Anda di halaman 1dari 29

SEMINAR KIMIA

Judul : Pengaruh Malation terhadap gangguan fungsi mitokondria


Bidang : Biokimia
Penyaji : Anis Ro’iyatunisa
Pembimbing : Dr. Heli Siti Halimatul Munawaroh, S.Pd., M.Si.
Tempat : Laboratorium Kimia Instrumen (LKI)

ABSTRAK
Disfungsi mitokondria pada keracunan akut akibat pestisida organofosfat dapat
menyebabkan kematian pada manusia. Malation merupakan salah satu jenis
insektisida organofosfat yang digunakan untuk membunuh serangga. Pada makalah
ini dibahas mengenai pengaruh malation terhadap gangguan fungsi mitokondria. Dari
hasil penelitian diperoleh bahwa paparan malation sebanyak 400mg/kg berat tikus,
dapat menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase (AChE) sebanyak 70%.
Asetilkolin (ACh) yang tidak terdegredasi menumpuk pada sinapsis saraf dan
neuromuscular junction (NMJ) yang dapat mengakibatkan kelemahan otot atau yang
disebut miopati mitokondria. Malation dapat mengakibatkan penurunan aktivitas
beberapa enzim yang terlibat dalam rantai respirasi mitokondria (Mitochondria
Respiratory Chain) serta jalur metabolisme. Malation juga dapat menghambat sinyal
apoptosis pada mitokondria (kematian sel yang terprogram untuk regenerasi sel).
Toksisitas malation sangat cepat, karena memiliki daya absorbsi yang baik dan
afinitas yang tinggi terhadap enzim AChE.

Kata kunci : disfungsi mitokondria , malation, asetilkolinesterase (AChE), asetilkolin


(Ach), neuromuscular junction (NMJ), Mitochondria Respiratory Chain (MRC).

DAFTAR PUSTAKA

Mohajeri, S.K. et al. (2014). “Mechanisms of muscular electrophysiological and


mitochondrial dysfunction following exposure to malation, an organophosphorus
pesticide”. Journal of Hum Exp Toxicol. 33, (3), 251–263.
Mohajeri, S.K, dan Abdollahi, M. (2013). “Mitochondrial dysfunction and
organophosphorus compounds”. Journal of Toxicology and Applied
Pharmacology, 270,39–44.
Mohajeri, S.K. dan Abdollahi, M. (2011). Toxic influence of organophosphate,
carbamate, and organochlorine pesticides on cellular metabolism of lipids,
proteins, and carbohydrates: A systematic review”. Journal of Hum Exp Toxicol.
30, (9), 1119–1140.

1
I. PENDAHULUAN
Jumlah penduduk dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan.
Menurut proyeksi data statistik Indonesia tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia
mencapai 242 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2014 diperkirakan jumlah
penduduk Indonesia meningkat menjadi 244,8 juta jiwa (Data Statistik Indonesia,
2014). Pertambahan penduduk ini tentunya berbanding lurus dengan kebutuhan
pangan. Dalam rangka mencukupi kebutuhan tersebut, pemerintah Indonesia
mencanangkan beberapa program dibidang pertanian. Salah satunya adalah
program intensifikasi tanaman pangan. Program ini tentu ditunjang dengan
perbaikan teknologi pertanian, penggunaan varietas, perbaikan teknik budidaya
yang meliputi pengairan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Awalnya
program ini berjalan dengan baik, tetapi lambat laun muncul berbagai masalah
seperti munculnya hama pada tanaman pangan. Untuk memecahkan masalah
tersebut, dilakukanlah upaya untuk mematikan hama dengan pemakaian pestisida
(Rini, 2007).
Penggunaan pestisida tidak hanya memberikan dampak positif terhadap
bidang pertanian, tetapi juga memberikan dampak negatif yang tidak bisa
dihindari. Dampak tersebut antara lain: residu pestisida akan terakumulasi pada
produk-produk pertanian, pencemaran pada lingkungan pertanian, penurunan
produktivitas, keracunan pada hewan, keracunan pada manusia yang berdampak
buruk terhadap kesehatan. Keracunan yang disebabkan oleh pestisida, baik
bersifat akut maupun kronis dapat berdampak pada kematian. Menurut World
Health Organization (WHO), di dunia paling tidak 20.000 orang per tahun mati
akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun
mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat
tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Kasus keracunan pestisida di Indonesia
paling banyak terjadi pada tahun 2001 sampai tahun 2005, dimana tercatat 4867
orang yang menderita keracunan dan 3789 orang yang meninggal dunia (Depkes
RI, 2007).

2
Pestisida yang banyak digunakan di Indonesia adalah pestisida dari golongan
organofosfat. Hal tersebut dikarenakan organofosfat lebih cepat terdegradasi di
lingkungan, yaitu hanya beberapa minggu atau bulan saja, sementara pestisida
jenis lain dapat mencapai satu tahun untuk dapat terdegradasi di lingkungan
(Zuraida, 2012). Pada umumnya pestisida masuk ke tubuh melalui saluran
pernafasan, absorpsi kulit, dan melalui makanan yang berasal dari produk
pertanian yang mengandung residu pestisida. Pada makalah ini akan dibahas
mengenai efek pestisida malation sebagai salah satu jenis pestisida organofosfat
yang sering digunakan, terhadap gangguan fungsi mitokondria.

3
II. PENGARUH PESTISIDA MALATION TERHADAP GANGGUAN
FUNGSI MITOKONDRIA

A. Pestisida malation
1. Pengertian pestisida
Secara harfiah pestisida berasal dari kata pest: hama dan cide: membunuh,
jadi pestisida diartikan sebagai pembunuh hama. Berdasarkan SK Menteri
Pertanian RI No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang syarat dan tata cara
pendaftaran pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia
atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan
berikut :
a) memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian
tanaman, atau hasil-hasil pertanian;
b) memberantas rerumputan;
c) mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
d) mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman
(tetapi tidak termasuk golongan pupuk).
Toksisitas atau daya racun pestisida merupakan sifat bawaan pestisida yang
menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung (atau
bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk manusia. Toksisitas
dibedakan menjadi toksisitas akut dan toksisitas kronik. Toksisitas akut merupakan
pengaruh merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal
suatu bahan kimia atau pemberian dosis ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam.
Toksisitas akut dinyatakan dalam angka LD50 (lethal dose), yaitu dosis yang bisa
mematikan 50% dari binatang uji (umumnya tikus) yang dihitung dalam mg/kg
berat badan. Toksisitas kronik adalah pengaruh merugikan yang timbul akibat
pemberian takaran harian berulang dari pestisida atau pemaparan pestisida yang
berlangsung cukup lama, biasanya lebih dari 50% rentang hidup (Runia, 2008).
Berdasarkan kegunaannya pestisida dikelompokkan menjadi beberapa jenis,
salah satunya adalah insektisida. Insektisida merupakan zat atau senyawa kimia

4
yang dipergunakan untuk mematikan atau memberantas serangga. Berdasarkan
senyawa kimia pensusnnya, insektisida dibedakan sebagi berikut: senyawa
organofosfat, senyawa organoklorin, karbamat, phirethin dan fumigam. Pada
makalah ini pembahasan hanya ditekankan pada salah satu jenis insektisida
organofosfat saja yaitu malation.

