Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang
menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri.
Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk pemenuhan
kebutuhan biologis manusia. Tetapi ia punya tujuan lain yang lebih mulia
sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 1 yang berbunyi, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Di dalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan
mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga sehingga
tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun, terkadang
di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga. Hal inilah yang
dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian. Di dalam
agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat
dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan
hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu
menjadi keluarga yang utuh. Akibat dari adanya perceraian inilah yang
menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang perempuan untuk
“beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Iddah dan nafkah?
2. Apa saja macam-macam Iddah?
3. Bagaimana kewajiban nafkah Iddah dan gugurnya nafkah Iddah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami dan mengerti pengertian definisi dari Iddah dan
nafkah
2. Untuk memahami dan mengerti macam-macam dari Iddah
3. Untuk memahami dan mengerti kewajiban nafkah Iddah dan gugurnya
nafkah Iddah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Iddah dan Nafkah


1. Iddah
Pengertian Iddah
Kata ‘iddah berasal dari kata ‘idad dalam bahasa arab yang
berarti bilangan atau hitungan. Dan, dalam istilah fiqih berarti masa
menunggu yang harus dijalani seorang mantan istri yang ditalak
atau ditinggal mati oleh suaminya, sebelum ia dibolehkan menikah
kembali.1. Iddah adalah jangka waktu yang ditetapkan syara’
setelah perceraian. ‘Iddah merupakan jangka waktu saat wanita
yang telah ditalak tidak boleh melakukan pernikahan sampai
jangka waktu tersebut berakhir.
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari
suaminya, berlaku baginya waktu tunggu (masa iddah), kecuali
apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla
al-dukhul), baik karena kematian, perceraian, atau atas keputusan
pengadilan. Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dituangkan dalam pasal 11:
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu.
2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan
diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975, masalah
ini dijelaskan dalam Bab VII Pasal 39. Sementara dalam kompilasi
hukum islam dijelaskan pada Pasal 153, 154, dan 155. Pada pasal
153 ayat (1) kompilasi menyatakan: “bagi seorang istri yang putus
perkawinannya berlaku waktu tunggu atau ‘iddah, kecuali qabla al-

1
Muhammad Baqir, Fiqih Praktis II (menurut Al-qur’an, As-sunnah, dan Pendapat para Ulama)
buku kedua (seputar pernikahan dan warisan), 2008, h. 221

3
dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”.
(lihat pasal 39 PP Nomor 9 tahun 1975). Dasarnya, firman Allah
dalam surat Al-Ahzab [33]:49:
‫طلَّ ْقت ُ ُموه َُّن ِمن قَ ْب ِل أَن ت َ َمسُّوه َُّن فَ َما لَ ُك ْم‬ ِ َ‫َٰ َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا ِإذَا نَ َكحْ ت ُ ُم ْٱل ُمؤْ ِم َٰن‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
‫س َرا ًحا َج ِميا‬ َ ‫س ِر ُحوه َُّن‬ َ ‫َع َل ْي ِه َّن ِم ْن ِعدَّةٍ ت َ ْعتَدُّونَ َها فَ َمتِعُوه َُّن َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, apa bila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu
menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-
kali tidak wajib atas mereka ’iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya, maka berilah mereka mut’ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya”. 2

‘iddah, yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan


agar diketahui kandungannya berisi atau tidak. ‘iddah dapat terjadi
kadangkala dengan melahirkan, dan dengan beberapa bulan, atau
quru’ pada yang lain.3

2. Nafkah
Pengertian Nafkah
Nafkah secara bahasa, an-nafaqat adalah bentuk jamak dari
kata nafaqah kata kerja yang dibendakan (mashdar) al-infaq, yaitu
memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridho Tuhan.
Sedangkan menurut istilah nafkah adalah kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan istri dalam menyediakan makanan, tempat
tinggal, pakaian, dan obat-obatan.4

2
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Ed Revisi, (Jakarta:Rajawali Pers, 2013), h.
245-246
3
Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar (kelengkapan orang
shaleh) bgn k-2, (Surabaya: Bima Iman, 2003), h. 256
4
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, (Jakarta:Almahira, 2010), h.41.

