A. LATAR BELAKANG
Pertama kali Social Studies dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum sekolah
adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi
Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi
tenaga mesin. Alasan dimasukannya social studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah karena
berbagai ekses akibat industrialisasi di berbagai negara di belahan dunia juga terjadi, di
antaranya perubahan perilaku manusia akibat berbagai kemajuan dan ketercukupan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menjadikan
bangsa semakin maju dan modern, tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial yang
kompleks. Para ahli ilmu sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses
negatif yang mungkin timbul di masyarakat akibat dampak kemajuan tersebut. Sehingga
untuk mengatasi berbagai masalah sosial di lingkungan masyarakat tidak hanya dibutuhkan
kemajuan ilmu dan pengetahuan secara disipliner, tetapi juga dapat dilakukan melalui
pendekatan program pendidikan formal di tingkat sekolah.
Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline) di tingkat sekolah merupakan
salah satu pendekatan yang dianggap lebih efektif dalam rangka membentuk perilaku sosial
siswa ke arah yang diharapkan. Bahkan program pendidikan ini di samping sebagai bentuk
internalisasi dan transformasi pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya
mempersiapkan sumberdaya manusia yang siap menghadapi berbagai tantangan dan
problematika yang makin komplek di masa datang.
Oleh karenanya latar belakang perlu dimasukkannya Social studiesdalam kurikulum
sekolah di beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan alasan yang berbeda-beda.
Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya
juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras
Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro
yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Memandang perlunya pendidikan IPS bagi setiap warga negara Apresiasi
terhadap social studies (pendidikan IPS) terus bertambah dari berbagai negara, terutama di
Amerika, Inggris, dan berbagai negara di Eropa, dan baru berkembang ke berbagai negara di
Australia dan Asia termasuk Indonesia.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia juga hampir sama dengan di beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau dan
pertentangan politik bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang sangat
rentan terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat konflik dan situasi nasional bangsa yang
tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan G30S/PKI dan berbagai masalah nasional lainnya
di pandang perlu memasukan program pendidikan sebagai propaganda dan penanaman nilai-
nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan bernegara ke dalam kurikulum sekolah.
Oleh karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial) sebagai program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama
kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu
Solo Jawa Tengah. Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara
bertukar pakai, yaitu :
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
3. Ilmu Pengetahuan Sosial
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada
tahun 1972-1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PSSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan
geografi saja, maka dilakukan reduksi mata pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa
mata pelajaran ilmu sosial yang serumpun digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh
karena itu, pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 tersebut, dapat
dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan tenang, pemerintah melancarkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti
Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan.
Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan
pembangunan nasional.
Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah
menjadi prioritas. Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan
untuk mengatasi dan menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya
memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia
disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari
perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan
bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat,
dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti,
dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan
dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan
1975 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tujuan
2. Menganut pendekatan integratif
3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur
5. Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
6. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon dan latihan.
Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang
menampilkan empat profil, yaitu :
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk
pendidikan IPS khusus.
2. Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3. Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai
konsep peyung untuk sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
4. Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi
dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi
dan sejarah) untuk SMEA /SMK..
Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang secara
konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam aktualisasi
materi, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai
materi pokok PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus
yang wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS
diwujudkan dalam :
1. Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah dan ekonomi
koperasi.
3. Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas
I-II; Ekonomi dan Geografi di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam rangkaian
pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum
Komunikasi Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung
Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi
yang selalu menjadi agenda pembahasan ialah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan
Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI menegaskan adanya dua
versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta, yaitu :
a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi
dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang duorganisir
dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b. Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu
Sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara
ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP,
STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi
Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan
Ekonomi, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).
Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang
memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan
di tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam
kurikulum sekolah lebih jelas lagi. Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial
diajarkan di tingkat sekolah, maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau
interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi untuk program pendidikan ilmu-
ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai di ajarkan. Program
pendidikan dasar di SD dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh, sementara itu untuk
pembelajaran IPS di tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara
terpisah antar cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara
ilmu sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan IPS di
SMA dan juga di SMEA. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu
sosial disajikan secara terpisah atau fakultatif, seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk
pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang mempersiapkan calon guru atau mendidik calon
guru di tingkat sekolah, maka pendidikan IPS di berikan secara interdisipliner dan juga secara
disipliner. Secara interdisipliner karena ilmu yang diperoleh nantinya untuk program
pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai guru juga harus
menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat
diidentifikasi sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :
1. Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2. Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.
3. Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
4. Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5. Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran IPS.
6. Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang berdampak sosial.
7. Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan
pembenahan atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan
perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus
globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan
kurikulum pendidikan nampak saat diadakannya serangkaian Rapat Kerja Nasional
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya
diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2)
perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi
sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi
program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Di
samping itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan Pendidikan
kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan kewrganegaraan dan pengetahuan sosial
(PKnPS), namun akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini
memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan
nasional dan politik bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara
IPS dan PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara
yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah
dengan IPS. Jadi wajarlah kalau mata pelajaran PKn hanya ada di Indonesia, sementara di
negara lain disebut Civic education . IPS (social studies)dalam kurikulum tingkat satuan
pendidikan di Indonesia terus melakukan beberapa tinjauan dan kritik terutama untuk
perbaikan IPS sebagai program pendidikan ilmu sosial di tingkat sekolah melalui seminar dan
lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS lainnya, terutama oleh kelompok pakar HISPISI
(Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial Indonesia) dalam kongresnya di beberapa tempat
di Indonesia.
Mempelajari Konsep dasar IPS berisi tentang konsep, hakikat, dan
karakteristik pendidikan IPS. Dengan mempelajari materi Konsep dasar IPS ini, diharapkan
dapat menjelaskan konsep-konsep IPS yang berpengaruh terhadap kehidupan masa kini dan
masa yang akan datang secara kritis dan kreatif. Pembahasan materi ini menerapkan
pendekatan antar disiplin yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Adapun
media yang digunakan adalah bahan ajar cetak dan non cetak (web).
