itu muncul pula perilaku yang berulang-ulang (stereotipik) dan hiperaktivitas. Kedua
peilaku tersebut erat kaitannya dengan adanya gangguan pada daerah limbik sistem di otak.
Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak yang
menimbulkan gangguan autisme di antaranya adanya pertumbuhan jamur Candida yang
berlebihan di dalam usus. Akibat terlalu banyak jamur , maka sekresi enzim ke dalam usus
berkurang. Kekurangan enzim menyebabkan makanan tak dapat dicerna dengan sempurna.
Beberapa protein jika tidak dicerna secara sempurna akan menjadi “racun” bagi tubuh. Protein
biasanya suatu rantai yang terdiri dari 20 asam amino. Bila pencernaan baik, maka rantai tersebut
seluruhnya dapat diputus dan ke-20 asam amino tersebut akan diserap oleh tubuh. Namun bila
pencernaan kurang baik, maka masih ada beberapa asam amino yang rantainya belum terputus.
Rangkaian yang terdiri dari beberapa asam amino disebut peptida. Oleh karena adanya
kebocoran usus , maka peptida tersebut diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam aliran
darah, menembus ke dalam otak. Di dalam otak peptida tersebut ditangkap oleh reseptor oploid,
dan ia berfungsi seperti opium atau morfin. Melimpahnya zat-zat yang bekerja seperti opium ini
ke dalam otak menyebabkan terganggunya kerja susunan saraf pusat. Yang terganggu biasanya
seperti persepsi, kognisi (kecerdasan), emosi, dan perilaku. Dimana gejalanya mirip dengan
gejala yang ada pada individu autisme. Tentu masih terdapat dugaan-dugaan lain yang
menimbulkan keruskan pada otak seperti adanya timbal , mercury atau zat beracun lainnya yang
termakan bersama makanan yang dikonsumsi ibu hamil, yang selanjutnya mempengaruhi
pertumbuhan otak janin yang dikandungnya. Apapun yang melatarbelakangi penyebab gangguan
pada individu autisme, yang jelas bukan karena ibu yang frigit (ibu yang tidak memberi
kehangatan kasih sayang), seperti yang dianut dahulu, akan tetapi gangguan pada autisme terjadi
erat kaitannya dengan gangguan pada otak.

Adapun ciri gangguan pada autisme tersebut adal;ah sebagai berikut:

1. Gangguan dalam komunikasi


- terlambat bicara, tidak ada usaha untuk berkomunikasi dengan gerak dan mimik -
meracau dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain
- sering mengulang apa yang dikatakan orang lain
- meniru kalimat-kalimat iklan atau nyanyian tanpa mengerti
- bicara tidak dipakai untuk komunikasi
- bila kata-kata telah diucapkan, ia tidak mengerti artinya
- tidak memahami pembicaraab orang lain
- menarik tangan orang lain bila menginginkan sesuatu

2. Gangguan dalam interaksi sosial


- menghindari atau menolak kontak mata
- tidak mau menengok bila dipanggil
- lebih asik main sendiri
- bila diajak main malah menjauh
- tidak dapat merasakan empati

3. Gangguan dalam tingkah laku


- asyik main sendiri
- tidak acuh terhadap lingkungan
- tidak mau diatur, semaunya
- menyakiti diri
- melamun, bengong dengan tatapan mata kosong
- kelekatan pada benda tertentu
- tingkah laku tidak terarah, mondar mandir tanpa tujuan, lari-lari, manjat-manjat,
berputar-putar, melompat-lompat, mengepak-ngepak tangan, berteriak-teriak, berjalan
berjinjit-jinjit.

4. Gangguan dalam emosi


- rasa takut terhadap objek yang sebenarnya tidak menakutkan
- tertawa, menangis, marah-marah sendiri tanpa sebab
- tidak dapat mengendalikan emosi; ngamuk bila tidak mendapatkan keinginannya

5. Gangguan dalam sensoris atau penginderaan


- menjilat-jilat benda
- mencium benda-benda atau makanan
- menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
- tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar

6. Retardasi Mental
Retardasi mental atau disabilitas intelektual adalah gangguan intelektual yang ditandai
dengan kemampuan mental atau intelegensi di bawah rata-rata. Orang dengan retardasi mental
mempelajari kemampuan baru, namun lebih lambat.
Terdapat berbagai derajat retardasi mental, mulai dari ringan hingga sangat berat.
Kemampuan intelegensi biasanya diukur dengan menggunakan skor IQ. Seseorang dikatakan
retardasi mental apabila didapati skor IQ < 70.

