Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG

DASAR-DASAR OSEANOGRAFI

Oleh :
Kelompok 11 B
Imroatun Istiqomah L1A017014
Dewi Haryanti L1A017021
Rismatul Khasanah L1A018014
Sabrina Nurudiniyah A L1A018011
Moransyah Burhanuddin L1B017001
Bimo Adhi Nur Wicaksono L1C016056
Adilla Reandinny A S L1C017002

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
I.TUJUAN PRAKTIKUM

1.1 Tujuan Praktikum Makrozoobentos


Tujuan dari praktikum Makrozoobentos adalah mahasiswa dapat
mengetahui jenis-jenis Marozoobentos yang ada di perairan laut.

1.2 Tujuan Praktikum Temperatur


Tujuan dari praktikum Temperatur adalah mahasiswa dapat mengetahui
perbedaan temperatur air laut selama 24 jam

1.3 Tujuan Praktikum Kecerahan


Tujuan dari praktikum Kecerahan adalah mahasiswa dapat mengetahui
perbedaan kecerahan air laut selama 24 jam.

1.4 Tujuan Praktikum Arus


Tujuan dari praktikum Arus adalah mahasiswa dapat mengetahui besarnya
kecepatan arus di perairan laut.

1.5 Tujuan Praktikum Salinitas


Tujuan dari praktikum Salinitas adalah mahasiswa dapat mengetahui
perbedaan salinitas air laut selama 24 jam.

1.6 Tujuan Praktikum Pasang Surut


Tujuan dari praktikum Pasang Surut adalah mahasiswa dapat mengetahui
perbedaan pasang surut yang terjadi selama 24 jam.

1.7 Tujuan Praktikum Kedalaman


Tujuan dari praktikum Kedalaman adalah mahasiswa dapat mengetahui
perbedaan kedalaman perairan laut selama 24 jam.

1.8 Tujuan Praktikum Gelombang


Tujuan dari praktikum Gelombang adalah mahasiswa dapat mengetahui
terjadinya gelombang air laut.

1.9 Tujuan Praktikum pH


Tujuan dari praktikum pH adalah mahasiswa dapat mengetahui perbedaan
pH air laut pada waktu yang berbeda.

1.10 Tujuan Praktikum Profil Substrat


Tujuan dari praktikum Profil Substrat adalah mahasiswa dapat mengetahui
profil substrat di perairan laut.

1.11 Tujuan Kontur Dasar Perairan


Tujuan dari praktikum Kontur Dasar Perairan adalah mahasiswa dapat
melihat kontur dasar perairan pada setiap kedalaman dalam rentang jarak
yang berbeda.

II. MATERI DAN METODE

2.1. Alat dan Bahan

2.1.1. Makrozoobentos

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah pipa paralon


(diameter 2 inchi tinggi 50 cm), sendok semen, saringan mesh size 1 mm,
tempat sampel (plastik bening), pinset, alat tulis dan tempat sortir. Bahan
yang di butuhkan yaitu larutan formalin 4 % dan spesimen makrobenthos.

2.1.2. Temperatur
Alat yang digunakan pada saat pengukuran Temperatur adalah
termometer dan alat tulis.
Bahan yang digunakan pada saat pengukuran Temperatur adalah air
laut.
2.1.3. Kecerahan

Alat yang digunakan dalam praktikum kecerahan adalah sechii disck.

Bahan yang digunakan dalam praktikum kecerahan adalah badan air

laut.

2.1.4. Kecepatan Arus

Alat yang digunakan dalam praktikum praktikum kecepatan arus

adalah tali rafia, botol mineral, alat tulis dan stopwatch.

Bahan yang digunakan dalam praktikum kecepatan arus adalah

badan air laut.

2.1.5.

2.1.6. Pasang Surut


Alat yang digunakan pada saat pengukuran pasang surut adalah

tongkat pengukur pasang surut dan alat tulis.

Bahan yang digunakan pada saat pengukuran kedalaman adalah badan

air laut.

2.1.7. Kedalaman

Alat yang digunakan pada saat pengukuran kedalaman adalah

tongkat pengukur kedalaman atau tali berskala yang diberi pemberat dan

alat tulis.

Bahan yang digunakan pada saat pengukuran kedalaman adalah

badan air laut.

2.1.8. Gelombang

Alat yang digunakan dalam praktikum gelombang adalah tongkat


berskala, tali rafia, stopwatch dan alat tulis.

Bahan yang digunakan pada saat pengukuran kedalaman adalah


badan air laut.

2.1.9.

2.1.10.

2.1.11. Kontur Dasar Perairan

Alat yang digunakan pada saat pengukuran kontur dasar adalah

tongkat pengukur kedalaman atau tali berskala yang diberi pemberat, tali

rafia dan alat tulis.

Bahan yang digunakan pada saat pengukuran kontur dasar adalah

badan air laut.


2.2. Cara Kerja

2.2.1. Makrozoobentos

Transek 1x1m dibentangkan

Pipa dimasukkan kedalam substrat lalu diangkat dengan sendok


semen

Diamati dan diidentifikasi nama spesies yang


diperoleh

Sampel disaring dengan saringan agar terlihat makrozoobenthos yang


ada didalamnya lalu diawetkan dengan formalin 4%

Hasil

2.2.2. Temperatur

Termometer

Diletakkan didalam air

Tunggu sampai suhu nya stabil

Catat hasilnya

Hasil

2.2.3. Kecerahan

Secchi disk dimasukkan ke dalam air sampai


warna hitam dan putih tidak terlihat
Dicatat panjang tongkat yang masuk sampai
batas keping sechii

Diangkat sampai warnanya terlihat jelas,


dicatat panjang tongkat

Dihitung kecerahannya

Hasil
2.2.4. Kecepatan Arus

Tali rafia 10 m salah satu ujungnya


diikatkan botol mineral 600ml berisi air
80%

Botol dilepaskan mengikuti arus laut dan


posisi tali rafia lurus

Ukur waktu dengan stopwatch

Lakukan langkah tersebut ditiga titik


pengukuran (tiang pancang 1, tiang
pancang 2, dan tiang pancang 3.

Hitung kecepatan arus menggunakan


rumus: V = S/t

hasil

2.2.5.
2.2.6. Pasang Surut

Tongkat pengukur pasang


surut di tancapak tegak lurus
garis pantai

Periode kenaikan dan


penurunan massa air di catat

Dokumentasi

2.2.7. Kedalaman

Dimasukkan dua buah tongkat berskala


secara vertikal kedalam perairan

Memasukkan tiang berskala kedalam


perairan secara vertikal di tiang
pancang 1,2, dan 3

dicatat angka yang ditunjukkan oleh


batas air pada tongkat berskala

Hasil
2.2.8. Gelombang

Bentangkan tali pada tiang


pacing 2 dan 3

Diamati pergerakan
gelombang yang melintas
pada tali

Dihitung tinggi, amplitude,


periode dan kecepatan
gelombang
Hasil

2.2.9.

2.2.10.

2.2.11. Kontur Dasar Perairan

Line transek
dipasang sejajar
garis pantai

Diamati kedalaman,
kecerahan, suhu
disetiap titik

Dicatat hasilnya

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Tabel 1. Data hasil pengukuran temperatur, salinitas, dan pasang surut.