Sebagai guru/calon guru hendaknya menguasai materi IPS sebagai program
pendidikan. Untuk membantu menguasai materi tersebut maka dalam Konsep Pendidikan
IPS, disajikan pembahasan hal-hal pokok dan latihan sebagai berikut :
1. konsep pendidikan IPS
2. hakikat pendidikan IPS
3. karakteristik pendidikan IPS
B. TUJUAN
Setelah mempelajari materi Konsep Pendidikan IPS, diharapkan dapat menjelaskan
tentang :
1. Pengertian IPS
2. Sejarah IPS di Indonesia dan di Negara lain
3. Rasional mempelajari IPS
4. Hakikat pengajaran IPS
5. Tujuan pembelajaran IPS
6. Karakteristik pembelajaran IPS
C. RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana pengertian IPS dan konsep Pendidikan IPS?
2. Bagaimana sejarah perkembangan IPS di Indonesia dan di Negara lain?
3. Apakah hakikat pendidikan atau pengajaran IPS?
4. Apa tujuan dari pembelajaran IPS ?
5. Apa saja Karakteristik pembelajaran IPS ?
BAB II
PERBEDAAN PENDIDIKAN IPS
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan
masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal
dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika
Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk
yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar
kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras
tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh
adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah
Komisi Nasional dari The National Education Associationmemberikan rekomendasi tentang
perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah
menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam
ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam
perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam ”The National Herbart Society papers of
1896-1897” yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for
pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/
mendidik). Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS (social
studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika
untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian
ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on
Social studies” yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam
dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studiessebagai specific field to utilization of
social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam
pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat
manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka
beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di
tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk
program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesisocial studies.
Kemudian pada tahun 1921, berdirilah ”National Council for the Social Studies” (NCSS),
sebuah organisasi profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan social
studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin
ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikansyntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan
memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh
CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya
berbasis intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian
tentang social studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap pendidikan anak
tentang social studies, dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara
yang baik. Pada pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan
NCSS dengan menegaskan bahwa “Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum
IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social
studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh
Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social
sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer saat itu
karena kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies oleh “the united states of
education’s standard terminology for curriculum and instruction” hingga NCSS
mengeluarkan definisi resmi yang membawasocial studies sebagai kajian yang terintegrasi,
dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas.
Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program,social studies provides coordinated,systematic study
drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history,
law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of
social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned
decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic society in an
interdependent world.
Sebenarnya banyak sekali perbedaan antara pendidikan di Jerman dengan Indonesia.
Dari sisi sistem saja, pendidikan itu sudah berbeda. Di Jerman, jenjang pendidikan Pra
Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yaitu pendidikan dasar (Grundschule) dan
pendidikan lanjutan (Gymnasium,Realschule, atau Berufschule). Kalau di Indonesia,
pendidikan Pra Perguruan Tinggi ada 3 macam, yaitu SD-SMP-SMA. Dari sisi waktu juga
berbeda, di Indonesia memerlukan waktu 12 tahun (normal) sebelum ke jenjang Perguruan
Tinggi, sedangkan di Jerman butuh waktu 13 tahun.
Yang ingin saya bahas bukan masalah “teknis” pendidikan seperti di atas. Saya tertarik
dengan tulisan I Made Wiryana dalam sebuah milis tentang pendidikan di Jerman. Dia
menuliskan bahwa konsep pendidikan di Jerman adalah cenderung pemerataan hak
mendapatkan pendidikan. Ini berlaku untuk orang asing atau orang Jerman yang tinggal di
Jerman. Artinya secara konsep yang diutamakan adalah pemerataan pendidikan daripada
pencapaian puncak-puncak hasil pendidikan.
Dia memberikan contoh bahwa ketika hasil PISA rendah, seluruh Jerman panik. Akan
tetapi, ketika ada anak-anak Jerman yang dapat hadiah “the best xxxx dalam lomba sains”,
orang menganggap hal itu biasa saja. Hal ini terbalik dengan Indonesia yang sangat bangga
terhadap prestasi anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia di dunia.
Contoh lain adalah jika karier anda sebagai orang lembaga pendidikan ingin maju di
Jerman, anda harus pindah ke kampus-kampus kecil (di kota kecil). Beliau menjelaskan
bahwa prinsip ini membuat pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara alami. Dan lagi-
lagi, ini berbeda dengan Indonesia. Orang Indonesia cenderung memiliki kebiasaan “pintar
kumpul dengan pintar” dan “kaya kumpul dengan kaya”.
Melihat kondisi di atas, membuat saya tersenyum. Saya yakin kualitas pendidikan
Indonesia bisa meningkat drastis. Syarat utama hanya 2 macam,pemeratan pendidikan dan
penghargaan terhadap prestasi pendidikan. Itu saja. Bila kedua syarat terpenuhi, saya
yakin semakin banyak anak-anak Indonesia yang berprestasi pada ajang internasional
dan semua anak-anak Indonesia bisa masuk ke bangku sekolah.
a. komunikasi
b. kemampuan dalam matematika
c. informasi
d. pemecahan masalah
e. manajemen diri dan kompetitif
f. sosial dan koperasi
g. phisik
h. pekerjaan dan studi
Kedelapan kemampuan esensial (essential skills) tersebut diramu dalam proses belajar
PIPS melalui inkuiri, penggalian nilai (values exploration), dan pengambilan keputusan
sosial (social decision making).
C. Model Pengembangan
IPS merupakan seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang
berkaitan dnegan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya,
masyarakatnya, bangsanya, dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman
masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini, dan diantisiapsi untuk masa yang
akan datang.
Tujuan IPS
a. Mengembangkan pengetahuan kesosilogian, kegeografian, keekonomian, dan
kesejarahan.
b. Mengembngkan kemampuan berpikir, inquiri, pemecahana masalah, dan
keterampilan sosial
c. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
d. Meningkatkan kemampuan berkomuniaksi dan bekerjasama dalam masyarakat
yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Untuk mencapai tujuan tersebut dikembangkan standar kompetensi lintas
kurikulum yang merupakan kecakapan untuk hidup (lifeskills) dan belajar sepanjang
hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman
belajar. Standar kompetensi lintas kurikulum ini meliputi:
a. memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling
menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya.
b. Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan
mengkomuniaksikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang
lain.
c. Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola,
struktur, dan hubungan.
d. Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari
berbagai sumber.
e. Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dna teknologi, dna
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil
keputusan yang tepat.
f. Beraprtisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya
global berdasarkan pemahaman kontkes budaya, geografis, dan historis.
g. Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual, serta menerapkan
nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat
beradab.
h. Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan mempertimbangkan potensi dan peluang
untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
i. Menunjukkan motivasi belajar, percaya diri, bekerja amndiri, dna bekerja sama
dengan orang lain.