4
Dalam kamus bahasa Indonesia nafkah juga dapat diartikan
dengan “bekal hidup sehari-hari atau belanja untuk memelihara
kehidupan”.5
Bila seseorang dikatakan memberikan nafaqah membuat
harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkan
atau dipergikannya untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini
dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti : “sesuatu yang
dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga
menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan demikian
nafaqah isteri berarti pemberian yang wajib dilakukan suami
terhadap istrinya dalam masa perkawinannya.6
Ada pula ulama yang berpendapat bahwa nafkah hak istri
yang merupakan kewajiban suami semenjak adanya hubungan atau
ikatan untuk hidup bersama, yaitu pemberian nafkah dengan adil
kepada istri menurut adat kebiasaan dan lingkungan masyarakat
dimana istri tinggal.7
Nafaqah adalah kewajiban suami yang harus dipikulnya
terhadap istrinya. Nafaqah merupakan kebutuhan pokok bagi
kehidupan suatu keluarga , tidak nyaman kehidupan keluarga tanpa
ketiga hal tersebut. Hal yang telah disepakati oleh ulama kebutuhan
pokok yang wajib dipenuhi suami sebagai nafaqah adalah pangan,
sandang, dan papan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam permasalahan nafkah
terjadi ketika akad selesai secara sah. Pelaksanaan pemberian
nafkah kepada isteri dimulai sejak ditetapkannya sebuah
perkawinan. Setelah itu suami berkewajiban penuh kepada isteri
dalam hal pemberian nafkah kepada isteri secara langsung.

5
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), Cet. ke -1, h.267.
6
Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, ( Jakarta: Kencana, 2009 ), Cet Ke-3, h.165.
7
A.Rahman I DJI , Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada , 2002), Cet. Ke-1, h.267.

5
Dalam menjalani sebuah hubungan ada yang namanya hak
dan kewajiban, begitu juga dengan perkawinan, suami isteri
mempunyai hak dan kewajiban , salah satu diantaranya ialah suami
wajib memberi biaya hidup pada isterinya yang lebih dikenal
dalam istilah fiqih disebut dengan nafkah. Memberi nafkah kepada
isteri hukumnya wajib.
Kewajiban memberikan nafakah oleh suami kepada
isterinya yang berlaku dalam fiqih didasarkan kepada prinsip
pemisahan harta antara suami dan isteri. Prinsip ini mengikuti alur
pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki, rezeki yang telah
diperoleh itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya
berkedudukan sebagai pemberi nafaqah. Sebaliknya isteri bukan
pemberi rezeki melainkan ia berkedudukan sebagai penrima
nafaqah.8
Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat dismpulkan bahwa nafkah adalah sesuatu yang
diberikan suami terhadap istri untuk mencukupi kebutuhannya
yang berupa pakaian, makanan, tempat tinggal, dan sebagainya
menurut kadar kemampuan suami setelah adanya ikatan
perkawinan yang sah.
Kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri ini tidak
memandang status sosial suami baik dia seorang yang kaya
maupun miskin, ataupun sebaliknya. Nafkah adalah persoalan yang
sangat berat dan harus ditanggung laki-laki sebagai seorang
suami.9
B. Macam-macam Iddah
Ditinjau dari sebab terjadinya perceraian, idah dapat dibagi dua,
yaitu idah kematian dan idah talak. Ditinjau dari perhitungan masanya,

8
Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, ( Jakarta: Kencana, 2009 ), Cet. Ke-3, h.165.
9
Fuad Kauman dan Nipan , Membimbing Istri Mendampingi Suami, ( Yogyakarta: Mitra Pustaka,
1998 ), h.81.

6
idah dibagi tiga, yaitu idah dengan perhitungan bulan, idah dengan
perhitungan suci dari mens dan idah dengan melahirkan kandungan.
Idah Kematian
Istri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani idah sebagai berikut.
a. Bagi istri yang tidak dalam keadaan hamil, baik sudah pernah
berkumpul dengan suaminya ataupun belum, idahnya adalah empat
bulan sepuluh hari, sesuai ketentuan QS Al-Baqarah: 234.
‫َوالَّذِينَ يُت ََوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو َع ْش ًرا ۖ فَإِذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن‬
‫َّللاُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِير‬ ِ ‫فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي أ َ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْع ُر‬
َّ ‫وف ۗ َو‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis
'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat.