Gejala Retardasi Mental


Retardasi mental biasanya diketahui saat kecil. Terdapat beberapa gejala dan tanda dari
retardasi mental pada anak-anak. Gejala ini muncul bergantung dari berat ringannya
penyakit. Beberapa tanda dan gejala retardasi mental yaitu:
o Sering berputar, duduk-berdiri, merangkak, atau terlambat berjalan.
o Memiliki gangguan dalam berbicara, atau sering telat dalam berbicara.
o Lamban dalam memelajari sesuatu hal yang sederhana, seperti berpakaian,
membersihkan diri, dan makan.
o Kesulitan mengingat barang
o Kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain.
o Gangguan perilaku, seperti tantrum.
o Kesulitan dalam diskusi penyelesaian masalah atau pola pikir logis.
Anak dengan retardasi mental berat biasanya akan disertai dengan masalah kesehatan
lainnya. Masalah ini terkait kejang, gangguan mood (cemas dan autisme), kelainan
motorik, gangguan penglihatan atau gangguan pendengaran.

Penyebab Retardasi Mental


Retardasi mental disebabkan oleh gangguan perkembangan otak. Namun, penyebab pasti
dari retardasi mental hanya bisa ditentukan dengan pasti sepertiga dari seluruh angka
kejadian. Berikut ini penyebab paling sering dari retardasi mental:
o Kelainan genetik. Kelainan seperti sindrom down dan sindrom fragile X yang
berkaitan erat dengan kelainan genetik dapat menyebabkan retardasi mental.
o Masalah selama kehamilan, beberapa keadaan saat kehamilan dapat menyebabkan
gangguan perkembangan otak janin, seperti penggunaan alkohol, obat-obatan
terlarang, gizi buruk, infeksi, dan preeklamsia.
o Masalah selama masa bayi, Retardasi mental dapat disebabkan bayi yang selama
masa kelahiran tidak mendapatkan asupan oksigen yang cukup, atau bayi yang
sangat prematur sehingga paru-paru belum matang secara sempurna.
o Cedera atau penyakit yang lainnya, infeksi seperti meningitis, atau campak dapat
menyebabkan retardasi mental. Cedera kepala berat, keadaan hampir tenggelam,
malnutrisi ekstrem, infeksi otak dapat berpengaruh terhadap retardasi mental.

Faktor Risiko Retardasi Mental


Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko retardasi mental pada anak antara lain:
o Faktor biologis, contohnya pada kelainan kromosom pada pengidap sindrom
down.
o Faktor metabolik, beberapa kelainan metabolik dapat meningkatkan risiko
retardasi mental seperti penyakit phenylketonuria (PKU), dimana tubuh tidak
dapat mengubah asam amino fenilalanin menjadi tirosin.
o Faktor prenatal, perawatan pra kelahiran yang buruk dapat meningkatkan risiko
retardasi mental pada bayi, contohnya konsumsi alkohol pada kehamilan dan
infeksi cytomegalovirus saat kehamilan.
o Faktor psikososial, lingkungan rumah dan keluarga dapat menjadi penyebab
timbulnya retardasi mental terutama tipe sosio-kultural, yang merupakan retardasi
mental ringan.

Diagnosis Retardasi Mental


Retardasi mental dapat dicurigai dari beberapa sebab. Misal jika bayi memiliki
abnormalitas fisik karena kelainan genetik atau kelainan metabolik, berbagai macam
pemeriksaan dapat pula dikerjakan untuk menegakkan diagnosis tersebut. Pemeriksaan darah,
urine atau pencitraan otak dapat dilakukan untuk melihat kelainan struktural otak, atau
elektroensefalogram juga dapat dilakukan untuk melihat kemungkinan kejang yang dapat terjadi.
Tiga faktor yang dapat menentukan diagnosis retardasi mental yaitu: wawancara dengan
kedua orang tua, observasi terhadap anak, dan uji intelegensi dan kemampuan adaptif. Seorang
anak dapat dikatakan mengidap retardasi mental jika memiliki kekurangan dalam IQ dan
kemampuan adaptif.

7. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas


ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan
aktivitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktivitas anak-anak yang tidak lazim
dan cenderung berlebihan. Hal ini ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah,
tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang
tetap seperti sedang duduk, atau sedang berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering
digunakan adalah suka meletup-letup, aktivitas berlebihan, dan suka membuat keributan.
ADHD diperkirakan mempengaruhi sekitar 6-7% orang berusia kurang dari atau sama
dengan 18 tahun ketika didiagnosis melalui kriteria DSM-IV.[1] Ketika didiagnosis
melalui kriteria ICD-10 dalam kelompok usia ini diperkirakan sebesar 1-2%.[2] Anak laki-
laki dua kali lebih prevalen dibanding perempuan. Penyebab kebanyakan kasus ADHD
tidak diketahui; Namun, diyakini melibatkan interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan. ADHD mungkin sangat diwariskan, tetapi faktor genetik tertentu belum
ditegakkan. Kerabat tingkat pertama pasien dengan ADHD dilaporkan 2-8 kali lebih
mungkin untuk mengembangkan ADHD. Kisaran tingkat heritabilitas dilaporkan 71% -
90% dalam beberapa studi kembar. komponen genetik calon mencakup:[6]
 gen dopaminergik: gen reseptor dopamin DRD4 dan DRD5, dan dopamin gen
transporter DAT1
 gen serotonergik 5HTT (protein pembawa terlibat dalam reuptake serotonin) dan reseptor
serotonin HTR1B
 SNAP-25 (protein yang terkait dengan pelepasan neurotransmitter, plastisitas sinaptik,
dan pertumbuhan aksonal)
 varian jumlah kopi langka

Selain itu adapula faktor sosial seperti konflik keluarga, sosial ekonomi keluarga yang tidak
memadai., jumlah keluarga yang terlalu besar, orang tua terkena kasus kriminal, orang tua
dengan gangguan jiwa (psikopat), anak yang diasuh di penitipan anak, riwayat kehamilan
dengan eklampsia, perdarahan antepartum, fetal distress, bayi lahir dengan berat badan lahir
rendah, ibu merokok saat hamil, dan alkohol.
Gejala yang timbul dapat bervariasi mulai dari yang ringan hingga yang berat, gejala ADHD
sudah dapat dilihat sejak usia bayi, gejala yang harus dicermai sensitif terhadap suara dan cahaya,
menangis, suka menjerit dan sulit tidur. Waktu tidur yang kurang sehingga bayi seringkali
terbangun. Sulit makan dan minum ASI. Tidak senang digendong, suka membenturkan kepala,
dan sering marah berlebihan. Keluhan yang terlihat pada anak yang lebih besar adalah, tampak
canggung, sering mengalami kecelakaan, perilaku berubah-ubah, gerakan konstan atau monoton,
lebih ribut dibandingkan anak-anak lainnya, kurang konsentrasi, tidak bisa diam, mudah marah,
nafsu makan buruk, koordinasi mata dan tangan tidak baik, suka menyakiti diri sendiri, dan
gangguan tidur.
Untuk mempermudah diagnosis pada ADHD harus memiliki tiga gejala utama yang tampak pada
perilaku seorang anak yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif.

 Inatensi
Kurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian misalnya jarang menyelesaikan perintah
sampai tuntas, mainan sering tertinggal, sering membuat kesalahan, mudah beralih perhatian
(terutama oleh rangsang suara).

 Hiperaktif
Perilaku yang tidak bisa diam, seperti banyak bicara, tidak dapat tenang/diam (mempunyai
kebutuhan untuk selalu bergerak), sering membuat gaduh suasana, selalu memegang apa yang
dilihat, sulit untuk duduk diam, lebih gelisah dan impulsif dibandingkan dengan mereka yang
seusia, suka teriak-teriak.

 Impulsif
Kesulitan untuk menunda respon (dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak
sabar) seperti sering mengambil mainan teman dengan paksa, tidak sabaran, reaktif, sering
bertindak tanpa dipikir dahulu.
Gejala-gejala lainnya yaitu sikap menentang, cemas, dan memiliki masalah sosial. (i) Sikap
menentang seperti sering melanggar peraturan, bermasalah dengan orang-orang yang
memiliki otoritas, lebih mudah merasa terganggu, mudah marah (dibandingkan dengan mereka
yang seusia). (ii) Rasa cemas seperti banyak mengalami rasa khawatir dan takut,
cenderung emosional, sangat sensitif terhadap kritikan, mengalami kecemasan pada situasi yang
baru atau yang tidak familiar, terlihat sangat pemalu dan menarik diri. (iii) Masalah sosial seperti
hanya memiliki sedikit teman, sering memiliki rasa rendah diri dan tidak percaya diri.

Anda mungkin juga menyukai