D. Sandar Kompetensi Bahan kajian IPS
a.Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan
budaya serta menerapkannya untuk
1) Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat
perbedaan yang ada di masyarakat.
2) Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial
3) Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat multikultur.
b. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang manusia, tempat
dan lingkungan serta menerapkannya untuk:
1) Menganalisis proses kejadian, interaksi dan saling ketergantungan antara gejala
alam dan kehidupan di muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu.
2) Terampil dalam memperoleh, mengolah, dan menyajikan informasi geografis.
c. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonomi
dan kesejahteraan serta menerapkannya untuk:
1) Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya
ekonomi.
2) Menumbuhkan jiwa, sikap, dan perilaku kewirausahaan
3) Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi.
4) Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.
d. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang waktu,
keberlanjutan, dan perubahan serta menerapkannya untuk:
1) Menganalisis keterkaitan antara manusia, waktu, tempat, dan kejadian.
2) Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi amsa depan.
3) Menghargai berbagai erbedaan serta keragaman sosial, kulturan, agama, etnis, dna
politik dalam masyarakat dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.
Standar kompetensi tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi dasar. Untuk
menjamin bahwa kompentensi dasar yang telah ditentukan dapat dicapai maka perlu
prinsip ketuntasan belajar (mastery learning) dalam pembelajaran dan penilaian.
Sebenarnya KBK itu sendiri adalah kurikulum ideal yang tidak saja akan berhasil
meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita, tetapi juga menuntut para praktisi
pendidikan khususnya para guru untuk mempersiapkan seluruh potensi Guru itu sendiri.
Tujuan diterapkannya kurikulum berbasis kompetensi ini adalah untuk menghasilkan
terjadinya demokratisasi pendidikan.Diharapkan hasil keluaran KBK dapat menciptakan
lulusan yang menghargai keberagaman (misalnya dalam perbedaan pendapat, agama,
ras maupun budaya). Pengkonstuksian dan penyusunan pengetahuan berlangsung dan
dilakukan dari, oleh dan untuk para peserta didik. Dengan demikian, dalam penyusunan
rencana pembelajaran, seorang guru harus mampu menyusunnya sehingga kelas dapat
berlangsung dalam Susana fun (menyenangkan) demokratis dan terbuka.
Pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan adalah pendekatan
kontruktivisme, sains, teknologi dan pendekatan inkuiri secara utuh. Keutuhan suatu
materi pelajaran tentu parameternya harus komprehensif. Misalnya guru harus
cerdas , tepat seta efektif dalam menafsirkan dan mengimplementasikan KBK yang
menjamin tercapainya kompetensi-kompetensi lulusan. Dengan ketiga pola
pendekatan tersebut di atas, para peserta didik diberikan kesempatan untuk
menemukan suatu konsep dengan menggunakan kompetensi yang dimiliki.
Ketercapaian penggalian dan penemuan kompetensi , dilakukan oleh peserta didik
itu sendiri sehingga mereka mampu menghayati dan mengamalkan untuk bertaqwa
kepada Tuhan Yyang Maha Esa , rasa ingin tahu, toleransi, berfikir terbuka, percaya
diri, kasih sayang, peduli sesama, kebersamaan, kekeluargaan dan persahabatan.
Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS harus berwawasan global,
yaitu meliputi:
1. Kesadaran diri; sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai
warga dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di
dunia (tidak lebih rendah dari bangsa lain)
2. Tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir kritis, menggali informasi,
mengolah informasi, mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
3. Tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan
memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan
hidup, perilaku ekonomi dan kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan
perubahan yang terjadi di dunia.
4. Mengembangkan sosial skill dengan maksud supaya pada masa mendatang kita
tidak hanya menjadi obyek penguasaan globalisasi belaka.
Menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002: 15), keterampilan
sosial adalah keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri,
bekerjasama, menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan
membuat keputusan. Hal ini diperkuat oleh Ancss (1984: 249) dalam Rahmania (2006)
yang menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan dalam
memperoleh informasi (keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari
informasi dan keterampilan menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang
berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat.
Keterampilan sosial tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata
pelajaran IPS di Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai
warga negara , warga masyarakat dan warga dunia yang dapat berperan dalam
masyarakatnya.
Untuk mencapai sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002: 276), guru
harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skill) yaitu
meliputi kemampuan mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar,
pertemuan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) atau dengan mendatangkan
nara sumber.
Nana Supriatna (2002: 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:
1. Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan
pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang relevan adalah cooperative
learning. Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja
menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru
sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan akan membawa siswa untuk
berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti bekerja
kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini
artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari
sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam
pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga
harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment)
baik untuk pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social (social skill)
selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2. Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra
pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS
dalam mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal
memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan
dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis
harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam
mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber
yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat
dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu
membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan
demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam
menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi
dan mengevaluasi informasi yang diterima.
3. Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan
keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau
informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada
beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu:
a. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan
positif ketika menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah.
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu,
mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka
secara pribadi.
c. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya
sebagai pusat kegiatan belajar.
Wiraatmadja (2002: 205-306) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar
menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu:
a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap yang
mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah.
b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting yang terdapat dalam
topic-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana cara
penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan
pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment hendaknya difokuskan
pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting
dan terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/ persiapan,
perberlakuan dan assessment pembelajaran.
Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai
dengan harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan
pembelajaran IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu:
1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar
yang dapat merangsang motivasi belajar siswa
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi
proses belajar IPS
3. Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran
konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak
mendapat hasil proses.
4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat
sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga
faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum
baru ini sebagaimana mestinya.
Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada siswa. Mereka harus
memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, di samping mengembangkan
pribadinya. Pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada siswa, yang merupakan
proses belajar-mengajar dilakukan oleh guru di sekolah dengan menggunakan cara-
cara atau metode-metode tertentu (B. Suryosubroto, 1997:148).
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD dan SMP/MTs berfungsi untuk
mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia (Puskur Balitbang Depdiknas, 2003:2).