b. Bagi istri yang dalam keadaan hamil, idahnya adalah sampai


melahirkan meskipun waktu antara ditinggal mati dan melahirkan
kurang dari empat bulan sepuluh hari. Mayoritas (Jumhur) Ulama,
menurut Ibn Rusyd10 berpendapat bahwa masa ‘iddah wanita tersebut
adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami
hingga ia melahirkan hanya setengah bulan, atau kurang dari 130 hari.
Lain halnya menurut sahabat Ali bin Abi Thalib,apabila antara
kelahiran dan melahirkan kandungan kurang dari empat bulan sepuluh
hari, idahnya harus dicukupkan sampai empat bulan sepuluh hari .
Jumhur fukaha berpegang pada dalil QS Ath-Thalaq: 4 yang
menetukan idah hamil sampai melahirkan, terpisah dari ketentuan ayat
234 QS Al-Baqarah. Adapun sahabat Ali menggunakan dua ayata
tersebut bersama-sama.

10
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid juz 2, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.), h. 72.

7
Untuk lebih jelasnya, QS Al-Baqarah: 234 menentukan,
‫َوالَّذِينَ يُت ََوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو َع ْش ًرا ۖ فَإِذَا‬
‫َّللاُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِير‬ َّ ‫وف ۗ َو‬ِ ‫بَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَعَ ْلنَ فِي أ َ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْع ُر‬
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan
meninggalkan istri-istri, hendaklah istri-istri itu menjalani masa idah
selama empat bulan sepuluh hari.”
QS Ath-Thalaq: 4 menetukan
ۚ َ‫الَلئِي لَ ْم يَ ِحضْن‬ َّ ‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ث َ ََلثَةُ أَ ْش ُه ٍر َو‬
ْ ‫سائِ ُك ْم إِ ِن‬َ ِ‫يض ِم ْن ن‬ ِ ‫الَلئِي يَئِسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
َّ ‫َو‬
‫َّللاَ يَجْ عَ ْل لَهُ ِم ْن أ َ ْم ِر ِه يُس ًْرا‬
َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ َو َم ْن يَت‬ َ ُ ‫َوأ‬
َ َ‫وَلتُ ْاْلَحْ َما ِل أ َ َجلُ ُه َّن أ َ ْن ي‬
"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”
Jumhur fukaha berpendapat bahwa dua buah ayat tersebut masing-
masing berdiri sendiri dengan ketentuan hukum yang dikandungnya.
Sedang sahabat Ali memandang dua ayat itu berhubungan satu sama
lain. Istri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani idah mana
yang terpanjang antara empat bulan sepuluh hari atau melahirkan
kandungannya.
Dapat ditambahkan bahwa yang dimaksud dengan melahirkan
kandungan itu tidak disyaratkan harus telah sampai waktunya lahir
dalam keadaan biasa,tetapi termasuk juga segala macam bentuk
melahirkan karena keguguran sebelum waktunya. Asal rahimnya telah
kosong dengan keluarnya janin, telah dipandang habis idahnya.
Berbeda halnya apabila yang keluar masih berupa gumpalan-
gumpalan darah sebelum berbentuk janin sama sekali, berlaku
ketentuan idah empat bulan sepuluh hari.

8
Seandainya suami menceraikan istrinya dengan talak Raj’yi
(talak yang masih memungkinkan rujuk) tetapi kemudian meninggal
dunia sementara si istri masih menjalani ‘Iddah-Nya, maka ‘Iddah si
istri berubah menjadi ‘Iddah kematian, yaitu (4 bulan 10 hari (hitung
sejak saat wafat mantan suaminya itu). Ini mengingat bahwa si istri
pada saat itu kematian suaminya masih tetap dianggap sebagai istrinya
yang sah, dan yang karenanya tetap menjadi salah seorang ahli
warisnya juga. Lain halnya jika ia sedang menjalani masa ‘Iddah dari
talak Ba’in (talak yang tidak mungkin dirujuk lagi) maka ‘Iddahnya
tetap tiga kali masa suci, dan tidak berubah menjadi ‘Iddah kematian.
Ini mengingat bahwa sejak dijatuhkannya talak Ba’in, ia bukan lagi
status istri yang sah dari mantan suami yang kini meninggal dunia.11
Idah Talak ( Putus Perkawinan karena Perceraian)
Istri yang bercerai dari suaminya dengan jalan talak harus menjalani masa
idah sebagai berikut:

a. Bagi istri yang ditalak dalam keadaan hamil, idahnya adalah sampai
melahirkan kandungan, dengan ketentuan-ketentuan seperti tesebut di
atas, yaitu yang dilahirkan benar-benar telah berbentuk janin,
meskipun lahir sebelum masanya (prematur), bukan sekadar keguguran
yang masih berupa gumpalan-gumpalan darah, beralasan QS Ath
Thalaq: 4
ۚ َ‫الَلئِي لَ ْم يَ ِحضْن‬ َّ ‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ث َ ََلثَةُ أ َ ْش ُه ٍر َو‬
ْ ‫سائِ ُك ْم إِ ِن‬ َ ِ‫يض ِم ْن ن‬ ِ ‫الَلئِي يَئِسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
َّ ‫َو‬
‫َّللاَ يَجْ عَ ْل لَهُ ِم ْن أ َ ْم ِر ِه يُس ًْرا‬
َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ َو َم ْن يَت‬ َ ُ ‫َوأ‬
َ َ‫وَلتُ ْاْلَحْ َما ِل أ َ َجلُ ُه َّن أ َ ْن ي‬
" Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada

11
Muhammad Baqir, Fiqih Praktis II (menurut al-qur’an, as-sunnah, dan pendapat para ulama),
h. 224

9
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.
b. Bagi istri yang tidak dalam keadaan hamil ada enam macam idah yaitu
sebagai berikut:
 Apabila istri dicerai sebelum terjadi hubungan kelamin, maka tidak
berlaku masa ‘iddah baginya (QS Al-Ahzab [33]:49).
‫طلَّ ْقت ُ ُموه َُّن ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن تَ َمسُّوه َُّن فَ َما لَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا نَ َكحْ ت ُ ُم ْال ُمؤْ ِمنَا‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
‫يَل‬ً ‫س َرا ًحا َج ِم‬ َ ‫س ِر ُحوه َُّن‬ َ ‫ِم ْن ِعدَّةٍ ت َ ْعتَدُّو َن َها ۖ فَ َم ِتعُوه َُّن َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak
wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
 masih dapat mengalami mens, idahnya adalah tiga kali suci,
termasuk suci pada waktu terjadi talak, asal sebelumnya tidak
dilakukan hubungan suami istri, sesuai ketentuan QS Al-Baqarah:
228
َّ َ‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ََلثَةَ قُ ُروءٍ ۚ َو ََل يَ ِح ُّل لَ ُه َّن أ َ ْن َي ْكت ُ ْمنَ َما َخلَق‬
‫َّللاُ فِي‬ َ ‫َو ْال ُم‬
‫اَّللِ َو ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ َوبُعُولَت ُ ُه َّن أَ َح ُّق بِ َر ِده َِّن فِي َٰذَلِكَ إِ ْن أ َ َرادُوا‬ ِ ‫أ َ ْر َح‬
َّ ِ‫ام ِه َّن إِ ْن ُك َّن يُؤْ ِم َّن ب‬
‫َّللاُ َع ِزيز َح ِكيم‬ ِ ‫ص ََل ًحا ۚ َولَ ُه َّن ِمثْ ُل الَّذِي َعلَ ْي ِه َّن ِب ْال َم ْع ُر‬
َّ ‫وف ۚ َو ِل ِلر َجا ِل َعلَ ْي ِه َّن دَ َر َجة ۗ َو‬ ْ ‫ِإ‬
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

10
 Bagi istri yang tidak pernah atau sudah tidak dapat lagi mengalami
mens, idahnya adalah tiga bulan atau 90 hari, berdasar ketentuan
QS Ath-Thalaq: 4
ۚ َ‫الَلئِي لَ ْم يَ ِحضْن‬ َّ ‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ث َ ََلثَةُ أ َ ْش ُه ٍر َو‬
ْ ‫سائِ ُك ْم ِإ ِن‬
َ ‫يض ِم ْن ِن‬ ِ ‫الَلئِي يَئِسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
َّ ‫َو‬
‫َّللاَ َيجْ َع ْل لَهُ ِم ْن أَ ْم ِر ِه يُس ًْرا‬
َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ َو َم ْن َيت‬ َ ُ ‫َوأ‬
َ ‫وَلتُ ْاْلَحْ َما ِل أ َ َجلُ ُه َّن أ َ ْن َي‬
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.”
 Bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani ‘iddah
tidak haid karena menyusui maka ‘iddahnya tiga (3) kali waktu
suci (Ps. 153 ayat (5) KHI)

 Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena menyusui,


maka ‘iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu
satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka ‘iddahnya menjadi
tiga kali suci.12

 Perempuan dalam keadaan ‘iddah Ba’in yang tidak sedang


mengandung, baik talak tebus (khuluk) atau talak tiga, hanya
berhak memperoleh tempat tinggal. Demikian itu menurut
pendapat Malik dan Syafi’i. sedangkan menurut Abu Hanifah, ia
berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal selama masa
‘iddahnya, sama seperti dalam ‘iddah akibat talak Raj’yi,
mengingat bahwa ia diharuskan menjalani masa iddahnya dirumah

12
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 248

11
yang menjadi tempat tinggalnya pada saat masih berlangsungnya
ikatan perkawinan dengan mantan suaminya.13
c. Putus perkawinan karena Khulu’, fasakh, dan li’an
Waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’
(cerai gugat atas dasar tebusan atau ‘iwadl dari istri), fasakh (putus
perkawinan misalnya karena salah satu murtad atau sebab lain yang
seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau li’an, maka waktu
tunggu berlaku seperti ‘iddah Karenna talak.
d. Istri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suami dalam situasi ‘Iddah
Apabila istri ditalak Raj’I kemudian dalam waktu ‘iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat
(6) pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka ‘iddahnya
berubah menjadi (4 bulan 10 hari / 130 hari) terhitung saat wafat
suaminya. Jadi dalam hal ini, masa ‘iddhanya yang telah dilalui pada
saat suaminya masih hidup tidak dihitung, akan tetapi dihitung dari
saat kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama menjalani
masa ‘iddah, dianggap masih terikat dalam perkawinan, karena
memang bekas suaminya itulah yang berhal untuk merujuknya, selama
masih dalam masa ‘iddah.
Suami menemui istrinya yang sedang menjalani masa ‘iddah,
menurut pendapat Abu Hanifah r.a., tidak ada salahnya bagi seorang
perempuan yang menjalani masa ‘iddah akibat talak Raj’yi (‘iddah
yang masih memungkinkan rujuk dengan suaminya) untuk berdandan
bagi suaminya, memakai wangi-wangian dan perhiasan seperti kalung,
gelang, dan sebagainya, juga pakaian yang bagus-bagus, meski dengan
catatan bahwa suaminya tidak dibenarkan menemuianya secara tiba-
tiba, melaikan dengan cara sedemikian sehingga membuat si istri
mengertahui kedatangannya. Misalnya dengan ucapan salam atau
gerakan tertentu (berdehem dan sebagainya).

13
Muhammad Baqir. Fiqih Praktis II, (menurut al-qur’an, as-sunnah, dan pendapat para ulama),
h. 225

12
Demikian pula beberapa pengikut mazhab Syafi’I r.a. menyatakan
bahwa seorang perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah akibat
talak Raj’yi, sebaiknya berhias bagi suaminya sedemikian rupa
sehingga muda-mudahan dapat mendorong terjadinya rujukan diantara
mereka.
Tenggang waktu hitungan masa ‘iddah
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa salah satu
prinsip atau asas yang telah ditekankan dalam hukum perkawinan
Islam di Indonesia adalah mempersulit terjadinya perceraian, maka
perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan agama
setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak (Ps. 115 KHI), oleh karena itu,
tenggang waktu tunggu dijatuhkan pada saat putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan
yang putus karena kematian, tenggangan waktu tunggu dihitung saat
kematian suami (Ps. 39 ayat (3) PP. jo. Ps. 153 ayat (4) KHI).
Ketentuan hukum tentang tenggang waktu hitungan waktu
tunggu (‘iddah) tersebut adalah sebagai idealitas hukum. Dalam
kenyataannya, memungkinkan timbulnya persoalan, yaitu apabila
karena factor emosi yang tidak terkendali, sehingga seorang suami
dengan sangat gampang mengucapkan talak atau menceraikan
istrinya, dan diperburuk oleh kekurangtahuan tentang prosedur
perceraian dipengadilan, sehingga ia tidak dapat menahan diri dalam
mencerai istrinya didepan sidang pengadilan, dan mengucap talak
pada waktu itu juga, maka sejak saat itu terjadi perceraian.