Waktu
Temperatur (0C) Salinitas (0/00) Tinggi Pasang-
Pengamatan
Surut (cm)

12.30 33 20 54

13.30 33,1 22,6 59


14.30 35 22 62

15.30 34 22,3 70

16.30 33,9 23 81

17.30 34,3 24,3 76

18.30 34,3 24,6 77,5

19.30 33,3 25 69,5

20.30 34,3 25,1 42

21.30 31,6 24 26,5

22.30 31 25 11,5

23.30 31 20,3 6

00.30 30 17 1

01.30 29,3 21 2

02.30 28,6 15,6 2

03.30 29 14,3 17,5

04.30 29,3 16,3 29

05.30 28,6 20,3 41,5

Tabel 2. Data hasil pengukuran kedalaman dan kecerahan

Parameter Kedalaman (cm) Kecerahan (cm)

Waktu
I II III I II III
Pengamatan

12.30 38 46 60 6 33 49

13.30 56 66 71 23,5 29 32,5

14.30 57 60 83 17 26 33,5

15.30 65 72 85 25 30 34

16.30 76 77 92 20,5 19 28

17.30 83 88 93 28 28,5 29

18.30 67 64 85
19.30 68 65 78

20.30 43 44 65

21.30 25 28 40

22.30 10 12 25

23.30 5 7 20

00.30 2 1 12

01.30 2 2 17

02.30 2 2 17

03.30 11 18 35

04.30 29 29 57

05.30 52 47 61 52 47 61

Tabel 3. Data hasil pengukurann pH

Waktu pH

12.30 7

00.30 7

Tabel 4. Data hasil pengukuran gelombang

Waktu f v
h (m) A (m) n t (s) T (s)  (m) s (m)
(Hz) (m/s)

13.30 0,15 0,075 6 5 0,83 1,2 0,4 2 10

16.30 0,025 0,0125 8 30 3,75 0,26 1,15 0,3 10

Tabel 5. Data hasil pengukuran arus

Waktu s (m) t (s) v (m/s)

13.30 10 160 0,0625

10 140 0,0714
10 120 0,0833

Rata 10 140 0,0724

16.30 10 216 0,0462

10 235 0,0425

10 174 0,0574

Rata 10 208,3 0,04870

Tabel 6. Data hasil pengukuran tipe substrat

Waktu Stasiun Tipe Substrat Kasar Sedang Halus

15.30 I Berkarang 100%

II Berkarang 100%

III Berpasir 100%

Tabel 7. Data hasil pengukuran kountur dasar perairan

Kountur Dasar Perairan

Jarak (m) 13.30

1 50

2 48

3 50
4 47

5 55

6 53

7 55

8 58

9 40

10 66

11 33

12 55

13 62

14 62

15 60

16 68

17 58

18 67

19 70

20 71

Tabel 8. Makrobentos

3.2. Pembahasan

3.2.1. Makroozoobentos

Makrozoobenthos adalah organisme yang hidup pada dasar perairan,


dan merupakan bagian dari rantai makanan yang keberadaannya
bergantung pada populasi organisme yang tingkatnya lebih rendah.
Makrozoobenthos juga merupakan sumber makanan utama bagi organisme
lainnya seperti ikan demersal. Makrozoobenthos merupakan organisme
yang hidup menetap (sesile) dan memiliki daya adaptasi yang bervariasi
terhadap kondisi lingkungan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang
terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator
pencemaran (Fadli et al., 2012). Makrozoobentos lebih banyak dan lebih
umum digunakan untuk memantau dan sebagai indikator pencemaran. Hal
ini disebabkan karena informasi taksonomik dan biologi makrozoobentos
lebih banyak diketahui (Talib et al., 2014).

Komunitas makrozoobentik laut umumnya terdiri atas empat


kelompok utama yakni Mollusca, Annelida (Polychaeta), Crustacea dan
Echinodermata, dan kelompok lain yang terdiri atas berbagai filum kecil
lainnya seperti Sipunculida, Cnidaria dan Nemertea (Lumingas, 1990 dalam
Talib et al., 2014). Bivalvia merupakan kelas makrozoobenthos yang
memiliki penyebaran sangat luas di dunia. Bivalvia juga dapat hidup di
berbagai tipe subtrat mulai dari substrat pasir, batu, lumpur dan lain
sebagainya (Gosling, 2003 dalam Fadli, 2012).

Sejalan dengan kebiasaan makannya, hewan bentos dibagi atas : (a)


Filter-feeder yaitu hewan yang menyaring partikel-partikel detritus yang
masih melayang-layang dalam perairan misalnya Balanus (Crustacea),
Chaetopterus (polychaeta) dan Crepudila (Gastropoda). (b) Deposit-feeder
yaitu hewan benthos yang memakan partikel-partikel detritus yang telah
mengendap pada dasar perairan misalnya Terebella dan Amphitrile
(Polychaeta), Tellina dan Arba (Odum 1971 dalam Muhaimin , 2013).

Pengamatan kepadatan spesies makrozoobenthos dilakukan pada pukul


16.00 WIB, dimana pada waktu itu rata-rata kedalaman sebesar 36 cm di perairan
pantai Teluk Penyu Cilacap. Berdasarkan hasil pengambilan sampel didapatkan
spesies makrozoobenthos yaitu di antaranya Donax sp, Moneteria sp, Musculus sp,
Mytilus Sp, Nuculoma sp, Oliva sp, Turitella sp, Uca sp. Kepadatan spesies
makrozoobenthos dihitung dengan cara yaitu total jumlah spesies yang sama di
semua tiang pancang dibagi luas transek yang dikalikan dengan kedalaman pada
waktu tersebut. Spesies yang memiliki kepadatan tertinggi yaitu Rhinoclavis
bituberculata dengan kepadatan sebesar 0,333 individu/m3. Sedangkan spesies
dengan kepadatan terendah yaitu Strigamia sp. dengan kepadatan sebesar 0,028
individu/m3. Spesies makrozoobenthos yang mendominasi yaitu berasal dari filum
Mollusca. Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Muhaimin. (2013) di pantai
Krapyak, Pangandaran, Jawa Barat bahwa Mollusca mempunyai kelimpahan yang
banyak di perairan tersebut.

Keberadaan hewan benthos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi


oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik
yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu
sumber makanan bagi hewan benthos. Faktor abiotik, faktor fisika-kimia air
yang meliputi: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen terlarut
(BOT) dan tipe substrat dasar (Allard dan Moreau, 1987 dalam Marpaung,
2013).