Terkait dengan tujuan mata pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru
dituntut untuk memiliki pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan pencapaian
tujuan tersebut. Ranah Hasil Belajar IPS
Pemerintah indikator dalam pembelajaran mengacu pada hasil belajar yang
harus dikuasai siswa. Dalam pencapaian hasil belajar siswa, guru dituntut untuk
memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara proporsional. Horward
Kingsly membagi tiga macam hasil belajar,yakni (a)ketrampilanda kebiasaan, (b)
pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar
dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne
membagi lima hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan verbal, (c)
strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) ketrampilan motoris.
Dalam dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instraksional, menggunakan klasikfikasi hasil belajar dari
Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yakni ranah
kognitif, ranah efektif, dan ranah pisikmotoris (Nana Sudjana, 2002:22).
Ranah kognitif berkenan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam
aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis sintensis, dan
evaluasi. Ranah efektif berkenan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah
psikomotoris berkenan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada
enam aspek ranah psikmotoris,(a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c)
kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketepataan, (e) gerakan keterampilan,
(f) gerakan ekspresif dan interpretatif.
Berdasarkan konsep di atas maka dapat diperoleh suatu pengertian bahwa hasil
belajar IPS adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah belajar, yang wujudnya
berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Derajat kemampuan yang
diperoleh siswa diwujudkan dalam bentuk nilai hasil belajar IPS.
5.2 Kurikulum IPS di Perancis
(sumber : http://www.education.gouv.fr/bo/2002/hs1/maternelle.htm)
Subjects - in the seconde
Semua siswa di akhir pelajaran pokok di Perancis, dalam seconde kelas the lycée
d'enseignement générale et technologique (LEGT), mengikuti suatu kurikulum
umum; karena yang akhir tahun kedua (post-compulsory) siswa memilih kuliah
pokok spesialis yang tergantung pada kecakapan yang spesifik yang mereka
putuskan. Pelajaran di seconde pada umumnya meliputi pokok / wajib. para siswa
memilih pelajaran pokok yang disajikan.
Mata pelajaran pokok
Bahasa Perancis;
Matematika;
Ilmu fisika Dan Ilmu kimia;
Ilmu pengetahuan Bumi;
Bahasa asing modern;
Sejarah dan geografi;
Pendidikan jasmani dan olahraga; an
Pendidikan Kewarganegaraan, Hukum, dan Pendidikan social (Social
Studies)
Ditambah dengan:
Dukungan Individual (Individual support)
Teknologi Informasi (Information technology)
Jam Kelas (Class hours)
Workshop Ekspresi Seni/Artistik (Artistic expression workshops)
Praktek sosial budaya Social and cultural practices)
Pendidikan Kewarganegaraan
Pada tingkat sekolah menengah dinamakan "education civique, juridique et sociale"
(civic, legal and social education). Ini mengarahkan untuk mencerminkan arti penting
Pemerintahan pada warganegara nya mempunyai suatu pengetahuan hukum dan
sistem yang undang-undang yang sah. Silabus dirancang untuk memungkinkan para
siswa untuk berdebat sosial dari sudut pandang pelajaran sebelumnya mereka. Di
seconde, pelajaran kewarga negaraan pendidikan mempunyai empat tema utama:
Kewarga negaraan Dan Civility/Incivilas
Kewarga negaraan Dan Integration/Exclusion (dengan tema kebangsaan)
Kewarganegaraan, hukum dan hubungan di tempat kerja
Kewarga negaraan dan kehidupan keluarga
Karena yang akhir tahun ke dua pendidikan sekunder tema yang luas di dalam tem
diskusi adalah 'institutions and citizenship in practice' and 'citizenship in a changing
world'.
Pendidikan religius
Di Perancis pelajaran agama tidaklah diajar sebagai pokok disekolah walaupun mungkin
saja di lain area kurikulum. Satu-Satunya perkecualian adalah di Upper Rhine, Lower
Rhine, and Moselle départements , yang sudah bertahan sejak tahun 1918. Pendidikan
Perancis mengumumkan program acara baru untuk pelajaran religius untuk sekolah.
Program acara yang baru tidak memperkenalkan studi religius sebagai pokok tetapi
lebih memperkuat topik pengintegrasian seluruh kurikulum. diarahkan untuk
memperluas pemahaman dan pengetahuan peristiwa dunia siswa dan budaya.
Pengaturan waktu belajar
the seconde class of the lycée d'enseignement générale et technologique (LEGT)
Mathematics 3 + (1 Mod)
e. menganalisis data dalam rangka melihat orang dan peristiwa di dalam konteks
f. menguji isu, peristiwa, atau tema sekarang dan menghubungkannya dengan
peristiwa yang lampau
Pada Akhir Kelas 8, Para Siswa Akan
a. merumuskan pertanyaan mendasarkan pada kebutuhan informasi
b. menggunakan strategi efektif untuk menempatkan informasi
c. membandingkan dan mengkontraskan penafsiran ttg peristiwa sekarang dan
peristiwa historis
Pada Akhir Kelas 10, Para Siswa Akan
a. menginterpretasikan peristiwa dengan mempertimbangkan kesinambungan dan
perubahan, kekhilafan dan kesalahan, dan mengubah penafsiran sejarawan
b. menciri fakta dari fiksi dengan membandingkan sumber tentang figur dan peristiwa
dengan karakter fictionalized dan peristiwa
c. meringkas informasi dalam tulisan, grafis, dan format lisan
Pada Akhir Nilai/Kelas 12, Para Siswa Akan
a. meneliti bagaimana peristiwa historis membentuk dunia modern
b. merumuskan pertanyaan dan hipotesis
c. menyatukan, menganalisis informasi dari sumber primer dan sekunder untuk
mendukung atau menolak hipotesis
d. menguji data sumber di dalam konteks historis, sosial, politis, mengenai ilmu bumi,
atau konteks ekonomi di mana dikreasikan, menguji kredibilitas dan mengevaluasi
bias.it apakah
e. engevaluasi isu sekarang, peristiwa, atau tema dan melacak evolusi mereka melalui
periode historis
f. menerapkan keterampilan problem-solving untuk memecahkanmasalah nasional,
negara, atau lokal
g. menganalisis perubahan sosial, politis, dan budaya dan mengevaluasi dampak
masing-masing pada peristiwa dan isu lokal, negara, nasional dan internasional
h. mengevaluasi komunikasi historis dan kontemporer untuk mengidentifikasi akurasi
fakta, ketelitian bukti, dan ketidakhadiran bias dan mendiskusikan strategi yang
digunakan oleh pemerintah, politis calon, dan media untuk komunikasi dengan
masyarakat.
