Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN FRAKTUR DI RUANGAN BIMA RSUD SANJIWANI


GIANYAR

OLEH
Ni Kadek Novia Aristanti
16.321.2555
A10-C

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
TAHUN 2019
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Brunner & Suddarth, 2002).
 Faktur adalah terputusnya suatu hubungan kontinuitas dari jaringan tulang (Depkes
RI, 1991).
 Femur merupakan tulang terpanjang dan terbesar di dalam tulang kerangka pada
bgian pangkal yang berhubungan dengan asetabolum membentuk kepala sendi yang
disebut kaput femoris.(Syaifudin, Anatomi fisiologi, edisi I, 1995)
 Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti
degenerasi tulang/osteoporosis. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002).
 Fraktur femur adalah terputusnya hubungan kontinuitas di jaringan tulang pada
bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabolum membentuk kepala sandi
yang disebut kaput femoris.
 Fraktur columna femur merupakan fraktur intrakapsular yang terjadi pada bagian
proksimal femur, yang termasuk columna femur adalah mulai dari bagian distal
permukaan kaput femoris sampai dengan pagian proksimal dari intertrokanter.

2. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare. 2002 penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik dapat disebabkan oleh :
 Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan.
 Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan
misalnya jatuh dengan kaki berjulur sehingga menyebabkan fraktur
 Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat
b. Fraktur patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur yang dapat terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
 Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif
 Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan nyeri
 Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skeletal lain biasanya disebabkan oleh defisiensi
diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau
oleh karena asupan kalsium dan fosfat yang rendah.
 Osteoporosis
c. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan
orang yang bertugas di kemiliteran.

3. Patofisiologi
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya
dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik, patologik. Kemampuan
otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka maupun yang tertutup. Kerusakan
pembuluh darah menyebabkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP
menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi
plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan didalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan
rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler
yang dapat menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping
itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang memungkinkan dapat terjadi
infeksi terkontaminasi dengan udara luardan kerusakan jaringan lunak akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma gangguan metabolik, patologik yang terjadi terbuka atau
tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan
tetep pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2006 : 1183)
Jelas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya pembuluh darah
sekitar yang dapat menyebabkan ternyadinya perdarahan. Respon ini terhadap
kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh vasokonstriksi progresif
dari kulit, otot dan sirkulasi viseral. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya
volume darah yang akut adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga
output jantung, pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan
pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolic dan mengurangi
tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi
organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan kedalam sirkulasi
sewaktu terjadinya syok, termasuk histamine, bradikinin beta-endropin dan sejumlah
besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain.subtansi ini berdampak besar pada mikro-
sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini,
mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan
cara kontraksi volume darah dalm sistem vena sistemik. Cara yang paling efektif untuk
memulihkan kardiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak
adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolism
aerobic normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan
berpindah ke metabolism anareobik, hal mana mengakibatkan pembentukan asam
laktat dan berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan
penyampaian substrat untuk pembentukan ATP ( adenosine triphosphat) tidak
memadai, maka membrane sel tidak dapat lagi mempertahakan integritasnya dan
gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan reticulum endoplasmic merupakan
tanda ultra structural pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan
diikuti cedar mitrokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan
sturktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel. Juga
terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bilaproses ini berjalan terus, terjalilah
cerdera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses
ini memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi. (Purwandinata,2000)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan
aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati (Corwin,2000)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatkan tekanan jaringan, okulasi darah total dapat berakibat
anoksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & Suddarth, 2005).

4. Klasifikasi
Menurut Apley, A. Graham. 1995 klasifikasi dari fraktur yaitu :
1. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar:
a. Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak menonjol melalui kulit
b. Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi
infeksi.
2. Berdasarkan luas dan garis fraktur:
a. Fraktur complete adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas
sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya
menyeberangkan dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
b. Fraktur incomplete adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan
garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada
korteks yang utuh)
3. Berdasarkan garis patah tulang:
a. Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang
b. Transverse yaitu patah melintang
c. Longitudinal yaitu patah memanjang
d. Obligue yaitu garis patah miring
e. Spiral yaitu patah melingkar