3.2.2. Temperatur

Gambar 2. Grafik Temperatur


Temperatur adalah suatu ukuran dingin atau panasnya keadaan atau
sesuatu lainnya. Satuan ukur dari temperatur yang banyak digunakan di
Indonesia adalah °C (derajat Celcius). Sarsinta , ( 2008 ) . Menurut Riyanto,
2009 defenisi temperatur adalah suatu ukuran energi kinetik rata-rata dari
suatu molekul. Jika temperatur tinggi maka energi kinetik rataratapun akan
besar. Pengertian temperatur udara adalah panas atau dinginnya suatu
udara. Perubahan temperatur udara disebabkan oleh adanya kombinasi
kerja antara udara, perbedaan kecepatan proses pendinginan & pemanasan
suatu daerah dan jumlah kadar air & permukaan bumi.. Dengan suhu
manusia dapat mengetahui dan mengembangkan suatu informasi dan suhu
diukur untuk digunakan di banyak kebutuhan seperti pertanian, farmasi,
Klimatologi, dan Geofisika. Suhu dapat diukur menggunakan Termometer.
Pengukuran temperatur penting dilakukan karena Sebaran temperatur
sangat berkaitan dengan sebaran oksigen terlarut, semakin tinggi temperatur
semakin rendah oksigen terlarutnya. Dimana semakin rendah oksigen
terlarut maka kehidupan biota di dalam air dapat terganggu dan dapat
menyebabkan keseimbangan terganggu. Efek temperatur mempunyai
dampak spesifik sehingga perlu dipelajari efeknya terhadap spesies lokal
yang penting. Suhu permukaan laut dapat digunakan untuk mengetahui
atau memprediksi cuaca di lautan dan terkait dengan kehidupan alam
bawah lautnya. Suhu permukaan laut mempunyai hubungan dengan
keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga data suhu
permukaan laut dapat digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi
fenomena yang terjadi dilaut seperti front (pertemuan dua massa air), arus,
pengangkatan massa upwelling dan aktivitas biologis organisme adalah
salah satu parameter penting yang dapat digunakan untuk menentukan
kualitas suatu perairan. Data suhu permukaan laut dapat digunakan untuk
mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut (Jumiarti, 2014).

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan suhu yang


bervariasi pada tiap pengukuran 1 jam sekali di teluk awur, Jepara. Suhu
yang paling tinggi berada pada waktu 14.30 WIB dan suhu terendah pada
waktu 02.30 WIB, secara berturut-turut nilainya yaitu 35 dan 28.6oC. Hal ini
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Pernyataan ini juga didukung
oleh referensi bahwa Intensitas radiasi matahari sangat berpengaruh
terhadap kenaikan suhu air laut karena semakin besar intensitas radiasi
matahari maka semakin tinggi suhu air laut yang diperoleh (Tyas et al.,
2014).

Sebaran suhu air laut disuatu perairan dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain radiasi sinar matahari, letak geografis perairan, sirkulasi arus,
kedalaman laut, angin dan musim (Sidjabat, 1974). Sebaran suhu air
permukaan menunjukkan nilai 28,2-29oC mendominasi hampir seluruh
perairan ini mulai dari dekat pantai sampai lepas pantai sedangkan suhu
>29,8oC sebarannya berada di perairan bagian utara perairan dekat pantai.
Ssuhu air di perairan dekat pantai relatif lebih tinggi daripada di lepas
pantai. Kondisi ini disebabkan karena pergerakan massa air tawar dari aliran
sungai-sungai yang dengan mudah masuk ke perairan dekat pantai. Gerakan
massa air ini yang dapat menimbulkan panas, akibat terjadi gesekan antara
molekul air, sehingga suhu air laut di perairan dekat pantai lebih hangat
dibanding dengan massa air di perairan lepas pantai (Tarigan dan Edward,
2000 dalam Patty, 2014).

Manusia secara tidak langsung sangat berpengaruh terhadap


temperatur laut dimana perubahan suhu permukaan laut salah satunya
dipengaruhi presipitasi dan evaporasi, dalam kegiatan tersebut manusia
secara tidak langsung berpengaruh seperti pemanasan global akibat
pemakaian pendingin ruangan dan parfum dimana pemanasan global
sangat berdampak pada pemanasan atau kenaikan dari suhu laut. Menurut
Handayani (2005), distribusi suhu antara muara dengan laut lepas diperoleh
bahwa suhu di muara lebih rendah dan ke arah laut semakin tinggi. Hal ini
disebabkan kawasan sekitar muara yang mempunyai jumlah aktivitas
manusia lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi naiknya suhu di lokasi
tersebut (Paramitha et al, 2014)
3.2.3. Kecerahan

Kecerahan
60

50

40
Kecerahan (Cm)

30 Kecerahan
Column1
20 Column2

10

0
1 2 . 3 01 3 . 3 01 4 . 3 01 5 . 3 01 6 . 3 01 7 . 3 01 8 . 3 01 9 . 3 02 0 . 3 02 1 . 3 02 2 . 3 02 3 . 3 02 4 . 3 0 1 . 3 0 2 . 3 0 3 . 3 0 4 . 3 0 5 . 3 0

Waktu

Gambar 3. Grafik Kecerahan

Kecerahan merupakan tingkat dimana cahaya mampu menembus lapisan

perairan. Pengukuran kecerahan menggunakan alat yang biasa disebut secchi disc.

Kecerahan air juga diartikan sebagai parameter yang penting untuk

mendeskripsikan kelengkapan badan perairan secara optikal dan kunci index untuk

menduga status eutrofikasi badan perairan, dan juga dapat menggambarkan

refleksi dari nilai turbiditas suatu perairan. Cahaya bidang di bawah permukaan air

merupakan faktor penting dari perairan ekosistem, yang memiliki efek langsung

pada pertumbuhan terendam tanaman (Li et al., 2014). Kejernihan air atau

transparansi merupakan faktor kunci untuk ekosistem laut, mempengaruhi

pasokan sumber daya untuk organisme fotosintetik dan filter feeder. Nilai

kecerahan dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan

padatan tersuspensi. Kecerahan perairan akan menurun bila mendekati pantai dan

meningkat bila menjauhi pantai. Hal ini dipengaruhi oleh adanya berbagai aktifitas
di sepanjang sungai seperti adanya partikel-partikel daratan (lumpur, pasir, bahan-

bahan organik) yang terbawa masuk ke laut (Paramitha et al., 2014).

Menurut Silalahi et al (2017) bahwa kecerahan di laut umumnya dipengaruhi

oleh kandungan lumpur, kandungan plankton dan zat-zat terlarut lainnya,

Kurangnya tingkat kecerahan bisa saja disebabkan oleh adanya pengaruh dari

hujan ataupun limbah industri yang sangat dekat dengan objek penelitian. Menurut

Effendi (2003) dalam Paramitha (2014) nilai kecerahan dipengaruhi oleh keadaan

cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Kecerahan perairan

akan menurun bila mendekati pantai dan meningkat bila menjauhi pantai. Hal ini

dipengaruhi oleh adanya berbagai aktifitas di sepanjang sungai seperti adanya

partikel-partikel daratan (lumpur, pasir, bahanbahan organik) yang terbawa masuk

ke laut. Dengan rendahnya nilai kecerahan di laut, maka nilai produktivitas primer

yang ada pada daerah tersebut juga rendah, dimana hal ini disebabkan karena

rendahnya penetrasi cahaya yang masuk yang digunakan oleh fitoplankton untuk

memproduksi zat-zat organik. Nilai kecerahan dipengaruhi oleh keadaan cuaca,

waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Kecerahan perairan akan

menurun bila mendekati pantai dan meningkat bila menjauhi pantai. Hal ini

dipengaruhi oleh adanya berbagai aktifitas di sepanjang sungai seperti adanya

partikel-partikel daratan (lumpur, pasir, bahan-bahan organik) yang terbawa

masuk ke laut (Paramitha et al., 2014).