Dari grade 2 sampai 12 keterampilan atau kompetensi social
studies menunjukkan kontinuitas atau kesinambungan antar level dalam esensial
komptenesi yang diharapkan. Disamping itu menunjukkan semakin tinggi level,
semakin tinggi dan mendalam pula keterampilan yang diharapkan siswa pada
pelajaran social studies. Social Studiesdiajarkan di Amerika Serikat pada semua
jenjang pendidikan. Pada jejang sekolah menengah meliputi Civics, Ekonomi,
Geografi, dan Sejarah yang diajarkan pada semua jenjang kelas.
Proses pembelajaran menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan
bertujuan agar penguasaan dari kognitif , afektif, serta psi-komotorik terbentuk pada
diri siswa (Moh. Amin, 1987:42), maka alat ukur hasil belajarnya tidak cukup jika
hanya dengan tes obyektif atau subyektif saja. Dengan cara penilaian tersebut
keterampilan siswa dalam melakukan aktivitas baik saat melakukan percobaan
maupun menciptakan hasil karya belum dapat diungkap. Demikian pula tentang
aktivitas siswa selama mengerjakan tugas dari guru. Baik berupa tugas untuk
melakukan perco-baan, peragaan maupun pengamatan.
Penilaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan
pendidikan dasar maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tujuan
pembelajaran yang dirumuskan pada langkah awal pembelajaran digunakan sebagai
acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan proses penilaian yang akan dilakukan.
Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo dkk., 1991:94) tujuan tidak hanya
merupakan arah yang dapat membentuk atau mewarnai kurikulum dan memimpin
kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat menyediakan spesifikasi secara terperinci
bagi penyusunan dan penggunaan teknik-teknik penilaian. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara je-las dan spesifik
akan menunjang proses penilaian yang tepat dan dapat membantu di dalam
menetapkan kualitas dan efektivitas pengalaman belajar siswa.
BAB III
STUDI KOMPARATIF PENDIDIKAN IPS
3.1 Studi Komparatif pendidikan IPS
Pendidikan IPS adalah pendidikan yang penuh tantangan tetapi tetap kerdil
karena landasan filosofis esensialisme dan perenialisme yang digunakan.
Berdasarkan filosofi ini maka peserta didik IPS hanya belajar pengetahuan yang
sudah jadi sebagaimana terdapat di dalam buku teks, terpisah dari sumber informasi
primer yaitu masyarakat, dan tidak berorientasi kepada lingkungan masyarakat
terdekat. Model ECA yang kental dengan prinsip dan dikembangkan Hanna tidak
pernah mendapatkan perhatian dan kajian lebih lanjut karena orientasi pendidikan
yang lebih mementingkan disiplin ilmu sebagai alat pengembangan intellectual skills.
Desain kurikulum “transfer of information” yang digunakan pendidikan IPS memang
sesuai dengan kedua filosofi tersebut tetapi sangat tidak sesuai dengan filosofi yang
menghendaki peserta didik mengembangkan berbagai social skills, communicative
skills, dan citizenship education
Sejak dikembangkan sistem pendidikan sekolah formal di Amerika, setidak-
tidaknya ada empat paradigma pendidikan yang saling bersaing dan mengkritik,
tetapi juga saling silang-kait antara yang satu dengan yang lainnya (Lapp:1975).
Salah satu paradigma yang dikenal adalah paradigma klasik yaitu perennialisme dan
esensialisme yang berasumsi bahwa pendidikan sebagai aktivitas enkulturasi,
pelestarian dan pewarisan gagasan dan nilai-nilai lama dari generasi ke generasi,
dikritik karena memposisikan anak sebagai penerima pasif tanpa memiliki hak dan
kebebasan memilih dan tidak lebih dari sekedar tunnel educationyang hanya
menyampaikan pengetahuan yang sudah fixed dan taken for granted sebagai
kebenaran.
Bidang kajian PIPS sendiri sudah lama sekali disadari dalam keadaan carut marut.
Pertentangan dalam definisi di antara para pakar, fungsi yang tumpang tindih, kekaburan
dalam landasan filosofis, serta distorsikonseptual di kalangan para pemraktik PIPS di
lapangan sehingga ada indikasi kuat bahwa praktik PIPS sudah keluar dari jalur. (Barr,
Shermis, & Barth; 1978,1987).
Konseptualisasi PIPS sarat kepentingan (very Interested), tidak lepas dari perjuangan berbagai
kelompok kepentingan[2] di dalam masyarakat agar gagasan, aspirasi dan kepentingannya
dimasukkan sebagi inti kurikulum PIPS di sekolah. (Kliebard dalam Lybarger, 1991;
Brophy & Alleman, 1996).
a) aturan-aturan sekolah yang birokratis, sehingga para guru terikat oleh pendekatan tradisional
dan konvensional,
Kalaupun ada sebagian guru yang mau bersikap terbuka dan humanistik,
mereka justru merasa sebagai orang yang teralinasi dalam realitas sistem
pendidikan yang masih konvensional. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan
dan juga pertanyaan di kalangan pakar PIPS luar dan dalam negeri, seperti:
Sejauh ini, para guru PIPS senantiasa diingatkan perlunya memahami kecenderungan-
kecenderungan mutakhir di dalam disiplin mereka (PIPS). Reformasi kurikulum, pelatihan
dan pelatihan ulang bagi guru, serta perubahan sekuensi bidang kajian pun sudah diikhtiarkan
untuk memecahakan masalah kejenuhan, kesalahan persepsi dan relevansi… (akan tetapi)
mengapa pula hingga sejauh ini masih begitu banyak siswa sekolah dasar yang melihat PIPS
sebagai kajian yang tidak relevan tentang fakta-fakta, data-data dan peristiwa-peristiwa?