2. Pestisida organofosfat
Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama
Perang Dunia II dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Pada
tahun 1937, G. Schrader menyusun struktur dasar organofosfat (Runia, 2006).
Organofosfat adalah derivat dari asam fosfat atau asam tiosulfat. Jenis pestisida ini
mengandung unsur-unsur fosfat, karbon, oksigen serta hidrogen. Pestisida
organofosfat terdiri dari satu atau lebih gugus fosfor yang terikat pada molekul
organik. Organofosfat dibuat dari suatu molekul organik yang direaksikan dengan
fosforilat (Sinulingga, 2006). Beberapa jenis pestisida organofosfat antara lain:
diazinon, dibrom, di-syston, dylox, etion, gution, malation, paration, fosdrin,
systox, TEPP, forate, trition, dan DIPF.
Pestisida golongan organofosfat banyak digunakan karena sifat-sifatnya
yang menguntungkan. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam
tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Dengan takaran yang
rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah
terurai (Runia, 2006). Organofosfat juga lebih cepat terdegradasi di lingkungan,
yaitu hanya beberapa minggu atau bulan saja, sementara pestisida jenis lain dapat
mencapai satu tahun untuk dapat terdegradasi di lingkungan. Selain itu, fosfat atau
fosfor juga merupakan unsur hara yang diperlukan bagi tumbuhan karena
berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar terutama pada awal-awal
pertumbuhan, mempercepat pembuangan, serta pemasakan biji dan buah. Tanaman
menyerap fosfat dalam bentuk ion ortofosfat (H2PO4-) dan ion ortofosfat sekunder
(HPO42-) serta dapat juga diserap oleh tumbuhan dalam bentuk lain, seperti:

5
pirosulfat, metasulfat dan bentuk senyawa organik yang larut dalam air misalnya
asam nukleat dan phitin. Fosfat mudah bergerak antar jaringan tanaman.

3. Malation
Malation Salah satu jenis pestisida organofosfat yang sering digunakan,
karena relatif lebih aman dibandingkan dengan jenis organofosfat yang lain.
Malation diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida
yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang
beracun bagi serangga. Insektisida ini bertindak sebagai racun kontak dan racun
lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan
dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit. LD50
dari malation berdasarkan Mohajeri (2014) adalah 1200 mg/Kg. Stuktur dari
malation ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur malation


(O,O-dimethyl-S-(1,2-dicarbethoxyethyl)phosphorodithioate)

B. Enzim asetilkolinesterase (AChE)


Enzim merupakan protein yang berfungsi sebagai biokatalis dalam reaksi-
reaksi kimia yang berlangsung didalam tubuh. Enzim dikenal untuk pertama kali
sebagai protein oleh Sumner pada tahun 1926 yang telah berhasil mengisolasi
urease (Poedjiadi, 2007). Sebagai katalis biologis, enzim merupakan katalis yang
efisien karena bekerja secara spesifik dan juga dapat mempercepat reaksi hingga
108-1010 kali lebih cepat dibandingkan reaksi tanpa katalis. Enzim bisa berubah
secara fisik selama memerankan fungsinya dalam suatu reaksi, tetapi akan kembali
kewujud aslinya setelah terjadi suatu reaksi yang lengkap.

6
Enzim asetilkolinesterase (AChE) merupakan enzim golongan hidrolase
yang berperan untuk memecah atau mendegradasi asetilkolin (Ach) menjadi kolin
dan asam asetat. Enzim ini dijumpai terutama dalam serum, hati, dan pankreas.
Reaksi hidrolisis asetilkolin oleh enzim AChE terjadi di daerah sinapsis dan
jaringan saraf pada vertebrata dan invertebrata. Enzim ini sangat diperlukan untuk
menjamin kelangsungn fungsi sistem saraf manusia.
Asetilkolin adalah suatu neurotransmiter yang berfungsi menghantarkan
impuls saraf pada saraf otonom (parasimpatik) dan dan saraf somatik (otot
rangka). Reseptor dari asetilkolin adalah nikotinik dan muskarinik. Kelebihan
asetilkolin akan menyebabkan perangsangan parasimpatik (perangsangan reseptor
nikotinik dan muskarinik), sedangkan jika kekurangan asetilkolin akan
menyebabkan depresi parasimpatik. Jadi kelebihan atau kekurangan Ach akan
berbahaya (Zuraida, 2012).
Reaksi hidrolisis asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase (AChE) adalah
sebagai berikut:

C. Fungsi mitokondria

Mitokondria adalah organel yang digunakan untuk memproduksi energi


dalam bentuk ATP untuk kelangsungan hidup sel. Mitokondria berisi sejumlah
enzim dan protein yang membantu proses metabolisme karbohidrat dan lemak
yang diperoleh dari makanan untuk menghasilkan energi. Setiap tindakan
membutuhkan energi, energi ini disimpan dalam bentuk ATP yang diproduksi di
mitokondria melalui proses fosforilasi oksidatif. Mitokondria terdapat di setiap sel
dan ditemukan dalam konsentrasi tinggi di dalam sel otot, karena otot
membutuhkan lebih banyak energi untuk bergerak. Meskipun fungsi utama

7
mitokondria adalah untuk menghasilkan energi, mereka juga memainkan peran
penting dalam metabolisme dan sintesis zat lainnya dalam tubuh (Sridianti, 2014).
Fungsi mitokondria bervariasi sesuai dengan jenis sel di mana mereka
berada. Fungsi mitokondria antara lain:
1) menghasilkan energi melalui fosforilasi oksidatif;
2) menjaga konsentrasi ion kalsium yang tepat dalam berbagai kompartemen sel;
3) membantu dalam membangun bagian-bagian tertentu dari darah dan hormon
seperti testosteron dan estrogen;
4) mitokondria dalam sel-sel hati memiliki enzim yang dapat mendetoksifikasi
amonia;
5) mitokondria juga memainkan peran penting dalam proses apoptosis (kematian
sel yang terprogram).