Hasil dari pengamatan berupa grafik diperoleh data adalah hasil pengukuran

kecerahan menunjukkan terjadi fluktuasi kecerahan antar waktu. Kisaran kecerahan

pada tiang pancang yaitu 0 – 53,3 cm. Kecerahan tertinggi terjadi pada pagi hari

pukul 05.30 WIB sebesar 53,3. Kecerahan terendah terjadi pukul 16.30 WIB sebesar

22,5 dan untuk pukul 18.30 – 04.30 WIB tidak ada cahaya yang masuk ke perairain.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada grafik diatas menunjukan

bahwa kecerahan lebih rendah terjadi pada sore hari dan pada pagi hari

kecerahanya tinggi dikarenakan pengaruh waktu pengambilan data dan penetrasi

cahaya yang masuk bahwa semakin sore penetrasi cahaya semakin kecil. Hal ini

sesuai pernyataan Paramitha et al (2014), bahwa nilai kecerahan dipengaruhi oleh

keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi serta

menurut Saraswati et al (2017) bahwa kecerahan perairan dipengaruhi oleh adanya

penetrasi cahaya matahari yang memasuki perairan.

Zonasi laut berdasarkan kecerahan yaitu untuk kecerahan yang mencapai

100% umumnya pada kedalaman <5 m yaitu zona litoral hingga, sedangkan

perairan yang lebih dalam (>10 m) zona neritik hingga abisal tingkat kecerahannya

lebih kecil yakni <70% yang disebabkan oleh kemampuan tingkat intensitas cahaya

matahari yang menembus perairan rata-rata <10 m (Salim et al.,2017).

Pengaruh kecerahan terhadap biota yaitu tingkat kecerahan dan kekeruhan sangat

berpengaruh pada pertumbuhan biota laut. Kecerahan termasuk dalam parameter

kualitas air. Tingkat kecerahan air laut sangat menentukan tingkat fotosintesis biota

yang ada di perairan laut (Hamuna et al.,2018).

3.2.4. kecepatan Arus


kecepatan arus
0.08

0.07

0.06
kecepatan (m/s)

0.05

0.04

0.03 kecepatan
arus
0.02

0.01

0
13:00 16:00
waktu

Gambar 4. Grafik Kecepatan Arus

Arus merupakan faktor yang paling mengendalikan dan merupakan faktor

pembatas. Hal ini karena arus membuat kehidupan air tergenang dan mengalir

menjadi sangat berbeda. Arus juga mengatur perbedaan di beberapa tempat dari

suatu aliran air (Purba dkk, 2015). Arus lautan memiliki banyak fungsi pada

kehidupan laut , tidak hanya menggerakkan hewan dan tumbuhan di sekitar

lautan, tetapi juga mendistribusikan kembali panas dan nutrisi (Martono, 2016).

Arus menurut Mahaganti et al., (2014) dibedakan berdasarkan temperatur

arus laut, letak arus laut, dan proses terjadinya arus laut. Berdasarkan

temperaturnya arus laut dibagi menjadi 2 bagian, yaitu arus panas dan arus dingin.

Berdasarkan letaknya arus laut dibagi menjadi 2 bagian,yaitu arus permukaan laut

di samudera dan arus di kedalaman samudera. Berdasarkan proses terjadi arus laut

dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu arus karena tiupan angin, arus pasang surut,

arus sepanjang pantai dan arus rip.

Hasil praktikum diperairan Teluk Awur menunjukkan bahwa rata-rata

arus yang terjadi dan paling kecil adalah 0,04870 m/s pada pukul 16.30 sedangkan
di posisi tertinggi ada pada pukul 13.30 adalah 0,0724 m/s. Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Rianingtyas et al (2014) di perairan Jepara, kecepatan arus

terendah adalah 0,028 m/s. sedangkan kecepatan arus tertinggi mencapai 0,167

m/s. Pola permukaan arus di perairan Jepara bergerak ke arah barat dan barat

daya. Menurut Fahmi et al (2014), kecepatan arus yang mengalir di dekat teluk lebih

dipengaruhi oleh pasang surut sedangkan pengaruh angin muson sangat kecil.

Menurut Firdaus et al., (2014) bahwa faktor yangmempengaruhi arus antara lain

gaya gravitasi, tekananangin, seismik, dan gaya koriolis, serta gaya friksi. Arus laut

di kedalaman laut yang lebih dalam banyak dipengaruhi oleh keadaan pasang surut

dan sifat sifat fisik lainnya seperti perbedaan temperatur, salinitas, dan tekanan.

Adapun karakteristik arus laut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin dan

pasang surut (Sugianto dan Agus, 2007 dalam Try Al Tanto,2017).

3.2.5.

3.2.6. Pasang Surut

Pasang Surut
90
80
Tinggi Pasang-Surut (cm)

70
60
50
40
30
20
10
0

Waktu

Gambar 6. Grafik pasang surut

Pasang surut merupakan salah satu gejala alam yang ada di laut, yaitu

suatu gerakan vertikal dari seluruh partikel massa air laut dari permukaan
sampai bagian terdalam dari dasar laut yang disebabkan oleh pengaruh dari

gaya tarik menarik antara bumi dan benda – benda angkasa terutama

matahari dan bulan (Wibisono, 2005 dalam Handoyo, 2015). Pengetahuan

mengenai pasang surut sangat penting dalam perencanaan pelabuhan

(Daulay, 2014) dalam (Qhomariyah, 2016). Dalam hal ini perencanaan

pelabuhan yang dilakukan dari hasil pengamatan pasang surut adalah selain

penentuan datum vertikal, yakni untuk pengamatan sedimentasi yang

terbentuk di pelabuhan yang dibawa oleh gelombang pasang dan

sedimentasi yang terkikis dari pelabuhan oleh gelombang surut. Pengukuran

pasut dapat dilakukan dengan alat pengukur (gauge) yang diukur setiap jam

atau hari (Qhomariyah, 2016).

Pengaruh gaya pasang surut mempengaruhi peristiwa abrasi dan

sedimentasi (Qhomariyah, 2016). Sedangkan Faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya pasang surut berdasarkan teori kesetimbangan

adalah rotasi bumi pada sumbunya, dan revolusi bulan terhadap matahari,

revolusi bumi terhadap matahari. Sedangkan berdasarkan teori dinamis

adalah kedalaman dan keluasan perairan, pengaruh rotasi bumi (gaya

coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga terdapat beberapa faktor lokal

yang dapat mempengaruhi pasang surut disuatu perairan seperti, topogafi

dasar laut, lebar selat, bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga berbagai

lokasi memiliki ciri pasang surut yang berlainan (Wyrtki, 1961 dalam Sangari,

2014).
Menurut Wyrtki (1961) dalam Sangari (2014), pasang surut di Indonesia

dibagi menjadi 4 yaitu: pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide), pasang

surut harian ganda (Semi Diurnal Tide), pasang surut campuran condong

harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal), dan pasang surut campuran

condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal). Pasang surut

harian tunggal (Diurnal Tide) Merupakan pasang surut yang hanya terjadi

satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di Selat

Karimata. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide) merupakan pasang

surut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir

sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga laut Andaman.

Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing

Diurnal) merupakan pasang surut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang

dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali

surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai

Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat. Pasang surut campuran

condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) merupakan

pasang surut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari

tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki

tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan

Indonesia Bagian Timur (Sangari, 2014).

Berdasarkan hasil dari grafik diatas, pasang tertinggi terjadi pada

pukul 16.30 dengan tinggi 80 cm dan surut terendah terjadi pada pukul 00.30

dengan tinggi 1 cm sedangkan menurut data tidal predicion dari web BIG
diperoleh data pasang surut tertinggi di Teluk Awur Jepara terjadi pada

pukul 10.00 dengan ketinggian 0,371 m dan surut terendah terjadi pada

pukul 18.00 dengan ketinggian -0.310 m. Tipe Pasang surut di Teluk Awur

Jepara menurut Bonauli (2016) yaitu pasang surut campuran dominasi

tunggal (mixed tide prevailing diurnal) dengan rata-rata kedalaman 2,8 m .