Mengapa gagasan-gagasan pembaharuan PIPS yang telah dilakukan selama ini tidak juga
membangkitkan minat dan harapan siswa bahkan sejak masuknya PIPS dalam kurikulum
sekolah masih ditemukan 10 mitos tentang PIPS.[3]
Fouts (1990:418)
Fakta dari perspektif gender, baik siswa laki-laki maupun perempuan secara ekstrem sama-
sama memiliki pandangan negatif terhadap PIPS. Dari 1.174 siswa sampel, maksimal hanya
20-an persen saja yang menjadikan PIPS sebagai mata pelajaran yang disukai. Penyebabnya
antara lain karena materi kurikulum, metodologi pembelajaran dan lingkungan kelas yang
kurang menarik, pasif, kurang menantang siswa untukbelajar dan terlalu sarat beban.
Sumantri (2001)
Dari aspek proses, praktik PIPS baru sebatas transfer informasi dan bahan hafalan, peranbuku
teks dan guru sangat dominan (masih menggunakan pendekatan ekspositorik/teacher talk
oriented).
Al-Muchtar (1991)
Dari aspek materi, PIPS dipandang kurang memuat masalah sosial, budaya dana nilai dalam
hidup keseharian anak, kurang dikemas sebagai “problematic statement”, lebih berorientasi
pada penguasaan struktur keilmuan daripada realitas sosial budaya keseharian sebagai sumber
nilai ajukan bagi anak, terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan
orientasi belajar anak.
Hasan (1996)
PIPS belum sepenuhnya mampu mengembankan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan
pembentukan karakter atau kepribadian umum, sebagai dua hal yang seharusnya menjadi
kepedulian dalam pengembangan PIPS pada masa mendatang.
Drost (2001:251-255)
Terjadi proses ideologisasi yang disebabkan oleh kondisi internal mikro PIPS[4] dan kondisi
eksternal makro yaitu politik pendidikan nasional yang terlalu berorientasi pada sains dan
teknologi, serta mentalitas masyarakat Indonesia yang juga amat mementingkan ilmu eksakta
dan teknologi. Kondisi ini akhirnya berpengaruh pula terhadap minat dan hasrat siswa untuk
memilih PIPS sebagai bidang studi atau jurusan yang layak ditekuni.
Komisi PIPS, NCSS dan Pakar PIPS, sepakat bahwa konstruksi program PIPS
perlu diorganisasi secara “sekuensial” bermula dari lingkungan (institusi dan
komunitas) sekitar, yang paling dekat atau akrab dengan anak, hingga ke lingkungan
yang paling jauh dan luas (mendunia). Gagasan ini melahirkan sebuah konsepsi
kurikulum dari Hanna yang dikenal sebagai “expanding communities approach” atau
Model ECA (Hasan, 1996:145-146). Model ini digunakan untuk pendidikan sosial
yang mempersiapkan siswa terutama untuk berkiprah dalam masyarakat sebgai
anggota biasa suatu masyarakan dan bukan sebagai calon untuk dididik sebagai
ilmuwan atau tenaga kerja tingkat perguruan tinggi. Fokus kajiannya adalah
“sembilan aktivitas dasar manusia” (the nine basic human activities).
Namun model Hanna walaupun diakui dan diformalkan oleh NCSS sebagai
model kurikulum nasional PIPS, mendapat kritik dari Ravitch (1996). Ravitch
mengkritik bahwa model Hanna telah menjadikan PIPS semacam “tot sociology”
(sosiologi untuk anak-anak) dan mengalami pengosongan (vuocusness) dan
penyucian (sterility) dari materi lokal. Atas keberatan dan penolakan Ravicth
terhadap kurikulum model Hanna di atas, Brophy & Alleman (1996) berasumsi
bahwa kegagalan PIPS sebagai program pendidikan sesungguhnya bukan pada
kerangka berpikir yang meletakkan konstruksi PIPS dalam konteks “expanding
communities of men”, melainkan lebih pada “cara topik-topik PIPS tersebut
dipikirkan”.
Maksudnya, kekeliruan tadi terletak pada cara pandang para pakar cenderung
meletakkan topik-topik PIPS menurut cara-cara berpikir ilmuwan sosial yang
menganut prinsip “cultural universals” dengan asumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan
dasar dan pengalaman-pengalaman sosial manusia selalu ada dalam semua
kelompok masyarakat sehingga para pakar beranggapan bahwa siswa bisa
mendapatkan pengertian mendasar atas konsep-konsep atau prinsip-prinsip
universalitas tersebut. Padahal yang esensial bagi siswa adalah bagaimana
memahamkan mereka tentang kerja sistem sosial berlangsung, mengapa pula
terdapat perbedaan-perbedaan dalam konteks geografis dan waktu, serta
bagaimana pula signifikansi kerja sistem sosial tersebut terhadap keputusan-
keputusan sosial yang harus diambil sebagai pribadi, anggota masyarakat atau
sebagai warga negara.
Untuk itu jika model Hanna akan dikembangkan kembali dalam kurikulum
PIPS, model tersebut memerlukan berbagai modifikasi, elaborasi, dan pengayaan.
Diperlukan pula perpaduan dengan suatu pendekatan yang disebut “holistic-
interactive approach”, agar anak dapat lebih memperoleh suatu pandangan yang
kompleks dan utuh atas dunianya (Parker, 1991:108). Diharapkan anak ada dalam
posisi being itself sehingga muncul pemikiran radikal dari aluran interksional yang
mengasumsikan pendidikan sebagai aktivitas interdependensi dan dialogis antara
siswa dengan dunia nyata untuk suatu kehidupan bersama yang lebih baik sebagai
rumah budayanya (cultural home), juga perlu mendapat perhatian. Tujuan akhirnya
adalah pembentukanmeaning and identity bagi anak sendiri sebagai makhluk yang
memiliki kesadaran sosial dan kesadaran diri (Lapp, 1975). Program-program PIPS
haruslah dikembangkan berpusat pada diri siswa dan memberikan berbagai peluang
bagi mereka untuk menjadi partisipan aktif dan telibat dalam pembelajaran, serta
membelajarkan anak tentang keterampilan-keterampilan kewarganegaraan secara
aktif dan bertanggung jawabbukan hanya mendidik mereka untuk sekedar menerima
peran-peran sebagai warga negara pasif (Cleaf, 1991:ix).
Hal ini penting agar mereka bisa mencapai tingkat pengertian yang sangat
dibutuhkan agar mereka bisa berfungsi secara efektif sebagai orang dewasa nanti
yang mengharuskan mereka mengembangkan karakter dasar kewarganegaraan
agar bisa menjadi warganegara efektif dan bertanggung jawab sebagai atribut
mendasar bagi kelangsungan sebuah masyarakat demokrasi dan sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh PIPS.