13
C. Kewajiban Nafakah Iddah Dan Gugurnya
a. Kewajiban Perempuan Dalam Masa Idah
Perempuan yang sedang menjalani idah wajib memperhatikan dua
macam hal sebagai berikut:
1. Istri yang ditinggal mati suaminya harus menunjukkan rasa
berkabung, tidak mengenakan perhiasan dan wangi-wangian
selama masa idah, yaitu empat bulan sepuluh hari atau sampai
melahirkan kandungan.
Tidak mengenakan perhiasan dan wangi-wangian juga
diwajibkan terhadap perempuan yang menjalani idah talak
bain, dengan masksud agar jangan seperti orang yang menanti
pinangan laki-laki lain.
Bagi perempuan yang menjalani idah talak raj’i, diutamakan
berhias di muka bekas suami dengan tujuan agar ia dapat
menarik bekas suami untuk merujuknya.
2. Perempuan dalam masa idah harus tetap tinggal di rumah yang
disediakan bekas suami. Suami tidak boleh menyuruh pergi
dari rumah, dan perempuan pun tidak boleh keluar atas
kehendak sendiri.
Bagi perempuan yang dalam masa idah kematian, tetap
tinggal di rumah itu termasuk rangkaian berkabung. Bagi
perempuan yang menjalani idah talak bain, tetap tinggal di
rumah itu dimaksudkan agar tidak seperti menarik laki-laki
untuk melamarnya.
Bagi perempuan yang menjalani idah talak raj’i, tetap
tinggal di rumah itu dengan harapan akan timbul perasaan lain
pada suami sehingga akhirnya mengambil ketetapan untuk
merujuk istrinya. Perempuan dalam masa idah hanya
dibenarkan meninggalkan rumah tanpa alasan yang sah
dipandang nusyus, membangkang dari kewajibannya, dan
karena menjadi gugurlah haknya atas nafkah idah.

14
Namun, ini tidak berarti bahwa perempuan dalam idah itu
tidak dibolehkan sama sekali keluar rumah untuk memenuhi
keperluan sehari-hari dan keperluan-keperluan lain yang
dibenarkan syarak.
b. Nafkah Idah
Para fukaha sepakat bahwa perempuan yang sedang dalam idah
talak raj’i berhak atas nafkah dari bekas suami. Nafkah yang dimaksud
di sini ialah nafkah seperti yang diberikan sebelum terjadi perceraian.
Para fukaha berselisih pendapat mengenai hak nafkah perempuan
yang sedang dalam idah talak bain. Menurut pendapat Imam Abu
Hanifah, perempuan dalam idah talak bain berhak juga atas nafkah
sebab selama menjalani idah ia harus tetap tinggal di rumah bekas
suami.
Imam Malik dan Syafii berpendapat bahwa perempuan dalam idah
talak bain berhak nafkah apabila dalam keadaan hamil. Apabila tidak
dalam keadaan hamil, ia hanya berhak tempat tinggal saja.
Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan dalam
idah talak bain tidak berhak nafkah bahkan juga tidak diberi tempat
tinggal.
Menurut hemat kami, pendapat Imam Abu Hanifah yang memberi
hak nafkah kepada perempuan dalam idah talak bain, baik dalam
keadaan hamil atau tidak, lebih sesuai dengan kedudukan wanita yang
tengah menjalani idah di rumah suami itu.
Dapat ditambahkan, ada beberapa macam perempuan yang
menjalani idah tetapi tidak berhak nafkah, yaitu:
1. Perempuan yang menjalani idah kematian, Wajib nafkah tidak
dapat dibebankan kepada suami yang telah meninggal, dengan
jalan ahli warisnya yang melaksanakan dengan jalan
menyisihkan harta peninggalan suami.

