Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang


Dispepsia didefinisikan sebagai nyeri kronik atau berulang atau perasaan
tidak nyaman di daerah perut bagian atas yang tidak bersifat nyeri dan dapat
muncul bersamaan dengan gelaja penuh di perut atau cepat kenyang. 2 Penyebab
dispepsia dapat berupa organik yaitu jika terdapat kelainan yang jelas pada organ
atau fungsional jika tidak ditemukan kelainan organik.3 Dispepsia fungsional
dapat terjadi akibat mekanisme sekresi asam lambung, dismotilitas
gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor
lingkungan, serta psikologis.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pmeriksaan penunjang. Penting untuk memperhatikan alarm symptoms pada
pasien dispepsia. Jika pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati dan didapatkan
adanya alarm symptom dapat dicurigai dispepsia organik dan dapat dipastikan
dengan pemeriksaan endoskopi. Sebagian pasien dengan sindroma dispepsia
fungsional tidak memerlukan terapi medikamentosa setelah dilakukan edukasi
tentang penyakitnya. Sehingga sangat penting bagi dokter untuk menjelaskan
tentang perjalanan penyakit dan juga perjalanannya kepada pasien.

1.2 Definisi Sindroma Dispepsia


Dispepsia berasal dari bahasa yunani yang berasal dari suku kata “duis”
berarti buruk atau susah dan “peptin” yang berarti pencernaan. Dispepsia
merupakan kumpulan gejala pada perut bagian atas. Dispepsia merupakan
kumpulan gejala dan bukan merupakan diagnosis. Gejala ini bisa menetap selama
bertahun-tahun dengan adanya periode remisi dan relaps.1 Dispepsia didefinisikan
sebagai nyeri kronik atau berulang atau perasaan tidak nyaman di daerah perut
bagian atas. Rasa tidak nyaman diartikan sebagai perasaan negatif yang tidak
bersifat nyeri dan dapat muncul bersamaan dengan gelaja penuh di perut atau
cepat kenyang.2

CRS – Sindroma Dispepsia 1


1.3 Klasifikasi Dispepsia
Klasifikasi dispepsia berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok
gejala, dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik
adalah apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya ada ulkus peptikum.
Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan
pada usia lebih dari 40 tahun. Dispepsia fungsional adalah apabila penyebab
dispepsia tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan
gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya adanya kerusakan
organik dan penyakit sistemik.3

1.4 Epidemiologi
Telah diketahui bahwa dipepsia merupkan masalah yang sering terjadi
diseluruh dunia. Di Amerika Serikat, prevalensi dispepsia mencapai 2%. Setiap
tahunnya, terdapat 9% populasi menunjukkan gejala setelah sebelumnya tidak
memiliki gejala dispepsia.2 Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan
memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana
layanan kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark
mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata
telah terinfeksi H. Pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.4

1.5 Patofisiologi
Sekitar 40% pasien dengan dispepsia fungsional mengalami keterlambatan
pengosongan lambung. Meskipun demikian, masih merupakan kontroversi apakah
gambaran klinis yang spesifik berhubungan dengan pengosongan lambung yang
terlambat, dan juga apakah perbaikan pengosongan lambung dapat membantu
memperkirakan perbaikan gejala pada dispesia fungsional. Pengosongan lambung
yang terlambat lebih sering terjadi pada perempuan, berat badan rendah, terlalu
kenyang, mual, muntah.2
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan
patogenesis terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung,
dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan
faktor lingkungan, psikologis.2

CRS – Sindroma Dispepsia 2


a. Sekresi Asam Lambung.
Getah lambung ini mengandung berbagai macam zat. Asam hidroklorida
(HCl) dan pepsinogen merupakan kandungan dalam getah lambung
tersebut. Konsentrasi asam dalam getah lambung sangat pekat sehingga
dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orangnormal mukosa
lambung tidak mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung
mengandung mukus, yang merupakan faktor pelindung lambung.13 Kasus
dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas
mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut. Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola
makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat
lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung.
Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam lambung
akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada
lambung.
b. Dismotilitas Gastrointestinal.
Sebuah studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional dan ganguan
pengosongan lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia
fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal.
c. Hipersensitivitas viseral.
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptor.1 Penelitian dengan menggunakan balon
intragastrik menunjukkan bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah
timbul rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan
volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa
nyeri pada populasi kontrol.
d. Gangguan akomodasi lambung.
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi
fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung.
Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui
saraf vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita
dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus

CRS – Sindroma Dispepsia 3


postprandial pada 40% kasus dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan
ultrasound (USG).
e. Helicobacter pylori.
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat
sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok
orang sehat.
f. Diet.
Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan
karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan. Khususnya
makanan berlemak telah dikaitkan dengan dispepsia.
g. Faktor psikologis.
Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului
mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik
stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial. 5
Keadaan psikologis yang berhubungan erat dengan dispepsia dalah
kecemasan (ansietas). Ansietas akan meningkatkan resiko 8 kali lipat
untuk terkena dispepsia fungsional. Pada sebagian besar kasus, ansietas
memicu munculnya gejala dispepsia fungsional karena adanya brain-gut-
pathway, namun pada sebagian lagi sindroma dispepsialah yang
menyebabkan ansietas. gejala yang muncul diperkirakan karena adanya
pelepasan sitokin yang terjadi sekunder akibat adanya inflamasi gaster
yang menyebabkan pengosongan lambung menjadi lambat.6

1.6 Diagnosis
Diagnosis dispepsia fungsional menurut Roma III5:
Kriteria diagnostik dispepsia fungsional terpenuhi bila 2 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
a. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
 Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
 Perasaan cepat kenyang
 Nyeri ulu hati
 Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

CRS – Sindroma Dispepsia 4


b. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan
timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran
cerna bagian atas atau SCBA

Tabel 2.1 Diagnosis subgrup sindroma dispepsia5:


1. Postprandial Distres Syndrome 2. Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5
di bawah ini seluruhnya terpenuhi: poin di bawah ini seluruhnya
a. Rasa penuh setelah makan terpenuhi:
yang mengganggu, terjadi a. Nyeri atau rasa terbakar yang
setelah makan dengan porsi terlokalisasi di daerah
biasa, sedikitnya terjadi epigastrium dengan tingkat
beberapa kali seminggu keparahan moderat/sedang,
b. Perasaan cepat kenyang paling sedikit terjadi sekali
yang membuat tidak mampu dalam seminggu
menghabiskan porsi makan b. Nyeri timbul berulang
biasa, sedikitnya terjadi c. Tidak menjalar atau
beberapa kali seminggu terlokalisasi di daerah perut
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atau dada selain daerah perut
atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan bagian atas/epigastrium
terakhir, dengan awal mula gejala d. Tidak berkurang dengan BAB
timbul sedikitnya 6 bulan sebelum atau buang angin
diagnosis. e. Gejala-gejala yang ada tidak
memenuhi kriteria diagnosis
Kriteria penunjang kelainan kandung empedu dan
a. Adanya rasa kembung di sfingter Oddi
daerah perut bagian atas Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di
atau mual setelah makan atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
atau bersendawa yang terakhir, dengan awal mula gejala
berlebihan timbul sedikitnya 6 bulan sebelum
b. Dapat timbul bersamaan diagnosis.
dengan sindrom nyeri
epigastrium. Kriteria penunjang:
a. Nyeri epigastrium dapat
berupa rasa terbakar, namun
tanpa menjalar ke daerah
retrosternal
b. Nyeri umumnya ditimbulkan
atau berkurang dengan makan,
namun mungkin timbul saat
puasa
c. Dapat timbul bersamaan
dengan sindrom distres setelah

CRS – Sindroma Dispepsia 5


makan.