Pembelajaran IPS akan dimulai dengan pengenalan diri (self), kemudian keluarga,
tetangga, lingkungan RT, RW, kelurahan/desa, kecamatan, kota/kabupaten,
propinsi, negara, negara tetangga, kemudian dunia. Anak bukanlah sehelai kertas
putih yang menunggu untuk ditulisi, atau replika orang dewasa dalam format kecil
yang dapat dimanipulasi sebagai tenaga buruh yang murah, melainkan, anak adalah
entitas yang unik, yang memiliki berbagai potensi yang masih latent dan
memerlukan proses serta sentuhan-sentuhan tertentu dalam perkembangannya.
Mereka yang memulai dari egosentrisme dirinya kemudian belajar, akan menjadi
berkembang dengan kesadaran akan ruang dan waktu yang semakin meluas, dan
mencoba serta berusaha melakukan aktivitas yang berbentuk intervensi dalam
dunianya. Maka dari itu, pendidikan IPS adalah salah satu upaya yang akan
membawa kesadaran terhadap ruang, waktu, dan lingkungan sekitar bagi anak
(Farris and Cooper, 1994 : 46).
Pendidikan IPS disajikan dalam bentuk synthetic science, karena basis dari
disiplin ini terletak pada fenomena yang telah diobservasi di dunia nyata. Konsep,
generalisasi, dan temuan-temuan penelitian dari synthetic science ditentukan
setelah fakta terjadi atau diobservasi, dan tidak sebelumnya, walaupun diungkapkan
secara filosofis. Para peneliti menggunakan logika, analisis, dan keterampilan (skills)
lainnya untuk melakukan inkuiri terhadap fenomena secara sistematik. Agar
diterima, hasil temuan dan prosedur inkuiri harus diakui secara publik (Welton and
Mallan, 1988 : 66-67). Hal ini dikemukakan oleh Jhon Dewey, (dalam Numan, S,
dkk, 1997: 23) mengungkapkan bahwa: “Masalah yang utama dalam pengajaran
sosial ialah bagaimana menemukan bahwa pelajaran yang dapat memberikan
dorongan siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yag cocok dengan waktu,
kebutuhan serta cita-cita peserta didik, karenanya guru seyogyanya berusaha
mencari dan merumuskan stimuli-stimuli yang mampu membina respon murid ke
arah terciptanya kecakapan intelektual dan pertumbuhan rasa yang
dikehendaki. Untuk itu program pengajaran harus mampu menyajikan masalah
lingkungan kehidupan anak”.
Kalau kita perhatikan, banyak sekali sumber daya potensial yang berada di
sekolah yang dapat kita jadikan sebagai sumber belajar. Di sekitar sekolah kita
terdapat masjid, toko, pasar, kolam, tempat rekreasi, kebun, pabrik, grup seni, dan
lain-lainnya. Secara fungsional itu semua dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
dalam proses belajar mengajar siswa. “Secara umum, proses belajar mengajar
dengan mengaplikasikan lingkungan alam sekitar adalah upaya pengembangan
kurikulum dengan mengikutsertakan segala fasilitas yang ada di lingkungan alam
sekitar sebagai sumber belajar”. (Lily Barlia. 2002 : 2).
b) Keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat
(keterampilan diri yang sesuai dengan kemampuan dan bakat, bekerja sama, berpartisipasi
dalam masyarakat)”.
Keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh peserta didik (Marsh Colindalam Nana
Supriatna (2002:15) adalah: keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi,
pengendalian diri, bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan masalah, serta
keterampilan dalam membuat keputusan.
Mengkomunikasikan pokok pikiran maupun hasil temuan dalan PIPS dapat dilakukan secara
langsung secara lisan dan dapat pula melalui pemanfaatan media melalui latihan yang rutin
(Hasan, 1996:230). Seseorang akan dikatakan berhasil dalam komunikasi jika dapat
memperhatikan dua hal berikut:
Suatu kenyataan yang harus disadari oleh guru-guru IPS melihat kenyataan budaya yang
berlaku di Indonesia bahwa guru selalu benar, orang tua harus dihormati dan tidak boleh
bersilang pendapat dengan orang yang lebih tua.
Pendidikan ilmu-ilmu sosial perlu mengembangkan aspek sikap, nilai, dan moral, dasarnya
adalah ”tidak ada disiplin ilmu yang bekerja dalam suasana value and moral free (Nagel,
1961 ; Hasan, 1977 ; Lincoln dan Guba, 1985 ; Trigg, 1991). Bahwa selama ilmu itu
dikembangkan, maka tidak mungkin ilmu bebas dari orang yang mengembangkannya.
Sebagai manusia selalu terikat nilaidanmoral yangberlaku di masyarakat. selain itu
kedudukan ilmu-ilmu sosial sebagai wahana untuk menarik perhatian generasi muda sehingga
bagaimana mereka tertarik belajar ilmu sosial. Khususnya berhubungan dengan kedudukan
ilmu-ilmu sosial sebagai wahan pendidikan, ia memiliki tugas mengembangkan kepribadian
siswa yang utuh dan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Yang pada akhirnya sikap, nilai,
danmoral dapat dikembangkan pendidikan ilmu-ilmu sosial adalah (Hasan, 1996:114-116):
Pengetahuan dan pemahaman tentang nilai dan moral yang berlaku dalam masyarakat seperti
religius, penghormatan terhadap keteladanan, prestasi, sifat kepedulian sosial, menghormati
orang tua, kepedulian terhadap tetangga, dan sebagainya.
Toleransi.
Kerja sama / gotong royong.
Hak azasi manusia
3.3 Jenis Kecakapan Hidup
Kecakapan hidup dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kecakapan dasar
dan kecakapan instrumental/fungsional Kecakapan dasar adalah ekcakapan yang
bersifat universal dan merupakan fondasi/pilar bagi peserta didik untuk bisa
mengembangkan kecakapan hidup yang bersifat instrumental/fungsional. Sedang
kecakapan hidup yang bersifat instrumental adalah ekcakapan hidup yang bersifat
kondisional dan dapat berubah-ubah sesuai dengan derap perubahan waktu, situasi,
dan harus diperbarui secara terus menerus sesuai dengan perubahan . Mengingat
perubahan kehidupan berlangsung secara terus menerus, maka kecakapan yang
mutakhir, adaptif dan antisiaptif. Oleh karena itu prinsip belajar sekali tidak perlu
belajar algi, sudah tidak relevan.