Berdasarkan fungsi-fungsi mitokondria yang telah disebutkan, maka akan


dibahas mengenai fungsi mitokondria sebagai penghasil energi dan peran
mitokondria dalam apoptosis sel.

1. Proses fosforilasi oksidatif pada mitokondria atau mitochondria respiratory


chain (MRC)
Mitokondria memiliki fungsi sebagai penghasil energi melalui fosforilasi
oksidatif. Sumber energi yang dimetabolisme di sitoplasma ditransfer ke dalam
mitokondria, kemudian mitokondria melanjutkan proses metabolisme dengan
menggunakan jalur metabolik meliputi siklus Krebs, oksidasi asam lemak dan
oksidasi asam amino. Hasil akhir dari jalur-jalur tersebut adalah produksi dua
donor elektron yang kaya energi, yaitu: NADH dan FADH2. Elektron dari donor
tersebut akan dilewatkan melalui rantai transport elektron menuju oksigen (O2),
yang kemudian direduksi menjadi air. Hal ini merupakan proses redoks panjang
atau mitochondria respiratory chain (MRC) yang terjadi di membran dalam
mitokondria.
Rantai respirasi mitokondria (MRC) memiliki sejumlah besar protein
pembawa elektron yang bekerja secara berurutan untuk memindahkan elektron

8
dari substrat ke oksigen. Protein tersebut merupakan enzim yang terbagi kedalam
beberapa kompleks. Kompleks I (NADH-koenzim Q oksidoreduktase), kompleks
II (suksinat-koenzim Q oksidoreduktase), kompleks III (koenzim Q sitokrom c
reduktase), komplek IV (sitokrom c oksidase), dan kompleks V (ATP sintase).
Transfer elektron dari NADH menuju O2 melibatkan membran dalam multi-
subunit kompleks I, III, dan IV, koenzim Q (kompleks II) serta sitokrom c.
Elektron melintasi pada setiap kompleks secara berurutan melalui beberapa
elektron pembawa. Perpindahan elektron secara keseluruhan adalah sebagai
berikut:
NADH →Kompleks I→Q→ Kompleks III→cytochrome c→ Kompleks IV→ O2

Kompleks II

Dalam mekanisme transfer elektron kompleks I menerima elektron dari


NADH dan mengalirkannya menuju koenzim-Q, bersamaan dengan pemompaan
proton dan matriks menuju ruang antar membran. Selain itu, koenzim-Q juga akan
menerima elektron dari FADH2 (kompleks II) yang dihasilkan dari siklus krebs
dan elektron dari kompleks III. Elektron dari koenzim-Q ini kemudian dialirkan
menuju sitokrom c dan proses ini menyebabkan empat proton terpompa dari
matriks menuju ruang antar-membran. Proses pada saat elektron dialirkan dari
sitokrom c menuju O2 dan O2 direduksi menjadi H2O, dilakukan oleh kompleks IV
yang menghasilkan dua proton untuk dipompa dari matriks menuju ruang antar
membran. Proses pemompaan proton dari matriks menuju ruang antar membran
mitokondria (reaksi transport elektron) menyebabkan terbentuknya gradien
elektrokimia, yaitu pH di ruang antar membran yang lebih rendah dibandingkan
pH dalam matriks mitokondria. Perbedaan proton ini mengandung energi potensial
sehingga bila proton mengalir kembali melalui kompleks V (ATP Sintase), maka
energi dilepas dan menggerakkan sintesis ATP dari ADP dan fosfat anorganik
(Bellinda, 2008). Teori pembentukan ATP akibat adanya gradien elektrokimia
dikenal dengan teori chemiosmotic coupling yang diilustrasikan pada Gambar 2.

9
Gambar 2. Proses pembentukan ATP berdasarkan teori chemiosmotic coupling
pada matriks mitokondria.

2. Proses apoptosis sel


Apaptosis merupakan kematian sel yang terprogram, melalui proses
kerusakan kromatin pada nukleus / inti sel. sel menyusut dengan pembentukan
badan-badan apoptosom (apoptotic body) dan sel mengepak dirinya sendiri untuk
dimakan makrofag. Apoptosis terjadi setiap hari dalam tubuh kita, sel dalam tubuh
ada yang berproliferasi (lahir) dan ada yang mati. Untuk terjadi apoptosis ada
berbagai macam stimulus, stimulusnya sangat terkontrol (bukan sesuatu yang asal
lalu mati). Sentral pada proses apoptosis yaitu caspase, memiliki peran sebagai
protein eksekutor yang memutuskan sel untuk apoptosis (Wane, 2011).
Caspase (cysteine aspartate specific proteases) masih belum aktif dalam
bentuk procaspase. Agar berfungsi, maka caspase harus mengami aktivasi dengan
pemotongan sisi karboksil dan pemotongan sisi terminal amino sehingga sisinya
menempel sedemikian rupa sehingga menjadi aktif caspase. Setiap caspase
berbeda-beda dan memiliki fungsinya masing-masing. Aktifnya caspase maka
selanjutnya ada pembentukan vesikel, dan degradasi DNA. Ada stimulus tertentu
yang merubah procaspase menjadi caspase. Pemicu terjadinya apoptosis bisa
karena radiasi, cell stress, infeksi virus, death receptors, dan grandzymes. Satu