3.2.7. Kedalaman

kedalaman
100

80
kedalaman (cm)

60

40

20

0
10.3

21.3
7.3
8.3
9.3

11.3
12.3
13.3
14.3
15.3
16.3
17.3
18.3
19.3
20.3

22.3
23.3
0.3
1.3
2.3
3.3
4.3
5.3
Waktu
Series 1

Gambar 7. Grafifk Kedalaman

Kedalaman adalah jarak dari permukaan air hingga ke dasar perairan.


Kedalaman merupakan parameter fisika yang mempengaruhi kecerahan
atau intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan, yang sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut. Cahaya matahari tersebut
akan digunakan untuk proses fotosintesis. Semakin besar intensitas cahaya
matahari yang masuk ke dalam perairan maka semakin besar pula
kesempatan rumput laut untuk hidup dan tumbuh (Yuanto et al., 2014).
Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan jenis hewan makrobenthos.
Kedalaman air juga mempengaruhi kelimpahan dan distribusi hewan
makrobenthos. Perairan dengan kedalaman air yang berbeda akan dihuni
oleh makrobenthos yang berbeda pula dan terjadi stratifikasi komunitas
yang berbeda. Perairan yang lebih dalam mengakibatkan makrobenthos
mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar (Reish, 1979).

Kedalaman suatu perairan berhubungan erat dengan produktivitas,


suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas, kandungan oksigen, serta unsur
hara (Hutabarat dan Evans, 2008). Kedalaman perairan sangat berpengaruh
terhadap biota yang dibudidayakan. Hal ini berhubungan dengan tekanan
yang diterima di dalam air, sebab tekanan bertambah seiring dengan
bertambahnya kedalaman (Nybakken, 1992). Kedalaman merupakan
parameter yang penting dalam memecahkan masalah teknik berbagai pesisir
seperti erosi. Pertambahan stabilitas garis pantai, pelabuhan dan kontraksi,
pelabuhan, evaluasi, penyimpanan pasang surut, pergerakan, pemeliharaan,
rute navigasi. Kedalaman juga sangat berpengaruh terhadap penentuan
teknologi budidaya perairan yang dilakukan di laut ataupun di perairan
tergenang ataupun mengalir. Kedalaman berhubungan erat dengan
Batimetri yang berarti ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan
studi tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau (Nybakken, 1992).

Kedalaman tertinggi terjadi pada pukul 15.30 yaitu sebesar 85 cm


pada pancang 3 dan kedalaman terendah yaitu sebesar 1 cm pada pukul
00.30. Semakin besar kedalaman maka semakin kecil cahaya matahari yang
mencapai dasar perairan karena tenaga ini banyak diserap oleh obyek
perairan (Nurkhayati et al., 2013).

Menurut Vakily (1989 1981 dalam Sari dan Harlyan, 2014), menyatakan
bahwa dengan bertambahnya kedalaman maka penetrasi cahaya matahari
kedalam air semakin berkurang sehingga akan menjadi faktor pembatas
dalam distribusi secara vertikal dan semakin dalam perairan intensitas
cahaya matahari akan semakin berkurang, sehingga akan menyebabkan
berkurangnya ketersediaan makanan. Ditambahkan bahwa bertambahnya
kedalaman maka ketersediaan makanan menjadi faktor pembatas bagi
fitoplankton yang menjadi makanan bagi kerang muda (spat) sehingga
kerang banyak tumbuh di dekat permukaan air. Kedalaman yang rendah
akan meningkatkan kekeruhan karena adanya resuspensi sedimen ke kolom
air.

Faktor yang mempengaruhi kedalaman perairan menurut Ariana


bathmetri adalah ukuran tinggi rendahnya dasar laut. Perubahan kondisi
hidrografi diwilayah perairan laut dan pantai disamping disebabkan oleh
fenomena perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebutdan proses-
proses yang terjadi diwilayah hulu sungai. Terbawahnya berbagai material
partikeldan kandungan oleh aliran sungai semakin memper)epat proses
pendangkalan diperairan pantai (Nurkhayati et al., 2013).

3.2.8. Gelombang

Gelombang laut adalah pergerakan naik dan turunnya air laut dengan
arah tegak lurus pemukaan air laut yang membentuk kurva/grafik
sinusoidal (Holthuijsen L.H., 2007 dalam Kurniawan, 2015). Gelombang laut
merupakan salah satu parameter laut yang dominan terhadap laju
mundurnya garis pantai. Gelombang laut terjadi karena hembusan angin
dipermukaan laut, perbedaan suhu air laut, perbedaan kadar garam dan
letusan gunung berapi yang berada dibawah atau permukaan laut. Proses
mundurnya garis pantai dari kedudukan semula antara lain disebabkan oleh
gelombang dan arus, serta tidak adanya keseimbangan sedimen yang masuk
dan keluar (Mulyabakti, 2016). Gelombang permukaan laut memiliki peran
yang penting dalam proses distribusi panas momentum, dan perubahan
material diantara 2 sistem atmosphere dan lautan (Qiao, et al, 2010).

Gelombang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam


tergantung kepada gaya pembangkitan seperti angin (gelombang angin),
gaya tarik menarik bumi-bulan-matahari (gelombang pasang-surut), gempa
(vulkanik atau tektonik) didasar laut (gelombang tsunami), ataupun
gelombang yang disebabkan oleh gerakan kapal (Triatmodjo, B. 1999 dalam
Kaunang, 2016). Berdasarkan kedalamannya, gelombang yang bergerak
mendekati pantai dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu gelombang laut dalam
dan gelombang permukaan. Gelombang laut dalam merupakan gelombang
yang dibentuk dan dibangun dari bawah kepermukaan. Sedangkan
gelombang permukaan merupakan gelombang yang terjadi antara batas dua
media seperti batas air dan udara (Tarigan, 1987).
Pada umumnya, kondisi gelombang di suatu perairan diperoleh secara
tidak langsung dari data angin yang terdapat di suatu kawasan perairan. Hal
ini didasari atas kondisi umum yang berlaku di laut, yaitu sebagian besar
gelombang yang ditemui di laut dibentuk oleh energi yang ditimbulkan oleh
tiupan angin. Gelombang yang digerakkan oleh angin biasanya dilihat
sebagai fenomena yang dipahami dengan baik, secara fisika terlihat 'nyata':
gelombang tumbuh karena angin dan menghilang karena gelombang pecah
(Zakharov, 2014).Gelombang jenis ini dikenal sebagai gelombang angin.
Menurut Hutabarat dan Evans (1984) Sifat-sifat gelombang dipengaruhi oleh
tiga bentuk angin:

1. Kecepatan angin. Umumnya makin kencang angin yang tertiup makin


besar gelombang yang terbentuk dan gelombang ini mempunyai
kecepatan yang tinggi dan panjang gelombang yang besar.
2. Waktu di mana angin sedang bertiup. Tinggi, kecepatan dan panjang
gelombang seluruhnya cenderung untuk meningkat sesuai dengan
meningkatnya waktu pada saat angin pembangkit gelombang mulai
bergerak bertiup.
3. Jarak tanpa rintangan dimana angin sedang bertiup (dikenal sebagai
fetch).
Berdasarkan hasil praktikum yang didapat di Teluk Awur Jepara
berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa gelombang pukul 13.30 WIB
yaitu dengan panjang tali yaitu 10 m, tinggi gelombang 0,15 m, amplitudo
0,075 m, jumlah gelombang 6, waktu 5 sekon, periode 0,83 s, frekuensi 1,2
Hz, panjang gelombang 0,4 m, kecepatan 2 m/s. Gelombang pada pukul
16.30 WIB dengan panjang tali 10 m, tingi gelombang 0,025 cm, amplitudo
0,0125 m, jumlah gelombang 8, waktu 30 s, periode 3,75 sekon, frekuensi 0,26
Hz, panjang gelombang 1,15 m, kecepatan 0,3 m/s. Secara umum ada dua
jenis gelombang yang sering dijumpai, yaitu gelombang linier, dan non
linier. Gelombang linier ini memiliki karakteristik berbentuk sinusoidal
dengan panjang gelombang yang lebih besar dari tinggi gelombangnya.
Karakteristik gelombang non-linear yaitu dengan puncak gelombang yang
meruncing dan panjang gelombang yang mengecil. Pond and Pickard (1983)
mengklasifikasikan gelombang berdasarkan periodenya, untuk periode 0-0,2
detik dengan panjang gelombang beberapa centimeter maka jenis
gelombangnya adalah Riak (Riplles). Berdasarkan referensi gelombang di
Teluk Awur Jepara memiliki karakteristik gelombang non-linier dan jenis
gelombang adalah riak (ripples).

Menurut Anditayana (2010), gelombang laut di Teluk Awur Jepara yang


terbentuk akibat tiupan angin setempat umumnya mempunyai ketinggian
yang kecil (kurang dari 0.5 meter) dan mempunyai periode waktu kurang
dari 4 detik. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya daerah tiupan angin.
Sedangkan gelombang yang terbentuk di daerah lepas pantai atau di tengah
laut seringkali mempunyai energi yang besar akibat luasnya daerah tiupan
angin dan lebih besarnya tiupan angin di laut dibandingkan dengan tiupan
angin di pantai. Mengetahui fenomena yang terjadi dalam kurun waktu
tertentu (Anditayana, 2010)

Berdasarkan faktor penyebabnya ada tiga jenis gelombang yaitu


gelombang akibat angin, gempa bumi (tsunami) dan akibat gaya tarik
menarik bumi-bulan-matahari atau disebut dengan gelombang tidal atau
pasang surut (Kurniawan, et al., 2012 dalam Nursamsiah, 2017). Dari ketiga
jenis gelombang tersebut gelombang yang disebabkan oleh angin merupakan
gelombang yang paling dominan terjadi di permukaan laut. Kuat lemahnya
gelombang ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kecepatan angin, lamanya
angin berhembus (duration), dan jarak dari tiupan angin pada perairan
terbuka (fetch). Ketinggian dan periode gelombang tergantung kepada
panjang fetch pembangkitannya. Fetch adalah jarak perjalanan tempuh
gelombang dari awal pembangkitannya. Fetch ini dibatasi oleh bentuk
daratan yang mengelilingi laut. Semakin panjang jarak fetch-nya, ketinggian
gelombangnya akan semakin besar (Hutabarat, 2008 dalam Kurniawan,
2015).

3.2.9.

3.2.10.

3.2.11. Kontur Dasar Perairan

Kontur Dasar Perairan


0
0 5 10 15 20 25
-10

-20

-30
Kedalaman

-40 -33
-40
-50
-47
-50-48-50
-60 -55-53-55 -55
-58 -58
-70 -62-62-60
-66 -68 -67-70
-80 -71
Panjang Garis Pantai

Kontur adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang

mempunyai ketinggian yang sama. Kontur ini dapat memberikan informasi

relief, baik secara relatif, maupun secara absolute. Informasi relief secara

relative ini, diperlihatkan dengan menggambarkan garis-garis kontur secara


rapat untuk daerah terjal, sedangkan untuk daerah yang landai dapat di

perlihatkan dengan menggambarkan garis-garis tersebut secara renggang.

Garis kontur adalah untuk memberikan informasi slope (kemiringan tanah

rata-rata), irisan profil memanjang atau melintang permukaan tanah

terhadap jalur proyek (bangunan) dan perhitungan galian serta timbunan

(cut and fill) permukaan tanah asli terhadap ketinggian vertikal garis atau

bangunan (Yusuf, 2012). Garis kontur kedalaman dalam peta batimetri

adalah kedalaman dengan bidang acuan muka air laut rata-rata atau Duduk

Tengah (DT) atau dalam bahasa Inggris adalah Mean Sea Level (MSL)

(Satriadi, 2012).

Garis kontur disajikan di atas peta untuk memperlihatkan naik

turunnya keadaan permukaan tanah. Garis-garis kontur merupakan cara

yang banyak dilakukan untuk melukiskan bentuk permukaan tanah dan

ketinggian pada peta, karena memberikan ketelitian yang lebih baik.

Penyebab perbedaan kontur dasar dalam perairan adalah ditentukan dari

kedalaman masing-masing dalam perairan. Perbedaan nilai tinggi antar

kontur disebut sebagai selang kontur (Yusuf, 2012).

Dari grafik di atas data kedalaman laut yang telah diperoleh adalah

data kedalaman yang sebenarnya yang dapat digunakan sebagai dasar

pembuatan garis kontur untuk mengetahui nilai kedalaman secara

keseluruhan. Data menunjukkan bahwa kontur dasar perairan Teluk Awur

di Jepara menunjukkan terdapatnya nilai kemiringan dan keterjalan yang

masih belum besar. Dasar perairan tidak rata, yakni terkadang menurun
terjal dan kembali rata, maupun kembali naik karena terdapatnya sedimen.

Data hasil lapangan menunjukan perbedaan nilai kedalaman. Kedalaman

lapangan yang dihasilkan berkisar kedalaman antara 1- 70 centimeter. Pada

jarak 1 meter hingga 5 meter pertama, kontur dasar perairannya dengan

kedalaman berkisar antara 47-55 cm, jarak 6-10 meter kontur dasar perairan

mengalami pendangkalan namun kembali naik dengan rentang nilai 40- 66

cm, untuk jarak 11-15 meter kedalaman mengalami pendangkalan dari 33

hingga 62 cm. Kontur dasar perairan kembali stabil dan menunjukkan

peningkatan nilai kedalaman pada jarak 15-20 meter dengan ledalaman 60-70

cm.

Perubahan kedalaman (batimetri) disuatu perairan yang berubah dari

waktu ke waktu mengikuti berubahnya ketinggian muka laut (sea level

changes). Kontur dasar perairan menunjukkan adanya jarak antar garis

kontur yang melebar yang ditunjukkan dengan terdapat pendangkalan di

dasar perairan (Hidayat, 2016). Menurut Satriadi (2012), di daerah pantai

didominasi oleh sedimen pasir, hal ini dimungkinkan karena besarnya

ukuran butir sedimen di daerah tersebut cenderung resisten terhadap

gerakan arus sehingga tidak terangkut mengikuti kecepatan dan arah arus.

Sedimen yang berukuran besar (misalnya : pasir kasar dan kerikil)

cenderung resisten terhadap gerakan arus. Jika kekuatan arus cukup besar,

sedimen tersebut cenderung terangkut dengan kontak yang kontinu

(menggelinding, meluncur atau melompat-lompat) dengan dasar perairan.