Slamet (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm) mengidentifikasi kategori dimensi
hidup bersifat dasar dan instrumental yang dirinci sebagai berikut:
a. kecakapan dasar
1) Kecakapan belajar terus menerus
2) Kecakapan membaca, menulis, dan mendengar
3) Kecakapan berkomunikasi secara lisan, tertulis, tergambar.
4) Kecakapan berfikir induktif, deduktif, ilmiah, nalar, kritis, kreatif, literal, eksploratif,
diskoveri, dan berpikir sistem.
5) Kecakapan kalbu: spiritual, emosional, rasa, moral, dsb.
6) Kecakapan mengelola kesehatan badan
7) Kecakapan merumuskan kepentingan dan upaya-upaya yang diperlukan untuk
memenuhinya, dan
8) Kecakapan berkeluarga dan bersosial.
b. Kecakapan Instrumental/Fungsional
1) Kecakapan menggunakan dan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan
2) Kecakapan mengelola sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya,
(peralatan, perlengkapan, bahan, dsb)
3) Kecakapan bekerjasama dnegan orang lain
4) Kecakapan memanfaatkan informasi
5) Kecakapan menggunakan sistem dalam kehidupan
6) Kecakapan berwirausaha
7) Kecakapan keterampilan kejuruan, termasuk olah raga dan seni (cita rasa).
8) Kecakapan memilih, menyiapkan, dan mengembangkan karir
9) Kecakapan menjaga harmoni dengan lingkungan (fisik dan nirpisik)
10) Kecakapan menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila
1. Materi IPS
Ada 5 macam sumber materi IPS antara lain:
a. Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah,
desa, kecamatan sampai lingkungan yang luas negara dan dunia dengan berbagai
permasalahannya.
b. Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan, produksi, komunikasi,
transportasi.
c. Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat
sejak dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.
d. Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah
lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang
besar.
e. Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan,
keluarga.
2. Strategi Penyampaian Pengajaran IPS
Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu
tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat/tetangga,
kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti ini disebut “The Wedining Horizon or
Expanding Enviroment Curriculum” (Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa Sekolah Dasar, merupakan periode keserasian bersekolah, artinya
anak sudah matang untuk besekolah. Adapun kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai
berikut.
1. Anak harus dapat bekerjasama dalam kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh
tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga lain yang dikenalnya.
2. Anak memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari
keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
3. Secara jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Anak merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia
sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa,
benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar
lingkungnnya.
2. Anak adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan
menemukan sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3. Anak ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin aktif,
belajar, dan berbuat
4. Anak mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang seringkali
kurang penting/bermakna
5. Anak kaya akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-
pengalaman seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami
orang-orang di sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis
dan memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat
diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a. Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b. Suka memuji diri sendiri
c. Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e. Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a. Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar, dan realistis
c. Timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit.
Oleh karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan
siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus
bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.
Berdasarkan pada apa yang menjadi focus pengajaran, sekurang-kurangnya
dikenal tiga pola desain kurikulum, (Sukmadinata,2004:113-124; Tilaar, 2003: 240-
243) yaitu:
Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
Problem centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang
dihadapi dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka ide atau pemikiran kurikulum IPS yang
harus dikembangkan dalam era global adalahrekonstruksionisme sehingga tentunya
proses pembelajaran IPS yang dikendaki pun harus mengejawantahkan ide-
ide rekonstruksionisme. Di Indonesia sendiri dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan IPS lebih cenderung ke
arahrekonstruksionisme. Secara tegas dinyatakan dalam kurikulum Pendidikan IPS
dalam rambu-rambu pembelajaran, bahwa pembelajaran Pendidikan IPS hendaknya
merupakan pendekatan pembelajaran konstekstual, yang dapat dilaksanakan
diantaranya melalui metodeinquiry, problem solving, dan portfolio yang sebenarnya
didengungkan pula oleh para global reformis dalam pendidikan IPS.
Di Ohama dan Newyork sudah pendidikan lebih diarahkan kepada
kemampuan siswa tersebut sehingga siswa dapat lebih berfikir kritis dan kreatif
dalam menjalankan pembelajaran mereka.
Materi yang di dapat mayoritas sama antara negara yang satu dengan negara
lainnya hanya di Indonesia, pemberian materi hanya sekedar transfer ilmu saja
sementara di Ohama dan NewYork materi yang diajarkan lebih kepada arahan
berfikir global bertindak lokal sehingga pembahasan perekonomian di kedua negara
tersebut dimulai dari perekonomian negara sampai ke perekonomian dunia.
IPS merupakan bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum
1975. Dikatakan baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan
perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi.
Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut mempunyai kajian
yang sama yaitu manusia.
Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan
lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media cetak, media
elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah
msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap
untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah
sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di
Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat
pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru.
Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan
menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara
lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan
pembangunan nasional.
Dalam berbagai literatur, kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau
rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik
melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum
harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis, yang
berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik
yang mengikuti kurikulum tersebut. Kualitas pendidikan di atas mengandung arti
bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus
dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta
didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Z. dan Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Buchari Alma, 2007, Apa dan Bagaimana Studi Sosial Diajarkan, Makalah pada Seminar
Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007,
Bandung: Program Studi PIPS Sekolah Pascasarjana UPI
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery. Columbus: Merrill
Publishing Company.
Cavendish, S. et al. (1990). Observing Activities: Assessing Science in the Primary Class-
room. London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Course Standards for Omaha Public Schools Required 10th Grade Semester Course in
Economics (OPS),http://ecedweb.unomaha.edu/standards/OPSstandards10.cfm
Collins,A, 1992. Potofolio for Science Education: Issues in Purpose, Structure, and
Authenticity. Science Eduducation. 76(4): 451-463.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi Standar Mata
Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta:
Direktorat Pembinaan SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman Pengembangan Silabus.
Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Doran, R. et al., 1998. Science Educator’s Guide to Assesment. Virginia: NSTA
Depdiknas. 2001. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.
Jakarta: Depdiknas.