10
molekul caspase dapat mengaktifkan molekul caspase yang lainnya (snowball
effect). Apoptosis dibagi 2 jalur utama yaitu : intrinsik (mitochondrial pathway)
dan ekstrinsik (death receptor). Namun, pada pembahasan ini hanya ditekankan
pada jalur intrinsik (Wane, 2011).
Jalur intrinsik (mitochondrial pathway apoptosis) intinya adalah pelepasan
sitokrom c, karena begitu sitokrom c keluar maka akan diikat oleh Apaf-1
(apoptosis activating factor) yang akan membentuk apoptoseome. Apoptosome
akan mengaktivasi caspase 9 (caspase awal yang diaktifkan oleh sitokrom c),
sehingga caspase 9 akan mengaktivasi caspase selanjutnya (3, 6, dan 7) dan
mengaktifkan sistem yang lain. Protein yang berperan dalam apoptosis yaitu BH1,
BH2, BH3, dan BH4, artinya satu gen yang terdiri dari beberapa lobus. Bila yang
diaktifkan adalah protein BH1, BH2, BH3, BH4 maka akan menjadi Bcl2/Bcl-XL
yang merupakan anti-apoptosis (Bcl-2, Bcl-XL, Bcl-w, Mcl-1, A1), tetapi jika
yang diaktifkan adalah protein BH1, BH2, BH3 (atau hanya BH3) maka akan
menjadi pro-apoptosis (Bim, Puma, tBid, Bad, Noxa, Bax). Contoh dari apoptosis
sel jalur intrinsik adalah selular stress yang diakibatkan oleh radiasi, infeksi virus,
faktor pertumbuhan, dan stress oksidasif. Intinya, sinyal apoptosis melalui pintu
mitokondria yang melibatkan protein bcl-2 dan bugs (p53), walaupun
rangsangannya dari luar, tetapi hancurnya sel terjadi di mitokondria (Wane, 2011).

D. Pengaruh malation terhadap gangguan fungsi mitokondria


1. Pengaruh malation terhadap aktifitas enzim asitelkolinesterase (AChE)
Aktivitas enzim asetilkolinesterase (AChE) dapat dipengaruhi oleh adanya
malation. Penelitian uji toksisitas malation terhadap aktivitas enzim
asetilkolinesterase (AChE) dilakukan pada tikus. Tikus dipilih karena memiliki
sistem fisiologis dan respon yang hampir sama dengan manusia, sehingga
diharapkan hasil penelitian dapat diterapkan juga pada mausia. Sebelum dilakukan
penelitian terhadap enzim AChE, terlebih dahulu tikus dikelompokkan menjadi
dua kelompok, yaitu: kelompok percobaan dan kelompok kontrol. Kelompok
perocobaan diberi makan dengan minyak jagung (gavage) yang dicampur dengan

11
malation sebanyak 50, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500 dan 600 mg/Kg,
sedangkan kelompok kontrol hanya diberi makan minyak jagung. Setelah 24 jam
paparan malation, tikus tersebut dibius menggunakan katamine-xylazine dan
diambil sampel darahnya, kemudian dipreparasi dan dilakukan analisis enzim.
Hasil analisis ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik hubungan dosis malation dengan penghambatan aktivitas enzim


asetilkolinesterase (AChE).

Berdasarkan hasil analisis ditunjukkan bahwa semakin banyak dosis


malation yang diberikan kepada kelompok tikus percobaan, semakin besar
inhibisinya terhadap enzim asetilkolinesterase (AChE). Penghambatan terhadap
aktivitas enzim asetilkolinesterase (AChE) dapat menyebabkan penumpukan
asetilkolin, karena enzim asetilkolinesterase (AChE) yang seharusnya
menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat, tetapi diinhibisi oleh malation.
Malation akan berikatan dengan enzim AChE membentuk kompleks inhibitor-
enzim, sedangkan asetilkolin tidak dapat diikat oleh enzim AChE. Penghambat
malation sangat reaktif, karena bereaksi dengan bagian sisi aktif dari enzim
asetilkolinesterase, yaitu gugus hidroksil (OH) dari residu serin essensial, gugus
OH dari serin digantikan oleh P dari organofosfat, sehingga enzim tidak aktif
untuk mengkatalisis asetilkolin. Reaksi AChE dengan malation ditunjukan pada
reaksi berikut:

12
Penghambatan malation terhadap enzim AChE bersifat irreversible (tidak dapat
diperbaharui) kecuali dengan sintesis enzim asetilkolinesterase baru. Toksisitas
malation sangat cepat, karena memiliki daya absorbsi yang baik serta afinitas yang
tinggi terhadap AChE.
Asetilkolin (ACh) yang tidak dapat didegradasi oleh asetilkolinesterase
(AChE) akan menumpuk pada sinapsis saraf, karena asetilkolin merupakan suatu
senyawa neurotransmiter yang berfungsi di dalam bagian sinaps yang dihasilkan
oleh ujung syaraf (akson) yang telah menerima impuls. Asetilkolin yang dihasilkan
diteruskan ke sel syaraf lainnya atau ke efektor (misalnya otot) untuk meneruskan
impuls syaraf (Suhara, 2009). Akan tetapi, sebelum impuls kedua dapat
dipancarkan melalui sinaps, asetilkolin yang dihasilkan setelah impuls pertama
harus dihidrolisis oleh asetilkolisnesterase (AChE) pada sambungan sel syaraf atau
neuromuscular junction (NJM). Namun, karena AChE tidak dapat menghidrolisis
asetilkolin, maka impuls kedua dan seterusnya tidak akan sampai ke efektor.
Akumulsi asetilkolin pada neuromuscular junction (NJM) akan mengakibatkan
kontraksi otot, yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya reflex dan paralisis.
Adanya gangguan terhadap sistem saraf dapat diketahui dari pemeriksaan
kecepatan hantaran saraf melalui uji elektromiografi (EMG) terhadap otot.
Elektromiografi (EMG) adalah suatu tehnik pemeriksaan dengan menggunakan
elektroda jarum yang ditusukkan ke dalam otot rangka untuk mempelajari
perubahan perubahan potensial listriknya. EMG emrupakan salah satu
pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa fungsi saraf perifer dan otot
(Suhaemi, 2003). Parameter-parameter yang akan dianalisi antaralain: amplitudo
CMAP (compound muscle action potential), durasi CMAP, latensi (interval

13
waktu antara stimulus dengan respon), dan tes kecepatan konduktivitas saraf atau
NVC (nerve conduction velocity) untuk mendeteksi tanda-tanda cidera saraf.
Kelompok tikus yang digunakan untuk uji EMG adalah kelompok tikus
yang mendapatkan paparan malthion sebanyak 400mg/Kg. Setelah 24 jam tikus
dibius menggunakan ketamin-xylazin. Bagian yang diuji adalah otot kaki dan otot
gastrosel (otot lambung). Hasil pengujian elektromiokgrafi (EMG) dan NVC
ditunjukan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan statistik dari amplitudo CMAP, durasi CMAP, latensi,dan


NVC terhadap stimulasi respon dari saraf sciatik dari otot gastrosel tikus
pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