15
2. Perempuan yang menjalani idah karena suatu perceraian yang
wajib dilaksanakan menurut ketentuan syarak, seperti terjadi
fasakh karena akad nikah tidak memenuhi syarat-syarat sahnya.
3. Perempuan yang menjalani idah karena perceraian yang
disebabkan oleh istri dengan jalan yang dilarang syarak, seperti
istri murtad dari Islam, dan tidak mau memeluk agama samawi
(Yahudi dan Nasrani) atau karena berbuat zina dengan ayah
atau anak suami.
c. Nafkah Setelah Habis Idah
Perempuan yang telah selesai menjalani masa idah berhak
meninggalkan rumah idah dan dapat pula melakukan perkawinan
dengan laki-laki lain. Oleh karena itu, nafkah dari bekas suami sudah
terputus, atau dengan kata lain bekas suami sudah tidak wajib memberi
nafkah lagi.
Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 Pasal 41 Ayat c
menentukan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
Apabila ketentuan tersebut kita hadapkan kepada hukum Islam,
jalan apakah yang dapat ditempuh untuk mendapatkan persesuaiannya?
Sementara kita dapat memperoleh jalan persesuaiannya dengan
ketentuan QS Al-Baqarah: 241 yang menegaskan bahwa perempuan-
perempuan yang ditalak berhak atas mata’ dengan cara makruf,
sebagai hak atas orang-orang yang bertakwa.
Mata’ dengan cara makruf biasanya diartikan sebagai hiburan yang
pantas, berupa sejumlah harta yang diberikan kepada istri yang ditalak
itu. Ini merupakan beban yang harus dipenuhi orang-orang yang
bertakwa. Untuk memperluas arti mata’ sebagaimana disebutkan
dalam Alquran itu, yang dikaitkan pula dengan makruf ( yang pantas),
tidak ada halangannya apabila pengadilan dalam kasus-kasus
perceraian tertentu menentukan ujud dari mata’ itu berupa sejumlah

16
uang yang dapat menjadi biaya hidup bekas istri sehabis masa idah,
untuk waktu tertentu.
Misalnya, suami yang tergolong kaya menceraikan istrinya bukan
karena kesalahan pihak istri, bahkan istri itu sebenarnya termasuk yang
taat kepada suami. Dalam kasus seperti ini, mata’ yang menjadi hak
istri yang ditalak dapat berupa biaya hidup untuk jangka waktu
tertentu, atau bahkan dapat merupakan biaya selama hidupnya. Namun,
untuk menetukan keputusan demikian itu harus selalu tegak di atas
nilai keadilan, tidak membenani suami dengan kewajiban-kewajiban
yang tidak wajar, dan tidak bertendensi berat sebelah untuk
kepentingan istri.

17
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Pengertian Idah : Kata ‘iddah berasal dari kata ‘idad dalam bahasa arab
yang berarti bilangan atau hitungan. Dan, dalam istilah fiqih berarti masa
menunggu yang harus dijalani seorang mantan istri yang ditalak atau
ditinggal mati oleh suaminya, sebelum ia dibolehkan menikah kembali.
Iddah adalah jangka waktu yang ditetapkan syara’ setelah perceraian.
‘Iddah merupakan jangka waktu saat wanita yang telah ditalak tidak boleh
melakukan pernikahan sampai jangka waktu tersebut berakhir.

Pengertian Nafkah : secara bahasa, an-nafaqat adalah bentuk jamak dari


kata nafaqah kata kerja yang dibendakan (mashdar) al-infaq, yaitu
memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridho Tuhan. Sedangkan
menurut istilah nafkah adalah kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan istri dalam menyediakan makanan, tempat tinggal, pakaian, dan
obat-obatan.

2. Macam-macam idah ada dua yaitu:


Idah kematian ( istri yang ditinggal mati suami)
Idah talak ( putus perkawinan karena perceraian )
3. Kewajiban nafkah iddah bagi perempuan yaitu apabila perempuan tersebut
memiliki rasa berkabung, menempati rumah yang disediakan oleh bekas
suami, tidak memakai perhiasan selama masa idah. Dan gugurnya nafkah
idah apabila istri tersebut membangkang dari kewajibannya, murtad dari
Islam, serta berperilaku buruk akan perbuatannya.

18

Anda mungkin juga menyukai