5. Manifestasi Klinis
Menurut Muttaqin, A. 2008 manifestasi klinis dari fraktur :
1. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atu kerusakan
jaringan sekitarnya.
2. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur
dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
3. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
4. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,nyeri atau spasme otot, paralysis
dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
6. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan.
7. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
8. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan
otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan menyebabkan tulang
kehilangan bentuk normalnya.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan :
a. Pemeriksaan Rontgen
Menentukan lokasi atau luasnya farktur atau trauma
b. Scan tulang, Tomograf, Scan CT/MRI
Memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
c. Anteriogram
Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Hitung Darah Lengkap
Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple. Peningkatan
jumlah sel darah putih adalah respons stress normal setelah trauma.
e. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
f. Profil Koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple atau cidera hati

7. Komplikasi
Menurut Depkes RI (1995) komplikasi dari fraktur adalah :
a. Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang bisa berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cidera
b. Emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih
c. Sindrom kompartemen yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika
tidak ditangani segera
d. Infeksi
e. Tromboemboli (emboli paru) yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu
setelah cidera
f. Koagulopati Intravaskuler Diseminata (KID)

8. Penatalaksanaan Medik
Menurut Depkes RI (1995) penatalaksanaan medic pada fraktur :
 Penatalaksanaan awal, sebelum dilakukan pengobatan definitive pada fraktur, maka
diperlukan :
a. Pertolongan pertama : yang penting dilakukan adalah dengan memperhatikan
airway, breathing, circulation, disability pada pasien. Kemudian menutup luka
dengan verban yang bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang
terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri.
b. Penilaian klinis : dinilai apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma
pembuluh darah/saraf atau trauma alat-alat dalam lain.
c. Resusitasi : kebanyakan penderita datang dengan fraktur multiple tiba di rumah
sakit dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada
frakturnya sendiri berupa pemberian transfuse darah dan cairan lainnya serta
obat – obat anti nyeri.
 Penatalaksanaan Terapi Konservatif
a. Proteksi
Misalnya dengan menggunakan mitella untuk fraktur collum chirurgicum
humeri dengan kedudukan baik.
b. Imobilisasi luar tanpa reposisi
Dengan pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan
kedeudukan baik
c. Reposisi tertutup dan fikasasi dengan gips
Dapat dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi local dengan
menyuntikkan obat anestesi dalam hematom fraktur.
d. Reposisi dengan traksi
Dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi secara manipulasi akan
terdislokasi kembali kedalam gips, misalnya pada patah tulang femur.
e. Reposisi dengan cast/splint
Reposisi tertutup dilakukan pada fraktur dengan disposisi, pemendekan atau
terpuntir.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Pola Pemeliharaan dan Persepsi Terhadap Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidaktauan akan terjadinya kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnyaPola Nutrisi dan Metabolik
b. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan
atau tidak (Doenges, 1999).
c. Pola Tidur dan Istirahat
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doenges, 1999).
d. Pola Aktivitas dan latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan pasien
menjadi berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas pasien terutama pekerjaan pasien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain (Ignatavicius, 1995).
e. Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena pasien
harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, 1995).
f. Pola Persepsi Diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(Ignatavicius, 1995).
g. Pola Perseptual
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(Ignatavicius, 1995).
h. Pola Seksual & Reproduksi
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami pasien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, 1995).
i. Pola Manajemen Koping Stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh
pasien bisa tidak efektif (Ignatavicius, 1995).
j. Pola Nilai dan Keyakinan
Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak pasien (Ignatavicius, 1995)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
PRE OPERASI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada
jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara verbal
terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
2. Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh > 37,5° C, akral teraba hangat.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan
pasien tidak mampu menggerakkan bagian yang mengalami fraktur, pasien
mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur.
4. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan dengan
kontraktur otot ditandai dengan pasien tidak mampu memegang alat mandi, pasien
tidak mampu menggunakan pakaian sendiri, pasien minta dibantu untuk makan dan
eliminasi.
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan
vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan temperatur
kulit.
6. PK: Perdarahan
7. PK: Anemia
8. Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali dengan
pasien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, pasien tampak gelisah.

POST OPERASI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik (pemasangan ORIF/OREF)
ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, pasien mengatakan nyeri terasa tajam, nyeri
terasa pada kaki ditempat operasi, pasien mengatakan skala nyeri 1-10, pasien
mengatakan nyeri hilang timbul dan meningkat apabila kaki digerakkan, pasien
tampak gelisah, pasien tampak meringis kesakitan, pasien tampak tidak nyaman
(posisi melindungi bagian yang nyeri).
2. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif akibat tindakan ORIF/OREF
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembatasan gerak ditandai
dengan pasien tidak mapu menggerakkan kakinya
4. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik dan faktor
mekanik yang menimbulkan penekanan
5. PK : perdarahan
6. Defisit perawatan diri mandi/kebersihan berhubungan dengan kerusakan
musculoskeletal dan terapi pembatasan gerak ditandai dengan pasien mengatakan
tidak mampu untuk melakukan perawatan dirinya sendiri, pasien tampak kotor dan
bau.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera
pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara
verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…..x …. jam, diharapkan nyeri dapat
berkurang dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Pain Control
 Pasien mengenali onset nyeri.
 Pasien dapat mendeskripsikan faktor penyebab.
 Pasien menerapkan teknik manajemen nyeri non farmakologis.
 Pasien menggunakan analgesik sesuai rekomendasi.
NOC Label >> Pain Level
 Pasien tidak melaporkan adanya nyeri
 Ekspresi wajah terhadap nyeri
 Diaphoresis
 RR dalam batas normal (16-20 kali/menit)
 Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)
 Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg)
Intervensi :
NIC Label >> Pain Management
1. Kaji karakteristik nyeri meliputi lokasi, waktu, frekuensi, kualitas, faktor
pencetus, dan intensitas nyeri
Rasional : Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan
jenis tindakan selanjutnya.
2. Kaji faktor-faktor yang dapat memperburuk nyeri pasien
Rasional : Dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat memperburuk nyeri,
dapat mencegah terjadinya faktor pencetus dan menentukan intervensi apabila
nyeri terjadi.
3. Monitor status TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik
Rasional : mencegah kontraindikasi dan efek samping pemberian analgetik
4. Memastikan pasien mendapat terapi analgesik yang tepat
Rasional : Analgesik yang dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan tidak
mengakibatkan adanya reaksi alergi terhadap obat.
5. Eliminasi faktor-faktor pencetus nyeri
Rasional : Dengan mengeleminasi faktor-faktor pencetus nyeri, dapat
mengurangi risiko munculnya nyeri (mengurangi awitan terjadinya nyeri)
6. Ajarkan teknik nonfarmakologi (misalnya teknik relaksasi, guided imagery,
terapi musik, dan distraksi) yang dapat digunakan saat nyeri timbul.
Rasional : Dengan teknik manajemen nyeri, pasien bisa mengalihkan nyeri
sehingga rasa nyeri yang dirasakan berkurang.
7. Berikan dukungan selama pengobatan nyeri berlangsung
Rasional : Dukungan yang diberikan dapat membantu meningkatkan rasa
percaya terhadap perawat.
8. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : Pemberian analgetik dapat memblok reseptor nyeri.

2. Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan


peningkatan suhu tubuh > 37,5° C, akral teraba hangat.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x … jam, diharapkan suhu pasien
dalam batas normal dengan kriteria hasil :
NOC Label >> Thermoregulation
 Suhu tubuh pasien normal (36-37±0,5˚C)
 Melaporkan rasa nyaman
 Tidak menggigil
NOC Label >> Vital Signs
 Suhu : 36-37±0,5˚C
 Nadi: 60-100x/menit
 RR: 16-20 x/menit
 TD: 120/80 mmHg
Intervensi :
NIC Label >> Fever Treatment
1. Monitor suhu tubuh, tekanan darah, denyut nadi, dan respirasi rate secara
berkala.
Rasional: peningkatan suhu menunjukkan proses adanya infeksius akut maupun
dehidrasi. Menggigil sering mendahului puncak suhu.
2. Berikan kompres hangat.
Rasional: membuat vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat membantu
mengurangi demam.
3. Anjurkan pasien untuk mempertahankan asupan cairan adekuat.
Rasional: untuk mencegah dehidrasi akibat penguapan cairan karena suhu tubuh
yang tinggi.
4. Kolaborasi pemberian obat antipiretik sesuai indikasi.
Rasional: digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai


dengan pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami fraktur,
pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan ... x … jam, diharapkan kekakuan otot tidak
terjadi dengan kriteria hasil:
 Fleksbilitas sendi dapat dipertahankan
 Otot tidak mengalami atropi
 Otot tidak mengalami kontraktur
Intervensi:
NOC Label >> Exercise promotion
1. Beritahukan pasien mengenai manfaat, prosedur dari latihan untuk kesembuhan
ekstremitasnya.
Rasional: Penjelasan yang diberikan dapat menjawab ketikdak tahuan pasien
mengenai segala intervensi yang akan diberikan, dengan demikian pasien akan
dapat mengikuti intervensi yang diberikan dengan baik dan mematuhi peraturan.
2. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas dan fungsi persendian, otot
dan kekuatan otot pasien.
Rasional: Pengkajian dapat memberikan informasi mengenai kemampuan
motorik pasien dan hasilnya dapat disesuaikan antara intervensi yang akan
diberikan dengan kondisi pasien.
3. Ajarkan pada pasien cara-cara dalam melakukan perubahan posisi (misalnya:
dengan menggeser keseluruhan ekstremitas secara bersamaan dan tidak
mengangkat ekstremitas tanpa penopang).
Rasional: Pada pasien dengan gangguan pada komposisi tulang tidak boleh
melakuakan melakuakan perubahan posisi tanpa arahan karena dapat
memperburuk kondisi penyusunan kembali komponen tulang.
4. Dampingi pasien dalam melakukan pergerakan (misalnya : duduk, berdiri,
berjalan pada jarak tertentu dan berbaring).
Rasional: Pasien akan merasa lebih aman dan nyaman saat didampingi sewaktu
melakukan terapi mobilisasi, sehingga pasien dapat mengikuti terapi dengan
baik.
5. Monitoring posisi tempat tidur dan ketinggian tempat tidur pasien
Responsi: Tempat tidur pasien sudah diatur sesuai dengan jenis traksi yang
digunakan pasien, sehingga perubahan posisi dan ketinggian tempat tidur dapat
mempengaruhi komponen pada traksi.

4. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan


vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan
temperatur kulit.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ….x … jam, diharapkan perfusi
jaringan perifer kembali efektif dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Tissue Perfussion: Peripheral
 Tidak ada nekrosis pada jari-jari.
 CRT dalam batas normal (kurang dari 3 detik).
 Akral hangat.
 Tidak ada sianosis pada kuku kaki ataupun tangan.
Intervensi:
NIC Label >> Haemodynamic Regulation
1. Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa.
Rasional: Memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan
dan membantu menentukan kebutuhan intervensi
2. Kaji untuk respon verbal melambat, mudah teransang agitasi, gangguan
memori, bingung.
Rasional: Dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia.
3. Pantau pucat, sianosis, kulit dingin/lembab.
Rasional: Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung
mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi
4. Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin
dibuktikan oleh penurunan perfusi.
Rasional: Penurunan pemasukan/mual terus menerus dapat mengakibatkan
penurunan volume sirkulasi yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi
organ.
5. Pantau pemeriksaan diagnostik dan laboratorium mis EKG, elektrolit, GDA (Pa
O2, Pa CO2 dan saturasi O2) dan pemberian oksigen.
Rasional: Indikator perfusi/fungsi organ

5. PK: Perdarahan
Setelah di berikan asuhan keperawatan selama …x… jam, diharapakan komplikasi
perdarahan dapat dicegah dengan kriteria hasil:
NOC label >> Blood Loss Severity
 Tidak terjadi kehilangan darah yang nyata
 Tidak terjadi penurunan tekanan darah sistolik
 Tidak terjadi penurunan tekanan darah diastolic
 Tidak terjadi peningkatan nadi apical
 Tidak terjadi penurunan suhu tubuh
 Tidak terjadi penurunan kognisi
 Tidak terjadi penurunan hemoglobin
 Tidak terjadi penurunan hematocrit
Intervensi
NIC Label >> Shock management
1. Monitor vital sign, tekanan darah orthostatic, mental status, dan haluaran urin.
2. Monitor pemeriksaan labolatorium yang terkain perfusi jaringan (peningkatan
asam laktat , penurnan PH arteri)
3. Administrasikan crystalloid IV sesuai indikasi
4. Administrasikan medikasi vasoaktif sesuai indikasi
5. Beri terapi oksigen dan mekanikal ventilasi jika diperlukan
6. Monitor parameter hemodinamic ( central venous pressure. Pulmonary
capilary)
NIC Label >> Bleeding reduction
1. Identifikasi penyebab perdarahan
2. Monitor pasien dengan teliti pada hemoragi
3. Monitor kehilangan darah
4. Catat hemoglobin dan hemotocrite setelah kehilangan darah sesuai indikasi
5. Jelaskan pada pasien dan keluarga mengenai perdarahan yang terjadi dan
tindakan yang akan dilakukan.
6. Lakukan transfusi darah jika diperlukan.

6. PK: Anemia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x … jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi anemia yang terjadi, dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Vital Signs
 Tekanan darah dalam batas normal (110/70-130/90 mmHg) atau terkontrol
 Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt)
 RR dalam batas normal (16-20 x/mnt)
 Suhu tubuh dalam batas normal (36-37,5°C)
NOC Label >> Tissue Perfussion: Peripheral
 CRT < 3 detik
 Akral hangat
 Pasien tidak pucat
 Konjungtiva berwarna merah muda
Intervensi:
1. Pantau tanda dan gejala anemia yang terjadi.
Rasional: memantau gejala anemia pasien penting dilakukan agar tidak terjadi
komplikasi yang lebih lanjut.
2. Pantau tanda-tanda vital pasien.
Rasional: perubahan tanda vital menunujukkan perubahan pada kondisi
pasien.
3. Anjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak zat besi
dan vit B12.
Rasional: Makanan yang mengandung vitamin B12 dan asam folat dapat
menstimulasi pembentukan Hemoglobin.
4. Minimalkan prosedur yang bisa menyebabkan perdarahan.
Rasional: Dapat memperparah kondisi pasien yang mengalami anemia.
5. Pantau nilai PT dan PTT
Rasional: Untuk mengkaji apakah terjadi perpanjangan waktu pembekuan
darah
6. Pantau hasil lab Hb dan HCT
Rasional: Penurunan Hb dan perubahan nilai HCT menunjukkan terjadi
anemia pada pasien
NIC Label >> Blood Products Administration
7. Kolaborasi pemberian tranfusi darah sesuai indikasi.
Rasional: transfusi darah diperlukan jika kondisi anemia pasien buruk untuk
menambah jumlah darah dalam tubuh.

7. Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali


dengan pasien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, pasien tampak
gelisah.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …..x…. jam, diharapkan kecemasan
pasien terhadap penyakit pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil :
NOC Label >> Anxiety Level
 Mengatakan secara verbal tentang kecemasan
 Mengatakan secara verbal tentang ketakutan
 Kepanikan berkurang
NOC Label >> Anxiety Self-Control
 Mampu mengurangi penyebab cemas
 Mampu mengontrol respon cemas
Intervensi
NIC Label >> Anxiety Reduction
1. Observasi adanya tanda – tanda cemas/ansietas baik secara verbal maupun
nonverbal.
Rasional: Pengungkapan kecemasan secara langsung tentang kecemasan dari
pasien, dapat menandakan level cemas pasien.
2. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang dapat menstimulus
kecemasan.
Rasional: Agar pasien dapat mengatasi dan menanggulangi kecemasan pasien.
3. Jelaskan segala sesuatu mengenai penyakit yang pasien derita.
Rasional: Menambah wawasan pasien tentang penyakit pasien dapat
meningkatkan pengertian pasien tentang penyakitnya, sehingga dapat
mengurangi kecemasan pasien.
4. Ajarkan pasien teknik relaksasi, seperti menarik napas dalam.
Rasional: Dapat memberi efek ketenangan pada pasien
5. Kolaborasi pemberian medikasi berupa obat penenang.
Rasional: Menurunkan ansietas pasien yang terjadi secara berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta : Widya
Medika
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Doenges M.E. 2000. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2nd ed).
Philadelpia, F.A. Davis Company
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGC
Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta : EGC
Oswari, E. 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Price, Evelyn .1997. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.
PATWAY
Kecelakaan, trauma osteoporosis

Fraktur

Pre-op

(Fraktur tertutup)
(Fraktur terbuka) tidak terdapat luka
fraktur menembus pada permukaan kulit
permukaan kulit

Terputusnya
integritas kulit
Kontak Gangguan
dengan vaskularisasi
lingkungan Hematoma pada
luar daerah fraktur Perdarahan
dijaringan
Kerusakan
lunak
jaringan
Resiko
Aliran darah ke daerah
infeksi
distal berkurang atau Kerusakan
Destruksi terhambat jaringan
lapisan kulit

peradangan
Kerusakan Warna jaringan pucat,
integritas nadi lemah, sianosis,
kulit kesemutan
pembengkakan

Kerusakan
Nyeri operasi neuromuskuler
Nyeri

Adanya Pos-op Gangguan fungsi


gangguan organ distal
istirahat tidur
Adanya
luka Gangguan
Gangguan mobilitas fisik
pola tidur
Resti infeksi dan
resiko perdarahan

Gangguan
mobilitas
Smeltzer & Bare. 2002
fisik
Brunner & Suddarth, 2005
Muttaqin, A. 2008

Anda mungkin juga menyukai