Parameter Kelompok Kelompok perlakuan


Neurofisiologi kontrol (treatment)
Puncak-puncak
20,040 ± 1,293 12,260 ± 1,570
amplitudo CMAP (mV)
Durasi CMAP (ms) 13,330 ± 0,500 9,905 ± 0,650
Latency (ms) 3,667 ± 0,167 4,714 ± 0,230
NCV (m/s) 32,41 ± 0,950 29,790 ± 1,290

Hasil EMG menunjukkan adanya penurunan puncak amplitudo CMAP


(Compound Muscle Action Potential), durasi CMAP dan peningkatan latensi
pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan
hasil NVC (nerve conduction velocity) dari kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Adanya
penurunan amplitudo dan durasi CMAP serta peningkatan latensi pada hasil
analisis EMG dari kelompok tikus perlakuan, menunjukkan adanya keterlambatan
respon otot terhadap stimulasi dan kelemahan otot. Tidak adanya perbahan yang
signifikan dari NCV menunjukkkan bahwa perubahan morfologi seperti
demielinasi syaraf sciatik masih belum terjadi. Jika transit amplitudo CMAP
hingga 72 jam, maka dapat dijeaskan oleh adanya peningkatan asetilkolin pada

14
terminal saraf dan krisis kolinergik yang menyebabkan terjadinya kelemahan otot
dan gangguan fungsi mitokondria pada otot rangka.
Eek akut dari malation menyebabkan kelemahan otot, akibatnya otot
membutuhkan ATP yang sangat banyak, karena ATP merupakan sumber energi
yang digunakan untuk menggerakkan otot. Mitokondria merupakan organel utama
penghasil ATP, oleh karena itu untuk mengetahui pengaruh malation terhadap
fungsi mitokondria dapat dilihat melalui pengukuran terhadap enzim-enzim yang
terlibat dalam proses transfer elektron di mitokondria atau mitochondria
respiratory chain (MRC).

2. Interaksi malation dengan enzim-enzim yang terlibat dalam mitochondria


respiratory chain (MRC)
Penelitian yang dilakukan terhadap aktivitas enzim-enzim yang terdapat
pada komplek mitokondria, yaitu: kompleks I (NADH-koenzim Q
oksidoreduktase), kompleks II (suksinat-koenzim Q oksidoreduktase), kompleks
IV (sitokrom c oksidase), dan kompleks V (ATP i). Sampel pengujian diambil dari
otot gastrosel tikus yang mendapatkan paparan malation sebanyak 400mg/Kg. Otot
gastrosel dipilih karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thompson,
dkk (1998), konsentrasi malation paling banyak ditemukan di otot gastosel. Hasil
pengujian aktivitas enzim tersebut, ditunjukan pada Tabel 2.

Tabel 2. Efek akut paparan malation terhadap aktivitas enzim pada kompleks I, II,
IV dan V yang diukur dari otot gastrosel tikus pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan.

Aktivitas enzim Kelompok kontrol Kelompok perlakuan


NADH-oksidoreduktase
0,010 ± 0,001 0,006 ± 0,0006
(mM/min/mg)
Suksinat-oksidoreduktase
0,170 ± 0,067 0,090 ± 0,010
(mM/min/mg)
Sitokrom c oksidase (K/min/mg) 3,136 ± 0,287 1,657 ± 0,275
ATP sintase (mM/min/mg) 0,103 ± 0,015 0,064 ± 0,009

15
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa aktifitas dari enzim NADH
oksidoreduktase (kompleks I), enzim suksinat oksidoreduktase (kompleks II),
enzim sitokrom c oksidase (kompleks IV), dan enzim ATP sintase (kompleks V)
dari kelompok perlakuan (yang mendapatkan paparan malation) mengalami
penurunan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal tersebut membuktikan
bahwa malation berpengaruh pada enzim-enzim yang berkaitan dengan
mitochondria respiratory chain (MRC).
Metabolisme aerobik glukosa digabungkan dengan fosforilasi oksidatif
(transfer elektron) oleh FADH2 pada kompleks II melalui coupling reaksi suksinat
menjadi fumarat dalam siklus asam sitrat. Oleh karena itu, ketika terjadi
penurunan terhadap aktivitas enzim-enzim MRC dapat mengakibatkan penurunan
produksi ATP. Pengukuran rasio ATP dilakukan melalui teknik high-performance
liquid chromatography (HPLC). Hasil pengukuran ditunjukkan melalui data rasio
ADP/ATP pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik perubahan rasio ADP/ATP pada otot gastrosel


tikus dari kelompok kontrol dan perlakuan.

Rasio ADP/ATP dari kelompok perlakuan lebih besar dibandingkan dengan


kelompok kontrol. Artinya, jumlah ADP yang dihasilkan oleh tikus kelompok
perlakuan (yang mendapat paparan malation) lebih banyak dibandingkan jumlah
ATPnya. Ketika terjadi kelemahan otot akibat paparan malation ATP diperlukan
dalam jumlah banyak, tetapi jumlah ATP malah berkurang. Untuk mengatasi hal
tersebut maka harus ada jalur lain yang dapat menghasilkan ATP, salah satunya
melalui glukoneogenesis (sintesis glukosa dari senyawa-senyawa bukan

16
karbohidrat) atau melalui glikogenolisis (pemecahan glikogen menjadi glukosa).
Glikogen digunakan untuk memproduksi gulokosa melalui glikogenolisis,
sehingga kadar glikogen pada otot gastrosel tikus kelompok perlakuan (menjadi
berkurang, ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik perubahan kadar glikogen pada otot gastrosel tikus


dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

Selain mengurangi kadar glikogen dalam otot, dalam kondisi hipoksia


(kekurangan oksigen), memicu terjadinya metabolisme anaerob dari glukosa. Hasil
akhir dari metabolisme anaerob glukosa adalah asam laktat sehingga konsentrasi
rata-rata asam laktat dalam otot tikus yang mendapatkan paparan malation selama
24 jam, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol,
ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik perubahan konsentrasi asam laktat pada otot gastrosel tikus dari
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

17
Hal ini menunjukkan bahwa suplai oksigen tidak mencukupi untuk
melakukan metabolisme normal yang diperlukan untuk mengubah piruvat menjadi
asetil KoA. Jalur metabolisme karbohidrat secara ringkas ditunjukkan pada
Gambar 7.

Glikogen

glikogenesis glikogenolisis

glikolisis glikolisis
As. Piruvat As. Piruvat
Glukosa
aerob anaerob

Asetil CoA As. Laktat


glukoneogenesis

Siklus Asam
Sitrat

Gambar 7. Jalur perubahan glukosa.