Keberadaan sedimen dasar tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh


beberapa faktor seperti faktor oseanografi fisika yaitu arus, pasang surut dan

gelombang, faktor sedimen dari sungai dan faktor kegiatan manusia

(Saputra dkk, 2015).

Faktor yang mempengaruhi kontur dasar perairan adalah salah

satunya disebabkan oleh sedimen .Dominasi pasir di Perairan Teluk Awur

dimungkinkan karena material pasir yang berasal dari erosi dinding sungai

maupun erosi dasar laut pada daerah aliran sungai akan terbawa bersama

aliran menuju sungai hingga ke tepi pantai. Muara sungai umumnya

dipengaruhi oleh pasang surut. Pengaruh fluktuasi pasang surut

menyebabkan arus muara relatif tenang, sehigga material sedimen tersebut

akan mengalami sedimentasi. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu

pengadukan oleh kapal nelayan atau kapal kapal besar seperti kapal

tongkang mengingat wilayah ini merupakan lalu lintas kapal untuk alur

pelayaran kapal. Sebaran sedimen jenis lanau (silt) dan pasir lanauan (silty

sand) terdapat pada daerah lepas pantai (offshore) dengan tingkat kemiringan

sangat landai. (Hidayat dkk, 2016).


IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

4.1.1.

4.1.2. Temperatur

Perbedaan Suhu yang terjadi selama 24 jam menunjukan bahwa Suhu

yang paling tinggi berada pada waktu 14.30 WIB dan suhu terendah pada

waktu 02.30 WIB, secara berturut-turut nilainya yaitu 35 dan 28.6oC

4.1.3. Kecerahan

Perbedaan Kecerahan yang terjadi selama 24 jam menunjukan bahwa

pada pukul 05.30 merupakan kecerahan tertinggi sebesar 53,3 cm dan

kecerahan terendah terjadi pada pukul 16.30 sebesar 22,5 cm.

4.1.4. Kecepatan Arus

Perbedaan Kecepatan arus yang terjadi selama 24 jam menunjukan

bahwa pada pukul 13.30 merupakan kecepatan arus tertinggi sebesar 0,0724

m/s dan kecepatan arus terendah terjadi pada pukul 16.30 sebesar 0,04870

m/s.

4.1.5.

4.1.6. Pasang Surut

Perbedaan pasang surut yang terjadi selama 24 jam menunjukan bahwa

pada pukul 16.30 merupakan pasang tertinggi dan surut terendah terjadi

pada pukul 00.30.

4.1.7. Kedalaman
Perbedaan kedalaman yang terjadi selama 24 jam menunjukan bahwa

kedalaman tertinggi terjadi pada pukul 15.30 yaitu sebesar 85 cm pada

pancang 3 dan kedalaman terendah yaitu sebesar 1 cm pada pukul 00.30.

4.1.8. Gelombang

Perbedaan gelombang terjadi pada pukul 13.30 WIB yaitu dengan

panjang tali yaitu 10 m, tinggi gelombang 0,15 m, amplitudo 0,075 m, jumlah

gelombang 6, waktu 5 sekon, periode 0,83 s, frekuensi 1,2 Hz, panjang

gelombang 0,4 m, kecepatan 2 m/s. Gelombang pada pukul 16.30 WIB

dengan panjang tali 10 m, tingi gelombang 0,025 cm, amplitudo 0,0125 m,

jumlah gelombang 8, waktu 30 s, periode 3,75 sekon, frekuensi 0,26 Hz,

panjang gelombang 1,15 m, kecepatan 0,3 m/s.

4.1.9.

4.1.10.

4.1.11. Kontur Dasar Perairan

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kontur dasar perairan

di Teluk Awur bervariasi, baik terdapatnya dasaran yang rata, mengalami

pendangkalan, dan kembali terjal.

4.2. Saran

Sebaiknya pada praktikum lapang selanjutnya alat-alat praktikum

dijaga dengan baik agar tidak terjadi error dan pada saat pengukuran harus

teliti agar data yang diperoleh maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Anditayana, I. Bagus Adi. 2010. Variabilitas Angin dan Kaitannya Terhadap


Tinggi Dan Periode Gelombang di Selat Makasar. Ilmu dan Teknologi
Kelautan IPB : Bogor.
Bonauli, Melisa., et al. 2016. Analisis karakteristik arus harmonik akibat
pasang surut di Perairan Teluk Awur Kabupaten Jepara. Jurnal
oseanografi, 5(1) : 1-10.
Fahmi, Komaria., Elis Indrayanti dan Wahyu, B.S. 2014. Kajian Arus dan Batimetri
di Perairan Pesisir Bengkulu. Journal of Oseanografi. 3 (4): 549-559.
Firdaus, Adil Mahfudz, Tridoyo Kusumastanto, dan I. Wayan Nurjaya. 2014.
Analisis Kelayakan Teknis dan Finansial Pengembangan Energi Arus Laut
di Selat Madura. Jurnal Aplikasi Manajemen,12 (3) : 512-520.
Hamuna, B., Rosye H.R. Tanjung., Suwito., Hendra K., Maury & Alianto. 2018.
Kajian Kualitas Air Laut dan Indeks Pencemaran Berdasarkan Parameter
Fisika-Kimia Di Perairan Distrik Depapre, Jayapura. Jurnal Ilmu
Lingkungan. 16 (1): 35-43.
Handoyo, Agus., et al. 2015. Konversi tinggi pasang surut di Perairan
Cilacap terhadap energi yang dihasilkan gentur. Jurnal Kelautan
Tropis, 18(2): 112–120.
Hidayat A., Anugroho A., & Ismunarti D.H. Pemetaan Batimetri Dan
Sedimen Dasar Di Perairan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal
Oseanografi. 5(2) : 191 - 201.
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia : Jakarta
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 2008. Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia : Jakarta
Jumiarti ,Arief Pratomo, Dony Apdillah.2014. POLA SEBARAN SALINITAS
DAN SUHU DI PERAIRAN TELUK RIAU KOTA
TANJUNGPINANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Kaunang, Josua Abimael., M. I. Jasin., J. D. Mamoto. 2016. Analisis


Karakteristik Gelombang dan Pasang Surut Pada Pantai Kima Bajo
Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Sipil Statik. 4 (9) : 567-576.
Kurniawan, Roni., M. Najib Habibie, Suratno. 2015. Variasi Bulanan
Gelombang Laut Di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika . 12
(3) : 221 – 232.
Li, Ronghui, Wei Pan, Jinchuan Guo, Yong Pang, Jianqiang Wu, Yiping Li, Baozhu
Pan, Yong Ji and Ling Ding. 2014. Studies on kinetics of water quality
factors to establish water transparency model in Neijiang River,
China. Journal of environmental biology/Academy of Environmental Biology,
India, 35 (3) : 513-519.
Mahaganti, I., Tumaliang, H., Nelwan, A. F., & Pakiding, M. 2014. Pra-desain
Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut Menggunakan Generator
Asinkron.Jurnal Teknik Elektro Dan Komputer Unsrat,3 (3) : 12-18.
Maharani Widhi Ria, Heryoso Setiyono, Wahyu Budi Setyawan.2014. STUDI
DISTRIBUSI SUHU, SALINITAS DAN DENSITAS SECARA
VERTIKAL DAN HORIZONTAL DI PERAIRAN PESISIR,
PROBOLINGGO, JAWA TIMUR. JURNAL OSEANOGRAFI. Volume
3, Nomor 2, . Tahun 2014, Halaman 151-160

Martono, 2016. Simulasi Pengaruh Angin Terhadap Sirkulasi Permukaan Laut


Berbasis Model. Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional (LAPAN)
:Yogyakarta.
Mulyabakti, Chandrika., M. Ihsan Jasin., J. D. Mamoto. 2016. Analisis
Karakteristik Gelombang dan Pasang Surut pada Daerah Pantai Paal
Kecamatan Likupang Timur Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Sipil
Statik. 4 (9) : 585-594.
Nurkhayati, Rina, and Nurul Khakhim. 2013. Pemetaan Batimetri Perairan
Dangkal Menggunakan Citra Quickbird Di Perairan Taman Nasional
Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Jurnal Bumi
Indonesia, 2 (2).
Nursamsiah., Denny Nugroho Sugianto, Jusup Suprijanto. 2017. Analisis
Data Ekstrim Tinggi Gelombang di Perairan Utara Semarang
Menggunakan Generalized Pareto Distribution. Prosiding Seminar
Nasional Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan ke-VI Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan – Pusat Kajian Mitigasi Bencana dan
Rehabilitasi Pesisir, Undip. 1 (1) : 243 – 253
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut,Sesuatu Pendekatan Ekologis. Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Paramitha, Amanda, Budi Utomo, dan Desrita. 2014. Studi Klorofil-A Di Kawasan
Perairan Belawan Sumatera Utara. Jurnal Aquacoastmarine, 3 (2) : 106-119.
Patty, Simon I. 2014. “Distribusi Suhu, Salinitas Dan Oksigen Terlarut Di
Perairan Kema, Sulawesi Utara”. Jurnal Ilmiah Platax. 1(3): 2302-3589.

Pond, S., G.L. Pickard. 1983. Introductory to Dynamical Oceanography, 2nd


edition. Pergamon Press Ltd : New York
Purba, Hotri Enty., Djuwito dan Haeruddin. 2015. Distribusi dan Keanekaragaman
Makrozoobentos pada Lahan Pengembangan Konservasi Mangrove di
Desa Timbul Sloko Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Diponegoro
Journal of Maquares. 4 (4): 57-65.
Qhomariyah, Lailatul., dan Yuwono. 2016. Analisis hubungan antara pasang
surut air laut dengan sedimentasi yang terbentuk (Studi kasus :
Dermaga Pelabuhan Petikemas Surabaya). Jurnal teknik ITS, 5(1) :
2301-9271.
Qiao, Fangli. 2010. A Three-dimensional Surface wave-ocean Circulation
Coupled Model and Its Initial Testing. Ocean Dynamics. 60 (1) :
1339-1355.
Reish, D.J. 1979. Bristle Worms (Annelida : Polychaeta) In Pollution Ecology
of Estuarine Invertebrates. C. W. Hart., and Samuel L. H. F.
(eds. 2). Academic Press, New York. pp 77-121.
Rianingtyas, Caturayu., Muh.Yusuf dan Heryoso.S. 2016. Studi Sebaran Konsentrasi
Nitrat dan Klorofil-a di Perairan Teluk Ujungbatu Jepara. Jurnal
Oseanografi. 5(2): 169-179.
Salim, D., Yuliyanto., Baharuddin. 2017. Karakteristik Parameter Oseanografi Fisik-
Kimia Perairan Pulau Kerumputan Kabupaten Kotabaru Kalimantan
Selatan. Jurnal Enggano. 2 (2): 218-228
Sangari, J.F. 2014. Perancangan pembangkit listrik pasang surut air laut.
Journal Teknologi dan Kejuruan, 37(1) : 187196.
Saputra, A.D., Setiyono H., & Anugroho A. 2016. Pemetaan Batimetri dan
Sedimen Dasar di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat. Buletin Oseanografi Marina. Vol 5 No 1 : 38 – 43.
Saraswati, N.L.G.R.A., Yulius., Agustin Rustam. 2017. Kajian Kualitas Air Untuk
Wisata Bahari Di Pesisir Kecamatan Moyo Hilir Dan Kecamatan Lape,
Kabupaten Sumbawa. J. Segara.13(1): 37-47.
Satriadi, Alfi. 2012. Studi Batimetri dan Jenis Sedimen Dasar Laut di Perairan
Marina, Semarang, Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marina. 1 : 53 - 62.
Silalahi1 N, H., Marhan Manaf1, Alianto. 2017. Status Mutu Kualitas Air Laut Pantai
Maruni Kabupaten Manokwari. Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik. 1 (1):
33-42.
Tarigan, S., 1987. Studi Pendahuluan Energi Gelombang di Teluk Ambon Bagian
Luar, Teluk Ambon I, Lon-Lipi. Utama : Ambon.
Try Al Tanto, Ulung Jantama Wisha , Gunardi Kusumah, Widodo S. Pranowo,
Semeidi Husrin, Ilham, dan Aprizon Putra.2017. Karakteristik Arus Laut
Perairan Teluk Benoa – Bali (Characteristics of Sea Current in Benoa Bay
Waters – Bali). Jurnal Ilmiah Geomatik. 23 (1): 37-48.
Vakily, J. M. 1989. The Biology of Mussel of The Genus Perna. ICLARM
Studies and Reviews 1,63p. International Center for living
Aquatic Resources Management, Manila, Philipines and Deutshe
Gesellschaft Fur Techenische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH,
Eschbom, Federal Republic of Germany.
Yuanto, Tito Firmansyah, Ruswahyuni and Niniek Widyorini. 2014.
Kerapatan Rumput Laut Pada Kedalaman Yang Berbeda Di Perairan
Pantai Bandengan, Jepara. Management of Aquatic Resources Journal, 3
(2) : 58-65.
Yusuf, Kasmat. 2012. Pengertian Kontur dan Kemiringan Lereng. online :
http://kasmatyusufgeo10.blogspot.com/2012/11/pengertian-kontur-
dan-kemiringan-lereng.html (Diakses tanggal 17 Juni 2019, pukul 18:00)
Zakharov, Vladimir E., Sergei I. Badulin., Paul A., Hwang., Guillemette
Caulliez. 2014. Universality of Sea Wave Growth and Its Physical
Roots. Under consideration for publication in J. Fluid Mech. 1 (1) : 1- 34.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan

Kecepatan Arus

Pukul 13.00 WIB


S = 10 m
t1 = 160 s
𝑆 10
V = 𝑡1 = 160 = 0,0625 m/s

t2 = 140 s
𝑆 10
V = 𝑡2 = 140 = 0,0714 m/s

t3 = 120 s
𝑆 10
V = 𝑡3 = 120 = 0,0833 m/s
0,0625+0,0714+0,0833
Vrata-rata = = 0,0724 m/s
3

Pukul 16.00 WIB


S = 10 m
t1 = 216 s
𝑆 10
V = 𝑡1 = 216 = 0,0462 m/s

t2 = 235 s
𝑆 10
V = 𝑡2 = 235 = 0,0425 m/s

t3 = 174 s
𝑆 10
V = 𝑡3 = 174 = 0,0574 m/s

0,0462+0,0425+0,0574
Vrata-rata = = 0,04870 m/s
3

Lampiran 2. Foto Kegiatan Praktikum


Lampiran 3. Cover Jurnal dan Kutipan Jurnal

Anda mungkin juga menyukai