American College of Gastroenterology Guidelines for the Management of


Dyspepsia (2005), mengemukakan pentingnya mendeteksi tanda-tanda bahaya
(alarming features) pada pasien dengan keluhan dispepsia. Apabila didapatkan
tanda-tanda bahaya (seperti gejala dispepsia yang baru muncul pada usia lebih
dari 55 tahun, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya,
anoreksia, rasa cepat kenyang, muntah, disfagia progresif, odinofagia, perdarahan,
anemia, ikterus, massa abdomen, pembesaran kelenjar limfe, riwayat keluarga
dengan kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan
keganasan), tindakan esofagogastroduodenoskopi untuk keperluan diagnostik
sangat dianjurkan. Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas, terdapat 2
tindakan yang dapat dilakukan: (1) Test-and-treat: untuk mendeteksi ada tidaknya
infeksi Helicobacter pylori dengan uji noninvasif yang tervalidasi disertai
pemberian obat penekan asam bila eradikasi berhasil, tetapi gejala masih tetap
ada, (2) Pengobatan empiris menggunakan proton-pump inhibitor (PPI) untuk 4-8
minggu. American College of Physicians menyatakan bahwa pengobatan empiris
menggunakan obat antisekresi ini merupakan tulang punggung utama pengobatan
dispepsia dan masih dipraktikkan secara luas hingga saat ini. Alternatif (1)
dianjurkan untuk mengobati populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori tingkat
sedang sampai tinggi (>10%), sedangkan alternatif (2) disarankan pada populasi
dengan prevalensi infeksi H. pylori rendah.2

CRS – Sindroma Dispepsia 6


Skema 2.1 Algoritma pengololaan pasien dengan dispepsia2
EDG esofagogastroendoskopi, PPI proton pump inhibitor, Hp helicobacter pylori

1.7 Diferensial Diagnosis9


Dispepsia merupakan sekumpulan gejala dan bukanlah sebuah diagnosis.
Sehingga gejala-gejala pada sindroma dispepsia bisa terlihat pada beberapa
penyakit, seperti:
a. Dispepsia nonulkus
b. Gastroesofago reflux disease (GERD)
c. Ulkus peptikum
d. Obat-obatn: obat antiinflamasi non-sterois (OAINS)
e. Malabsorbsi karbohidrat
f. Kolelitiasis atau koledokolitisis
g. Pankretitis kronis
h. Gangguan sistemik (diabeter, tiroid, paratiroid, dll)
i. Infeksi parasit saluran cerna
j. Keganasan saluran cerna (terutama keganasan pankreas dan kanker gaster)
k. Crhonic mesenteric ischaemia

1.8 Terapi

CRS – Sindroma Dispepsia 7


Sebagian pasien dengan sindroma dispepsia fungsional tidak memerlukan
terapi medika mentosa setelah dilakukan edukasi tentang penyakitnya. Sehingga
sangat penting bagi dokter untuk menjelaskan tentang perjalanan penyakit dan
juga perjalanannya kepada pasien. Faktor yang memicu munculnya gejala
dispepsia masih belum diketahui, namun pasien bisa diedukasi dengan
menghindari makanan dengan kandungan lemak tinggi untuk mencegah gangguan
motilitas pada saluran cerna. Selain itu, juga dapat disarankan untuk
meningkatkan frekuensi makan dengan porsi keci. 2
a. Eradikasi Helicobacter pylori
Terapi yang digunakan untuk mengeradikasi infeksi adalah kombinasi PPI
(dosis standar 2 kali sehari) dengan amoxisilin (1 gram 2 kali sehari) dan
clarithomisin (500 mg dua kali sehari) diberikan selama 7 sampai 10 hari.
Jika terdapat kontraindikasi amoisilin dapat digantikan dengan
maetronidazol 400 mg dua kali sehari. Terapi alternatif atau lini kedua
adalah kombinasi bismuth (bismuth subsalisailat 525 mg empat kali
sehari), metronidazol 250 mg empat kali sehari, dan tetrasiklin 500 mg
empat kali sehari yang diberikan selama 14 hari. 2
b. Postprandial Distress Sindrome
Terapi lini pertama untuk postprandial distress sindrome adalah proton
pump inhibitor. Jika PPI gagal setelah pemberian dosis adekuat, maka lini
keduanya adalah H2 reseptor antagonis. Alternatif lain adalah pemakaian
prokinetik, terutama jika terjadi tumpang tindih antara postprandial
distress sindrome dan epigastric pain syndrome. 2
c. Epigastric Pain Syndrome
Pemberian prokinetik merupakan terapi lini pertama untuk EPS, namun
pemakaiannya bervariasi di setiap negara. Bebera paprokinetik yang bisa
digunakan adalah dopamin antagonis, seperti domperidone, namun data
tentang efektfias domperidon masih belum cukup. Selain itu, acotiamide
dapat merelaksasikan gaster dan mempercepat pengosongan lambung.6
Namun, penggunaan rutin prokinetik tidak direkomendasikan karena tidak
berhubungan dengan perbaikan gejala. Obat yang merelaksasikan gaster
seperti tegaserod, cisapride, matriptan, buspirone, clonidine, SSRIs, secara

CRS – Sindroma Dispepsia 8


teroritis dapat mengurangi dismotilitas gaster, namun penelitian klinis
masih belum menunjang penggunaan obat-obat ini.2
d. Antidepresan
Penggunaan antidepresan juga masih diragukan, namun tetap sering
diresepkan. Namun pada beberapa penelitian sederhana, antidepresan
trisiklik dosis rendah menunjukkan manfaat pada dispepsia fungsional,
pemberian terapi psikologis memang menunjukkan manfaat yang besar
pada sispepsia fungsional, khususnya hipnoterapi, namun dibutuhkan data
yang lebih banyak untuk dapat menyimpulkan dan merekomendasikannya
untuk penggunaan rutin.10
1.9 Prognosis
Sebanyak 40% pasien dengan sindroma dispepsia mengalami ansietas dan
melakukan konsultasi dengan psikiatri. Kondisi ini jelas menimbulkan efek
negatif terhadap kehidupan sehari-hari pasien dan menurunkan produktivitas di
tenpat kerja. Selain itu, dispepsia fungsional menyebabkan masalah keuangan
pada pasien.11

CRS – Sindroma Dispepsia 9


BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. MM
No RM : 00.93.43.98
Umur : 29 tahun
Agama : Islam
Suku : Minang
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Merangin, Jambi
MRS : 30 September 2019
2.2 ANAMNESIS
Telah dilakukan pemeriksaan terhadap seorang pasien perempuan usia 29
tahun di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang
dengan:
2.2.1 Keluhan Utama
Mual dan muntah yang semakin meningkat sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit.
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
- Mual dan muntah meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit, frekuensi lebih dari 3 kali, berisi apa yang dimakan dan
diminum, jumlah ½ - 1 gelas tiap muntah, tidak disertai dengan darah.
- Nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu. Nyeri ulu hati dirasakan secara
tiba tiba dan terasa seperti di tusuk-tusuk, keluhan awalnya disertai
rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.
- Lemah anggota gerak sejak 5 hari yang lalu, awalnya lemah dirasakan
di kedua tungkai sehingga sulit untuk berdiri, kemudian juga di
rasakan di kedua tangan.
- Riwayat kejang tidak ada

Case Report Session – Sindroma Dispepsia


9 10
- Batuk ada sejak 2 hari yang lalu, sesekali, tidak berdahak
- Demam ada 2 hari yang lalu, tidak tinggi, hilang timbul, tidak
menggigil dan tidak disertai dengan keringat banyak
- Sesak nafas tidak ada
- Nyeri menelan sejak 1 minggu yang lalu
- Penurunan berat badan (+) tidak tahu berapa kilogram
- Penurunan nafsu makan (+)
- BAK dan BAB biasa
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit serupa sebelumnya tidak ada
- Riwayat DM (-)
- Riwayat sakit jantung (-)
- Riwayat hipertensi (-)
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti pasien
2.2.5 Riwayat Sosial, Ekonomi Dan Kebiasaan
- Pasien bekerja sebagai pegawai swasta
- Riwayat merokok disangkal
- Riwayat mengkonsumsi minuman beralkohol disangkal
- Riwayat kebiasaan memakan makanan yang asam atau pedas
disangkal

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


KU : Tampak sakit sedang
Kesan gizi : Kesan gizi sedang
Berat badan : 44 kg
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 90/65 mmHg
Laju nadi : 111 kali/menit, kuat angkat, teratur
Laju nafas : 20 kali/menit
Suhu tubuh : 36,1 oC
Kepala dan leher
Kulit : Ikterus tidak ada, sianosis tidak ada, telapak
tangan dan kaki pucat tidak ada, turgor kembali cepat
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran
Kepala : Normosefal
Leher : Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-),
JVP 5+0 cmH2O
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
tidak cekung
Telinga : Nyeri tekan (-/-) serumen (+/+) pendengaran baik
Hidung : Tidak ada kelainan

Case Report Session – Sindroma Dispepsia


11 11
Mulut : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak
hiperemis, mukosa lembap
Toraks
Paru Ins : normochest, simetris
Pal : Fremitus kiri=kanan
Per : Sonor (+/+)
Aus : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung Ins : Ictus cordis tidak terlihat
Pal : Ictus cordis tidak melebar
Per : Batas jantung normal
Aus : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak ada distensi
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
- + -
- - -
- - -

Eksremitas
Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Genitalia dan Anorektal
Tidak diperiksa

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 30 September 2019
Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan
Hematologi
Hemoglobin 12,9 12,00-16,00 g/dl
Lekosit 12.400 4,0 -10,5 ribu/ul
Hematokrit 36 42,00 - 52,00 vol%
Trombosit 493.000 150000 - 450000 /mm3
PT 10,8 8,9 - 12,1 detik
APTT 35,0 31,7 - 41,1 detik
Hitung jenis
Basofil 0 0-1 %
Eosinofi 2 1-3 %
N. Batang 1 2-6 %
N. Segmen 71 50-70 %
Limfosit 20 20-40 %

CRS – Sindroma Dispepsia 12


Monosit 6 2-8 %
Kimia Klinik
Ureum 34 10 - 50 mg/dl
Kreatinin 0,9 0,6 - 1,2 mg/dl
Kalsium 9,4 8,1 - 10,4 mg/dl

Elektrolit
Natrium 142 136 - 145 Mmol/L
Kalium 1,5 3,5 – 5,1 Mmol/L
Klorida serum 107 97 - 111 Mmol/L

Eritrosit : anisositosis normokrom, atomatosit (+)


Leukosit : Jumlah meningkat, distribusi normal, limfosit atipik (+)
Trombosoit : jumlah meningkat, ditemuan large trombosit dan giant
trombosit
Kesan : leuositosis, trombositosis, kalium menurun.

2.5 Diagnosis
Sindroma dispepsia tipe like ulcer
periodik paralisis ec hipokalemi ec GI loss

2.6 Tatalaksana
- Ist / diet DL II / O2 3l/i
- IVFD Wida Kaen II 8 jam/ kolf
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr
- KSR 2x1 tab
- PCT 3x500 gr
- Lansoprazole 1x30 mg
- Sucralfat syr 3x2 cth (p.o)
- Domperidon 2x10 mg tab
- Drip KCl 23 mEq dalam 200cc NaCl 0,9% habis dalam 4 jam

2.8 Follow Up
1 Oktober 2019

Subjective Mual muntah (+)


Lemah anggota gerak (+)
Demam (-)

CRS – Sindroma Dispepsia 13


Obective TD: 110/70
N : 85
RR: 20
T : 36,7
Mata: tidak anemis
Kulit: turgor baik
Cor: Irama regular, bising (-)
Pulmo: Vesikuler, rhonki (-) wheezing (-)
Abdomen: Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+)
epigastrium
Extremitas: edema tidak ada
Assesment Sindroma dispepsia tipe like ulcer
periodik paralisis ec hipokalemi ec GI loss

Planning Cek elektrolit rutin


Target kalium ≥ 4 mmol/L

CRS – Sindroma Dispepsia 14


BAB 3
DISKUSI

Pasien perempuan usia 29 tahun datang ke RSUP M Djamil dengan


keluhan utama mual dan muntah yang semakin meningkat sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Muntah sebelumnya telah dialami dengan frekuensi
lebih dari 3 kali, berisi apa yang dimakan dan minum, jumlah ½ - 1 gelas tiap
muntah, tidak disertai dengan darah. Terjadinya muntah diawali dengan
berjalannya impuls-impuls aferen ke pusat muntah sebagai aferen vagus dan
simpatis. Impuls aferen ini berasal dari lambung atau duodenum yang muncul
sebagai respon terhadap stimulasi kimiawi oleh emetik (bahan penyebab muntah).
Refleks muntah terjadi pada pusat muntah, terjadi melalui aktifitas beberapa
syaraf kranialis ke wajah dan kerongkongan serta neuron motorik spinalis ke otot
abdomen dan diaframa.
Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati dirasakan sejak 2 hari yang lalu.
Nyeri ulu hati dirasakan tiba-tiba terasa seperti di tusuk-tusuk, awalnya keluhan
ini disertai dengan rasa tidak nyaman di perut bagian atas. Mekanisme keluhan
terjadinya nyeri ulu hati diperkirakan karena adanya iritasi yang terjadi pada
mukosa gaster, nyeri pada regio epigastrium ini menggambarkan predileksi gaster
yang berada di bagian tersebut. Nafsu makan pasien berkurang yang
menyebabkan penurunan berat badan pada pasien ini.
Pada Pemeriksaan fisik umum, tanda vital dalam batas normal sementara
itu pada pemeriksaan lokalis pada regio abdomen juga ditemukan adanya nyeri
tekan di regio epigratirum yang menandakan adanya proses inflamasi yang sedang
berlangsung, pembesaran pada regio perut juga tidak ditemukan sehingga dapat
disimpulkan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan darah hanya ditemukan pasien dengan anemia ringan.
Dari kriteria diagnosis untuk dispepsia didapatkan adanya tanda-tanda
bahaya pada pasien ini, dimana ditemukan pasien mengeluhkan nyeri ulu hati,
pasien juga mengeluhkan sering muntah berulang, hal-hal tersebut merupakan
alarm symptom dari syndroma dispepsia. Pasien dengan adanya keluhan nyeri ulu

Case Report Session – Sindroma Dispepsia


15 16
hati dan didapatkan adanya alarm symptom dapat dicurigai pada dispepsia organik
dan dapat dipastikan dengan pemeriksaan endoskopi.
Terapi yang diberikan pada pasien ini untuk mengurangi gejala yang ada
pada pasien yaitu diberikan domperidon, dimana domperidon merupakan obat
golongan prokinetik yang berguna untuk meningkatkan peristaltik melalui jalur
rangsangan reseptor seretonin,asetilkolin, dopamin dan motilin. Domperidon
merupakan antagonis dopamin D2 yang tidak melewati sawar otak sehingga tidak
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal, pada pasien ini diberikan dengan
dosis 3x10 mg per hari. Selain itu untuk memenuhi kebutuhan cairan diberikan
IVFD Nacl 0,9% yang diberikan 8 jam per kolf.
Pemberian lansoprazole yang merupakan golongan Proton pump
inhibitors (PPIs) bekerja hampir sepenuhnya menghambat sekresi asam lambung
dengan berikatan kovalen dengan H⁺-K⁺-ATPase atau proton pump dalam aspek
lumen dari membran sel parietal untuk mengurangi iritasi pada mukosa lambung.
Sukralfat diberikan digunakan dalam pencegahan stress ulserasi, obat ini bekerja
sebagai sawar terhadap asam, pepsin, dan empedu. Sukralfat merupakan kompleks
aluminium hidroksida dan sukrosa sulfat yang efeknya sebagai antasida minimal.

CRS – Sindroma Dispepsia 16


DAFTAR PUSTAKA

1. Desai TG. Dyspepsia. Supplement Jo Tapi, 2, 2012,p.5


2. Talley NJ, Vakil N, and the Practice Parameters Committee of the
American College of Gastroenterology. Guidelines for the management of
dyspepsia. Am J astroenterol 2005;100:2324-37.
3. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional. In: Sudoyo, A.W., Buku Ajar: Imu
Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009.)
4. Lacy BE, Talley NJ, Camilleri M. Functional dyspepsia: Time to change
clinical trial design. Am J Gastroenterol. 2010;105:2525-9.
5. Appendix A: Rome III Diagnostic Criteria for FGIDs, 2015. p 887.
6. Dwigint S. 2015. The Relation Of Diet Pattern To Dyspepsia Syndrom In
College Students. J marority, (4)1, 73-80.
7. Aro P, Talley NJ, Johansson SE, Agreus L, Ronkainen J. Anxiety is linked
to new-onset dyspepsia in the Swedish population: a 10-year follow-up
study. Gastroenterology 2015;148:928-937.
8. Talley NJ. Functional dyspepsia: new insights into pathogenesis and
therapy. Korean J Intern Med. 2016; 31; 444-56.
9. Jones MP. Evaluation and treatment of Dyspepsia. Postgrad Med J. 2003:
79; 25-9.
10. Tack J, Bisschops R, Sarnelli G. Pathophysiology and treatment of
functional dyspepsia. Gastroenterology. 2004;127:1239-55.
11. Talley NJ dan Ford AC. Functional Dyyspepdia. N Eng J Med. 2015 373:
1853-63.

Case Report Session – Sindroma Dispepsia


17 18

Anda mungkin juga menyukai