Kondisi hipoksia (kekurangan oksigen) memicu terjadinya iskemia.


Iskemia adalah suatu keadaan kekurangan oksigen yang bersifat sementara dan
reversibel. Penurunan suplai oksigen akan meningkatkan mekanisme metabolisme
anaerobik. Metabolisme anaerobik sangat tidak efektif selain energi yang
dihasilkan tidak cukup besar, juga meningkatkan pembentukan asam laktat.
Iskemia dapat menyebabkan nyeri sebagai akibat penimbunan asam laktat yang
berlebihan. Iskemia yang lama dapat menyebabkan kematian otot atau nekrosis.
Keadaan nekrosis yang berlanjut dapat menyebabkan kematian otot jantung
(infark miokard) (Word health, 2012).
Rantai pernafasan mitokondria atau mitochondria respiratory chain (MRC)
merupakan sumber utama dari ROS khususnya pada komplek I dan III. Pada

18
kompleks tersebut, elektron yang berasal dari NADH dan ubiquinon dapat secara
langsung bereaksi dengan oksigen serta penerima elektron lainnya dan
membentuk radikal bebas (ROS). Jika produksi ROS berlebih maka dapat
mengganggu metabolisme karbohidrat, lipid dan protein. Menurut Wijaya (dalam
Maslachah, 2008) ROS merupakan oksidan yang sangat reaktif dan mempunyai
aktivitas yang berbeda. Dampak negatif senyawa tersebut timbul karena
aktivitasnya, sehingga dapat merusak komponen sel yang sangat penting untuk
mempertahankan integritas sel. Setiap ROS yang terbentuk dapat memulai suatu
reaksi berantai yang terus berlanjut sampai ROS itu dihilangkan oleh ROS yang
lain atau sistem antioksidannya.
Mitokondria adalah konsumen utama molekul oksigen di dalam sel. Selama
metabolism oksidasi di mitokondria termasuk MRC, sebagian besar oksigen
dirubah menjadi air, tetapi ada 3% dari seluruh oksigen yang dikonsumsi dirubah
dalam bentuk superoksida. Reduksi oksigen oleh satu elektron menghasilkan ROS
(contohnya O2-•, H2O2 , •OH). Produksi ROS pada mitokondria diukur melalui
emisi H2O2, karena O2-• akan dirubah oleh enzim mangan-superoxide dismutase
(MnSOD) menjadi H2O2. Hasil penelitian menunjukan bahwa pembentukan H2O2
pada otot gastrosel intak mitokondria tikus dari kelompok perlakuan mengalami
penurunan dibandingkan dengan kelompok kontrol, ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik pembentukan H2O2 pada otot gastrosel intak mitokondria dari
tikus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

19
Didalam tubuh kita terdapa antioksidan alami yaitu glutation. Glutation
(GSH) mengalami oksidasi dan membentuk coupling reaksi dengan degradasi
H2O2 menjadi O2 dan H2O enzim glutation peroksidase (GPx). Menurut
Mohajeri.S.K dan Abdollahi.M (2013) tingginya oksisidan di dalam mitokondria
harus diimbangi dengan pertahanan (antioksidan) agar dapat mengurangi
kerusakan oksidatif. Berdasarkan hal tersebut, penurunan kadar H2O2 dari tikus
kelompok perlakuan menunjukakkan bahwa adanya malation dapat meningkatkan
level dari glutation.
Mekanisme pembtukan ROS pada kompleks mitokondria ditunjukkan pada
Gambar 9.

Gambar 9. Mekanisme pembentukan ROS (O2.) pada kompleks I dan III


mitokondria

Setelah terbentuk superoksida (O2.) pada kompleks I dan III, maka


superoksida tersebut akan dirubah menjadi H2O2 oleh enzim superoksida
dismutase (SOD) dan kemudian H2O2 didegradasi menjadi O2 dan H2O oleh enzim
glutation peroksidase. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
superoksida dismutase glutation peroksidase
O2 . H2O2 O2 + H2O

3. Pengaruh malation terhadap apoptosis sel


Untuk mengetahui pengaruh malation terhadap apoptosis sel, maka
dilakukan analisis terhadap gen anti-apoptosis (gen bcl-2) dan pro-apoptosis (gen
bax) melalui analisis real time RT-PCR (Reverse Transcript – Polymerase Chain
Reaction). Dalam analisis real time RT-PCR dibutuhkan primer. Primer

20
merupakan DNA untai tunggal yang disusun secara spesifik berdasarkan urutan
nukleotida target. Berikut ini adalah urutan primer untuk gen bax yaitu: 5’-
CCAAGAAGCTGAGCGAGTGTCTC-3’ dan 5’-AGTTGCCATCAGCAAAC
ATGTCA-3’. Primer untuk gen bcl-2 yaitu: 5’-CTGCATCTCATGCCAAGGGG-
3’ dan ‘5-ACCATAGCACTTTTTCGC GTCC-3’. Tingkat ekspresi gen bax dan
bcl-2 untuk tiga sampel di setiap kelompok (kontrol dan perlakuan) dinormalisasi
dengan membandingkan ambang siklus/ cycle treshold (CT) dari β-aktin sebagai
housekeeping gen. β-aktin merupakan protein yang selalu diekspresikan dalam
semua keadaan, sehingga bisa dijadikan standar untuk melihat perubahan
terhadap ekspresi gen tertentu. Berikut ini adalah primer untuk β-aktin: ‘5-
TCCTGTGGCATCCACGAAACT-3’ dan ‘5-ACTTGCGCTCAGGAGGAGCA
A-3’. Hasil analisi terhadap ekspresi gen bax dan bcl-2 ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan lipatan eksprsi mRNA dari gen bax dan genbcl-2 dengan
β-aktin sebagai housekeeping pada otot gastosel tikus dari kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan.
Kelompok kontrol Kelompok perlakuan
Gen ΔCT 2β -ΔCT
ΔCT 2-ΔCT
Bax 2,357 ± 0,072 0,195 ± 0,010 5,093 ± 0,072 0,029 ± 0,001
Bcl-2 -5,740 ± 0,017 53,450 ± 0,642 -5,357 ± 0,037 41,000 ± 1,066

Dari hasil analisis, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan terhadap ekspresi
gen bax dari kelompok kontrol (0,195 ± 0,010), sedangkan kelompok perlakuan
(0,029 ± 0,001). Begitupun dengan ekspresi dari gen bcl-2, untuk kelompok
kontrol (53,450 ± 0,642) dan kelompok perlakuan (41,000 ± 1,066). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ada pengaruh malation terhadap ekspresi dari gen bax dan
bcl-2. Selain menganalisis ekspresi dari kedua gen tersebut, dilakukan juga analisi
terhadap pelepasan sitokrom c dari mitokondria.
Sitokrom c dalam keadaan normal tidak boleh keluar dari mitokondria,
karena perannya penting pada foforilasi oksidatif dalam produksi ATP. Pada
mitokondria di membrannya terdapat protein bcl-2 yang berpasangan dengan bax,
yang berperan untuk menjaga sitokrom c supaya tidak keluar dari mitokondria.
Jika ada protein asing datang, maka dia akan mengganggu kompleks dengan

21
berikatan pada Bcl-2, sehingga bax terpisah. Bax kemudian berkolaborasi dengan
bax lain membentuk channel formation (suatu kanal) kanal ini menjadi tempat
masuknya ion Ca2+, ketika ion ini masuk maka keluarlah sitokrom c. Sitokrom c
yang berada di sitosol membantuk kompleks dengan Apaf-1, ATP, dan caspase 9
dinamakan apoptosom (suatu holoenzim, gabungan beberapa protein). Kompleks
ini adalah suatu protease yang bertugas memotong/degradasi protein lain. (CCRC,
2012). Hasil ditunjukan pada Gambar 10.

Gambar 10. Grafik pelepasan sitrokrom c dari mitokondria pada tikus kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan.

Berdasarkan hasil penelitian, ditunjukkan bahwa pelepasan sitokrom c dari


mitokondria pada tikus kelompok perlakuan secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Keluarnya sitokrom c dari mitokondria
akan diikat oleh Apaf-1 (apoptosis activating factor) yang akan membentuk
apoptoseome. Apoptosome akan mengaktivasi caspase 9 (caspase awal yang
diaktifkan). Caspase 9 yang aktif disebut (cleaved caspase 9), sedangkan yang
tidak aktif disebut (non cleaved caspase 9).
Melalui analisis western blot, posisi pita (bands) dari protein cleaved dan
non cleaved dari caspase 9 dapat dideteksi. Data akan dibandingkan dengan pita
dari protein β-aktin. Hasil analisis ditunjukkan pada Gambar 11.

22
Gambar 11. Analisis western blot pada otot gastrosel dari kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan.
(a) Visualisasi protein β-aktin, serta protein cleaved dan non cleaved caspase-9
melalui analisis SDS-PAGE.
(b) Perbandingan antara protein cleaved dan non cleaved caspase-9,
dibandingkan dengan protein β-aktin.

Hasil yang diperoleh, tidak ada perubahan yang signifikan dari ekspresi
protein non cleaved dan cleaved caspase-9 mitokondria. Berarti, pengaruh
malation tidak sampai mempengaruhi ekspresi dari caspase 9. Namun, adanya
malation mengakibatkan penumpukan asetil kolin pada reseptor nikotinik dan
muskarinik memberikan survival signaling pada gen bax yang mengakibatkan
gangguan terhadap keluarnya sitokrom c dari mitokondria. Jika sitokrom c tidak
dapat keluar dan tidak diikat oleh Apaf 1, maka tidak akan terjadi proses
apoptosis. Artinya tidak akan terjadi regenerasi sel, sel yang sudah mati tidak
dapat dirilis.
Pada paparan yang sangat tinggi, malation (pestisida organofosfat) dapat
bersifat genotoksik. Hal ini disebabkan karena organofosfat (OP) memiliki sisi

23
elektrofilik yang dapat bereaksi dengan atom O dan N dari basa nitrogen adenine,
sitosin dan guanine dari DNA. Genotoksisitas dan kerusakan DNA pada petani
yang terekspos OP pernah diberitakan (Mphajeri, 2014). Salah satu indikator
kerusakan DNA akibat ionisasi radiasi, mutagen atau karsinogen adalah
pembentukan senyawa 8-hidroksi-2deoksiguanosin (8-OHdG) sebagai hasil
oksidasi terhadap nukleosida DNA. Struktur dari senyawa 8-OHdG ditunjukkan
pada Gambar 12.

Gambar 12. Struktur 8-hidroksi deoksiguanosin (8-OHdG)

Untuk mengetahui pengaruh genotoksisitas tersebut, maka diuji juga kadar


senyawa 8-OHdG pada tikus. Hasil yang diperoleh (Gambar 13), ditunjukkan
bahwa pada tikus yang mendapat paparan malation, memiliki kadar senyawa 8-
OHdG yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kontol.

Gambar 13. Grafik level 8-OHdG dalam otot gstrosel tikus dari kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan.

24
Pengaruh malation terhadap gangguan fungsi mitokondria dapat dijelaskan
melalui Gambar 14.

Gambar 14. Model sederhana mekanisme potensial seluler berkaitan dengan


efek Malthion terhadap aktivitas enzim AChE dan gangguan fungsi
mitokondria.

Pada tahap awal keracunan, malation yang berikatan dengan enzim


asetilkolinesterasi (AChE) menyebabkan penumpukan asetilkolin (Ach) pada
neuromuscular junction, tepatnya pada reseptor nikotinik dan muskarinik,
akibatknya transmisi impuls saraf terhambat sehingga timbul gejala berupa efek
nikotinik dan muskarinik. Akumulsi pada neuromuscular junction (NJM) akan
mengakibatkan kontraksi otot, yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya reflex
dan paralisis.
Paparan malation menyebabkan penurunan terhadap aktivitas enzim-enzim
yang berhubungan dengan rantai transport elektron (ETC electron transfer chain)
yang berkaitan dengan aktivitas kompleks I dan II berhubungan dengan stres
oksidatif, sedangkan aktivitas kompleks IV dan V menyebabkan runtuhnya
potensial membran mitokondria dan deplesi ATP. Oleh karena itu, penurunan
ROS mitokondria serta kompleks IV dan V dapat menurunan produksi ATP dan
sinyal apoptosis.
Malation juga mengakibatkan penurunan yang signifikan terhadap ekspresi
gen bcl-2 dan bax. Menurunnya ekspresi bcl-2 dapat mengurangi pembentukan

25
bcl-2 dan penurunan terhadap ekspresi bax serta pelepasan sitokrom c
mitokondria dengan tidak merubah ekspresi protein caspase-9. Di sisi lain,
kehadiran Ach di berbagai bagian sel dan selain sel-sel neuronal (sel saraf) dapat
menyebabkan efek nonkolinergenik dari AChE. Penurunan aktivitas AChE
mengurangi aktivasi caspases, mengganggu pelepasan sitokrom c, dan mencegah
pembentukan apoptosom sehingga proses apoptosis sel terganggu. Malation juga
bertindak sebagai senyawa genotoksik terutama pada tingkat paparan tinggi,
karena Ops bersifat elektrofilik dan dapat bereaksi dengan DNA, terutama dengan
atom nitrogen dan oksigen dari basa adenin, guanin, dan sitosin.

26
III. RANGKUMAN
Malation merupakan salah satu jenis insektisida organofosfat yang
digunakan untuk membunuh serangga. Dalam proses metabolisme serangga,
malation akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Dosis
toksik dari malation dalam kasus keracunan pada manusia adalah 350-1300
mg/kg. AChE merupakan enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis Asetilkolin
(ACh) menjadi asam asetat dan kolin. Malation menyebabkan penurunan jumlah
AChE, karena AChE akan berikatan dngan malation sehingga asetilkolin (Ach)
tidak dapat dihidrolisis. Adanya penumukan asetilkolin (AChE) pada sistem saraf
dan neuromuscular junction. Akumulsi pada neuromuscular junction akan
mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya reflex
dan paralisis.
Efek toksik malation tidak hanya mengakibatkan penurunan terhadap
aktivitas enzim asetilkolinesterase (AChE) tetapi juga mengakibatkan gangguan
fungsi mitokondria. Mitokondria sebagai tempat pengasil ATP memiliki peran
penting dalam tubuh, juga berkaitan dengan Reactive oxygen species (ROS).
Penurunan aktivitas AChE mengurangi kadar glikogen dalam tubuh, dan
menyebabkan penurunan aktivitas bebeerapa enzim lain seperti: enzim NADH
oksidoreduktase, enzim suksinat oksidoreduktase, enzim sitokrom c oksidase,
dan enzim ATP sintetase. Selain itu, malation juga menggagu proses apoptosis
serta dapat menyebabkan genotoksik pada tingkat paparan tinggi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. (2013).


Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Bellinda, R. R. (2008). Mutasi DNA Mitokondria Manusia yang Berkaitan dengan


Diabetes Militus. (Skripsi). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Teknologi, Bandung.

CCRC. (2012). Pertanan Mtokondria dalam Apoptosis. [Onine]. Diakses dari


http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?p=2551.

Data Statistik Indonesia. (2014). Proyeksi Penduduk 2000-2025. [Onine]. Diakses


dari http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com-
proyeksi&task= show&Itemid=941.

Maslachah, L. et al.(2008).“Hambatan Produksi Reactive Oxygen Species Radikal


Superoksida (O2.-) oleh Antioksidan Vitamin E (α- tocopherol ) pada Tikus Putih
(Rattus norvegicus) yang Menerima Stressor Renjatan Listrik”. Jurnal: Media
Kedokteran Hewan, 1(24), hlm. 21-26.

Mohajeri. et al. (2014). “Mechanisms of muscular electrophysiological and


mitochondrial dysfunction following exposure to malation, an organophosphorus
pesticide”. Journal: Journal of Hum Exp Toxicol, 3(33), hlm. 251–263.

Mohajeri, S.K, and Abdollahi, M. (2011). “Toxic influence of organophosphate,


carbamate, and organochlorine pesticides on cellular metabolism of lipids,
proteins, and carbohydrates: A systematic review”. Journal: Journal of Hum
Exp Toxicol, 9(30), hlm. 1119–1140.

Mohajeri, S.K, and Abdollahi, M. (2013). “Mitochondrial adysfunction and


organophosphorus compounds”. Journal: Journal of Toxicology and
Applied Pharmacology, (270). Hlm. 39–44.

Runia, Y.A. (2008). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida


Organofosfat, Karbamat dan Kejadian Anemia pada Petani Hortikultura di Desa
Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. (Tesis). Magister Kesehatan
Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponogoro, Semarang.

28
Russell, R.W, and Overstreet, D.H. (1987). Mechanism Underlying Sensitivity to
Organophosphorus Anticholinesterase Compound. Journal: Journal of Progress
in Neurobiology, (28), hlm. 97-129.

Poedjiadi, A, dan Titin, F. M. (2007). Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.

SK Menteri Pertanian RI No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001.

Sinulingga, D. (2006). Pengaruh Tempe Terhadap Peningkatan Aktivitas Enzim


Asetilkolinesterase pada Petani Penyemprot Terpapar Pestisida Organofosfat.
(Disertasi). Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatra Utara, Medan.

Siwiendrayanti, A. et al. (2012). “Hubungan Riwayat Pajanan Pestisida Dengan


Kejadian Gangguan Fungsi Hati (Studi pada Wanita Usia Subur di Kecamatan
Kersana Kabupaten Brebes)”. Jurnal: Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia,
1(11), hml. 9-14.

Sridianti. (2014). Pengertian Mitokondria dan Bagian-bagian Mitokondria. [Onine].


Diakases dari http://www.sridianti.com/struktur-fungsi-mitokondria.html.

Suhara. (2009). Dasar dasar biokimia. Bandung: Prisma Press.

Sukmawati, A dan Maharani, A. (2004). “Hubungan Antara Perilaku Dalam


Pengolahan Pestisida Dengan Aktivitas Enzim Cholinesterase Darah Pada
Petani Cabe Di Desa Santan Mekar Kecamatan Cisayong Kabupaten
Tasikmalaya”. Jurnal: Jurnal Ekologi Kesehatan, 2 (3), hlm. 80-89.

Thompson. et al. (1998). Case study: Fatal Poisoning by Malathion. Journal:


Journal of Forensic Science International, (95), hlm. 89–98.

Voet, D. V. J. (1995). Biochemistry. New York: 2nd Ed.John Wiley & Sons Inc.

Wane. (2011). Pengertian Apoptosis dan Proses Apoptosis. [Onine]. Diakses dari
http://wanenoor.blogspot.com/2011/11/pengertian-apoptosis-dan-proses.html.

World health. (2012). Pengertian Iskemia. [Onine]. Tertsedia: http://worldhealth-


bokepzz.blogspot.com/2012/04/pengertian-iskemia.html.

Zuraida. (2012). Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Keracunan Pestisida


pada Petani di Desa Srimahi Tambun Utara Bekasi Tahun 2011. (Skripsi).
Jurusan Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai